Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN PUSTAKA

Emerging Infectious Disease dan Re-emerging Infectious Disease


Permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit menular (infectious disease)
dalam dua dekade terakhir menunjukkan peningkatan yang signifikan (Daszak et
al. 2004). Penyakit menular dan parasit menjadi penyebab kematian utama pada
manusia di seluruh dunia (WHO 1996) dengan lebih dari setengahnya berusia di
bawah lima tahun (Zowghi et al. 2008). Pada akhir abad ke-20, penyakit menular
yang baru muncul (emerging infectious disease/EID) dan penyakit menular yang
muncul kembali (re-emerging infectious disease/REID) yang terjadi pada
populasi hewan dan manusia telah menyebabkan keterkejutan (shock) pada
kesehatan masyarakat dan komunitas veteriner terhadap bahaya yang
ditimbulkan (Brown 2004; Chomel et al. 2007).
EID didefinisikan sebagai penyakit yang timbul akibat patogen yang telah
diketahui muncul pada suatu area geografis baru, atau patogen yang telah
diketahui dan berkerabat dekat pada spesies yang tidak peka, atau patogen yang
tidak diketahui sebelumnya terdeteksi untuk pertama kali (Bengis 2004; Brown
2004). REID didefinisikan sebagai penyakit yang pernah muncul di masa lampau
yang sudah mengalami penurunan tingkat kejadian akan tetapi akhir-akhir ini
menunjukkan peningkatan insidensi, cakupan geografis, atau cakupan inang
(Morens et al. 2004). EID dan REID lebih mengacu pada penyakit menular pada
manusia dengan tingkat kejadian yang meningkat dalam dua dekade terakhir
atau akan menjadi ancaman terhadap peningkatan kejadian penyakit pada masa
yang akan datang dan cakupan geografis yang meluas (Chomel 1998; Zowghi et
al. 2008).
Ciri-ciri yang mendasari suatu penyakit menular dikategorikan ke dalam
EID dan REID, yakni penyakit menular yang (1) baru diketahui atau dikenal
dalam beberapa dekade terakhir; (2) terjadi perluasan distribusi habitat dan
cakupan geografi; (3) terjadi peningkatan kejadian penyakit yang sedang
mewabah; serta (4) terjadi peningkatan keparahan terhadap resistensi obat
(Wilson 2002). Konsep EID dan REID mencuat pada akhir tahun 1980-an saat
terjadi wabah penyakit menular secara global. Ketika diharapkan dapat
dieliminasi karena menyebabkan permasalahan pada kesehatan masyarakat,
penyakit menular justru berkembang menjadi penyebab utama kematian dan
kecacatan di seluruh dunia (Chomel 1998; Katare dan Kumar 2010). Daszak et
4

al. (2000) mengategorikan EID bersumber satwa liar berdasarkan parameter


karakteristik spesifik kemunculan penyakit dan epizootiologinya menjadi empat
tipe (Tabel 1). Pada tabel, pengategorian diberi keterangan emerging untuk EID
dan REID, serta recognized untuk penyakit yang sudah dikenal.

Tabel 1 Kategori EID bersumber satwa liar berdasarkan parameter


kemunculan penyakit dan epizootiologi (Daszak et al. 2000)

Agen penyakit Insidensi atau


Tipe EID Spesies inang
menular cakupan geografis

1 Emerging Emerging Emerging

2 Recognized Emerging Emerging

3 Recognized Emerging Recognized

4 Recognized Recognized Emerging

Sebagian besar EID dan REID disebabkan oleh agen patogen yang telah
ada di lingkungan dan hewan lebih sering bertindak sebagai reservoar alami
sumber agen penyakit pada manusia (Chomel 1998). Diperkirakan sekitar 75%
EID dan REID pada awal abad ke-21 bersifat zoonotik yang disebabkan oleh
patogen bersumber hewan atau produk asal hewan, terutama penyakit yang
disebabkan oleh virus dan atau yang ditularkan melalui vektor (Taylor et al. 2001;
WHO/FAO/OIE 2004). Zoonosis terhitung sebagai mayoritas penyakit EID dan
REID (Chomel 2003). Di sebagian besar negara berkembang, zoonosis
menimbulkan permasalahan kesehatan masyarakat yang secara signifikan
berkontribusi terhadap terganggunya sistem kesehatan. Di negara maju,
zoonosis menjadi perhatian khusus bagi kelompok berisiko tinggi terinfeksi, yakni
orang tua, anak-anak, ibu melahirkan, dan individu imunosupresif (Katare dan
Kumar 2010).
Zoonosis yang baru muncul (emerging zoonoses/EZ) dan zoonosis yang
muncul kembali (re-emerging zoonoses/REZ) didefinisikan sebagai penyakit
yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya yang disebabkan oleh
patogen baru atau patogen yang baru berevolusi atau patogen yang telah
diketahui muncul pada area geografis dan/atau spesies baru dimana penyakit
tersebut belum pernah terjadi sebelumnya atau pernah terjadi namun
menunjukkan peningkatan insidensi dan cakupan inang dan vektor (Meslin 1992;
5

Bengis et al. 2004; WHO/FAO/OIE 2004). Menurut Wolfe et al. (2007), EZ dan
REZ berpotensi terjadi perubahan penularan dari hewan ke manusia menjadi
manusia ke manusia, misalnya human immunodeficiency virus (HIV). Contoh
dari EZ antara lain simian immunodeficiency virus (SIV) dan acquired immune
deficiency syndrome (AIDS), virus Ebola, hantavirus, virus Hendra, virus Nipah,
virus Menangle, virus West Nile, SARS, influenza A, monkeypox, lyme
borreliosis, ehrlichiosis, dan bovine spongiform encephalopathy (BSE). Contoh
dari REZ antara lain Rift Valley Fever, alveolar echinococcosis, rabies, virus
Marburg, bovine tuberculosis, bruselosis, tularemia, plague, dan leptospirosis
(Bengis et al. 2004; Brown 2004).
Sebanyak 29 dari 96 penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
manusia dan 25% kematian global berasal dari penyakit menular (WHO 2000).
Zoonosis merupakan mayoritas dari penyakit menular yang menimbulkan
morbiditas dan mortalitas pada manusia (Katare dan Kumar 2010). Menurut
Jones et al. (2008), sebanyak 335 penyakit menular pada manusia muncul
antara tahun 1940 dan 2004 dengan kejadian tertinggi saat terjadi pandemi HIV.
Menurut Taylor et al. (2001), sebanyak 1415 jenis organisme penyebab penyakit
pada manusia yang telah diidentifikasi. Jumlah tersebut terdiri atas 217 virus dan
prion, 538 bakteri dan riketsia, 307 cendawan (fungi), 66 protozoa, serta 287
cacing. Sekitar 868 (61%) dari organisme tersebut bersifat zoonotik dan 175
jenis di antaranya terkait EID dan REID, dengan 132 (75%) adalah patogen
zoonotik. Menurut Woolhouse (2002) dan Zowghi et al. (2008), sejak tahun 1973
telah dilakukan identifikasi patogen yang menjadi penyebab utama penyakit
menular pada manusia (Tabel 2). Woolhouse (2002) menjabarkan bahwa
beberapa patogen penyakit tersebut termasuk dalam patogen yang
menyebabkan EID, seperti HIV, virus Ebola, dan prion new variant Creutzfeldt-
Jakob disease (vCJD).
Beberapa penyakit menular relatif berdampak pada sedikit populasi
manusia, akan tetapi keberadaannya dapat mengancam manusia karena
mortalitas dan morbiditas yang tinggi serta minimnya upaya pencegahan, seperti
vaksinasi dan pengobatan efektif (Daszak et al. 2004). Keberadaan patogen
penyebab penyakit merupakan efek dari sistem yang dinamis dan komplek pada
proses-proses biologis, sosial, ekologi, dan teknologi (Coker et al. 2011).
6

Tabel 2 Patogen baru yang diketahui sejak 1973 (Woolhouse 2002; Zowghi et
al. 2008)

Tahun Patogen Penyakit


1973 Rotavirus Diare pada bayi
1976 Cryptosporidium parvum Diare akut dan kronis
1977 Virus Ebola Ebola hemorrhagic fever
Legionella pneumophilla Legionnaires disease
Hantavirus Haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS)
Campylobacter jejuni Enteric diseases
1980 Human T-lymphotropic virus Limfoma-leukemia sel T
(HLTV)-1
1981 Eksotoksin Staphylococcus Toxic shock syndrome
aureus
1982 Eschericia coli O157:H7 Kolitis hemoragi, haemolytic uraemic syndrome
HLTV-2 Hairy cell leukemia
Borrelia burgdorferi Lyme disease
1983 Human immunodeficiency virus Acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
(HIV)-1
Helicobacter pylori Peptic ulcer disease
1985 Enterocytozoon bieneusi Diare kronis
1986 HIV-2 AIDS
Cyclospora cayetanensis Diare kronis
1988 Virus hepatitis E Hepatitis non-A, non-B
Virus herpes 6 manusia Roseola infantum
1990 Virus Guanarito Venezuelan haemorrhagic fever
1991 Encephalitozoon hellem Konjungtivitis
1992 Vibrio cholerae O139 Galur baru dikaitkan dengan epidemi kolera
Bartonella henselae Bacillary angiomatosis, cat-scratch disease
1993 Virus Sin Nombre Hantavirus pulmonary syndrome
Encephalitozoon cuniculi Mikrosporidiosis
1994 Virus Sabia Brazillia haemorragic fever
Virus Hendra (equine morbilivirus) Ensefalitis
1995 Virus hepatitis G Hepatitis non-A, non-B ditularkan secara
parenteral
Virus herpes 8 manusia Dikaitkan dengan sarkoma Kaposi pada penderita
AIDS
1996 Transmissible spongiform Penyakit variant Creutzfeldt-Jakob
encephalopathy
Lyssavirus kelelawar Australia Ensefalitis
(Rhabdovirus)
1997 Virus avian influenza tipe A Influenza
(H5N1)
Virus Menangle (paramyxovirus) Defek kongenital dan kegagalan reproduksi
1999 Virus Nipah (paramyxovirus) Ensefalitis
Virus influenza H9N2 Influenza
2002 Virus SARS (coronavirus) Severe acute respiratory syndrome (SARS)
7

Beberapa EID dan REID yang terjadi di Indonesia, antara lain demam
berdarah dengue, tuberkulosis, malaria, polio, AIDS, SARS, H5N1 influenza, dan
rabies (Kandun 2006). Menurut Jones et al. (2008), kemunculan penyakit
disebabkan oleh (1) galur agen patogen yang baru berevolusi (misalnya
tuberkulosis multi-drug-resistant, dan malaria yang resisten terhadap
chloroquine); (2) agen patogen yang menginfeksi populasi manusia untuk
pertama kali (misalnya HIV-1, coronavirus severe acute respiratory
syndrome/SARS); atau (3) patogen yang kemungkinan telah ada sejak lama
namun menunjukkan peningkatan tingkat kejadian (misalnya lyme diseases).
Sebagian besar EID disebabkan oleh patogen yang telah ada di lingkungan dan
hewan lebih sering bertindak sebagai reservoar alami bagi agen penyakit baru
pada manusia (Chomel 1998).
Dampak yang diakibatkan dari munculnya EZ dan REZ sangat besar (Reilly
2009; Gummow 2010). Contoh dari EZ dan REZ antara lain plague yang
menyebabkan 54 kematian manusia di India dari April hingga Oktober 1994
(Chugh 2008). Dari Agustus hingga Oktober 2007 virus Ebola dari filovirus
menyebabkan sindrom pendarahan dengan 249 kasus dan 183 kematian di
Republik Demokratik Kongo (Shakespeare 2009). Virus Nipah yang termasuk
paramyxovirus muncul kali pertama di Malaysia tahun 1998 menyerang babi
dengan gejala pada respirasi dan syaraf dan menyebabkan kematian beberapa
manusia yang kontak langsung dengan babi dan memakan dagingnya (Wild
2009). SARS menyebabkan kematian 774 manusia pada tahun 2003 di Asia.
SARS juga berdampak sosial karena menyebabkan kekhawatiran, kecemasan,
dan ketakutan masyarakat. Di bidang politik, SARS menyebabkan kekisruhan
politik sebagai akibat dari penerapan sistem peringatan perjalanan (travel
warning) dan boikot perdagangan oleh negara lain yang dapat mengganggu
hubungan internasional. SARS juga menurunkan budaya konsumsi masyarakat
dalam menggunakan karnivora liar sebagai obat dan makanan. Selain itu, spora
bakteri antraks yang disebarkan di Amerika Serikat tahun 2001 menyebabkan
gangguan keamanan yang dikaitkan dengan bioterorisme (Gummow 2010; Coker
et al. 2011).

Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar


Zoonosis merupakan penyakit yang sudah terjadi sejak lama. Contohnya
adalah wabah plague yang terjadi di zaman Mesir kuno, rabies pada masa
8

peradaban Mesopotamia awal tahun 2300 SM yang terjadi akibat perburuan


anjing liar (Kruse et al. 2004), dan kematian 90% populasi kerbau dan satwa liar
di Kenya akibat pemasukan sapi asal India yang terinfeksi rinderpest (Gummow
2010). Kewaspadaan masyarakat dunia terhadap EZ dan REZ terutama yang
bersumber dari satwa liar menunjukkan peningkatan.
Sekitar 60.3% dari 335 EID dan REID selama 60 tahun terakhir disebabkan
oleh agen penyakit zoonotik, yang 71.8% diantaranya bersumber dari satwa liar
(Cunningham 2005; Jones et al. 2008). Satwa liar diketahui berperan dalam
peningkatan frekuensi kejadian penyakit menular pada manusia. Satwa liar
bertindak sebagai reservoar utama berkembangnya penyakit menular dan
zoonosis pada manusia dan hewan domestik (Daszak et al. 2000; Kruse et al.
2004). Zoonosis yang bersumber pada satwa liar diketahui sebagian besar
berasal dari bakteri, virus, dan parasit, sementara cendawan kurang berdampak
serius terhadap manusia (Kruse et al. 2004). Menurut Krauss et al. (2003),
beberapa zoonosis yang bersumber dari satwa liar telah berhasil diidentifikasi di
seluruh dunia (Tabel 3).
Suatu penyakit zoonotik dapat berubah menjadi pandemi setelah melalui
tiga langkah, yakni (1) agen patogen harus berhasil ditularkan dari satwa liar
yang bertindak sebagai reservoar ke manusia, (2) agen patogen ditularkan ke
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, dan (3) agen patogen
mampu bergerak dari area endemik lokal ke populasi global. Terjadinya kontak
antara hewan dan manusia secara signifikan meningkatkan kemungkinan
langkah pertama. Perjalanan internasional, urbanisasi, dan peningkatan populasi
manusia, secara signifikan meningkatkan kemampuan langkah ketiga (Karesh
dan Noble 2009).
Menurut Bengis et al. (2004), zoonosis bersumber satwa liar secara umum
terbagi menjadi dua kategori, yakni (1) penyakit bersumber satwa liar yang
secara nyata penularannya ke manusia jarang terjadi, akan tetapi bila sekali
terjadi maka penularan antara manusia dan manusia dapat berlangsung selama
beberapa periode waktu atau secara permanen, contohnya AIDS oleh HIV,
influenza A, virus Ebola, dan SARS; (2) penyakit bersumber satwa liar yang
penularannya secara langsung dan/atau diperantarai vektor dengan satwa liar
bertindak sebagai reservoar utama patogen. Contohnya adalah rabies, virus
Nipah, virus West Nile, hantavirus, lyme borreliosis, plague, tularemia,
leptospirosis, dan ehrlichiosis.
9
10
11
12

Salah satu EZ bersumber satwa liar adalah HIV/AIDS pada manusia yang
disebabkan oleh dua dari 26 galur simian immunodeficiency virus (SIV) yakni
virus HIV-1 dan HIV-2. Kedua galur virus berevolusi dari simpanse (Pan
troglodytes) dan sooty mangabeys (Cercocebus torquatus) di Afrika.
Penyebaran virus terjadi pertama kali pada tahun 1980-an di daerah ekuator
Afrika akibat perburuan kera untuk bahan pangan. Kedua galur virus bertahan
dan menyebar pada populasi manusia (Hahn et al. 2000; Bengis et al. 2004).
Faktor pemicu kemunculan HIV/AIDS adalah perubahan ekologi, perkembangan
populasi manusia, deforestasi, urbanisasi, perilaku seksual, penggunaan obat
secara parenteral, serta perjalanan lokal dan internasional (Hahn et al. 2000).
Menurut WHO (2010), HIV/AIDS menjadi pandemi zoonosis terbesar dalam
sejarah manusia dengan jumlah 2.6 juta manusia baru terinfeksi pada tahun
2009.
Infeksi virus Ebola pertama kali terjadi di bagian barat daya Sudan dan
Republik Demokratik Kongo tahun 1976 (Shakespeare 2009). Virus Ebola
memiliki tingkat mortalitas tinggi pada manusia karena memiliki subtipe yang
berbeda-beda (Leroy et al. 2004). Kasus yang terjadi pada manusia dikaitkan
dengan penanganan karkas gorila (Gorilla sp.), simpanse, atau duiker
(Sylvicapra grimmia), dan kontak langsung manusia dengan hewan mati (Bengis
et al. 2004). Contoh lainnya adalah hantavirus yang menyebabkan hemorrhagic
fever with renal syndrome (HFRS) di Eropa dan Asia serta hantavirus pulmonary
syndrome (HPS) di Amerika Serikat. Hantavirus menyebar ke lingkungan melalui
aerosol dari ekskreta deer mouse Amerika Utara (Peromyscus maniculatus)
dengan gejala asimtomatik. Di Amerika Serikat, penyebaran hantavirus
dipengaruhi oleh perubahan iklim El Niňo Southern Oscillation (ENSO) dan
peningkatan aktivitas manusia, seperti deforestasi dan perkembangan populasi
manusia (Mills et al. 2010).
Paramyxovirus yang merupakan EZ adalah virus Hendra dan virus Nipah.
Tahun 1994 terjadi wabah yang disebabkan oleh virus Hendra pada kuda dan
manusia di Queensland, Australia. Reservoar alami virus Hendra adalah
kelelawar dari famili Megachiroptera (Pteropus sp.). Penularan ke manusia
terkait dengan kontak langsung dengan kuda yang mati akibat virus Hendra saat
melakukan nekropsi. Cara penularan dari kuda ke manusia belum diketahui,
namun keberadaan virus pada urin kelelawar mengindikasikan penularan dapat
melalui kontaminasi makanan dan air (Westbury 2000). Wabah virus Nipah yang
13

menimbulkan gejala respirasi dan syaraf pada babi terjadi di semenanjung


Malaysia dari tahun 1998 hingga 1999 (Lam dan Chua 2002). Virus menyerang
pekerja di peternakan dan rumah potong babi dan menyebabkan ensefalitis
(Mohd et al. 2000). Kelelawar buah (Pteropus sp.) diketahui sebagai inang alami
dan reservoar virus Nipah. Pada April hingga Mei 2004 di Bangladesh terjadi
penularan antar manusia sebanyak 33 kasus yang disebabkan kontak langsung
dengan pasien penderita virus Nipah (Gurley et al. 2007). Faktor pemicu
kemunculan virus Nipah adalah perubahan kondisi lingkungan oleh akibat
aktivitas manusia, perubahan iklim ENSO yang terjadi pada tahun 1997 hingga
1998, deforestasi secara besar-besaran di Asia Tenggara, dan perluasan
peternakan babi di Malaysia (Lam dan Chua 2002).
Tahun 1999 virus West Nile (WNV) mengancam kesehatan populasi kuda,
manusia, dan burung liar di Amerika Utara. WNV merupakan flavivirus kompleks
dari virus Japanese encephalitis yang tersebar di Eropa, Asia bagian barat, dan
Afrika yang berasal dari spesies burung liar dan burung pemakan nyamuk.
Mamalia, termasuk manusia, bertindak sebagai inang akhir (dead-end) namun
tidak berperan dalam pemeliharaan virus (Bengis et al. 2004). Menurut CDC
(2010), tercatat sebanyak 1021 kasus WNV pada manusia dengan 629 (62%)
diantaranya dilaporkan sebagai penyakit neuroinvasif.
Tahun 2002 dan 2003, muncul severe acute respiratory syndrome (SARS)
pertama kali di Asia. Virus SARS bersifat kontagius dan cepat menyebar
terutama melalui perjalanan internasional. SARS bersumber dari karnivora liar
bangsa viverridae, mustelidae, dan canidae. Penyebab kemunculan coronavirus
SARS adalah eksploitasi satwa secara berlebihan, perusakan habitat alami
satwa, perdagangan satwa liar hidup atau hewan pseudo-domestikasi di Asia
bagian selatan (Bell et al. 2004).
Influenza A adalah penyakit menular kontagius akut pada manusia, burung,
babi, kuda, dan mamalia laut, yang telah menjadi epidemi dan pandemi. Materi
genetik virus influenza A berasal dari burung air dan burung liar (Horimoto dan
Kawaoka 2001). Terjadinya mutasi atau rekombinasi genetik menjadikan galur
virus lebih patogenik dan mampu beradaptasi dengan baik pada unggas, babi,
dan manusia. Babi dan unggas diketahui menjadi tempat re-assortment virus
sehingga berevolusi menjadi galur virus baru yang menyebabkan pandemi pada
manusia (Castrucci et al. 1993). Penularan ke manusia terjadi akibat kontak
dengan unggas, sedangkan penularan antar manusia tidak terjadi. Tahun 1997
14

virus influenza A subtipe H5N1 menyebabkan mortalitas unggas di peternakan


dan pasar serta 33% pada manusia di Hong Kong. Tahun 1999 terjadi tujuh
kasus akibat infeksi influenza A subtipe H9N2 di Hong Kong dan daratan Cina
(Bengis et al. 2004). Tahun 2003 hingga 2004 influenza A subtipe H5N1
menyerang peternakan unggas di Asia Tenggara menginfeksi manusia yang
pertama terjadi di Vietnam dan Thailand. Hingga tahun 2011, Indonesia tercatat
sebagai negara endemik influenza A dengan jumlah 174 kasus dan 144 kematian
manusia atau yang tertinggi di dunia (WHO 2011a). Sebanyak 18 kasus baru
H5N1 dilaporkan pada 26 April 2011 pada perunggasan desa di Gorontalo yang
merupakan kasus pertama di provinsi tersebut sejak Juni 2007 (WHO 2011b).
Contoh EZ bersumber satwa liar yang ditularkan melalui vektor caplak
adalah lyme borreliosis dan ehrlichiosis. Lyme borreliosis terjadi di belahan bumi
utara disebabkan spirochaeta Borrelia burgdorferi oleh vektor caplak Ixodes
ricinus di Eropa dan Ixodes scapularis dan Ixodes pacificus di Amerika Utara.
Siklus silvatik menjadikan inang dan reservoar tetap pada mamalia liar kecil,
rodensia, dan burung pemakan tanah di area endemik. Perubahan ekologi pada
lahan pertanian, deforestasi, dan perkembangan populasi manusia
menyebabkan meningkatkannya populasi reservoar rodensia (Peromyscus spp.
dan Tamias spp.) yang diiringi dengan peningkatan populasi vektor caplak.
Kasus pertama pada manusia terjadi tahun 1970-an di Amerika Utara dan
menyebabkan gangguan kulit, sistem saraf, jantung, dan persendian (Bengis et
al. 2004). Ehrlichiosis adalah penyakit pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh bakteri Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii, dan Anaplasma
phagocytophilum oleh vektor caplak Amblyomma americanum, Ixodes scapularis,
dan Ixodes pacificus (Rikihisa 2010).
Contoh REZ bersumber satwa liar adalah rabies, Rift Valley Fever, virus
Marburg, bruselosis, bovine tuberculosis, tularemia, plague, dan leptospirosis
(Bengis et al. 2004). Rabies menyerang sebagian besar mamalia dan bersifat
endemik sporadik di beberapa tempat di dunia. Rabies disebabkan oleh infeksi
virus RNA Lyssavirus yang terdiri atas 6 subtipe. Epidemi rabies dikaitkan
dengan iklim atau lingkungan yang meningkatkan jumlah dan kepadatan inang
satwa liar atau anjing domestik. Rabies menyebabkan kematian hingga lebih
dari 55 000 jiwa yang sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia (Rupprecht 2011).
Di Indonesia, hingga Januari 2011, kasus tertinggi rabies terjadi di Bali dengan
perkiraan 151 kasus pada manusia sejak September 2008 (NaTHNaC 2011).
15

Rift Valley Fever (RVF) disebabkan oleh Phlebovirus famili Bunyaviridae


yang ditularkan melalui gigitan nyamuk (mosquito-borne) Aedes spp. yang
menyerang hewan dan manusia. RVF diidentifikasi pertama kali tahun 1931 saat
terjadi wabah di peternakan domba di daerah Rift Valley Kenya. Penularan ke
manusia melalui gigitan nyamuk dan kontak secara langsung dan tidak langsung
melalui darah atau organ hewan terinfeksi, seperti penanganan karkas dan
jaringan hewan di rumah potong dan ingesti susu yang tidak dipasteurisasi.
Kerbau (Syncerus spp.), antelope (Tragelaphus spp.), dan onta (Camelus spp.)
bertindak sebagai inang. Musim hujan lebat dan banjir akibat perubahan iklim
ENSO mempengaruhi kemunculan kembali RFV. Awal tahun 2007, terjadi
wabah RVF di Kenya, Somalia dan Tanzania dengan jumlah 1 000 kasus dan
300 kematian pada manusia (Breiman et al. 2008).
Tahun 1967 terjadi infeksi pertama kali virus Marburg yang menyerang
pekerja laboratorium di Marburg, Jerman dan Belgrade, Yugoslavia setelah
terpapar monyet hijau Afrika (Cercopthecus aethiops) atau suspensi sel kultur
primer monyet. Kasus sporadik terjadi di Zimbabwe tahun 1975 dan Kenya
1987. Pada 1999 terjadi kemunculan virus Marburg di Republik Demokratik
Kongo dan menyebabkan kematian 10 jiwa (Bengis et al. 2004).
Bovine tuberculosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium bovis yang
menyerang ternak, satwa liar, dan manusia. M. bovis berevolusi dari M.
tuberculosis yang menyerang manusia. Di Amerika Utara, TB menginfeksi bison
(Bison bison), wapiti (Cervus elaphus), dan rusa ekor putih. Infeksi pada satwa
liar berasal dari ternak terinfeksi yang saling kontak satu sama lain. Satwa liar
bertindak sebagai reservoar bakteri yang ditularkan ke manusia melalui produk
asal satwa liar. Kemunculan TB pada satwa liar dikaitkan dengan perubahan
ekologi dan penggunaan lahan sehingga menyebabkan kepadatan populasi dan
kerentanan satwa liar (Bengis et al. 2004).
Bruselosis yang menyerang ternak dan satwa liar yang disebabkan oleh
Brucella abortus dan Brucella melitensis. Kejadiannya dikaitkan dengan konflik
antara kepentingan satwa liar dan pertanian. Penularan ke manusia terjadi
karena penanganan hewan atau konsumsi produk hewan terinfeksi yang
menyebabkan penyakit serius pada manusia. Brucella suis juga diketahui
menyerang satwa liar. Bakteri Brucella sp. ada yang diisolasi dari paus dan
seals. Bruselosis menyebabkan aborsi, kelemahan dan kemandulan (Bengis et
al. 2004).
16

Tularemia disebabkan oleh bakteri Francisella tularensis yang ditularkan


oleh rodensia. F. tularensis memiliki dua tipe galur, yakni tipe A dan tipe B,
menyerang 190 spesies mamalia, 23 spesies burung, dan 3 spesies amfibi.
Penularan dapat terjadi melalui gigitan serangga dan caplak penghisap darah,
kontak langsung dengan jaringan dan eksudat terinfeksi, kontaminasi membran
mukosa, inhalasi, dan ingesti. Tularemia merupakan zoonosis yang ditularkan
melalui air (water-borne), terutama galur tipe B. Epidemi pada manusia terjadi
selama musim panas, masa berburu pada musim dingin, atau terkait dengan
penanganan karkas. Pada 2003 terjadi wabah dengan 500 kasus pada manusia
di Swedia (Bengis et al. 2004).
Plague adalah zoonosis yang disebabkan oleh Yersinia pestis. Saat terjadi
endemik pada populasi satwa liar, bakteri Y. pestis berada pada reservoar
rodensia dan ditularkan melalui kutu. Tikus dan kutu menjadi sumber penularan
penting pada manusia di lingkungan urban (Bengis et al. 2004). Leptospirosis
disebabkan oleh Leptospira interrogans yang tiap serovarnya di alam berada
pada inang resisten satwa liar dan mamalia domestik. L. interrogans
menyebabkan penyakit klinis pada mamalia dan berada pada ginjal inang
sehingga penularan bisa terjadi melalui urin. Penularan ke manusia melalui
ingesti air yang terkontaminasi, penanganan dan ingesti susu atau jaringan
terinfeksi, invasi transplasenta, kontak seksual, dan pemandian umum. Wabah
terjadi pada musim hujan, terutama pada habitat yang kurang drainase dan
kepadatan hewan (Bengis et al. 2004).

Faktor Pemicu Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar


Kemunculan EID dan REID disebabkan oleh empat faktor utama, yakni (1)
faktor genetik dan biologik, (2) faktor fisik dan lingkungan, (3) faktor ekologi, serta
(4) faktor sosial, politik, dan ekonomi (Zowghi et al. 2008). WHO/FAO/OIE
(2004) menjabarkan faktor risiko yang memicu timbulnya EZ dan REZ, antara
lain (1) faktor mikroba terkait dengan agen; inang atau reservoar dan manusia
yang terinfeksi dapat menghasilkan varian baru patogen yang dapat menembus
barier spesies lain; (2) faktor perubahan lingkungan yang merupakan hasil dari
degradasi lingkungan, demografi manusia dan hewan, perubahan pola pertanian,
introduksi spesies asing, dan perubahan iklim; (3) faktor perilaku sosial dan
budaya, seperti kebiasaan makanan dan kepercayaan dan agama; serta (4)
faktor ekonomi. Sebagian faktor tersebut erat kaitannya dengan faktor risiko
17

antropogenik atau berasal dari manusia. Lebih lanjut Lashley (2004)


mengategorikan faktor-faktor kemunculan EZ dan REZ menjadi 13 kategori faktor
(Tabel 4).

Tabel 4 Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya EID dan REID (Lashley


2004)

Faktor Penyebab Contoh EID dan REID terkait dengan faktor penyebab
Perubahan dan adaptasi Escherichia coli O157:H7 yang lebih virulen
mikroba
Kerentanan manusia Manusia yang homozygous metionin pada kodon 129 gen
terhadap infeksi prion protein lebih rentan terhadap penyakit Creutzfeldt-
Jakob
Iklim dan cuaca Hujan lebat meningkatkan perkembangbiakan vektor
nyamuk dan penyakit menular oleh nyamuk
Perubahan ekosistem Pembangunan dam menyebabkan perubahan vektor ekologi
dan kemunculan Rift Valley fever di Mesir
Demografi dan perilaku Tindik anggota tubuh dan potensi infeksi hepatitis C
manusia
Perkembangan ekonomi Penebangan hutan di Venezuela meningkatkan populasi
dan pemanfaatan lahan tikus yang menjadi inang reservoar virus Guanarito dan
wabah Venezuelan hemorrhagic fever
Perjalanan internasional Impor raspberi Guatemala dan wabah siklosporiasis di
dan perdagangan Amerika Serikat
Teknologi dan industri Pengobatan massal menggunakan floroquinolon pada infeksi
Escherichia coli ayam menyebabkan resistensi antimikroba
pada manusia dan organisme lainnya
Gangguan kesehatan Gangguan pengendalian vektor meningkatkan distribusi dan
masyarakat kelimpahan Aedes aegyptii penyebab demam berdarah
dengue
Kemiskinan dan Memakan daging hewan yang mati akibat antraks
ketimpangan sosial menyebabkan terjadinya kasus antraks gastrointestinal pada
manusia
Perang dan kelaparan Bencana alam dan kerusuhan merusak sarana kesehatan
masyarakat terutama layanan pencegahan seperti imunisasi
dan pengendalian vektor
Kurangnya kebijakan Tidak dilaporkannya kejadian penyakit karena alasan
politik ekonomi dan politis menyebabkan kemunculan wabah SARS
di Cina
Kedekatan terhadap Penyebaran spora Bacillus anthracis di Amerika Serikat
kuman penyebab tahun 2001
penyakit

Kemunculan dan penyebaran EZ dan REZ bersumber satwa liar dipicu oleh
(1) peningkatan permintaan protein hewani sehingga menyebabkan perubahan
praktik pertanian (misalnya produksi perunggasan di Asia), pasar hewan,
18

konsumsi daging asal satwa liar (bushmeat), perdagangan global, serta


gangguan habitat satwa (misalnya pelanggaran batas hutan); (2) perubahan
perilaku manusia, seperti besarnya kesempatan kepemilikan dan perpindahan
hewan kesayangan, perjalanan melalui udara, ekoturisme, perburuan,
perkemahan (camping), pilihan makanan (misalnya makanan asal satwa liar),
demografi, serta tingkat ketaatan melaksanakan tindakan pencegahan; (3)
kekurangan infrastruktur dan kebijakan pada kesehatan masyarakat akibat
kurangnya integrasi surveilans kesehatan hewan, pendanaan sektor kesehatan
masyarakat, serta kurangnya pendanaan bagi penelitian dan pembangunan
keahlian dalam menjawab permasalahan kesehatan masyarakat; dan (4) faktor
terkait agen penyebab penyakit, seperti adaptasi ke vektor dan inang baru,
mutasi dan rekombinasi di manusia dan hewan setelah terpapar banyak patogen
(misalnya foodborne virus dan virus influenza), serta perkembangan peningkatan
virulensi atau resistensi terhadap obat (WHO/FAO/OIE 2004).
Penyakit ternak dapat berpindah ke satwa liar (spill-over) yang kemudian
berpindah lagi ke hewan ternak (spill-back). Paparan agen patogen pada suatu
populasi bergantung pada interaksi yang melibatkan inang, agen, dan
lingkungan. Populasi hewan yang terpapar faktor kemungkinan resisten
terhadap infeksi atau dapat menjadi inang akhir, inang antara, atau inang alami
(maintenance host). Spesies inang dan agen yang sama belum tentu memiliki
respon yang sama bergantung pada situasi yang berbeda. Menurut Wolfe et al.
(2005), risiko kemunculan agen zoonotik baru bersumber satwa liar bergantung
pada keragaman mikroba satwa liar dalam wilayah, dampak perubahan
lingkungan pada prevalensi patogen pada populasi satwa liar, serta frekuensi
manusia dan hewan domestik yang kontak dengan reservoar satwa liar (Tabel 5).
Pergerakan agen patogen menular yang disebabkan perdagangan satwa
liar tidak hanya berdampak pada manusia melainkan juga hewan domestik dan
satwa liar asli. Contohnya adalah influenza A tipe H5N1 diisolasi pada dua elang
gunung di Belgia yang diimpor secara ilegal dari Thailand. Selama pasar satwa
liar masih menjadi sistem utama perdagangan, eliminasi perdagangan
memerlukan biaya yang tinggi untuk menurunkan risiko penyakit pada manusia,
hewan domestik, satwa liar, dan ekosistem (Karesh et al. 2005). Perburuan
satwa liar untuk produk tambahan makanan berdampak besar pada sumber daya
satwa liar di beberapa area seluruh dunia.
19

Tabel 5 Beberapa agen patogen dengan faktor yang mempengaruhi


kemunculannya (Morse 1995)

Agen patogen Faktor yang berkontribusi terhadap kemunculannya

Virus
Bolivian hemorrhagic fever, Perubahan pertanian yang memicu populasi inang rodensia
Argentina hemorrhagic fever

Bovine spongiform Perubahan pada proses rendering


encephalopathy (BSE)

Demam berdarah dengue Transportasi, perjalanan, migrasi, dan urbanisasi

Ebola, Marburg Tidak diketahui (di Eropa dan Amerika Serikat dari impor
monyet)

Hantavirus Perubahan ekologi atau lingkungan yang meningkatkan kontak


dengan inang rodensia

Hepatitis B, C Transfusi darah, transplantasi organ, peralatan hipodermik


terkontaminasi, penularan seksual, penyebaran vertikal dari
induk terinfeksi ke anak

HIV Migrasi ke kota dan perjalanan, penularan seksual, penularan


vertikal dari induk ke anak, peralatan hipodermik terkontaminasi
(penggunaan obat intravena), transfusi darah, transplantasi
organ

Influenza (pandemi) Kemungkinan peternakan babi dan bebek yang memfasilitasi re-
assortment virus avian dan mamalia

Lassa fever Urbanisasi inang rodensia, peningkatan paparan

Rift Valley fever Pembangunan bendungan, pertanian, irigasi, kemungkinan


perubahan virulensi atau patogenitas virus

Demam kuning (yellow Kondisi yang mempengaruhi vektor nyamuk


fever)

Bakteri
Kolera Epidemi di Amerika Selatan kemungkinan berasal dari kapal
Asia yang menyebar melalui klorinasi air, perjalanan

Haemolitic uremic syndrome Penggunaan teknologi pemrosesan makanan massal yang


(Escherichia coli O157:H7) memungkinkan kontaminasi daging

Legionella Sistem pendinginan (organisme yang tumbuh pada biofilm yang


terbentuk pada penyimpanan tank air)

Lyme borreliosis Reforestrasi sekeliling rumah dan kondisi yang mempengaruhi


vektor caplak pada rusa (inang reservoar sekunder)

Streptococcus grup A Tidak menentu


(nekrotik invasif)

Toxic shock syndrome Ultra-absorbency tampon


(Staphylococcus aureus)

Parasit
Cryptosporidium, patogen Kontaminasi air permukaan, kegagalan pemurnian air
penyakit air lainnya

Malaria Perjalanan atau migrasi

Skistosomiasis Pembangunan bendungan


20

Pengendalian Zoonosis Bersumber pada Satwa Liar


Dalam rangka mencegah dan mengendalikan EZ dan REZ beberapa
langkah perlu diambil yang meliputi, pengenalan (recognition), penyidikan
(investigation), kolaborasi (collaboration), pengembangan struktur percepatan
untuk diagnosis dan surveilans, intervensi internasional dan interdisipliner,
penelitian penerapan epidemiologi dan ekologi, edukasi (pelatihan dan
pemindahan teknologi), serta informasi komunikasi (Chomel 2003).
WHO/FAO/OIE (2004) merekomendasikan deteksi, surveilans, respon dan
pengendalian zoonosis dengan cara (1) sistem pelaporan dan peringatan dini ke
World Organisation of Animal Health (OIE), (2) menjalankan sistem peringatan
dini terhadap EZ dan REZ, (3) sistem pemantauan (monitoring), (4) perkiraan
matematis kejadian penyakit, (5) studi kompleksitas dalam mencari agen di
reservoar satwa liar, (6) strategi pengendalian dengan penerapan standar
keamanan, (7) kemitraan antara kesehatan hewan dan masyarakat dalam
pengendalian zoonosis, serta (8) peningkatan kesiapan (preparedness) dan
respon terhadap EZ dan REZ.
Metode yang dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian EZ dan REZ
bersumber satwa liar adalah isolasi dan pembuatan pembatas fisik untuk
mengasingkan satwa liar dari peternakan atau pemukiman penduduk,
pengendalian populasi satwa melalui seleksi, perawatan dan vaksinasi dalam
populasi satwa (misalnya vaksinasi rabies secara oral pada rubah), pembatasan
pergerakan satwa liar, melakukan tindakan tentatif pengujian melalui karantina
pada semua satwa hidup impor dan ekspor, serta peningkatan keterampilan
perawatan dalam mengadopsi dan translokasi satwa liar (WHO/FAO/OIE 2004).
Baru-baru ini di Indonesia, telah dikeluarkan peraturan tentang strategi
pengendalian zoonosis yang juga mencakup zoonosis baru melalui Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian
Zoonosis. Strategi tersebut meliputi (1) mengutamakan prinsip pencegahan
penularan kepada manusia dengan meningkatkan upaya pengendalian zoonosis
pada sumber penularan; (2) penguatan koordinasi lintas sektor dalam rangka
membangun sistem pengendalian zoonosis, sinkronisasi, pembinaan,
pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi dan
program; (3) perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui
surveilans, pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan
penularan, penanggulangan kejadian luar biasa atau wabah dan pandemi serta
21

pemusnahan sumber zoonosis pada hewan apabila diperlukan; (4) penguatan


perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan zoonosis baru; (5)
peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis;
(6) penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia,
logistik, pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan
anggaran pengendalian zoonosis; (7) penguatan penelitian dan pengembangan
zoonosis; (8) pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta
pihak-pihak lain.

Tantangan Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner dari Zoonosis yang


Baru Muncul
Globalisasi berdampak pada peningkatan permasalahan yang terkait
kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. Banyaknya EID dan REID yang
disebabkan kontak antara manusia, hewan domestik, dan satwa liar memerlukan
pemahaman mengenai strategi efektif dalam upaya pengendalian dan
pencegahan penyakit. Para profesi yang terkait dengan kesehatan hewan,
manusia, dan lingkungan memiliki peran strategis dalam menjawab berbagai
tantangan yang timbul akibat globalisasi. Upaya pendekatan kolaborasi
interdisipliner antara bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sangat
diperlukan dalam penanggulangan penyakit. Hal tersebut memicu dicetuskannya
konsep one health untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan global
(Sherman 2010).
One health adalah upaya kolaboratif multidisiplin yang bekerja secara lokal,
nasional, dan global untuk mencapai kesehatan optimal bagi manusia, hewan,
dan lingkungan (Leboeuf 2011). Konsep tersebut dicetuskannya oleh para
dokter hewan di Wildlife Conservation Society dengan mendeklarasikan
Manhattan Principles on One World, One Health (Sherman 2010). Penyakit
zoonotik memberikan dampak berupa kerugian besar terhadap perekonomian
dunia. Masyarakat dunia dituntut melakukan kerjasama tingkat regional maupun
internasional dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik,
khususnya yang terkait dengan penyakit hewan yang bersifat lintas batas negara
atau yang dikenal sebagai transboundary animal diseases (TAD). TAD adalah
penyakit yang memiliki kepentingan signifikan pada ekonomi, perdagangan,
dan/atau keamanan pangan bagi banyak negara yang dapat dengan mudah
menyebar ke negara lainnya dan mencapai proporsi epidemik sehingga
22

memerlukan pengendalian atau pengaturan melalui kerjasama beberapa negara.


Penyakit-penyakit TAD antara lain penyakit mulut dan kuku (PMK), rinderpest,
contagious bovine pleuropneumonia, BSE, peste des petits ruminants, classical
swine fever, African swine fever, Newcastle disease (ND), dan avian influenza
(AI) (Otte et al. 2004). Sejak Juni 2011, OIE mengeluarkan resolusi 18/2011
yang menyatakan bahwa dunia bebas dari rinderpest dari 198 negara yang
rentan terserang (OIE 2011).
Meningkatnya mobilitas hewan hidup dan produk hewan di seluruh dunia
meningkatkan tingkat risiko penyebaran TAD. World Trade Organization (WTO)
secara aktif mendukung pengembangan regulasi dan kebijakan dalam menjamin
kesehatan hewan dan keamanan pangan dalam perdagangan internasional.
World Organization for Animal Health (OIE) menyediakan pakar dan ilmuwan
bagi WTO dalam meregulasi perdagangan ternak di dunia. Food and Agricultural
Organization of the United Nations (FAO) dan World Health Organization (WHO)
dalam Codex Alimentarius menyediakan panduan untuk regulasi pangan
termasuk pangan asal hewan (Sherman 2010). American Veterinary Medical
Association pada tahun 2007 mengeluarkan One Health Initiative dan membuat
One Health Initiative Task Force untuk mempelajari kemungkinan kolaborasi dan
kerjasama antara profesi ilmu kesehatan, institusi akademik, pemerintah, dan
industri dengan penaksiran, perawatan, dan pencegahan penularan penyakit
lintas spesies dan prevalensi penyakit manusia dan hewan dan kondisi medis
(AVMA 2008). Emergency Prevention Systems for Transboundary Animal and
Plant Pest and Diseases (EMPRES) didirikan oleh FAO tahun 1994 memiliki
fungsi dalam pencegahan dan peringatan dini terhadap seluruh rantai makanan,
melalui sistem (1) EMPRES kesehatan hewan (mencakup penyakit hewan dan
hewan akuatik), (2) EMPRES perlindungan tanaman (mencakup hama dan
penyakit tanaman, termasuk tanaman hutan), dan (3) EMPRES keamanan
pangan. Misi EMPRES adalah mendukung pengendalian efektif hama dan
penyakit endemik dan ancaman keamanan pangan melalui kerjasama
internasional mencakup peringatan dini, reaksi dini, penelitian dan koordinasi
(FAO 2011). Global Early Warning and Response System for Majoring Animal
Diseases, including Zoonoses (GLEWS) dibentuk dari gabungan FAO, OIE, dan
WHO yang bertujuan untuk meningkatkan peringatan dini secara global terhadap
wabah penyakit dan analisis epidemiologi (FAO/OIE/WHO 2006).

Anda mungkin juga menyukai