Aplikasi Teori Belajar terhadap Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran PAI
1. Aplikasi teori belajar Behavioristik
Pengembangan aplikasi teori behavioristik Di samping penggunaan reinforcement untuk memperkuat tingkah laku, ada metode lain yang penting untuk mengembangkan pola tingkah laku baru yakni shaping dan modelling. Frazier dalam (Sri Esti, 2006; 139) menyampaikan penggunaan shaping untuk memperbaiki tingkat laku belajar. Frazier mengemukakan lima langkah perbaikan tingkah laku belajar yaitu: (1) Datang dikelas pada waktu nya, (2) Berpartisipasi dalam belajar dan merespon dosen, (3) menunjukkan hasil-hasil tes dengan baik, (4) mengerjakan pekerjaan rumah dan (5) penyempurnaan. Clarizio (1981) memberi contoh bagus tentang bagaimana dosen menggunakan modelling untuk mengembangkan minat murid-murid terhadap literatur bahasa Inggris. Ia memberi contoh membaca buku bahasa Inggris kadang-kadang tertawa terbahak-bahak, untuk membangkitkan minat anak terhadap buku itu. Modelling bisa diterapkan di sekolah dengan mengambil dosen maupun orang lain atau anak lain yang sebaya sebagai model dari suatu tingkah laku, mungkin pelajaran bahasa dan lain-lain. Berkaitan dengan pengajaran keterampilan motorik dan akademisi, misalnya mahasiswa diajak ke suatu tempat dimana terdapat sesuatu yang bisa ditiru oleh anak atau menghadirkan model tersebut ke dalam kelas/sekolah. Penerapan aplikasi teori behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punisthment menjadi stimulus untuk merangsang mahasiswa dalam berprilaku. Pendidikan yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang kompleks. Teori skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program- program pembelajaran seperti Teaching machien, pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus respon serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belay yang dikemukakan skiner. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti : tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik mahasiswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Maka pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang belajar atau mahasiswa. Implikasi dari teori behavioristik ini dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi mahasiswa yang berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuan nya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. 2. Aplikasi teori belajar Kognitif Pengembangan aplikasi teori kognitif Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik (Ibda, 2015). Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara akt, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan (Dalyono, 2012:37). Perkembangan kognitif merupakan suatu proses generic, artinya proses yang didasari atas mekanisme biologis dari perkembangan system syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, makin kompleks susunan sel syarafnya dan maka meningkat pula kemampuannya. Piaget membagi proses belajar kedalam tiga tahap yaitu: tahap asimilasi, tahap akomodasi dan tahap equilibrasi. Penerapan aplikasi teori kognitif Dalam perkembangan setidaknya ada tiga teori belajar yang bertitik tolak dari teori kognitivisme ini yaitu: teori perkembangan Piaget, teori kognitif Brunner dan teori bermakna Ausubel. Ketiga tokoh teori penting ini yang dapat mengembangkan teori belajar kognitif. Dari ketiga macam teori diatas jelas masing-masing mempunyai implikasi yang berbeda , namun secara umum teori kognitivisme lebih mengarah pada bagaimana memahami struktur kognitif siswa, dan ini tidak lah mudah dengan memahami struktur kognitif siswa, maka dengan tepat pelajaran bahasa disesuaikan sejauh mana kemampuan siswanya. Selain itu juga, model penyusunan materi pelajaran bahasa Arab hendaknya disusun berdasarkan pola dan logika tertentu agar lebih mudah dipahami. Hendaknya dalam proses pembelajaran sebisa mungkin tidak hanya terfokus pada hafalan , tetapi juga memahami apa yang sedang dipelajari , dengan demikian jauh lebih baik dari sekedar menghafal kosa kata. 3. Aplikasi teori belajar Konstruktivistik Pengembangan aplikasi teori Konstruktivistik Garis besar pemikiran filsafat Konstruktivistik (Suparno, 1997: 49) yang diambil manfaatnya untuk proses belajar peserta didik adalah (1) pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun secara sosial, (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menakar, (3) peserta didik aktif mengkonstruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah dan (4) pendidik sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus. Penerapan aplikasi teori Konstruktivistik Menurut paham Konstruktivisme, pengetahuan merupakan hasil bentukan sendiri, oleh karenanya tidak ada transfer pengetahuan dari seorang ke orang lain, sebab setiap orang membangun pengetahuannya sendiri. Bahkan bila dosen ingin memberikan pengetahuan kepada mahasiswa, maka pemberian itu diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh mahasiswa itu sendiri melalui pengalamannya. Untuk terjadinya konstruksi pengetahuan ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki mahasiswa antara lain; kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada yang lainnya. Inti dari Konstruktivisme diatas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar, yaitu : teori perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori skemata (Suparno, 1997:49). Namun menurut peneliti pembelajaran Konstruktivisme juga berkaitan dengan teori belajar Brunner. 4. Aplikasi teori belajar Humanistik Pengembangan aplikasi teori belajar humanistik Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an. Dimana aplikasi teori humanistik lebih mengedepankan sisi humanis manusia dan tidak menuntut jangka waktu pembelajaran mencapai pemahaman yang diinginkan, akan tetapi lebih menekankan pada sisi atau materi yang harus dipelajari agar membentuk manusia seutuhnya. Proses belajar dilakukan agar pembelajaran mendapatkan makna yang sesungguhnya dari belajar atau yang disebut Ausubel sebagai meaningful learning. Yang bermakna bahwa belajar adalah mengasosiasikan pengetahuan baru dengan prior knowladge (pengetahuan awal) si pembelajar. Aplikasi teori humanistik ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatannya. Penerapan aplikasi teori belajar humanistik Dalam penerapan aplikasi teori belajar humanistik ini cenderung mengarahkan siswa untuk dapat berfikir induktif, mementingkan pengalaman, dan membutuhkan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Dimana penerapan aplikasi teori belajar humanistik dalam pembelajaran yaitu : (1) menentukan tujuan-tujuan pembelajaran, (2) menentukan materi-materi pembelajaran, (3) mengidentifikasikan kemampuan awal dari peserta didik atau siswa, (4) mengidentifikasi topik-topik pelajaran yang memungkinkan akan melibatkan siswa untuk dapat belajar secara aktif, (5) merancang fasilitas belajar, seperti lingkungan dan media-media pembelajaran, (6) membimbing siswa dalam mengaplikasikan konsep-konsep baru ke situasi yang nyata, (7) membimbing siswa untuk dapat memahami hakikat dan makna dari pengalaman belajar dan (8) mengevaluasi proses dan hasil belajar.