Anda di halaman 1dari 9

PAPER PENGAPLIKASIKAN PRINSIP TEORI BELAJAR DALAM MENANGANI

PERMASALAHAN PEMBELAJARAN DAN UJIAN TULIS


Menurut Lefrancois (dalam Yamin: 2013: 15) bahwa belajar (mengajar) adalah persiapan
terhadap peristiwa-peristiwa lahiriah dalam situasi belajar, agar lebih mudah bagi siswa untuk
belajar, mempertahankan (memori) atau mentransfer pengetahuan dan keterampilan.
Pendapat lain, Miarso (dalam Jamin: 2013: 15) Belajar adalah usaha sadar, tekun dan
terkendali agar orang lain belajar atau agar terjadi perubahan yang relatif permanen pada
orang lain. Pekerjaan ini dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang
memiliki kemampuan atau keahlian untuk merencanakan dan/atau mengembangkan sumber
belajar yang diperlukan. Dapat juga dikatakan bahwa belajar adalah usaha guru atau orang
dewasa lainnya agar siswa belajar dan mencapai hasil belajar yang maksimal. Menurut
Syaifuddin (2008), bahwa (pengajaran) pembelajaran adalah upaya menata lingkungan
belajar sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa menyusun kegiatan belajar untuk
mencapai tujuan pembelajaran dengan berbagai media dan sumber belajar tertentu yang
nantinya mendukung pembelajaran itu. Tentang ciri-ciri orang dewasa Soetopo (2005: 135)
menjelaskan bahwa orang dewasa biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) orang yang
mengarahkan diri sendiri, (2) kaya akan sumber belajar bagi diri sendiri dan orang lain, (3)
orang yang menginginkan dan membutuhkan bantuan orang lain, dan (4) orientasi belajar
berkembang dari tugas ke tugas dan masalah hidup.
Dari uraian di atas, jelas bahwa pembelajaran tidak terfokus pada “apa yang dipelajari” tetapi
pada “bagaimana siswa dapat mengalami pembelajaran, yaitu metode untuk mencapai tujuan
dalam hal pengorganisasian materi, pelaksanaan pelajaran dan seperti yang telah diamati
dalam berbagai penelitian bahwa mengajar atau belajar adalah suatu sistem yang mendukung
proses belajar siswa, yang mencakup serangkaian acara yang oleh karena itu direncanakan
dan diatur sedemikian rupa sehingga mendukung dan mempengaruhi pembelajaran internal
siswa. siswa Dalam proses pembelajaran, situasi atau kondisi yang memungkinkan proses
pembelajaran harus direncanakan dan dipertimbangkan sebelumnya oleh guru (Aunurrahman,
2010: 34). Menurut Piaget (Mudjiono, 2009: 14) bahwa pembelajaran terdiri dari empat tahap
sebagai berikut:
a) Tentukan mata pelajaran yang dapat dipelajari sendiri oleh anak-anak. b) memilih atau
mengembangkan kegiatan kelas yang berkaitan dengan mata pelajaran, c) mengakui bahwa
guru memiliki kesempatan untuk mengajukan pertanyaan yang mendukung proses
pemecahan masalah, d) mengevaluasi pelaksanaan setiap kegiatan, mencari keberhasilan dan
melakukan koreksi. Setelah mempelajari teori perilaku, kita mengetahui bahwa konsep-
konsep seperti hubungan stimulus-respons, pasif individu atau pembelajar, perilaku sebagai
hasil belajar yang terlihat, perubahan perilaku dalam kondisi yang ketat, penguatan dan
hukuman adalah semua elemen – elemen yang sangat penting. Teori ini masih mendominasi
praktik pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini terlihat pada pelaksanaan pembelajaran di
tingkat paling awal, seperti di kelompok bermain, taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah
menengah bahkan perguruan tinggi, dimana pembentukan perilaku masih sering terjadi
melalui pembiasaan (praktik) yang disertai dengan hukuman atau penguatan. Pengaruh teori
perilaku terhadap kegiatan belajar tergantung pada beberapa hal, seperti: tujuan
pembelajaran, jenis mata pelajaran, karakteristik siswa, media dan kesempatan belajar yang
tersedia. Pembelajaran yang direncanakan dan dilaksanakan didasarkan pada teori perilaku,
yang menurutnya pengetahuan itu objektif, pasti, tidak berubah dan tidak berubah. Informasi
tersusun dengan rapi sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan sedangkan mengajar
adalah pemberian pengetahuan kepada pembelajar atau siswa. Siswa diharapkan dapat
memahami informasi yang disampaikan dengan cara yang sama. Dengan kata lain, apa yang
guru atau instruktur pahami, siswa harus paham. Tugas akal adalah menyalin struktur data
yang ada melalui proses berpikir analitis dan menata, sehingga makna yang keluar dari proses
berpikir tersebut ditentukan sesuai dengan karakteristik struktur data tersebut. Karena teori
perilaku melihat dunia nyata sebagai bersih dan terstruktur secara teratur, siswa atau
pembelajar harus menetapkan aturan yang jelas untuk diri mereka sendiri dan
mendefinisikannya secara tepat sebelumnya. Membiasakan diri dan disiplin menjadi hal yang
sangat penting saat belajar, jadi belajar lebih kepada menjaga kedisiplinan. Kegagalan atau
ketidakmampuan untuk memperluas pengetahuan diklasifikasikan sebagai kegagalan yang
dapat dihukum, dan keberhasilan atau kemampuan untuk belajar diklasifikasikan sebagai
perilaku yang bermanfaat. Menghormati aturan juga dipandang sebagai faktor penentu
keberhasilan belajar. Peserta didik atau peserta didik adalah objek yang harus berperilaku
menurut aturan, sehingga kendali pembelajaran harus berada di tangan sistem di luar peserta
didik itu sendiri. Tujuan pembelajaran menurut teori behavioral menekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan pembelajaran merupakan kegiatan “mimetik” yang
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang telah dipelajarinya dalam
bentuk laporan, kuis atau tes. Penyajian isi atau subjek menekankan pada keterampilan
individu atau agregasi fakta dari episode hingga keseluruhan. Dalam pembelajaran, urutan
kurikulum dipatuhi secara ketat, dalam hal ini kegiatan pembelajaran lebih banyak
berpedoman pada buku teks/buku teks wajib, menekankan pada kemampuan memperbanyak
isi buku teks/buku teks wajib. Menurut teori kognitif, pengetahuan dibangun dalam diri
seseorang melalui proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan. Proses ini tidak
terjadi secara sendiri-sendiri, melainkan melalui proses yang cair, berkesinambungan dan
menyeluruh (Siregar & Hartini, 2010). Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai
usaha untuk memahami sesuatu. Siswa berpartisipasi aktif. Kegiatan ini dapat terdiri dari
mencari pengalaman, mencari ilmu, memecahkan masalah, mengamati lingkungan dan
melatih untuk mencapai tujuan tertentu. Psikolog kognitif percaya bahwa pengetahuan
sebelumnya menentukan keberhasilan dalam mempelajari informasi / pengetahuan baru.
Teori kognitif juga menekankan bahwa bagian-bagian dari suatu situasi terkait dengan
konteks keseluruhan situasi. Memecah atau membagi situasi/masalah menjadi bagian-bagian
kecil dan mempelajarinya secara terpisah akan kehilangan maknanya. Menurut teori ini,
belajar adalah proses internal yang meliputi memori, retensi, pengolahan informasi, emosi
dan aspek psikologis lainnya. Belajar merupakan kegiatan yang melibatkan proses berpikir
yang sangat kompleks. Proses belajar meliputi antara lain pengelolaan dan adaptasi stimulus
yang diterima terhadap struktur kognitif yang sudah ada dan telah terbentuk dalam pikiran
berdasarkan kognisi dan pengalaman sebelumnya. Dalam praktik pembelajaran, teori kognitif
muncul dalam rumusan-rumusan seperti: Tahapan Pengembangan disajikan oleh J. Piaget,
Penyelenggara Ausubel Sebelumnya, Pemahaman Konsep oleh Bruner, Hirarki Pembelajaran
oleh Gagne, Jaringan oleh Norman dll. Pandangan konstruktivis menegaskan bahwa realitas
berada dalam pikiran manusia. Orang membangun dan menafsirkannya berdasarkan
pengalaman mereka. Konstruktivis berfokus pada bagaimana pengetahuan yang digunakan
untuk menafsirkan objek dan peristiwa dibangun dari pengalaman, struktur mental, dan
keyakinan. Pandangan konstruktivis mengakui bahwa pikiran adalah alat penting dalam
menginterpretasikan peristiwa, objek, dan pandangan dunia nyata, di mana interpretasinya
terdiri dari pengetahuan dasar manusia individu. Pandangan konstruktivis terhadap penilaian
pembelajaran menggunakan penilaian tanpa tujuan, yaitu suatu konstruk, untuk mengatasi
kelemahan tertentu dari penilaian objektif. Penilaian lebih objektif ketika penilai tidak
mengetahui target selanjutnya. Jika tujuan pembelajaran diketahui sebelum pembelajaran
dimulai, maka proses pembelajaran dan penilaiannya bersifat sepihak. Menetapkan kriteria
hasil penilaian saat menentukan pembelajaran. Tujuan pembelajaran memandu pembelajaran,
yang juga memandu kegiatan belajar siswa. Pembelajaran dan penilaian berdasarkan kriteria
adalah prototipe objektif/perilaku yang tidak sesuai dengan teori konstruktivis. Hasil belajar
konstruktivis dinilai lebih akurat dengan menggunakan metode penilaian tidak bertarget.
Penilaian yang digunakan dalam mengevaluasi hasil belajar konstruktivis memerlukan proses
pengalaman kognitif untuk tujuan konstruktivis. Beberapa poin penting untuk dievaluasi
dalam Constructivist Flow (Siregar & Nara, 2010), yaitu: diselaraskan dengan tugas-tugas
autentik, membangun pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir yang lebih tinggi,
membangun pengalaman siswa dan memandu penilaian dalam konteks yang luas dari
berbagai perspektif. Teori humanistik mengklaim bahwa teori belajar apa pun dapat
digunakan selama tujuannya adalah untuk memanusiakan manusia, yaitu untuk mencapai
realisasi diri, pemahaman, dan realisasi diri siswa secara optimal. Memahami belajar yang
ideal membuat teori humanistik dapat menggunakan teori belajar apapun asalkan tujuannya
untuk memanusiakan manusia. Ini membuat teori humanistik sangat eklektik. Tidak dapat
dipungkiri bahwa setiap posisi atau pembelajaran tertentu memiliki kelebihan dan
kekurangan. Dalam pengertian ini, eklektisisme bukanlah suatu sistem yang meninggalkan
elemen-elemen ini dalam keadaan aslinya. Teori humanistik menggunakan teori apa saja
selama tujuannya tercapai, yaitu humanisasi (Siregar & Nara, 2010). Dari pertimbangan di
atas jelaslah bahwa perbedaan cara pandang seringkali diakibatkan hanya dari sudut pandang
yang berbeda atau terkadang hanya dari fokus yang berbeda. Jadi penjelasan atau pandangan
yang berbeda hanyalah informasi tentang hal yang sama dari sudut pandang yang berbeda.
Oleh karena itu, teori humanis dengan sudut pandang eklektiknya, yaitu penggunaan atau
agregasi berbagai teori belajar untuk memanusiakan manusia, tidak hanya mungkin tetapi
harus dilakukan. Banyak tokoh mengikuti arahan humanistik, termasuk Kolb, yang terkenal
dengan "Pembelajaran Empat Tahap", Honey dan Mumford dengan klasifikasi berbagai jenis
pelajar, "Tiga Jenis Pembelajaran" Huberma, dan Bloom dan Krathwohl, yang terkenal
dengan "Taksonomi Bloom". Di bawah ini kami mempertimbangkan pandangan dari
beberapa tokoh ini. Teori humanistik sering dikritik karena sulit diterapkan dalam konteks
praktis. Teori ini berlaku untuk bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi daripada
bidang pedagogi, sehingga sulit untuk diterjemahkan ke dalam langkah-langkah yang lebih
konkrit dan praktis. Namun, karena sifat idealnya memanusiakan manusia, teori humanistik
dapat memandu semua komponen pembelajaran untuk membantu mencapai tujuan tersebut.
Semua bagian pendidikan, termasuk tujuan pendidikan, bertujuan untuk membentuk manusia
yang ideal, manusia yang bercita-cita tinggi, yaitu manusia yang mampu mewujudkan diri.
Oleh karena itu, sangat penting untuk memperhatikan bagaimana siswa berkembang dalam
realisasi diri, pemahaman dan realisasi diri. Saat merencanakan pelajaran, guru harus
mempertimbangkan pengalaman emosional dan karakteristik pembelajaran individu. Karena
seseorang dapat belajar dengan baik jika ia memahami dirinya sendiri dan dapat dengan
bebas memilih ke arah mana ia berkembang. Dengan demikian, teori humanistik dapat
menjelaskan bagaimana tujuan ideal tersebut dapat dicapai.
Teori humanistik sangat membantu guru untuk memahami arah pembelajaran dalam dimensi
yang lebih luas, sehingga segala upaya pembelajaran dan dalam konteks apapun selalu
diarahkan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuannya. Walaupun masih sulit
menerjemahkan teori humanistik ini ke dalam langkah-langkah pembelajaran yang praktis
dan fungsional, kontribusi teori ini sangat besar. Gagasan, konsep, dan taksonomi tujuan yang
ia rumuskan dapat membantu para pendidik dan guru memahami hakikat jiwa manusia. Ini
dapat membantu mereka mengidentifikasi komponen pembelajaran seperti B. menetapkan
tujuan, menentukan materi, memilih strategi pembelajaran, dan mengembangkan alat
penilaian untuk menjadi orang yang mereka inginkan. Kegiatan pembelajaran yang
direncanakan secara sistematis, langkah demi langkah, dengan tujuan pembelajaran yang
cermat, terartikulasi dengan jelas dan terukur, diatur dan ditentukan kondisi pembelajaran dan
untuk siswa. Pengalaman belajar yang dipilih mungkin bermanfaat bagi guru tetapi tidak
relevan bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Ini tidak sesuai dengan teori
humanistik. Menurut teori ini, agar pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa, diperlukan
inisiatif dan partisipasi penuh siswa. Kemudian siswa mengalami pengalaman belajar. Dalam
teori humanistik, guru tidak hanya diharapkan meneliti bagaimana cara mengajar yang baik,
tetapi penelitian mendalam sebenarnya dilakukan untuk menjawab pertanyaan tentang
bagaimana siswa dapat belajar dengan baik. Jigna dalam majalah CS Canada (2012)
menekankan bahwa “untuk belajar dengan baik, kita harus membiarkan siswa berkembang
secara bebas”. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa untuk mencapai pembelajaran
yang baik, guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang secara
bebas.
Pendidikan modern telah mengalami banyak perubahan dibandingkan dengan pendidikan
tradisional. Dalam pendidikan saat ini, siswa menyadari hal-hal yang terjadi dalam proses
pembelajaran, yang menunjukkan hubungan timbal balik antara guru dan siswa. Sementara
itu, di kelas tradisional, proses pembelajaran terus berlangsung, dengan siswa diharapkan
mengetahui informasi dari buku teks, memahami informasi yang diterima, dan
menggunakannya dalam kegiatan sehari-hari siswa. Sebaliknya, dalam pendidikan modern,
siswa menggunakan teknologi untuk menciptakan pengetahuan dan pemahaman, serta
membuat konten pembelajaran lebih menarik dan berwarna. Menerapkan teori humanistik ini,
sangat baik jika guru dapat membangun hubungan yang kuat dengan siswa dan membantu
siswa untuk membantu siswa berkembang secara bebas. Dalam proses pembelajaran, guru
dapat menyediakan berbagai sumber belajar kepada siswa seperti: B. Website yang
mendukung pembelajaran. Hakikat pembelajaran humanistik adalah memanusiakan siswa
dan menjadikan pembelajaran menyenangkan bagi siswa. Dalam prakteknya, teori
humanistik ini bertujuan untuk mendorong siswa menggunakan penalaran induktif,
menekankan pengalaman, dan mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran.

Pembelajaran merupakan suatu sistem penyediaan kondisi yang mengakibatkan terjadinya


proses belajar pada peserta didik dengan adanya bantuan pendidik dalam usaha untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dalam setiap proses pembelajaran,
penting bagi seorang guru maupun peserta didik untuk mengetahui tercapai tidaknya suatu
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Salah satu tolak ukur untuk mengetahui tingkat
ketercapaian tujuan pembelajaran adalah evaluasi hasil belajar. Hal ini didukung oleh
pendapat Retnawati et al (2017) yang mengatakan bahwa setiap tingkatan sekolah perlu
melakukan evaluasi untuk mengetahui sejauh mana tujuan pembelajaran di sekolah tersebut
sudah tercapai.
Untuk melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa, biasanya guru mengadakan tes. Tes
merupakan salah satu metode untuk mengevaluasi, apakah suatu proses pembelajaran sudah
mencapai tujuan atau belum (Yuliyanto, Wahyuni dan Seputra, 2016). Dalam pendidikan
Indonesia, evaluasi hasil belajar yang selama ini dilakukan oleh guru masih didominasi
dengan penggunaan ujian konvensional. Ujian konvensional merupakan ujian yang
menggunakan media kertas dan alat tulis sebagai penunjang kegiatan ujian.
Pemberian ujian dengan menggunakan media kertas dan alat tulis merupakan cara lama yang
sudah mulai ditinggalkan (Manurung dan Rajagukguk, 2018). Hal ini disebabkan karena
penggunaan ujian konvensional tidak efektif dan efesien dari segi penggunaan waktu dan
biaya, baik pada saat pembuatan soal, penggandaan soal, pendistribusian soal, pelaksanaan
ujian, pengoreksian ujian siswa hingga pengumuman hasil ujian siswa. Selain itu,
penggunaan ujian konvensional dinilai kurang menarik dan masih rentan menimbulkan
terjadinya kecurangan antar siswa pada saat ujian berlangsung. Disisi lain dari segi
penggunaan kertas, ujian konvensional nyatanya memberikan dampak buruk yang sangat
besar terhadap lingkungan. Hal ini dikarenakan banyaknya pohon-pohon yang ditebang untuk
memproduksi kertas setiap tahunnya.
Minnesota Pollution Control Agency melaporkan bahwa 40 rim kertas adalah sebanding
dengan 1.5 hektar hutan pinus yang mampu menyerap karbon dalam setahun dan satu rim
kertas sebanding dengan 12 pon karbondioksida yang tidak dapat dibuang dari atmosfir
(Minnesota Pollution Control Agency, 2011). Pada proses pembuatan kertas, industri kertas
menyumbang emisi hingga 10% dari emisi dunia. Energi yang diserap oleh pabrik kertas juga
mencapai 25.8 milyar kWh listrik dan 54.3 milyar BTU minyak dunia. (J. DeRosa, 2007).
Penggunaan kertas yang cukup banyak nyatanya mengurangi efesiensi kertas dan
memberikan dampak buruk yang sangat besar terhadap lingkungan.
Ujian konvensional tidak efektif dari segi waktu. Waktu dalam hal ini adalah lamanya tahap -
tahap pengerjaan dan pelaporan hasil ujian. Pada ujian konvensional tidak lepas dari proses
evaluasi dan report data nilai siswa yang dilakukan secara manual satu -persatu. Siswa dan
orang tua harus menunggu berhari -hari untuk mengetahui hasil evaluasi, apakah anaknya
lulus/tidak dalam mengikuti ujian kompetensi di sekolah (Febrianto, 2016). Manurung dan
Rajagukguk (2018) juga mengatakan bahwa guru biasanya malas mengoreksi soal ujian
karena mengoreksi ujian memakan waktu yang cukup lama, sehingga siswa harus menunggu.
Hasil koreksi jawaban dari guru pun terkadang masih sering mengalami kesalahan dan tidak
objektif.
Ujian konvensional tidak efesien dari segi biaya dan kurang menarik. Biaya dalam hal ini
adalah banyaknya dana yang dikeluarkan pihak sekolah untuk menyediakan dokumen -
dokumen ujian seperti pembelian kertas dan fotokopi soal ujian (Febrianto, 2016). Biaya
pembuatan soal untuk ujian konvensional memerlukan biaya yang besar. Soal ujian harus
digandakan untuk tiap peserta didik. Selain itu, ujian konvensional kurang diminati siswa.
Hal ini disebabkan karena kertas soal yang dibagikan tidak menarik dan hasil fotokopi yang
tidak berwarna. Ukuran tulisan yang kecil terkadang membuat siswa malas membaca soal.
Dan soal-soal yang terdapat gambar biasanya tampak tidak jelas di kertas Penggunaan ujian
konvensional dapat memicu terjadinya kecurangan dalam ujian. Curang adalah perbuatan
yang menggunakan cara -cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah atau terhormat, untuk
mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis. Salah satu
bentuk perilaku curang dalam dunia pendidikan adalah menyontek. Lamanya waktu dan
kurangnya randominasi soal dalam proses ujian, tidak dipungkiri menjadi pemicu terjadinya
kecurangan diantara para siswa dalam mengerjakan soal ujian (Febrianto, 2016).
Pada era Revolusi Industri 4.0, kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang
demikian pesatnya telah mendorong terciptanya inovasi- inovasi baru di segala bidang. Salah
satu bidang yang tidak luput dari perkembangan era revolusi 4.0 adalah bidang pendidikan.
Kemajuan teknologi telah banyak membawa dampak positif bagi kemajuan dunia pendidikan
(Iriyani, Hatip, dan Anshori, 2017). Salah satu dampak kemajuan teknologi dalam bidang
pendidikan adalah munculnya aplikasi evaluasi hasil belajar online (Fuady, 2016). Dengan
menggunakan bantuan teknologi, guru dapat melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa
secara online dengan membuat ujian online atau tes berbasis komputer. Ujian tidak lagi
dilaksanakan secara manual, namun telah mengalami transformasi dengan memanfaatkan
teknologi informasi untuk mengoptimalkan kegiatan ujian.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir Al- Qur’an, 1987.

Ahmad, Abdul Kadir, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. I; Makassar : CV.
INDOBIS, 2003.

Ahmadi, Abu dan Joko Triprasetyo, Stategi Belajar Mengajar, Cet. I; Bandung: Pustaka
Setia, 1997.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Cet. XI; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998.

Assaibany, Mustafah, Al Hadits sebagai Sumber Hukum Diterjemahkan oleh Dja’far Abd.
Muchith, Cet. 2, Bandung: CV. Diponegoro, 1999.

Azis, Yaya M. Abdul, Visi Global Antisipasi Indonesia Memasuki Abad XXI, Cet. I;
Jakarta : Pustaka Pelajar, 1998.

Daradjat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Cet.II ; Jakarta : Bumi Aksara, 1992.

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yamunu, 1965.

Dimyati dan Mudjono, Belajar dan Pembelajaran, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1994.

Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 1996.

Anda mungkin juga menyukai