Anda di halaman 1dari 4

Nama : Natasya Zhafirah S.

Nim : 041711333175

Profesi Akuntan Butuh UU Pelaporan Keuangan


Profesi akuntan dianggap membutuhkan sebuah regulasi dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya. Regulasi tersebut dikemas dengan nama UU Pelaporan Keuangan. Anggota Dewan
Pengurus Nasional (DPN) Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) Dwi Setiawan mengatakan, regulasi
ini nantinya yang menjadi dasar bagi akuntan dalam menyajikan laporannya.

“Akuntansi bukan hanya mengaudit, tapi juga bagaimana menyajikan laporan keuangan,” kata
Dwi saat rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, di Komplek Parlemen di Jakarta, Selasa
(25/11).

Menurutnya, terdapat tiga substansi yang bisa diatur dalam UU ini. Ketiganya adalah aspek
kelembagaan, aspek tata pelaksanaan dan sumber daya manusia. Ia percaya keberadaan UU
Pelaporan Keuangan ini bisa berdampak kepada ekonomi yang positif bagi Indonesia.

Dwi menilai, keberadaan UU Pelaporan Keuangan ini juga bisa menjawab tantangan profesi
akuntan dalam menghadapi global. Bahkan, keberadaan UU ini juga menjadi dasar dalam
menghadapi berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Bukan hanya itu, UU ini juga
nantinya bisa berkembang dengan adanya kewenangan audit kinerja bagi akuntan.

“Kami identifikasi, ternyata butuh regulasi untuk tumbuh kembangkan sektor ekonomi dengan
memanfaatkan tenaga akuntan profesional,” kata Dwi.

Ia menuturkan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri


Keuangan atau PMK Nomor 25/PMK.01/2014 tentang Akuntan Beregister Negara. Menurutnya,
aturan ini memuat sejumlah syarat bagi seseorang untuk menjadi akuntan yang diakui oleh
negara.

Menurutnya, untuk menjadi akuntan, seseorang tidak hanya bermodalkan sarjana strata 1 saja,
tapi juga harus mengikuti ujian sertifikasi yang diselenggarakan asosiasi profesi akuntan. Ia
percaya proses sertifikasi ini bisa melahirkan akuntan yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan keuangan.

Dalam aturan ini, lanjut Dwi, juga diatur mengenai peluang akuntan untuk membuka kantor jasa
akuntansi, yang meliputi jasa pembukuan, jasa kompilasi laporan keuangan, jasa manajemen,
akuntansi manajemen, konsultasi manajemen, jasa perpajakan, jasa prosedur yang disepakati atas
informasi keuangan dan jasa sistem teknologi informasi. Tujuannya agar hasilnya bisa lebih
berkualitas.
Anggota Komisi XI Khaerul Saleh menyambut baik usulan pembentukan UU Pelaporan
Keuangan ini. Menurutnya, keberadaan UU ini bisa menunjang kemajuan ekonomi Indonesia.
“Kalau bisa segera dibahas agar bisa menunjang peran profesi akuntan dalam memajukan
perekonomian bangsa,” kata politisi dari Partai Gerindra ini.

Wakil Ketua Komisi XI Jon Erizal sepakat bahwa peran akuntan harus dioptimalkan lagi. Ia
berharap profesi akuntan bisa ikut mensosialisasikan kepada masyarakat agar tak terlena dengan
penetapan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) tak selalu bebas dari kasus korupsi.

“Sosialisasi ini saya lihat penting. Jangan sampai apalagi di tingkat kepala daerah, WTP
dianggap segala-galanya, sehingga mereka terpilih,” ujar politisi dari Partai Amanat Nasional ini.

Padahal, lanjut Jon, penetapan WTP adalah semata-mata bahwa penyajian laporan keuangan
yang diberikan kepada pemeriksa benar. Atas dasar itu, pemeriksaan laporan keuangan harus
benar-benar firm, dengan menghitung indikasi dugaan terjadinya kecurangan sebelum
dikeluarkan keputusan opini.

“Saya rasa wajib didalami dahulu sebelum keluarkan keputusan,” pungkasnya.

Analisis : Profesi merupakan pekerjaan yang dilandasi oleh keahlian pendidikan dalam
bidangnya. Salah satu profesi yang dibahas di atas adalah profesi akuntansi. Dalam profesi
akuntansi sendiri memang diperlukan uu yang mengatur tentang pekerjaan mereka. Salah
satunya adalah undang undang pelaporan keuangan yang nantinya akan mengatur tentang etika
seorang akuntan.

Etika dan Integritas Auditor Dipertanyakan


Masyarakat Indonesia kembali dikagetkan dengan tujuh orang yang diduga terlibat korupsi
melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK menjelang Ramadhan kemarin. OTT terkait
kasus suap yang melibatkan pejabat Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (PDTT) dan pejabat serta auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Kasus dugaan suap tersebut terkait pemberian Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh
BPK RI terhadap laporan keuangan Kemendes PDTT tahun anggaran 2016. Peristiwa
memalukan ini merupakan tamparan bagi Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), apalagi
melibatkan kementerian serta lembaga pemeriksa negara yang seharusnya menjaga etika,
integritas, obyektivitas dan kehati-hatian profesional.

Praktik suap terhadap auditor BPK RI bukanlah kali pertama terjadi. Sudah bukan rahasia umum
meskipun sulit dibuktikan. Tujuannya, agar proses audit tidak dipersulit, selain itu, tidak jarang
auditor memperoleh fasilitas yang berlebih. Selain mendapatkan uang suap atau uang lelah,
mereka kadang diinapkan di hotel mewah hingga disediakan berbagai kebutuhan sesuai
permintaan.

Jikapun kasus suap auditor BPK RI terungkap, jumlahnya masih relatif sedikit. Dari pantauan
Indonesian Corruption Watch (ICW) sejak 2005 – 2017, sedikitnya terdapat 6 kasus suap yang
melibatkan 23 auditor BPK. Sebanyak 4 kasus suap terkait mendapatkan opini BPK atas laporan
hasil pemeriksaan keuangan, 1 kasus suap untuk mengubah hasil temuan BPK, dan 1 kasus suap
agar mengesampingkan temuan BPK yang mencurigakan (Emerson Yuntho, 2017)

Kasus untuk mendapatkan opini BPK berupa WTP adalah tujuan dari banyak pihak terutama
kementerian/lembaga atau pemprov/pemkot/pemkab untuk melakukan penyuapan atau apapun
jenisnya. Apalagi di jaman Pemerintahan Jokowi menargetkan pada 2015 opini WTP di
lingkungan pemerintah mencapai 60% dan pada tahun 2017 mencapai 100%.

Hasil WTP masih dianggap suatu pencapaian yang prestise bagi pejabat kementerian/lembaga
atau pemprov/pemkot/pemkab serta memberikan persepsi positif bahwa pemerintahan maupun
keuangannya telah dikelola secara akuntabel, transparan dan terbebas dari korupsi. Esensi
pemberian WTP sebenarnya ingin melihat apakah laporan keuangan yang disajikan wajar dan
telah sesuai dengan standar akuntansi pemerintah.

Audit membutuhkan pengabdian yang besar pada masyarakat dan komitmen moral yang tinggi.
Masyarakat menuntut untuk memperoleh jasa para auditor dengan standar kualitas yang tinggi,
dan menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.

Standar etika diperlukan bagi profesi audit karena auditor memiliki posisi sebagai orang
kepercayaan dan menghadapi kemungkinan benturan-benturan kepentingan. Jika auditor tunduk
pada tekanan atau permintaan tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap komitmen pada
prinsip-prinsip etika yang dianut oleh profesi.

Seorang auditor harus selalu memupuk dan menjaga kewaspadaannya agar tidak mudah takluk
pada godaan dan tekanan yang membawanya ke dalam pelanggaran prinsip-prinsip etika secara
umum dan etika profesi. Etis yang tinggi, mampu mengenali situasi-situasi yang mengandung
isu-isu etis sehingga memungkinkan untuk mengambil keputusan atau tindakan yang tepat.

Auditor banyak menghadapi dilema etika dalam melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan
auditan jelas merupakan dilema etika. Ada beberapa alternatif pemecahan dilema etika, tetapi
harus berhati-hati untuk menghindari cara yang merupakan rasionalisasi perilaku tidak beretika.

Integritas berkaitan dengan profesi auditor yang dapat dipercaya karena menjunjung tinggi
kebenaran dan kejujuran. Integritas tidak hanya berupa kejujuran tetapi juga sifat dapat dipercaya,
bertindak adil dan berdasarkan keadaan yang sebenarnya.

Hal ini ditunjukkan oleh auditor ketika memunculkan keunggulan personal ketika memberikan
layanan profesional kepada instansi tempat auditor bekerja dan kepada auditannya.
Auditor seringkali menghadapi situasi dimana terdapat berbagai alternatif penyajian informasi
yang dapat menciptakan gambaran keuangan atau kinerja yang berbeda-beda. Dengan berbagai
tekanan yang ada untuk memanipulasi fakta-fakta, auditor yang berintegritas mampu bertahan
dari berbagai tekanan tersebut sehingga fakta-fakta tersaji seobyektif mungkin.

Auditor BPK diharapkan mendukung penerapan Good Governance pada organisasi atau instansi
tempat ia bekerja, yang meliputi prinsip-prinsip: tidak mementingkan diri sendiri, integritas,
obyektivitas, akuntabilitas, keterbukaan, kejujuran dan kepemimpinan.

Struktur dan proses organisasi atau instansi tempat ia bekerja harus memiliki hal-hal berikut
yaitu : akuntabilitas keberadaan organisasi, akuntabilitas penggunaan dana publik, komunikasi
dengan stakeholders, dan peran serta tanggung jawab dan keseimbangan kekuasaan antara
stakeholders dan pengelola.

Instansi/lembaga/kementerian atau Pemprov/Pemkot/Pemkab juga harus memiliki mekanisme


pelaporan keuangan dan pengendalian intern yang mencakup : pelaporan tahunan, manajemen
risiko dan audit internal, komite audit, komite penelaah kinerja, dan audit eksterna

Analisis : Profesi auditor termasuk salah satu profesi yang sering berhadapan dengan dilema
etika. Karena auditor memilki pekerjaan yang harus memiliki integritas yang tinggi. Maka dari
itu etika seorang auditor seharusnya diatur dengan jelas dan tepat sehingga dalam pekerjaannya
auditor tidaklagi mengalami dilema etika.

Anda mungkin juga menyukai