Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Belajar dan Pembelajaran


Belajar adalah proses berfikir. Belajar berfikir menekankan kepada proses mencari
dan menemukan pengetahuan melalui interaksi antara individu dan lingkungan. Dalam
pembelajaran berfikir proses pendidikan di sekolah tidak hanya menekankan kepada
akumulasi pengetahuan meteri pelajaran, tetapi yang diutamakan adalah kemampuan
peserta didik untuk memperoleh pengetahuannya sendiri (Sanjaya, 2008).

Selain pengertian belajar yang dikemukakan diatas, berikut adalah pengertian


belajar menurut beberapa pakar dari Barat 5 (Thobroni, 2015):

1. Hilgard dan Bower


Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu
situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam sitausi
itu, perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respons
pembawaan kematangan, atau keadaan seaat, misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan
sebagainya.
2. Gagne
Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan situasi ingatan
memengaruhi siswa sehingga perbuatannya berubah dari waktu ke waktu sebelum ia
mengalami situasi tadi.
3. Morgan
Belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang
terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.
4. Whitherington
Belajar adalah suatu perubahan didalam kepribadian yang menyatakan diri
sebagai suatu pola baru daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan,
kepandaian atau suatu pengertian.
5. Travers
Belajar adalah proses menghasilkan penyesuaian tingkah laku.

Berdasarkan pengertian belajar menurut beberapa para ahli dapat disimpulkan


bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang di lakukan seseorang untuk memperoleh
pengalaman pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungan dalam membentuk
tingkah laku yang baru yang menyangkut afektif, kognitif, dan psikomotor.

Sedangkan Pembelajaran membutuhkan sebuah proses yang disadari yang


cenderung bersifat permanen dan mengubah perilaku. Pada proses tersebut terjadi
pengingat informasi yang kemudian disimpan dalam memori dan organisasi kognitif.
Selanjutnya, keterampilan tersebut diwujudkan secara praktis pada keaktifan siswa
dalam merespons dan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri siswa
ataupun lingkungannya (Thobroni, 2015).

Menurut Robert F. Mager dalam Uno (2012) mengemukakan tujuan pembelajaran


adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi
dan tingkat kompetensi tertentu. Sementara itu Kemp dan David E. Kapel dalam Uno
(2012) juga berpendapat bahwa tujuan pembelajaran yaitu: suatu pernyataan yang
spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam
bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan (Prastowo, 2015).

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber
belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan
pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan
kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.
Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat
belajar dengan baik (Suardi, 2015).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan


suatu proses menciptakan kondisi yang kondusif agar terjadi interaksi komunikasi
belajar mengajar antara guru, peserta didik, dan komponen pembelajaran lainnya untuk
mencapai tujuan pembelajaran.

2.2 Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Untuk menerapkan pendekatan ilmiah pada setiap proses pembelajaran


dibutuhkan suatu model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik pendekatan
ilmiah. Penggunaan model pembelajaran yang tepat dapat mendorong tumbuhnya rasa
senang peserta didik terhadap pelajaran, menumbuhkan dan meningkatkan motivasi
dalam mengerjakan tugas, dan memberikan kemudahan bagi peserta didik untuk
memahami pelajaran sehingga memungkinkan mereka mencapai hasil belajar yang
lebih baik.

Terdapat beberapa model pembelajaran yang direkomendasikan oleh Kurikulum


2013 untuk diterapkan pada pembelajaran yang berbasis pada pendekatan ilmiah. Salah
satunya adalah model pembelajaran yang menganut teori kontruktivisisme.
Pembelajaran yang berlandaskan kontruktivistik merupakan pembelajaran yang
menekankan pada pentingnya keaktifan peserta didik untuk membangun sendiri konsep
dasar pengetahuannya (Yussi Pratiwi, 2014 ).

Barrow mendefinisikan pembelajaran Berbasis-masalah (problem-based


learning/PBL) sebagai “pembelajaran yang diperoleh melalui proses menuju
pemahaman akan resolusi suatu masalah. Masalah tersebut dipertemukan pertama-tama
dalam proses pembelajaran (1980:1). PBL merupakan salah satu bentuk peralihan dari
paradigm pengajaran menuju paradigm pembelajaran (Barr dan Tagg, 1995). Jadi,
fokusnya adalah pada pembelajaran siswa dan bukan pada pengajaran guru.

Sementara itu, Lloyd-Jones, Margeston, dan Bligh (1998:494) menjelaskan fitur-


fitur penting dalam PBL. Mereka menyatakan bahwa ada tiga elemen dasar yang
seharusnya muncul dalam pelaksanaan PBL: menginisiasi pemicu/masalah awal
(initiating trigger), meneliti isu-isu yang diidentifikasi sebelumnya, dan memanfaatkan
pengetahuan dalam memahami lebih jauh situasi masalah. PBL tidak hanya bisa
diterapkan oleh guru dalam ruang kelas, akan tetapi juga oleh pihak sekolah untuk
pengembangan kurikulum. Ini sesuai dengan definisi PBL yang disajikan oleh
Maricopa Community Colleges, Centre for Learning and Instruction. Menurut mereka,
PBL merupakan kurikulum sekaligus proses. Kurikulumnya meliputi masalah-masalah
yang dipilih dan dirancang dengan cermat yang menuntut upaya kritis siswa untuk
memperoleh pengetahuan, menyelesaikan masalah, belajar secara mandiri, dan memiliki
skill partisipasi yang baik. Sementara itu, proses PBL mereplikasi pendekatan sistematik
yang sudah banyak digunakan dalam menyelesaikan masalah atau memenuhi tuntutan-
tuntutan dalam dunia kehidupan dan karier (Huda, 2015).
Prinsip-prinsip Problem Based Learning (PBL) adalah penggunaan masalah nyata
sebagai sarana bagi peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan dan sekaligus
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah.
Masalah nyata adalah masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan
bermanfaat langsung apabila diselesaikan.

Tujuan Problem Based Learning (PBL) bukanlah penyampaian sejumlah besar


pengetahuan kepada peserta didik, melainkan berorientasi pada pengembangan
kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah dan sekaligus
mengembangkan kemampuan peserta didik untuk secara aktif membangun pengetahuan
sendiri (Fathurrohman, 2015).

Beberapa cirri penting problem based learning sebagai berikut (Brooks & Martin,
1993):

1. Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan


pembelajar (siswa) dalam pola pemecahan masalah. Kondisi ini akan dapat
mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam
mengidentifikasi permasalahan.
2. Sifat masalah yang disajikan dalam proses pembelajaran adalah berlanjut. Dalam
hal ini ada dua hal yang harus terpenuhi. Pertama, masalag harus dapat
memunculkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang relevan dengan content
domain yang dibahas. Kedua, permasalahan hendaknya bersifat real sehingga
memungkinkan terjadinya kesamaan pandang antar siswa.
3. Adanya presentasi permasalahan. Siswa (pembelajar) dilibatkan dalam
mempresentasikan permasalahan sehingga mereka merasa memiliki permasalahan
tersebut,
4. Guru berperan sebagai tutor dan fasilitator. Dalam hal ini, peran guru sebagai
fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir mahasiswa dalam bentuk
keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu siswa untuk menjadi mandiri.
5. Model pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kritis dan berpikir kreatif.
6. Model pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan untuk mengembangkan
karakter siswa seperti tekun, mandiri, tanggungjawab, kerjasama, disiplin, kerja
keras dan demokrasi.
Barrows (1996), dalam tulisannya yang berjudul Problem-Based learning in
Medicine and Beyond juga mengemukakan beberapa karakteristik Problem Based
Learning sebagai berikut :

1. Proses Pembelajaran Bersifat Student-Centered


Melalui bimbingan tutor (guru) siswa harus bertanggung jawab atas pembelajaran
dirinya, mengidentifikasi apa yang mereka perlu ketahui untuk memperoleh
pemahaman yang lebih baik, mengelola permasalahan, dan menentukan di mana,
dan sebagainya).
2. Proses pembelajaran berlangsung dalam kelompok kecil
Setiap kelompok biasanya terdiri atas 4-6 orang. Anggota kelompok sebaiknya
ditukar untuk setiap unit kurikulum lainnya. Kondisi demikian akan memberi
pengalaman praktis kepada siswa untuk bekerja dan belajar secara lebih intensif
dan efektif dalam variasi kelompok yang berbeda.
3. Guru berperan sebagai fasilitator atau pembimbing
Dalam hal ini guru tidak berperan sebagai pemberi ceramah atau pemberi
informasi factual. Dalam perannya sebagai fasilitator, guru tidak memberi tahu
siswa apakah pemikiran siswanya benar atau salah, dan juga tidak memberi tahu
siswa tentang apa yang harus mereka pelajari atau baca. Siswa itu sendirilah
(secara berkelompok) yang mengidentifikasi dan menentukan konsep-konsep atau
prinsip-prinsip apa yang harus mereka pelajari dan mereka pahami agar mampu
memecahkan masalah yang telah disajikan dosen pada awal setting pembelajaran.
4. Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam setting pembelajaran
diorganisasi dalam bentuk dan focus tertentu dan merupakan stimulus
pembelajaran
Misalnya, masalah pasien atau masalah kesehatan masyarakat, disajikan dalam
berbagai bentuk seperti : kasus tertulis, simulasi pasien, simulasi computer, atau
video. Kondisi demikian akan menantang dan menghadapkan siswa dalam situasi
praktis serta akan memotivasi siswa untuk belajar. Untuk memecahkan masalah
tersebut, siswa akan merealisasikan apa yang perlu mereka pelajari dari ilmu-ilmu
dasar (basic science), serta akan mengarahkan mereka untuk mengintegrasikan
informasi-informasi dari berbagai disiplin ilmu.
5. Informasi baru diperoleh melalui belajar secara mandiri (Self-Direct
Learning)
Siswa diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasikan
keahliannya melalui belajar secara mandiri, serta dapat berbuat seperti praktisi
yang sesungguhnya. Selama proses belajar secara mandiri, siswa bekerja bersama
dalam kelompok, berdiskusi, melakukan komparasi, mereview, serta berdebat
tentang apa yang sudah mereka pelajari.
6. Masalah (Problems) merupakan wahana untuk mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah

Format permasalahan hendaknya mempresentasikan permasalahan yang sesuai


dengan dunia realita. Format permasalahan juga harus memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melakukan pengamatan
lapangan atau melakukan eksperimen di laboratorium (Sadia, 2014).

Pengajaran berdasarkan masalah (Problem Based Learning) terdiri dari 5 langkah


utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi masalah dan
diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima langkah tersebut
dijelaskan berdasarkan langkah-langkah pada Tabel 2.1 .

Tabel 2.1 Sintaks Problem Based Learning

Tahap Tingkah Laku Guru

Tahap-1 Orientasi siswa Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan


pada masalah logistic yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau
demonstrasi atau cerita untuk terlibat dalam pemecahan
masalah, memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan
masalah yang dipilih.

Tahap-2 Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan


Mengorganisasi siswa mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan
untuk belajar masalah tersebut.

Tahap-3 Membimbing Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi


penyelidikan individual yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk
maupun kelompok. mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

Tahap-4 Guru membantu siswa dalam merencanakan dan


Mengembangkan dan meyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan
menyajikan hasil karya. model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan
temannya.

Tahap-5 Menganalisis Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau


dan mengevaluasi evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses
proses pemecahan yang mereka gunakan.
masalah.
(Trianto, 2007).

2.3 Media Pembelajaran Lembar Keja Peserta Didik (LKPD)

Pengertian media pembelajaran menurut Schramm adalah teknologi pembawa


pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. sedangkan menurut
Haryanto (2012) media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan
pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat
mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik. Dari pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu hal yang dapat
dimanfaatkan untuk keperluan kegiatan belajar mengajar dan dapat menyalurkan pesan
yang akan disampaikan oleh pengajar untuk keperluan belajar mengajar (Suryadi, 2015).

Lembar Kerja Peserta Didik atau LKPD merupakan nama lain dari Lembar Kerja
Siswa atau LKS. Penggunaan kata LKPD disesuaikan dengan kurikulum 2013 yang
berlaku saat ini. Dalam kurikulum 2013 revisi 2016, penyebutan kata “siswa” telah
diganti menjadi “peserta didik”. Lembar kerja peserta didik atau LKPD ini merupakan
sarana kegiatan pembelajaran yang dapat membantu mempermudah pemahaman
terhadap materi yang dipelajari (Marisa Indriani, 2018).

LKPD bukanlah perangkat yang baru bagi para pendidik dalam proses
pembelajaran. LKPD yang banyak beredar di sekolah-sekolah hanya berisi ringkasan
materi dan berisi latihan-latihan soal yang disusun dan dirancang oleh beberapa penerbit
saja. LKPD ini tidak melatih peserta didik dalam proses pendekatan ilmiah karena hanya
berisi kumpulan soal-soal yang harus dijawab dan tidak menemukan konsep dari materi.
Hal ini juga akan membebani para pendidik untuk mengo-reksi hasil dari pekerjaan
peserta didik. LKPD yang baik seharusnya dapat dibuat oleh para pendidik. Lestari
Majid (2013) menyarakankan agar LKPD sebaiknya dirancang oleh guru yang
disesuaikan dengan pokok bahasan dan tujuan pembelajarannya (Eka Sari, 2016 ).
Untuk menyusun LKPD, pendidik dapat mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut:

1) Menganalisis kurikulum untuk menentukan materi-materi mana yang memerlukan


bahan ajar LKPD. Biasanya dalam menentukan materi dianalisis dengan cara
melihat materi pokok dan pengalaman belajar dari materi yang akan diajarkan,
kemudian kompetesi yang harus dimiliki oleh siswa.
2) Menyusun peta kebutuhan LKPD guna mengetahui jumlah LKPD yang harus
ditulis dan sekuensi atau urutan LKPD untuk menentukan prioritas penulisan.
Diawali de ngan analisis kurikulum dan analisis sumber belajar.
3) Menentukan judul-judul LKPD atas dasar KDKD, materi-materi pokok.
4) Menulis LKPD. Untuk menulis LKPD dapat dilakukan dengan langkah-langkah:
a. Perumusan KD yang harus dikuasai; rumusan KD pada suatu LKPD langsung
diturunkan dari dokumen SI.
b. Penentuan alat penilaian; bahwa penilaian dilakukan terhadap proses kerja dan
hasil kerja siswa. Karena pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah
kompetensi yang penilaiannya didasarkan pada pe nguasaan kompetensi, maka
alat penilaian yang cocok adalah menggunakan pendekatan Panilaian Acuan
Kriteria (PAK) atau Criterion Referenced Assesment.
c. Penyusunan materi; yakni tergantung pada KD yang akan dicapai. Materi
LKPD dapat berupa informasi pendukung, yaitu gambaran umum atau ruang
lingkup substansi yang akan dipelajari. Materi dapat diambil dari berbagai
sumber seperti buku, majalah, internet, jurnal hasil penelitian. Agar pemahaman
siswa terhadap materi lebih kuat, maka dapat saja dalam LKPD ditunjukkan
referensi yang digunakan agar siswa membaca lebih jauh tentang materi itu.
d. Struktur LKPD, secara umum adalah sebagai berikut: judul, petunjuk belajar,
kompetensi yang akan dicapai informasi pendukung, langkahlangkah kerja dan
tugas-tugas seta penilaian (Syafwan, 2016).

Selama ini, penggunaan LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik) merupakan salah satu
cara yang membantu peserta didik untuk lebih aktif mengkonstruk pengetahuannya
sesuai tuntutan dalam kurikulum 2013 tersebut. Menurut Prastowo (2014), LKPD adalah
bahan ajar yang dapat mengurangi paradigma teacher centered menjadi student centered
sehingga peserta didik akan lebih aktif.
Selain itu, penggunaan LKPD sangat besar peranannya dalam proses pembelajaran.
Menurut Prastowo (2014), LKPD berperan sebagai bahan ajar yang lebih mengaktifkan
peserta didik, mempermudah peserta didik untuk memahami materi yang diberikan,
sebagai bahan ajar yang ringkas dan kaya akan tugas untuk berlatih. Dengan demikian,
LKPD secara garis besar berperan memudahkan dan mengarahkan pelaksanaan proses
pembelajaran kepada peserta didik (Widy Anggraini, 2016).

LKPD berbasis kemampuan argumentasi- SWH memiliki bentuk format semi-


struktur yang mengarahkan penulisan argumen siswa untuk melaporkan hasil pemikiran
siswa dengan cara berdiskusi dan investigasi kelompok dengan menggunakan
komponen pertanyaan (questions), pengujian (test), pengamatan (observation),
kesimpulan (conlusion),bukti (evidence), dan refleksi (reflection) (Kusdiningsih et al.,
2016).

2.4 Pembelajaran Berbasis Argumentasi

Berdasarkan Permendikbud Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar Kompetensi


Lulusan mengharuskan siswa agar memiliki keterampilan berpikir. Pada penelitian ini,
keterampilan berpikir yang dimaksud adalah keterampilan berargumentasi. Hasil
temuan awal ini juga sesuai dengan temuan Sondang (2012) dan Muslim (2012), yang
menemukan bahwa sebagian besar siswa belum terampil dalam menuliskan argumentasi
sains. Argumentasi yang dibuat oleh siswa lemah dalam menyertakan bukti dan du-
kungan yang dapat menjamin kebenaran dari klaim yang diajukan.

Gagasan pentingnya pembekalan keterampilan berargumentasi kepada siswa yaitu


bahwa (1) keterampilan berargumentasi berperan penting dalam membangun suatu
eksplanasi, model, dan teori dari suatu konsep yang dipelajari (Siswanto, 2014).

Keterampilan argumentasi secara langsung atau tidak langsung akan terintegrasi


pada setiap kegiatan belajar mengajar yang dialami siswa untuk mendapatkan
pengetahuan baru. Pengetahuan baru akan diterima siswa, namun sebelumnya akan
melalui proses internalisasi dalam diri siswa yang memaksa siswa untuk menalar
mengenai konsep tersebut dan berusaha mencari kebenaran. Untuk dapat
mengkondisikan siswa supaya dapat belajar menalar dan mengemukakan pendapat
(berargumentasi), maka akan lebih efektif apabila siswa dihadapkan pada masalah yang
perlu mendapat pemecahan, sehingga memungkinkan terjadinya proses menalar dan
berargumen pada diri siswa untuk mendapatkan pemecahan masalah tersebut. Masalah
yang diberikan kepada siswa dikemas dalam bentuk kasus-kasus yang saling terkait satu
sama lain, sehingga dapat membantu siswa untuk memahami pokok-pokok
permasalahan yang terkandung (Giena Sri Restu Kumala, 2017).

Selain dapat memahami konsep, kemampuan yang perlu diasah dan


dikembangkan adalah kemampuan berargumentasi. Kuhn (2010) menjelaskan
argumentasi dalam konsep sains, yang artinya bahwa peran kunci dalam pembelajaran
sains yakni siswa terlibat dalam argumentasi ilmiah. Konsep argumentasi ilmiah dalam
pembelajaran sains telah dipahami secara luas bahwa dasar pembelajaran sains
merupakan mampu berargumentasi ilmiah. Yang berarti pembelajaran sains tidak hanya
menguasi konsep ilmiah, melainkan belajar bagaimana untuk berperan aktif dalam
argumentasi ilmiah.

Untuk mencapai tujuan argumentasi ilmiah tersebut, diperlukan kemampuan


berargumentasi pada diri siswa yang proses pembelajaran di kelas mampu memberikan
latihan kepada siswa agar terbiasa memberikan argumentasi. Dari penjelasan tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa argumentasi ilmiah berperan penting dalam proses
kegiatan belajar dan pembelajaran (KBM) di kelas. Dengan adanya kemampuan
berargumentasi siswa, maka proses KBM akan lebih menarik karena siswa akan
berperan aktif dalam kelas, baik dalam bentuk mengajukan klaim, sanggahan,
pertanyaan maupun menjawab pertanyaan siswa dan guru (Budiyono, 2016)

Menurut Mc.Neill dan Krajcik (2006) dalam (Pritasari et al., 2016) menyatakan
bahwa memuat tiga aspek meliputi claim, evidence, dan reasoning. Claim merupakan
pernyataan yang menjawab permasalahan. Evidence merupakan data ilmiah yang
mendukung suatu pernyataan. Reasoning merupakan suatu alasan atau pembenaran
yang menghubungkan pernyataan dengan bukti.

2.5 Karakteristik Materi

Kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang sangat penting karena
berkaitan dengan fenomena alam dan apa yang terjadi di lingkungan sekitar. Ilmu kimia
memiliki beberapa karakteristik, salah satumya (a) ilmu yang mencari jawaban atas
pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan
komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat, (b) ilmu yang
awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif), namun pada
perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori
(deduktif). Dalam pembelajarannya kimia melibatkan tiga tingkat representasi, yaitu
makroskopik, simbolik, dan mikroskopik (Tuysuz et al, 2011:452). Pada tingkat
makroskopik kimia berkaitan dengan pengamatan secara langsung. Pada tingkat
simbolik kimia berkaitan dengan simbol, rumus, mekanisme reaksi. Pada tingkat
mikroskopik, kimia berkaitan dengan proses-proses kimia (Tuysuz et al, 2011:452).
Kozma dan Russel (1997:952) mengemukakan bahwa sebagian besar konsep kimia
berada pada tingkat molekuler yang tidak dapat dipahami oleh pemikiran siswa secara
langsung. Lebih lanjut Kozma dan Russel (1997:952) mengemukakan bahwa siswa
mengalami kesulitan dalam memahami berbagai simbol dalam kimia. Hal inilah yang
menyebabkan siswa sulit memahami pelajaran kimia, bahkan dianggap sebagai
pelajaran yang membosankan dan kurang menarik oleh sebagian siswa.

Ilmu kimia mempelajari tentang susunan,struktur, sifat, perubahan materi, dan


perubahan energi yang menyertainya. Sebagian dari pokok bahasan materi kimia kelas
X adalah reaksi reduksi oksidasi yang memiliki karakteristik gejalanya bersifat konkrit,
dan konsepnya bersifat abstrak, menggunakan hitungan matematis logis, memerlukan
hafalan simbolik, pemahaman, terapan dan peristiwa yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Banyak peristiwa yang berkaitan dengan reaksi redoks yang
harus dihadapi peserta didik untuk dicari, diidentifikasi sebab,dirumuskan masalahnya,
dianalisis untuk membuat keputusan, dan berusaha untuk mendapatkan solusi
pemecahan masalahnya (Yussi Pratiwi, 2014 ).

Salah satu materi yang sulit bagi siswa adalah redoks. Beberapa konsep yang
harus dipelajari siswa pada materi redoks, meliputi (1) perkembangan konsep reaksi
reduksi dan oksidasi, (2) konsep bilangan oksidasi, (3) reduktor dan oksidator, (4) reaksi
autoredoks, dan (5) penerapan reaksi redoks dalam kehidupan sehari-hari. Dari konsep-
konsep yang dipelajari pada materi redoks ini terdapat beberapa karakteristik,
diantaranya adalah keterkaitan antar konsep dan adanya perhitungan matematika yang
sederhana. Keterkaitan antar konsep ini dapat ditunjukkan dengan adanya hubungan
konsep materi redoks dengan konsep-konsep sebelumnya. Sebagai contoh pada materi
perkembangan konsep reduksi dan oksidasi berdasarkan pelepasan dan penerimaan
elektron dan perubahan bilangan oksidasi, berkaitan dengan materi sistem periodik
unsur, konfigurasi elektron, dan ikatan kimia (Erma Yulianingtyas, 2017 ).

Materi pelajaran kimia merupakan salah satu rumpun Ilmu Pengetahuan Alam
yang menuntut siswa berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran
kimia menekankan pada cara siswa menguasai konsep-konsep dan bukan menghafal
fakta satu sama lain. Konsep-konsep kimia mempunyai tingkat generalisasi dan
abstraksi tinggi yang menyebabkan siswa dapat mengalami kesukaran dalam
penguasaan konsep (Karima dan Supardi, 2014). Siswa cenderung lebih memilih untuk
menghafal daripada memahami konsep-konsep kimia tersebut. Hal tersebut menjadi
tidak efektif karena kimia bukanlah untuk dihafalkan melainkan untuk dipahami.

Menurut Dahar, sebagaimana dikutip oleh Fajarianingtyas dan Yuniastri (2015),


belajar konsep merupakan hasil utama pendidikan. Konsep-konsep tersebut sebagai
dasar berpikir siswa untuk merumuskan prinsip-prinsip dan memecahkan masalah.
Ketika pembelajaran berlangsung siswa mengkonstruksi pengetahuannya menjadi
konsep yang utuh. Dalam proses konstruksi tersebut, ketika siswa melewati tahap
akomodasi, konsep baru yang terbentuk dapat sesuai atau tidak sesuai dengan
pengertian ilmiah (Fajarianingtyas dan Yuniastri, 2015). Konsep baru yang tidak sesuai
dengan konsep yang telah disepakati oleh ilmuwan disebut sebagai miskonsepsi
(Suparno, 2013).

Barke et al. (2009) menyebutkan bahwa salah satu konsep kimia yang sering
dipahami secara miskonsepsi oleh siswa adalah konsep reaksi oksidasi reduksi. Hastuti,
Suyono dan Poedjiastoeti (2014) dalam penelitiannya melaporkan bahwa siswa masih
mengalami miskonsepsi pada materi reaksi redoks sebesar 43%. Kegagalan siswa dalam
memahami konsep disebabkan karena siswa mengkonstruksi pemahamannya secara
tidak utuh. Reaksi redoks dianggap sebagai materi yang sulit dan membingungkan oleh
sebagian siswa. Salah satu penyebab kesulitan siswa tersebut adalah karakteristik materi
yang bersifat abstrak atau berada pada tingkat submikroskopik. Faktor kesulitan lainnya
adalah kurangnya minat dan perhatian siswa ketika proses pembelajaran berlangsung,
kurangnya kesiapan siswa dalam menerima konsep baru, dan kurangnya penekanan
pada konsep-konsep prasyarat (Dwi Andrianie, 2018).

Menurut Pratikno dan Syarief (2014) konsep reaksi oksidasi reduksi menjelaskan
kemampuan menentukan zat yang bertindak sebagai oksidator atau reduktor.
Selanjutnya, Antrakusuma, dkk. (2015) menjelaskan konsep reaksi reduksi oksidasi
meliputi juga transfer elektron, proses pelepasan dan penerimaan elektron. Berdasarkan
cakupan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk memahami konsep reaksi redoks
diperlukan pemahaman konsep yang kuat dan Abdurrahman dan Soegiarto (2014)
menambahkan harus memiliki kemampuan operasi matematika sederhana, untuk
mengetahui dan memahami konsep tersebut juga harus didukung oleh sumber belajar
yang efektif (Resi Salyani, 2018).

Reaksi redoks merupakan suatu konsep dalam ilmu kimia, di SMA pengenalan
reaksi redoks dipelajari di kelas X semester 2 tanpa penyetaraan reaksi tersebut,
kemudian dilanjutkan dengan penyetaraan reaksi secara mendalam di kelas XII semester
1. Reaksi oksidasi reduksi merupakan gabungan dari dua reaksi yaitu reaksi oksidasi
dan reaksi reduksi. Pada awalnya istilah oksidasi diterapkan pada reaksi suatu senyawa
yang bergabung dengan oksigen, sedangkan istilah reduksi digunakan untuk
menggambarkan reaksi bahwa oksigen diambil dari suatu senyawa atau dengan kata lain
peristiwa pelepasan oksigen.

Setelah ilmu kimia terus berkembang maka dapat diketahui banyak reaksi yang
terjadi tanpa melibatkan oksigen, misalnya tembaga (Cu) tidak hanya dapat bereaksi
dengan oksigen (O2), tetapi juga dapat bereaksi dengan Cl2 namun memiliki persamaan
dengan reaksi antara Cu dan O2 yaitu molekul O2 atau Cl2 menerima elektron dari Cu,
sehingga fakta tersebut menjadi dasar pengembangan konsep redoks, jadi berdasarkan
konsep tersebut reduksi adalah reaksi penerimaan elektron sedangkan oksidasi adalah
reaksi pelepasan elektron.

Berdasarkan pengikatan dan pelepasan oksigen, maka redoks adalah suatu


senyawa yang bereaksi dengan oksigen. Reaksi pembakaran karbon merupakan reaksi
oksidasi (C + O2 → CO2), namun menurut teori ikatan kimia, senyawa CO2 bukan
senyawa ionik melainkan senyawa kovalen, sehingga jika mengacu pada konsep reaksi
redoks berdasar pada konsep perpindahan elektron, reaksi pembakaran karbon bukan
reaksi redoks karena tidak terjadi penerimaan maupun pelepasan elektron.

Untuk menjelaskan masalah di atas para ahli kimia mengemukakan konsep redoks
berdasarkan bilangan oksidasi (biloks). Setiap atom mempuyai muatan yang disebut
bilangan oksidasi, yaitu angka yang menyatakan banyaknya elektron yang telah
dilepaskan atau diterima oleh suatu atom dalam suatu senyawa. Biloks diberi tanda
positif (+) jika atom tersebut melepaskan elektron, dan diberi tanda negatif (-) jika atom
tersebut menerima elektron.

Pada reaksi redoks ada unsur yang bertindak sebagai reduktor, dan ada unsur yang
bertindak sebagai oksidator. Reduktor adalah zat yang mengalami oksidasi, sedangkan
oksidator adalah zat yang mengalami reduksi. Pada reaksi redoks ada juga istilah reaksi
autoredoks, yaitu reaksi redoks dengan satu jenis unsur yang bilangan oksidasinya
berubah mengalami oksidasi dan reduksi sekaligus.

Reaksi redoks merupakan reaksi penting dalam kimia, biokimia, dan industri.
Pembakaran batu bara, gas alam, bensin, pengolahan logam besi dan alumunium dari
bijih oksidanya, produksi bahan kimia seperti asam sulfat dari sulfur, udara, air, bahkan
tubuh manusia memetabolisme gula melalui reaksi redoks untuk memperoleh energi.

Dengan semakin berkembangnya ilmu kimia dewasa ini, konsep reaksi redoks
juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah lingkungan, seperti pada daur ulang
perak dan pada energi alternatif tenaga fuel cell yang tidak berpolusi (Zulkifli, 2010 ).

2.6 Kajian Penelitian yang Relevan


1. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Yussi Pratiwi, dkk., yang berjudul
“Pelaksanaan Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) pada Materi
Redoks Kelas X SMA Negeri 5 Surakarta Tahun Pelajaran 2013/2014”,
pembelajaran berbasis masalah terlaksana pada materi reaksi redoks kelas X SMA
Negeri 5 Surakarta tahun pelajaran 2013/2014. Hal tersebut dapat dilihat dari
ketercapaian target pembelajaran yaitu terlaksananya sintak pembelajaran berbasis
masalah. Adanya interaksi antar guru dan peserta didik melalui pengelolaan yang
baik pada proses pembelajaran, menyebabkan waktu pelaksanaan pembelajaran
berbasis masalah berlangsung sesuai target yang ditetapkan. Adanya
keterlaksanaan sintak pembelajaran berbasis masalah mendorong peserta didik
untuk mengembangkan kompetensi sikap pada pembelajaran tidak langsung,
sehingga 86,29% peserta didik memiliki kompetensi sikap baik (Yussi Pratiwi,
2014 ).
2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kusdiningsih yang berjudul
“Pengembangan Lkpd Berbasis Kemampuan Argumentasi Dengan Menggunakan
Model Problem Solving Untuk Meningkatkan Literasi Sains” diketahui bahwa
kepraktisan LKPD berbasis kemampuan argumentasi-SWH yang dikembangkan
dengan model problem solving memiliki keterlaksanaan pembelajaran sangat
tinggi dengan kategori “sangat baik”. Hasil ini dilihat dari keterlaksanaan
pembelajaran sudah sesuai dengan: sintaks pembelajaran problem solving
(80,5%), keterkaitan dengan sistem sosial( 83,5%), dan berkaitan dengan prinsip
reaksi (87%). Respon siswa terhadap kemenarikan, kemudahan serta kemanfaatan
LKPD secara keseluruhan mendapatkan respon sangat baik dan masuk dalam
kategori “sangat tinggi” dengan skor rata-rata skor sebesar 94% (Kusdiningsih,
2016).

2.7 Kerangka Berpikir


Model pembelajaran merupakan unsur penting dalam proses pembelajaran.
Model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran mempengaruhi
hasil belajar siswa. Model pembelajaran yang tepat mampu meningkatkan hasil belajar
siswa baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Penerapan model yang tepat
dan menyenangkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang telah dibuktikan oleh
peneliti peneliti sebelumnya. Selain model pembelajaran, media juga merupakan unsur
penting dalam proses pembelajaran. Penggunaan LKPD merupakan salah satu cara yang
membantu peserta didik untuk lebih aktif mengkonstruk pengetahuannya sesuai tuntutan
dalam kurikulum 2013.
Berdasarkan sekolah yang dijadikan tempat penelitian, dimana sekolah tersebut
merupakan sekolah unggulan, maka seharusnya hasil belajar siswa mampu lebih baik
dari yang telah dicapai saat ini. Keterampilan generik sains siswa dan sikap siswa yang
apabila ditingkatkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pula dengan menggunakan
metode yang melibatkan siswa secara langsung dalam proses pembelajaran dan
penyelesaian masalah, sehingga menghasilkan pembelajaran kimia yang lebih baik.
Model yang diterapkan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan
yang mampu meningkatkan keaktifan argumentasi siswa adalah model pembelajaran
Problem Based Learning (PBL) dengan menggunakan media LKPD berbasis
argumentasi.
Berikut merupakan diagram alir kerangka berpikir dari penelitian ini.

Pembelajaran Kimia
Redoks
X IPA 2 Madrasah Aliyah Laboratoium Jambi

Hasil Observasi

Kemampuan argumentasi siswa sangat kecil terhadap


pembelajaran

Pembelajaran seharusnya bisa lebih baik lagi

Perlu diterapkan model pembelajaraan PBL

Penerapan model pembelajaran PBL berbantuan


media LKPD berbasis argumentasi

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Penerapan Model Pembelajaran PBL berbantuan LKPD berbasis
Argumentasi pada Materi Redoks
2.7 Hipotesis Tindakan
“Kemampuan argumentasi belajar siswa kelas X IPA 2 di Madrasah Aliyah
Laboratorium Kota Jambi akan meningkat dengan menggunakan model model PBL
berbantuan media LKPD berbasis argumentasi.
DAFTAR PUSTAKA

Budiyono 2016. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Argument Based Science


Inquiry (Absi) Terhadap Peningkatan Kemampuan Berargumentasi Siswa Sma.
Jurnal Pemikiran Penelitian Pendidikan Dan Sains 4.

Dwi Andrianie, S., Sri Wardani 2018. Representasi Kimia Untuk Mereduksi
Miskonsepsi Siswa Pada Materi Redoks Melalui Penerapan Model Pembelajaran
Inkuiri Terbimbing Berbantuan Lks. Chemistry In Education Vol. 7, No 2, 69-
76.

Eka Sari, S., Asrial 2016 Pengembangan Lembar Kegiatan Peserta Didik (Lkpd)
Berbasis Karakter Pada Mata Pelajaran Kimia Sma Edu-Sains Vol. 5, No. 2, 8-
17.

Erma Yulianingtyas, E. B., Siti Marfuah 2017 Pengaruh Penggunaan Jurnal Belajar
Dalam Model Pembelajaran Learning Cycle 6e Terhadap Kesadaran
Metakognitif Siswa Sman 8 Malang Pada Materi Redoks Jurnal Pendidikan,
Vol. 2, No. 5, 724—730

Fathurrohman, M. 2015. Model-Model Pembelajaran Inovatif: Alternatif Desain


Pembelajaran Yang Menyenangkan, Yogyakarta, Ar-Ruzz Media.

Giena Sri Restu Kumala, I. N., Ina Setiawati 2017. Bernalar Dan Argumentasi Melalui
Problem Based Learning. Vol. 9, No 2.

Huda, M. (Ed.) 2015. Model-Model Pengajaran Dan Pembelajaran, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Kusdiningsih, Abdurrahman & Jalmo 2016. Penerapan Lkpd Berbasis Kemampuan


Argumentasi-Swh Untuk Meningkatkan Kemampuan Argumentasi Tertulis Dan
Literasi Sains Siswa. Jurnal Pendidikan Progresif, 6.

Kusdiningsih, E. Z. 2016. Pengembangan Lkpd Berbasis Kemampuan Argumentasi


Dengan Menggunakan Model Problem Solving Untuk Meningkatkan Literasi
Sains Universitas Lampung.

Marisa Indriani, C. N., Sujinal Arifin 2018. Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik
(Lkpd) Berbasis Inkuiri Terbimbing Pada Materi Transformasi Geometri.
Penelitian Pengembangan, 165-180.
Prastowo, A. 2015. Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Rpp) Tematik
Terpadu Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta, Kencana.

Pritasari, Dwiastuti & Probosari 2016. Peningkatan Kemampuan Argumentasi Melalui


Penerapan Model Problem Based Learning Pada Siswa Kelas X Mia 1 Sma
Batik 2 Surakarta Tahun Pelajaran 2014/2015. Jurnal Pendidikan Biologi 8.
Resi Salyani, A. A., Riza Zulyani 2018. Pengembangan Buku Saku Pada Materi Reaksi
Reduksi Oksidasi (Redoks) Di Man Model Banda Aceh Jurnal Ipa Dan
Pembelajaran Ipa, Vol. 02, No. 01, 7-14.
Sadia, I. W. 2014. Model-Model Pembelajaran Sains Konstruktivistik, Yogyakarta,
Graha Ilmu.
Sanjaya, W. 2008. Kurikulum Dan Pembelajaran. Jakarta: Prenadamedia Group.
Siswanto, I. K., A. Suhandi 2014. Penerapan Model Pembelajaran Pembangkit Argumen
Menggunakan Metode Saintifik Untuk Meningkatkan Kemampuan Kognitif Dan
Keterampilan Berargumentasi Siswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia Vol.
10, No. 2, 104-116.
Suardi, M. 2015. Belajar Dan Pembelajaran, Yogyakarta, Deepublish.
Suparno, P. 2013. Miskonsepsi Dan Perubahan Konsep Dalam Pendidikan Fisika,
Jakarta, Pt Grasindo.
Suryadi, A. 2015. Membuat Media Pembelajaran Untuk Pemula.
Syafwan, M., Zulhendri Kamus 2016. Pembuatan Lembar Kerja Peserta Didik (Lkpd)
Fisika Sma Kelas X Berorientasi Strategi Pemecahan Masalah Ideal Pillar Of
Physics Education, Vol. 8, 33-40.
Thobroni 2015. Belajar Dan Pembelajaran Teori Dan Praktik, Yogyakarta, Ar-Ruzz
Media.
Trianto 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik,
Jakarta, Prestasi Pustaka.
Widy Anggraini, Y. A., Kodri Madang 2016. Pengembangan Lembar Kerja Peserta
Didik (Lkpd) Berbasis Learning Cycle 7e Materi Sistem Sirkulasi Pada Manusia
Untuk Kelas Xi Sma. Jurnal Pembelajaran Biologi, Vol. 3, 49-56.
Yussi Pratiwi, T. R. D. M. M. 2014 Pelaksanaan Model Pembelajaran Problem Based
Learning (Pbl) Pada Materi Redoks Kelas X Sma Negeri 5 Surakarta Tahun
Pelajaran 2013/2014. Jurnal Pendidikan Kimia Vol. 3, No. 3.
Zulkifli. 2010 Pengaruh Media Komik Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Pada
Konsep Reaksi Redoks (Penelitian Kuasi Eksprimen Di Sman 87 Jakarta)
Universitas Islam Negeri (Uin) Syarif Hidayatullah

Improvement of Argumentation Skill through Implementation of Problem Based


Learning in X MIA 1 SMA Batik 2 Surakarta in the Academic Year 2014/2015

Anda mungkin juga menyukai