Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

TERAPI FARMAKOLOGI PADA PERAWATAN PALIATIF

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Paliatif

Disusun oleh :
Kelompok 1
1. Agustina Putu P
2. Awi Kunawi
3. Anisah Kusuma Wardani
4. Agni Jayanti
5. Aditiya Pratama
6. Anggie Ayudya Agatha
7. Agun Fauji
8. Angga Ferlatiana
9. Ayu Rozalia Widyaningrum
10. Dewanti Evalentina

PRODI PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
limpahan rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Terapi Farmakologi Pada Perawatan Paliatif” ini dengan
baik dan tepat waktu. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini tanpa
adanya bimbingan, dorongan, motivasi, dan doa, makalah ini tidak akan terwujud.

Akhir kata penulis menyadari makalah ini masih banyak kesalahan, baik
dalam penulisan maupun informasi yang terkandung didalam makalah ini, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik maupun saran yang membangun demi
perbaikan dan kesempurnaan dimasa yang akan datang.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .............................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 3
C. Tujuan.............................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN TEORI ..................................................................... 5
A. Paliatif Care ..................................................................................... 5
B. Terapi Farmakologi ......................................................................... 6
1. Terapi Farmakologi Nyeri ........................................................ 6
2. Terapi Farmakologi Mual Muntah ........................................... 15
3. Terapi Farmakologi Anemia .................................................... 19
4. Terapi Farmakologi Diare ........................................................ 25
5. Terapi Farmakologi Konstipasi ................................................ 28
6. Terapi Farmakologi Retensi Urine ........................................... 29
BAB III PENUTUP ................................................................................... 35
A. Simpulan.......................................................................................... 35
B. Saran ................................................................................................ 35
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu penyakit yang belum bisa disembuhkan adalah kanker,
kanker adalah proses yang bermula ketika abnormal diubah oleh mutase
genetic dan DNA seluler. Pada saat stadium akhir yaitu stdium IV terjadi
penurunan yang sangat signifikan di dalam fisik, social dan spiritual. Salah
satu penyakit yang belum bisa diesembuhkan adalah kanker, Knaker
adalah proses yang bermula ketika sel abnormal diubah mutasi genetic
dari DNA seluler. Sel abnormal ini membentuk klo dan mulai
berproliferasi secara abnormal, sel-sel dapat terbawa karena lain dalam
tubuh untuk metastase (penyebaran kanker) pada bagian tubuh yang lain
(Brunner and Suddart, 2011).
Sel abnormal ini membentuk Menurut Aziz (2005) penderita kanker
terbanyak di Indonesia adalah kanker servik, merupakan urutan pertama
dengan jumlah 3686 (17,85%). Sementara itu, secara keseluruhan di
seluruh kanker di dunia kanker serviks meruopakan peneybab kematian
ke dua dengan perkiraan kasus baru 510.000 dan 288.000 diantaranya
meninggal (Jemal,2006). Berdasarkan data Depkes Profil kesehatan 2007
(2008) dari 10 jenis kanker terbanyak di Indonesia kanker payudara
merupakan urutan pertama dengan jumlah 8.328 pasienn (19,64), kanker
serviks uteri merupakan ururtan kedua jumlah 4649 pasien (11,07%).
Kejadian kanker serviks uteri di Jawa tengah pada tahun 2009 sebesar
9.113 kasus (37.65%) dari 24.204 kasus semua kanker (Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah, 2009). Dapat disimpulkan bahwa kanker serviks
merupakan penyakit terbanyak ke dua setelah kanker payudara, namun
merupakan penyebab kematian ke dua dari seluruh dunia.
Salah satunya paliatif yang merupakan bagian penting dalam
perawatan pasien terminal yang dapat dilakukan secara sederhana.metode
yang dilkukan adalah mengulas literatur keperawatan dan kedokteran

1
dengan menggunakan 15 jurnal yang menggunakan pasien kanker
stdiumm IV. Berdasarkan kepeutusan menteri kesehatan RI Nomor
:812/kemenkes/SK/VII 2007 meningkatnya jumlah pasien dengan
penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan anak
seperti penyakit kanker, penyakit degenerative, penyakit paru obstruktif
kronis, cytis fibrosis, stroke, Parkinson gagal jantung, penyakit genetika
dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS. Salah satu penyakit yang kita
ambil sekarang adalah knker karena kanker merupakan salah satu penyakit
yang belum bias disembuhkan, berbgai masalah fisik yang muncul yaitu
sesak nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetai juga
mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempemgaruhi
kualitas hidup pasien dan keluarganya . Perawatan paliatif merupakan
bagian penting dalam perawatan pasien yang terminal yang dapat
dilakukan secara sederhana sering kali prioritas utama adalah kualitas
hidup dan bukan kesembuhan dari penyakit pasien. Tujuan perawatan
paliatif adalah meningkatkan kualitas hidup dan menganggap kematian
sebagai prose normal, tidak mempercepat atau menunda keamatian,
menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang mengganggu, menjaga
keseimbangan psikologis dan spiritual, mengusahakan agar penderita
tetap aktif sapai akhir hayatnya dan dan mengusahakan membantu
mengatasi duka cita pada keluarga. Namun masih jarang
terdapat perawatan paliatif dirumah sakit berfokus kepada kuratif,.
Sedangkan perubahan pada fisik social dan spiritual tidak bisa intervensi .
Reaksi emosional tersebut ada lima yaitu denail, anger, bergaining,
depression dan acceptance (Kubler-Ross,2003). Undang-undang
Kesehatan No. 36/2009 menyapaikan bahwa kesehatan adalah keadaan
sehat baik secara fisik, mental spiritual maupun sosial dan ekonomis. Sakit
adalah gangguan keseimbangan status kesehatan baik secara fisik, mental,
intelektual, sosial dan spiritual (Kozier, 2010). Prevalensi penyakit tidak
menular di Indonesia seperti tumor merupakan penyakit urutan keempat
(4,3 per mil), sedangkan tumor ganas yang merupakan penyebab kematian

2
semua tumor. Sebagian dari penderita penyakit tumor ganas akan masuk
pada stadium lanjut dimana pasien tidak lagi merespon terhadap tindakan
kuratif (Riset Kesehatan Dasar, 2009).
Becker (2009),mengatakan bahwa perawatan paliatif merupakan
perawatan yang aktif dan holistik dan diberikan sejalan dengan kemajuan
penyakit. Perawatan paliatif diberikan dariawal penyakit didiagnosis,
menjalani pengobatan, serta kematian dan proses berkabung. Perawatan
paliatif mencakup bagaimana memanajemen gejala dan nyeri, memberikan
dukungan sosial dan spiritual. Perawatan paliatifmerupakan perawatan
yang dicapai dengan efektif dengan mengelola rasa sakit danhal lainnya
yang membuattidak nyaman seperti kelelahan, dyspnea, mual, muntah,
gelisah, sembelit, anoreksia, depresi, kebingungan, serta menyediakan
psikologis dan perawatanspiritual dari awal di diagnosis dan terus
sepanjang seluruh program pengobatan dalam kehidupan pasien.
Perawatan paliatif tidak berfokus untuk menunda kematian tetapi berusaha
untuk membimbingdan membantu pasien serta keluarga dalam membuat
keputusan yang dapat memaksimalkan kualitas hidup mereka (Woodruff,
2004)

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud paliatif care?
2. Apa saja terapi farmakologi nyeri pada pasien paliatif ?
3. Apa terapi farmakologi mual muntah pada pasien paliatif ?
4. Apa terapi farmakologi anemia pada pasien paliatif ?
5. Apa terapi farmakologi diare pada pasien paliatif ?
6. Apa terapi farmakologi konstipasi pada pasien paliatif ?
7. Apa terapi farmakologi retensi urine pada pasien paliatif ?

3
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang paliatif care
2. Untuk mengetahui terapi farmakologi Nyeri pada pasien paliatif.
3. Untuk mengetahui terapi farmakologi mual muntah pada pasien
paliatif.
4. Untuk mengetahui terapi farmakologi anemia pada pasien paliatif.
5. Untuk mengetahui terapi farmakologi diare pada pasien paliatif.
6. Untuk mengetahui terapi farmakologi konstipasi pada pasien paliatif.
7. Untuk mengetahui terapi farmakologi retensi urine pada pasien paliatif.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Paliatif Care
Pengertian Paliatif Care Perawatan paliatif berasal dari kata palliate
(bahasa inggris) berarti meringankan, dan “Palliare” (bahsa latin yang berarti
“menyelubungi”-penj), merupakan jenis pelayanan kesehatan yang berfokus
untuk meringankan gejala klien, bukan berarti kesembuhan. Perawatan
paliatif care adalah penedekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga yang menghadapi masalah berhubungan dengan
penyakit yang dapat mengancam jiwa, mealaui pencegahan dan membantu
meringankan penderitaan, identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta
penanganan nyeri dan masalah lain baik fisik, psikososial dan spiritual (WHO
2011).
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan
beban penderita kanker terutama yang tidak mungkin desembuhkan tetapi
juga pada penderita yang mempunyai harapan untuk sembuh bersama-sama
dengan tindakan kuratif (Menghilangkan nyeri dan keluhan lain serta
perbaikan dalam bidang psikologis, sosial dan spiritual) (Depkes Pedoman
Knker Terpadu Paripurna 1997). Perawatan paliatif adalah semua tindakan
aktif guna meringankan beban penderita, terutama yang tak mungkin
disembuhkan. Tindakan kuratif yang dimaksud antara lain menghilangkan
nyeri dan keluhan lain, serta mengupayakan perbaikan dalm aspek psikologis,
sosial dan spiritual.
Paliatif care (Perawatan paliatif) adalah pendekatan yang
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga mereka dalam menghadapi
masalah yang terkait dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui
penceghan-pencegahan sempurna dan pengobatan rasa sakit masalah lain,
fisik, psikososial, spirirtual (kemenkes RI Nomor 812, 2007)

5
B. Terapi Farmakologi
Farmakologi berasal dari kata pharmacon (obat) dan logos (ilmu
pengetahuan). Farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat
dan cara kerjanya pada system biologis. Farmakognosi adalah ilmu yang
mempelajari tentang bagian-bagian tanaman atau hewan yang dapat
digunakan sebagai obat. Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari efek-
efek dari senyawa kimia pada jaringan hidup. (Joyce L. Kee, Evelyn R.
Hayes, 1996) Menurut Kamus Kesehatan, Farmakologi adalah studi obat-
obatan dalam semua aspek mereka. Farmakologi adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana suatu bahan kimia/obat berinteraksi dengan sistem
biologis, khususnya mempelajari aksi obat di dalam tubuh. (Ekawati, Zullies.
2014). Farmakologi adalah Ilmu yang mempelajari interaksi antara obat
dengan konstituen tubuh hingga timbul suatu efek terapi. (Dewi, Rani. 2013)
1. Terapi Farmakologi Nyeri
World Health Organization merekomendasikan ”WHO Analgesic
Ladder”untuk penatalaksanaan nyerikanker. Tahapan tersebut digunakan
untukmmengklasifikasikan jenis analgesia yang nantinya akan diberikan
kepada pasien dengan nyeri kanker, sesuai dengan derajat nyerinya
(Manuaba, 2010).
Pembagian terapi penatalaksanaan nyeri menurut WHO adalah
sebagai berikut:

6
a. Tahap pertama
Dengan menggunakan obat analgetik nonopiat sepertiaspirin,
asetaminofen, atau NSAID lainnya dengan atau tanpa adjuvant.Tahap
ini digunakan untuk nyeri ringan (Manuaba, 2010).
NSAID sangat bermanfaat khususnya dalam penanggulangan rasa
sakit yang disebabkan oleh metastasis tulang, karena kemampuannya
dalam menghambat produksi prostaglandins. NSAID menunjukkan efek
“langit-langit”. Dengan demikian, saat digunakan dalam dosis yang
melebihi rekomendasi, sifat racun akan meningkat tanpa peningkatan
analgesia. Untuk penanggulangan utama, NSAID yang aman, paling
murah, yang akan digunakan untuk pasien harus dipilih (Jung, 2003) .
Efek samping dari NSAID meliputi gangguan ginjal, asma, dan
perdarahan lambung dan duodenal. Jika pasien menderita dyspepsia,
penggunaanNSAID perlu dipertimbangkan. Sangat dianjurkan untuk
pasien di atas 65 tahun yang membutuhkan terapi NSAID jangka
panjang atau yang memiliki riwayat peptic ulcer untuk menerima terapi
profilaktik. Penggunaan profilaktik seperti antasida atau H2 reseptor
antagonis memiliki manfaat terbatas pada pasien yang menerima
perawatan jangka panjang dengan NSAID, dan bukti level I
mengindikasikan bahwa, setidaknya pada pasien dengan
rheumatoidarthritis, misoprostol akan secara efektif mengurangi
frekuensi komplikasi perencanaan.
Tabel 1. Analgesik Nonopioid yang mendapat ijin FDA untuk Orang
Dewasa
Golongan dan nama Rentang dosis lazim Dosis maks (mg
generik (mg) hr)
Salisilat
Asam asetil salisilat 325-650 tiap 54 jam 4000
(aspirin)2)
Kolin 2) 870 tiap 3 – 4 jam 5220

7
Magnesium 2) 650 tiap 4 jam atau 4800
1090 Tiga kali sehari Dalam dosis
terapi
Natrium 2) 325 – 650 tiap 4 jam 5400
Diflusinal 500 – 1000 pada awal 1500
250 – 500 tiap 8 – 12
jam
Para-Aminofenol
Parasetamol 2) 325 – 1000 tiap 4 – 6 4000
jam
Fenamat
Meklofemat 50-100 tiap 4 -6 jam 400
Asam mefenamat Awal 500 10003)
250 tiap 6 jam ( Maks 7
hari)
Asam pianokarboksilat
Etodolak 200 – 400 tiap 6 – 8 jam 1000
Hanya utk pelepasan
segera
Asam Asetat
Kalium diklofenak Pada beberapa pasien, 1504)
Awal 100, 50 tiga kali
sehari
Asam Propionat
Ibuprofen 2) 200 – 400 tiap 4 – 6 jam 3200
12005)
Fenoprofen 200 – 400 tiap 4 – 6 jam 3200
Ketoprofen 2) 25 – 50 tiap 6 – 8 jam 300
12,5 – 25 tiap 4 – 6 jamd 755)
Naproksen 500 saat awal 10003)

8
500 tiap 12 jam atau
250 tiap 6 – 8 jam
Natrium Naproksen 2) Pd beberapa pasien 440 6605)
saat awale 220 tiap 8 – 12
jam 5)
Naproksen, delayed 500 tiap 12 jam 1000
released
Naproksen, controlled 200 – 1000 tiap 24 jam
released
Asam Pirozolin karboksilat
Ketorolak (parenteral) 30 – 60 mg (dosis im 30-60
tunggal saja)
15 – 30 tiap 6 jam 120
(maks 5 hari)
Ketorolak (oral) Pada beberapa pasien, 40
(Indikasi hanya untuk dosis awal 20 – 10 tiap 4
lanjutan/setelah – 6 jam (maks 5 hari,
parenteral saja) termasuk dosis
parenteral)
Penghambat siklooksigenase-2
Selekoksib Awal 400 diikuti 400g
dengan 200 pd hari yang
sama, lalu 200 dua kali
sehari7)
Valdekoksib 20 dua kali sehari8) 408)

Keterangan:
1) Tidak termasuk obat yang diberi ijin hanya untuk osteoporosis atau
rematoid arthritis
2) Tersedia sebagai obat bebas maupun dengan resep dokter
3) Sampai dengan 1250 mg pada hari pertama

9
4) Sampai dengan 200 mg pada hari pertama
5) Obat bebas
6) Tidak untuk terapi awal nyeri akut
7) Untuk nyeri akut dismenore primer
8) Untuk dismenore primer
b. Tahap kedua
Digunakan untuk nyeri sedang atau jika pasien masihmengeluh nyeri
setelah langkah pertama. Pada tahap ini diberikan obat-obatgolongan
opioid lemah (misalnya codeine, hydrocodone). Obat-obatan inidapat
dikombinasi dengan non opioid dan dapat diberikan bersama-samadengan
analgesia adjuvant (Manuaba, 2010).
Codeine tidak lebih manjur daripada morfin sedangkan oxycodone
lebih manjur daripada morfin. Oxycodone tersedia di Kanada dalam
bentuk tablet dan supositoria dan dalam dosis rendah terdapat pada
kombinasi campuran acetaminophen atau asam acetylsalicylic. Jika
fleksibiltas dalam dosis obat individu tidak diperlukan, kombinasi
acetaminophen dan oxycodone menyediakan persiapan yang memadai
untuk pasien yang membutuhkan pereda rasa sakit level 2 sesuai
pendekatan WHO (Mercadante, 2010).
c. Tahap ketiga
Digunakan untuk nyeri berat atau gagal mendapatkanperbaikan yang
adekuat setelahpemberian obat pada tangga kedua, denganmemberikan
obat opioid kuat. Yang termasuk obat-obatan yaitu morfin,fentanil,
hidromorfon, levorfanol, metadon, oksikodon, dan oksimorfon (Manuaba,
2010).
Pada awalnya, pasien harus diberikan morfin dosis pendek, dengan
konversi pada persiapan dosis panjang saat rasa sakit mulai reda. Jika efek
samping yang tidak terkontrol terjadi karena penggunaan morfin,
hydromorphone adalah obat alternative yang cocok dengan sifat opioid
yang serupa. Oxycodone atau fentanyl adalah alternatif yang berguna jika
pasien memiliki efek samping tak terkontrol saat menggunakan opioid

10
lain. Methadone adalah perantara yang memuaskan tapi lebih sulit
digunakan karena paruh waktu yang panjang dan sangat bervariasi
(Dworkin, 2007) .
Diamorphine (Heroin) tidak memberi keuntungan sebagai perantara
oral terhadap morfin. Ini adalah “prodrug” yang berubah secara cepat
menjadi morfin setelah masuk ke dalam mulut
Meperidine dan obatan-obatan dalam kelas yang sama atau
campuran obatan-obatan agonis-antagonis seperti pentazocine biasanya
tidak dianjurkan. Meperidine tidak dapat diaplikasikan secara subkutan
dan penggunaan jangka panjangnya diasosiasikan dengan akumulasi
metabolit toksik, normeperidine, yang menyebabkan iritasi berlebihan
pada system saraf pusat, myoclonus dan kejang-kejang.
Pentazocine menyebabkan efek psikotomimetrik pada banyak pasien
dan karena gabungan agonis-antagonis dapat mengendapkan reaksi
kemunduran saat pasien pada terapi opioid jangka panjang diganti dari
opioid lain ke pentazocine.
Tabel 2. Analgesik Opioid (Iskandar, 2010)
Golongan dan Nama Rute Kesetaraan Dosis
Generik Analgesik (mg)
Dewasa
Agonis – Mirip Morfin
Morfin Im 10
Po 30
Hidromorfin Im 1,5
Po 7,5
Oksimorfin Im 1
R 5 1)
Triorfanol im (akut) 2
po (akut) 4
im (kronis) 1

11
po (kronis) 1
Codein Im 15 – 30 2)
Po 15 – 30 2)
Hidrocodon Po 5 – 10 2)
Oksikodon Po 20 – 30 3)
Agonis-Mirip Meperidin
Meperidin Im 75
Po 300c, tidak
disarankan
Pentanil Im 0,1 – 0,2
Transdermal 25mcg/jam4)
Transmukosal
hanya untuk
nyeri berat
Agonis-Mirip Metadon
Metadon im (akut) Bervariasi5)
po ( akut) Bervariasi5)
im (kronis) Bervariasi5)
po (kronis) Bervariasi5)
Propoksilen Po 652)
Turunan Agonis-Antagonis
Protazosin Im Tidak dianjurkan
Po 502)
Butorfanol Im 2
intranasal 1 2) (satu spray)
Nalbufin Im 10
Buprenorfin Im 0,4
Dezosin Im 10
Antagonis
Nalokson Iv 0,4 – 1,2 6)

12
Analgesik Sentral
Tramadol Po 50 – 100 2)
Keterangan :
1) 50 mg morfin rectal = 5 mg oksimorfin rectal
2) Dosis awal saja (kesetaraan dosis analgesik tidak ada)
3) Dosis awal lebih rendah (oksikodon 5 – 10 mg)
4) Kesetaraan dosis morfin im = 8 – 22 mg / hari
5) Kesetaraan dosis analgesik metadon, jikadibandingkan dengan
opioid lain akan menurun secara progresif sejalan dengan makin
tingginya dosis opioid sebelumnya.
6) Dosis awal yang digunakan hanya pada keadaan overdosis opioid
d. Tahap keempat : Adjuvant analgesik
Adjuvant analgesik adalah obat dengan indikasi utama selain untuk
nyeri yang telah ditemukan berguna juga dalam pengelolaan beberapa
kondisi lainnya.
1) Kortikosteroid
Semakin banyak bukti bahwa, di samping untuk meningkatkan
nafsu makan, kortikosteroid mampu mengatasi nyeri pada metastase
tulang dan nyeri hati dan nyeri kompresi saraf. Pasien yang
menderita metastatic cord compression telah dilaporkan
menggunakan deksametason dan prednisolon oral untuk merdakan
nyeri, obat tersebut diketahui memiliki efek analgesik yang
signifikan dalam studi terkontrol pada pasien dengan kanker stadium
lanjut.
2) Antidepresan
Antidepresan trisiklik membantu dalam mengatasi nyeri
neuropatik. Terlepas dari efek yang ditimbulkan yaitu depresi
berkelanjutan, obat tersebut pada dasarnya bertindak sebagai
inhibitor dalam transmisi nociceptive di dalam tanduk dorsal saraf
tulang belakang. Hal tersebut umumnya telah didapatkan hasilnya
dengan menggunakan amitripitilin. Akan tetapi, penggunaannya

13
pada pasien kanker umumnya sulit dikarenakan oleh efek samping
antikolinergik seperti mulut kering dan sembelit. Untuk sisi
positifnya, dosis yang dibutuhkan untuk menekan rasa sakit pada
dasarnya lebih rendah dibandingkan dengan saat digunakan untuk
mengatasi depresi, dan efek positifnya dapat langsung terlihat sejak
awal, seringnya saat di hari ketiga sampai kelima. Alternatif
antidepresan yang lebih aman termasuk desipramin dan nortitriptilin.
Paroksetin, sebuah inhibitor serotonin selektif untuk absorpsi ujung
saraf presinaptik yang efektif dalam penanganan rasa sakit yang
dikarenakan oleh diabetes neuropati67 (temuan level III) juga
dianggap efektif dalam tipe lain darirasa sakit neuropatik (temuan
level V).
3) Anticonvulsan
Agen-agen ini sangat membantu dalam mengatasi komponen
nyeri neuropatik, seperti yang ditunjukkan dalam studi-studi kepada
pasien dengan trigeminal neuralgia. Akan tetapi, beberapa studi telah
meneliti penggunaan agen-agen ini dalam mengatasi kanker; hampir
seluruh studi klinis mendeskripsikan kegiatannya di dalam pasien
dengan sindrom nyeri neuropatik nonkanker. Obat-obat yang
umumnya digunakan termasuk carbamazepin, penitoin, baklofen,
asam valpoik atau clonazepam. Carbamazepin umumnya menjadi
pilihan pertama, tapi yang lainnya dapat digunakan jika respon
awalnya tidak memuaskan atau terdapat efek yang merugikan
(temuan level V).
4) Anestetik lokal
Berbagai anestetik lokal yang diberikan secara sistematis
seperti mexitelin, tokainida, atau flekainida umumnya digunakan
untuk penanganan kardiak aritmia. Akan tetapi, semuanya boleh
digunakan untuk penanganan nyeri neuropatik yang jika
memungkinan dapat merespon sesuai dengan pengobatan. Perawatan
seharusnya dilatih di dalam menggabungkan meksitelin dengan

14
antidepresan trisiklik karena beberapa pasien yang telah menderita
efek psikotomik yang merugikan (temuan level V). Peran yang
relatif dari tiap kelas agen dan insidensi gabungan-gabungan racun
dari obat-obatan harus diatasi secepatnya.
5) Inhibitor substansi P
Kapsaisin, sebuah inhibitor substansi P dan analgesik topikal,
telah dianjurkan untuk mengurangi hiperalgesia yang berhubungan
denga kulit dan rasa sakit neuropatik yang panas tapi masih belum
tertemuan.
6) Inhibitor resorpsi tulang
Obat-obatan terkini yang menjadi pilihan pertama untuk
penanganan hiperkalsemia ganas dalah bisfosfonat (contohnya
pamidronat dan clodronat). Obat-obatan ini akan mencegah atau
menekan rasa sakit tulang yang berbahaya atau komplikasi skeletal
pada beberapa wanita dengan tulang metastase (temuan level I).
Selain itu juga, temuan dari salah satu pengujian menyarankan
bahwa penggunaannya bahkan dapat mengurangi frekuensi tulang
metastase. Obat yang lain, kalsitonin, terkadang digunakan untuk
menekan rasa sakit dari tulang metastase.

2. Terapi Farmakologi Mual Muntah


Obat antiemetik bebas dan dengan resep paling umum
direkomendasikanuntuk mengobati mual muntah. Untuk pasien yang bisa
mematuhi pemberiandosis oral, obat yang sesuai dan efektif dapat dipilih
tetapi karena beberapa pasien tidak dapat menggunakan obat oral, obat
oral tidak sesuai. Pada pasien tersebut disarankan penggunaan obat secara
rectal atau parenteral. Untuk sebagian besar kondisi, dianjurkan antiemetik
tunggal; tetapi bla pasien tidak memberikan respon dan pada pasien yang
mendapat kemoterapiemetonik kuat, biasanya dibutuhkan regimen multi
obat. (Sukandar, 2008: 381-384)

15
Terapi mual-muntah simpel biasanya membutuhkan terapi
minimal. Obat bebas atau resep berguna pada terapi ini pada dosis lazim
efektif yang rendah. Penanganan mual-muntah komplek membutuhkan
terai obat yang bekerja kuat, mungkin lebih dari 1 obat emetik.
a. Antasid
Antasid OTC tunggal atau kombinasi, terutama yang mengandung
magnesium hidroksida,aluminium hidroksida, dan atau kalsium
karbonat, mungkin memberikan perbaikan yang cukup pada mual /
muntah, terutama lewat penetralan asam lambung. Dosis umum adalah
satu atau lebih dosis kecil antasid tunggal atau kombinasi.
b. Antihistamin, antikolinergik
Antagonis H2 : simetidin, famotidin, nizatidin, ranitidine, mungkin
dapat digunakan pada dosis rendah untuk mual / muntah simple yang
berkaitan dengan heartburn. Antihistamin dan antikolinergik mungkin
cocok untuk terapi simtomatis simple. Reaksi yang tidak diinginkan
termasuk mengantuk, bingung, pandangan, kabur, mulutkering, retensi
urin, pada orang tua mungkin takikardia.
c. Fenotiazin
Untuk pasien mual ringan atau yang mendapat kemoterapi ringan.
Pemberian rectal lebih disarankan bila parenteral tidak praktis dan oral
tidak dapat diterima. Pada beberapa pasien, dosis rendah tidak efektif,
sedangkan dosis tinggi fenotiazinmungkin menyebabkan resiko. Yang
dapat terjadi: reaksi ekstrapiramidal, reaksi hipersensitivitas: disfungsi
hati, aplasiasumsum tulang dan sedasi berlebihan.
d. Kostikosteroid
Kortikosteroid sukses untuk menangani mual muntah karena
kemoterapi dan setelahoperasi dengan sedikit problem. Reaksi yang
tidak diinginkan: perubahan mood dari cemas sampai euphoria, sakit
kepala,rasa metal di mulut, perut tidak nyaman dan hiperglikemia.

16
e. Metoclopramid
Meningkatkan tonus sfingter esophagus, membantu pengosongan
lambung danmeningkatkan perpindahan usus halus, kemungkinan lewat
penglepasan asetilkolin. Karena efek samping (efek ekstrapiramidal)
pemberian IV difenhidramin 25-50mg harusdiberikan pencegahan atau
antisipasi efek tersebut.
f. Reseptor penghambat serotonin selektif / Selective Serotonin Reseptor
Inhibitor (SSRI), Ondansetron, granisetron, dolasetron, palonosetron.
Mekanisme kerja SSRI menghambat reseptor serotonin pre sinap di
saraf sensoris vagus disaluran cerna. Kemoterapi memicu terjadinya
mual dan muntah / Chemotherapy Induced Nausea –Vomiting (CINV).
Pasien yang menerima terapi regimen tingkat 2, dapat menggunakan
deksametason 8 – 20mg, Iv atau oral sebagai pencegah mual-muntah.
Proklorperazin 10 mg, IV atau oral jugadapat digunakan pada orang
dewasa sebagai pilihan. Pasien anak atau dewasa yang menerima terapi
tingkat 3 – 5, harus menggunakan kombinasi deksametason dan SSRI.
Ondansetron dapat diberikan secara IV 30 menit sebelum kemoterapi.
Harus digunakan dosis efektif terkecil, 8 – 32 mg. terapi oral disarankan
8 – 24 mg, 30 menit sebelum kemoterapi. Pada dewasa dan anak di atas
2 tahun, granisetron dapat diberikan secara infus IV 10mcg/kgBB
selama 5 menit, 30 menit sebelum diberikan kemoterapi, hanya pada
pemberian kemoterapi. Pada dewasa dapat diberikan granisetron 1 – 2
mg per oral. Dolasetron dapat diberikan dalam dosis tunggal 1,8 mg/kg
pada orang dewasa atau dalam dosis tetap 100 mg IV dalam 30 detik
atau infus (diencerkan) 15 menit. Untuk anak umur 2 – 16 tahun
dolasentron dapat diberikan dengan dosis sama. Aprepitan, reseptor
antagonis senyawa P/NK1, dikombinasi dengan SSRI
dankortikosteroid, per oral (125 mg hari 1 dan 80 mg hari ke 2 dan ke
3) menunjukkan efektivitas akut pada pengendalian mual muntal akibat
regimen dasar sisplatin dosis tinggi. Pilihan lain untuk mencegah mual-
muntah sebelum kemoterapi adalah palonestron 025 mgIV selama 30

17
detik, 30 menit sebelum kemoterapi. Pasien – pasien yang mengalami
mual – muntah, selain mendapat terapi profilaksis juga diberikan
proklorperazin, lorazepam atau kortikosteroid direkomendasikan untuk
pasienanak. SSRI tidak lebih unggul dari terapi antiemetik
konvensional untuk terapi gejala sesudah kemoterapi. Deksametason,
metoklopramid atau SSRI direkomendasikan untuk emesis post
kemoterapi yang muncul terlambat
g. Benzodiasepin
Benzodiazepin terutama lorazepam, terapi alternatif yang terbaik
untuk mengantisipasimual muntah karena kemoterapi.
Dosisregimen,satu dosis satu malam sebelum kemoterapi dandosis
ganda pada setiap terapi kemoterapi.
h. Mual-muntah sesudah operasi
Dengan atau tanpa terapi emetik, metode non farmakologi
(mengatur gerakan, perhatian pada pemberian cairan dan pengedalian
nyeri) dapat efektif menurunkan emesissesudah operasi. Antagonis
serotonin selektif efektif untuk mencegah mualmuntah sesudah
operasi,tetapi biayanya lebiih tinggi dibanding antiemetik lainnya.
i. Mual – muntah akibat radiasi
Pasien yang menerima radiasi hemibodi atau radiasi dosis tinggi
tunggal pada daerah peruatas, harus menerima terapi profilaksis
granisetron 2mg atau ondansetron 8 mg.
j. Emesis karena gangguan keseimbangan
Emesis karena gangguan keseimbangan efektif diatasi oleh
antihistamin-antikolinergik terutama skopolamin transdermal.
Antihistamin atau antikolinergik nampaknya tidak cukup bermanfaat
untuk motion sickness.
k. Antiemetic selama kehamilan
Obat yang umum digunakan adalah fenotiazin (prokloperazin,
prometazin), antihistamin-antikolinergik (dimenhidrinat,
dipenhidramin, meklizin, skopolamin), metoklopramid dan piridoksin.

18
Efikasi antiemetik dipertanyakan, sementara pengendalian cara lain
seperti pengaturancairan dan elektrolit, suplemen vitamin dan bantuan
penurunan keluhan psikosomatik, lebih direkomendasikan.
Pertimbangan teratogenik sangat diperhatikan, dan faktor penentu
pilihan obat. Dimenhidrinat, diphenhidramin, doksilamin, hidroksizin,
dan meklizin adalah obat yangtidak teratogenik.
l. Antiemetic untuk anak-anak
Efektifitas dan efikasi regimen SSRI untuk antiemetik anak telah
ditegakan tapi dosis belum ditegakan. Penanganan lebih ditekankan
pada penggantian cairan tubuh dari terapi farmakologi

3. Terapi Farmakologi Anemia


a. Suplementasi eritropoetin
Terapi yang sangat efektif dan menjanjikan telah tersedia
menggunakan recombinant human eritropoetin yang telah diproduksi
untuk aplikasi terapi. Seperti yang telah di demonstrasikan dengan
plasma kambing uremia yang kaya eritropoetin, human recombinant
eritropoetin diberikan intravena kepada pasien hemodialisa,telah
dibuktikan menyebabkan peningkatan eritropoetin yang drastis. Hal
ini memungkinkan untuk mempertahankan kadar Hb normal setelah
transfusi darah berakhir pada pasien bilateral nefrektomi yang
membutuhkan transfusi reguler. Penelitian membuktikan bahwa, saat
sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu setelah setiap dialisa,
pasien reguler hemodialisis merespon dengan peningkatan Ht dengan
dosis tertentu dalam beberapa minggu. Percobaan menunjukkan
bahwa AB yang melawan materi rekombinan dan menghambat
terhadap penggunaan eritropoetin tidak terjadi. Efek samping
utamanya adalah meningkatkan tekanan darah dan memerlukan dosis
Heparin yang tinggi untuk mencegah pembekuan pada sirkulasi ekstra
korporial selama dialisis. Pada beberapa pasien, trombosis pada
pembuluh darah dapat terlihat. (National Kidney Foundation, (2012),

19
Longo (2012), MacGinley & Walker (2013), Locatelli, dkk (2009),
dan Singh (2006))
Kecepatan eritropoesis yang dipengaruhi oleh eritropoetin
dapat menimbulkan defisiensi besi khususnya pada pasien dengan
peningkatan blood loss. Seluruh observasi ini mengindikasikan bahwa
recombinant human eritropoetin harus digunakan dengan hati-hati.
Hal ini juga memungkinkan bahwa kebanyakan efek samping ini
dapat diminimalkan jika nilai Hematokrit tidak meningkat ke normal,
tetapi pada nilai 30-35%. Produksi recombinant human eritropoetin
merupakan manajemen yang utama pada pasien uremia. (National
Kidney Foundation, (2012), Longo (2012), MacGinley & Walker
(2013), dan Locatelli, dkk (2009))
Indikasi dan Kontraindikasi terapi EPO (Locatelli, dkk,(2009)
Indikasi:
Bila Hb < 10 g/dL, Ht < 30% pada beberapa kali pemeriksaan dan
penyebab lain anemia sudah disingkirkan. Syarat pemberian adalah
Cadangan besi adekuat : feritin serum > 100 mcg/L, saturasi transferin
> 20% o Tidak ada infeksi yang berat
Kontraindikasi:
Hipersensitivitas terhadap EPO
Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi EPO, hati-hati pada
keadaan:
1) Hipertensi tidak terkendali
2) Hiperkoagulasi
3) Beban cairan berlebih/fluid overload
Terapi Eritropoietin ini memerlukan syarat yaitu status besi yang
cukup. Terdapat beberapa kriteria pengkajian status besi:
1) Anemia dengan status besi cukup
2) Anemia defisiensi besi:
- Anemia defisiensi besi absolut : Feritin serum < 100 mcg/L

20
- Anemia defisiensi besi fungsional: Feritin serum > 100
mcg/L
- Saturasi Transferin < 20 %
b. Terapi Androgen
Sejak tahun 1970 an androgen telah digunakan untuk terapi
gagal ginjal. Efek yang positif yaitu meningkatkan produksi
eritropoetin, meningkatkan sensitivitas polifrasi eritropoetin yang
sensitif terhadap populasi stem cell. Testosteron ester (testosteron
propionat, enanthane, cypionate), derivat 17-metil androstanes
(fluoxymesterone, oxymetholone, methyltestosterone), dan komponen
19 norterstosteron (nandrolone dekanoat, nandrolone phenpropionate)
telah sukses digunakan pada terapi anemia dengan gagal ginjal.
Responnya lambat dan efek dari obat ini dapat terbukti dalam 4
minggu terapi. Nandrolone dekanoat cukup diberikan dengan dosis
100-200 mg, 1 x seminggu. Testosteron ester tidak mahal tetapi harus
dibatasi karena efek sterilitas yang besar. Komponen 19-
nortestosteron memiliki ratio anabolik: androgenik yang paling tinggi
dan yang paling sedikit menyebabkan hirsutisme serta paling aman
untuk pasien wanita. Fluoksimesterone dapat menyebabkan
priapismus pada pasien pria. Penyakit Hepatoseluler kolestatik dapat
menyebabkan komplikasi pada penggunaan zat ini dan lebih sering
pada 17 methylated steroid. Pada keadaan meningkatnya transaminase
darah yang progesif dan bilirubin serum yang meningkat, terapi harus
dihentikan. Namun, komponen 17- methylated steroid ini memiliki
ratio anabolik/ androgen yang baik dan dapat diberikan secara oral.
Terapi dengan androgen dapat menimbulkan gejala prostatisme atau
pertumbuhan yang cepat dari Ca prostat. Rash kulit, perubahan suara
seperti laki-laki, dan perubahan fisik adalah efek samping lainnya
pada terapi ini. (National Kidney Foundation, (2012) dan Longo, dkk
(2012) dan Singh, dkk (2006))

21
c. Mengurangi iatrogenic blood loss
Sudah tentu penatalaksanaan anemia pada penyakit ginjal
terminal juga termasuk pencegahan dan koreksi terhadap faktor
iatrogenik yang memperberat. Kehilangan darah ke sirkulasi darah
ekstrakorporeal dan dari pengambilan yang berlebihan haruslah dalam
kadar yang sekecil mungkin. (International Society of Nephrology,
(2012) dan Singh, dkk (2006))
d. Suplementasi besi
Penggunaan pengikat fosfat dapat mempengaruhi absorpsi besi
pada usus. Monitoring penyimpanan besi tubuh dengan determinasi
ferritin serum satu atau dua kali pertahun merupakan indikasi.
Absorpsi besi usus tidak dipengaruhi oleh uremia, suplementasi besi
oral lebih dipilih ketika terjadi defisiensi besi. Jika terapi oral gagal
untuk memperbaiki defisiensi besi, penggantian besi secara parenteral
harus dilakukan. Hal ini dilakukan dengan iron dextran atau
interferon. Terapi IV lebih aman dan nyaman dibanding injeksi intra
muskular. Syok anafilaktik dapat terjadi pada 1% pasien yang
menerima terapi besi parenteral. Untuk mengurangi kejadian
komplikasi yang berbahaya ini, pasien harus di tes dengan 5 menit
pertama dengan dosis kecil dari total dosis. Jumlah yang diperlukan
untuk replinish penyimpanan besi dapat diberikan dengan dosis
terbagi yaitu 500 mg dalam 5-10 menit setiap harinya atau dosis
tunggal dicampur dengan normal saline diberikan 5% iron dextran dan
diinfuskan perlahan dalam beberapa jam. (Longo dkk (2012) dan
Singh, dkk (2006))
Terapi besi fase pemeliharaan (Longo, Kasper, Jameson, Fauci,
Hauser, dkk (2012) dan International Society of Nephrology, (2012)
dan Singh, dkk (2006)):
Tujuan : menjaga kecukupan persediaan besi untuk eritropoiesis
selama terapi EPO

22
Target terapi:
- Feritin serum > 100 mcg/L – < 500 mcg/L,
- Saturasi transferin > 20 % – < 40 %
Dosis
IV :
- iron sucrose : maksimum 100 mg/minggu
- iron dextran : IV : 50 mg/minggu
- iron gluconate : IV : 31,25-125 mg/minggu
IM : iron dextran : 80 mg/ 2 minggu
Oral: 200 mg besi elemental : 2-3 x/hari Status besi diperiksa setiap 3
bulan
Bila status besi dalam batas target yang dikehendaki lanjutkan terapi
besi dosis pemeliharaan. Bila feritin serum > 500 mcg/L atau saturasi
transferin > 40%, suplementasi besi distop selama 3 bulan. Bila
pemeriksaan setelah 3 bulan feritin serum < 500 mcg/L dan saturasi
transferun < 40%, suplementasi besi dapat dilanjutkan dengan dosis
1/3-1/2 sebelumnya.
e. Suplementasi asam folat
Asam folat hilang masuk ke dialisat dari darah. Oleh karena
itu, defisiensi asam folat dan anemia makrositik dapat terjadi pada
pasien dengan asupan protein yang rendah sejak diet dari pasien
dialisis reguler yaitu bebas dan biasanya mengandung asam folat yang
cukup, defisiensi asam folat dan kebutuhan untuk suplementasi asam
folat oral tidak diperlukan. Akhirnya, dokter harus lebih hati-hati
dalam terapi darah ekstrakorporeal yang membawa resiko potensial
yang didominasi oleh darah yang terkontaminasi dan kompartemen
dialisat seperti logam dan kimia, yang dapat menyebabkan kerusakkan
sel darah merah dan hemolisis. (Longo, dkk (2012) dan International
Society of Nephrology, (2012) dan Singh, dkk (2006))

23
f. Transfusi Darah
Transfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus. Indikasi
transfusi darah adalah:
1) Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
2) Tidak memungkinkan penggunaan EPO dan Hb < 7 g /dL
3) Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodinamik
4) Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO
ataupun yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat,
sementara preparat besi IV/IM belum tersedia, dapat diberikan
transfusi darah dengan hati-hati.
5) Target pencapaian Hb dengan transfusi darah adalah: 7-9 g/dL
(tidak sama dengan target Hb pada terapi EPO). Transfusi
diberikan secara bertahap untuk menghindari bahaya overhidrasi,
hiperkatabolik (asidosis), dan hiperkalemia. Bukti klinis
menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai kadar Hb
10-12 g/dL berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan tidak
terbukti bermanfaat, walaupun pada pasien dengan penyakut
jantung. Pada kelompok pasien yang direncakan untuk
transplantasi ginjal, pemberian transfusi darah sedapat mungkin
dihindari. Transfusi darah memiliki resiko penularan Hepatitis
virus B dan C, infeksi HIV serta potensi terjadinya reaksi
transfusi. (International Society of Nephrology, (2012) dan Singh,
dkk (2006)

24
4. Terapi Farmakologi Diare
a. Kelompok Anti-sekresi Selektif
Terobosan terbaru milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas
racecadotril yang bermanfaat sebagai penghambat enzim
enkephalinase, sehingga enkephalin dapat bekerja normal kembali
Perbaikan fungsi akan menormalkan sekresi elektrolit, sehingga
keseimbangan cairan dapat dikembalikan. Hidrasec sebagai generasi
pertama jenis obat baru anti-diare dapat pula digunakan dan lebih
aman pada anak.
b. Kelompok Opiat
Dalam kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl,
serta kombinasi difenoksilat dan atropin sulfat. Penggunaan kodein
adalah 15-60 mg 3x sehari, loperamid 2-4 mg/3-4 kali sehari. Efek
kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan
absorbsi cairan, sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan
mengurangi frekuensi diare. Bila diberikan dengan benar cukup aman
dan dapat mengurangi frekuensi defekasi sampai 80% Obat ini tidak
dianjurkan pada diare akut dengan gejala demam dan sindrom
disentri.
c. Kelompok Absorbent
Arang aktif, attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau
smektit diberikan atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat me-
nyerap bahan infeksius atau toksin. Melalui efek tersebut, sel mukosa
usus terhindar kontak langsung dengan zat-zat yang dapat
merangsang sekresi elektrolit.
Organisme Antibiotik Pilihan Antibiotik Pilihan
Pertama Kedua
Campylobacter, Ciprofl oxacin Salmonella/Shigella
Shigella atau 500 mg oral 2 kali Ceftriaxone
Salmonella spp sehari, 1 gram IM/IV sehari
3-5 hari TMP-SMX DS oral 2

25
kali sehari, 3 hari
Campilobacter spp
Azithromycin
500 mg oral 2 kali sehari
Erythromycin
500 mg oral 2 kali
sehari,
5 hari
Vibrio Cholera Tetracycline 500 mg Resisten tetracycline
oral 4 kali sehari, 3 hari Ciprofl oxacin 1 gram
Doxycycline 300 mg oral 1 kali
oral, dosis tunggal Erythromycin 250 mg
oral 4 kali sehari, 3 hari
Traveler’s Ciprofl oxacin 500 mg TMP-SMX DS oral 2
diarrhea 2 kali sehari kali sehari, 3 hari
Clostridium Metronidazole 250-500 Vancomycin 125 mg 4
difficile mg 4x sehari, 7-14 hari, kali sehari, 7-14 Hari
oral atau IV

Indikasi Pemberian Antibiotik Pilihan Antibiotik


Demam (suhu oral > 38,5C), feses Quinolone 3-5 hari,
disertai darah, leukosit, laktoferin, cotrimoksazole 3-5 hari
hemoccult, sindrom disentri
Traveler’s diarrhea Quinolone 1-5 hari
Diare persisten (kemungkinan Metronidazole 3 x 500 mg
Giardiasis) selama 7 hari
Shigellosis Cotrimoksazole selama 3 hari
Quinolone selama 3 hari
Intestinal Salmonellosis Chloramphenicol/cotrimoksa
zole/quinolone selama 7 hari

26
Campylobacteriosis Erythromycin selama 5 hari
EPEC Terapi sebagai febrile
disentry
ETEC Terapi sebagai traveler’s
diarrhea
EIEC Terapi sebagai Shigellosis
EHEC Peranan antibiotik belum
jelas
Vibrio non-kolera Terapi sebagai febrile
disentry
Aeromonas diarrhea Terapi sebagai febrile
disentry
Yersiniosis Intestinal Umumnya dapat diterapi
sebagai febrile disentry
Pada kasus berat:
Ceftriaxone IV 1 gram/6 jam
selama 5 hari.
Amebiasis Metronidazole 3 x 750 mg 5-
10 hari + pengobatan kista
untuk mencegah relaps.
Diiodohydroxyquin 3 x 650
mg 10 hari
Paromomycin 3 x 500 mg 10
hari
diloxanide furoate 3 x 500mg
10 hari
Cryptosporidiosis Untuk kasus berat atau
immunocompromised:
Paromomycin 3 x 500 mg
selama 7 harI

27
Isosporisosis Cotrimoksazole 2 x 160/800
selama 7 hari

5. Terapi Farmakologi Konstipasi


Penggunaan pencahar untuk mengatasi konstipasi sebaiknya
dihindari. Namun, jika konstipasi yang terjadi dapat menimbulkan
keparahan kondisi pasien, misalnya pada pasien wasir atau pasien yang
baru menjalani pembedahan perut, penggunaan obat pencahar sangat
diperlukan. Berikut adalah obat yang dipilih untuk digunakan mengatasi
konstipasi yang tidak cukup jika diatasi hanya dengan fiber:
a. Nama Generik: Bisacodyl
b. Nama Dagang Di Indonesia : Dulcolax®, Bicolax®, Codylax®,
Laxacod®,Laxamex®, Melaxan®, rolaxan®, Stolax®, Toilax®
c. Indikasi
Konstipasi; sebelum prosedur radiologi dan bedah. Semua bentuk
sembelit, memudahkan buang air besar pada kondisi dengan rasa sakit
seperti pada hemorrhoid (wasir), pengosongan lambung-usus sebelum
& sesudah operasi.
d. Kontra Indikasi
Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami sumbatan
pada usus (ileus), kondisi pembedahan perut akut, maupun dalam
kondisi dehidrasi berat.
e. Perhatian
Penggunaan senyawa ini dalam jangka lama dapat mengakibatkan
kram perut yang parah dan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,
juga tidak boleh digunakan untuk pasien hamil dan menyusui.
f. Efek Samping
Jarang: rasa tidak enak pada perut, diare.

28
6. Terapi Farmakologi Retensi Urine
Retensi urin dapat terjadi akut dan kronis. Retensi akut
menimbulkan nyeri dan diatasi dengan kateterisasi. Retensi kronis tidak
nyeri tetapi berlangsung lama. Tidak diperlukan katerisasi kecuali terjadi
deteriorisasi fungsi ginjal. Setelah penyebabnya diterapi, obat mungkin
masih diperlukan untuk meningkatkan kerja otot detrusor. Penyakit yang
mendasarinya misalnya hiperplasia prostat (BPH) harus ditangani baik
melalui operasi atau terapi obat dengan Alfa-bloker atau menggunakan
finasterid anti-androgen (bagian 6.4.2) pada retensi urin akut atau ringan.
a. Alfa-blokerz
Alfa-bloker selektif, alfuzosin, doksazosin, indoramin, prazosin,
tamsulosin dan terazosin merelaksasi otot pada hiperplasia prostat yang
jinak mengakibatkan peningkatan aliran kemih dan perbaikan gejala
obstruksi.
1) Peringatan
Karena Alfa-bloker yang selektif menurunkan tekanan darah,pasien
yang menerima pengobatan antihipertensi memerlukan pengurangan
dosis dan pengawasan ahli. Diperlukan perhatian bagi lansia dan
pasien dengan kegagalan hati dan kegagalan ginjal berat.
2) Kontraindikasi
Alfa-bloker sebaiknya dihindari pada pasien dengan riwayat
hipertensi postural dan sinkop mikturisi.
3) Efek samping
Efek samping alfa-bloker yang selektif meliputi mengantuk,
hipotensi (hipotensi postural), sinkop, astenia, depresi, sakit kepala,
mulut kering, gangguan saluran cerna (termasuk mual, muntah,
diare, konstipasi), edema, penglihatan kabur, rinitis, gangguan ereksi
(termasuk priapisme), takikardi, palpitasi. Reaksi hipersensitif
termasuk kemerahan, pruritus, dan angiodema pernah dilaporkan.
4) Betanekol atau karbakol

29
Suatu golongan ester kolin, biasanya digunakan pada retensi urin
paska bedah dengan menyebabkan kapasitas kandung kemih
berkurang dan peristaltik ureter bertambah, tetapi kini lebih sering
digunakan cara kateterisasi. Pengendara: selama minum obat ini
(prazosin atau doksazosin) tidak boleh mengemudikan kendaraan
bermotor atau mengoperasikan mesin.
b. Alfuzosin Hidroklorida
1) Indikasi:
terapi gejala hipertrofi prostat jinak. Terapi tambahan tindakan
pemasangan kateter pada retensi urin akut akibat hipertrofi prostat
jinak.
2) Peringatan:
Lansia: Intraoperative Floppy Iris Syndrome (IFIS) selama operasi
katarak, riwayat hipotensi pada penggunaan alfa-1 bloker, riwayat
serangan jantung: penghentian alfuzosin jika angina pektoris kembali
memburuk, berkendara atau mengoperasikan mesin.
3) Interaksi:
antihipertensi alfa bloker (prazosin, urapidil, minoksidil)
meningkatkan risiko hipotensi ortostatik berat, obat-obat
antihipertensi lain meningkatkan risiko hipotensi.
4) Kontraindikasi:
hipersensitivitas, hipotensi ortostatik, gagal hati, gagal ginjal berat
(bersihan kreatinin < 30 mL/menit), penyumbatan pada usus.
5) Efek Samping:
Umum: sensitif terhadap cahaya, pusing, pingsan, sakit kepala, mual,
sakit perut, astenia. Tidak umum: pusing sesaat, mengantuk,
takikardi, palpitasi, hipotensi ortostatik, sinkop, diare, mulut kering,
ruam, pruritus, muka merah, udem, nyeri dada, rinitis/obstruksi
nasal. Sangat jarang: angina pektoris pada pasien dengan riwayat
penyakit arteri koroner, urtikaria, angioedema. Tidak diketahui:
cedera hepatoseluler, hepatitis kolestatik, priapismus.

30
6) Dosis:
Oral: 10 mg sekali sehari, diberikan segera setelah makan sore.
Terapi tambahan untuk kateter pada retensi urin akut yang berkaitan
dengan hipertrofi prostat jinak: 10 mg sekali sehari, diberikan setelah
makan, sejak hari pertama kateterisasi. Pengobatan diberikan selama
3 sampai 4 hari, misalnya 2 sampai 3 hari saat kateter digunakan dan
1 hari setelah dilepaskan. Tablet harus ditelan utuh, tidak boleh
dihancurkan, dihisap atau diserbukkan.
c. Doksazosin
1) Indikasi:
lihat keterangan di atas dan pada prazosin
2) Peringatan:
lihat keterangan di atas dan pada prazosin
3) Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas dan pada prazosin
4) Efek Samping:
lihat keterangan di atas dan pada prazosin
5) Dosis:
mula-mula 1 mg/hari; kalau perlu tingkatkan dengan interval 1-2
minggu sampai maksimal 8 mg/hari; dosis pemeliharaan
umumnya 2-4 mg/hari
d. Prazosin Hidroklorida
1) Indikasi:
lihat keterangan di atas; gagal jantung (lihat 2.1); anti-hipertensi
(lihat 2.3); penyakit vaskular
2) Peringatan:
dosis pertama menyebabkan kolaps karena hipotensi (oleh
karena itu harus istirahat di tempat tidur), lansia dosis mula-
mula dikurangi pada gagal ginjal (Lampiran 3); kehamilan
(Lampiran 4).

31
3) Interaksi:
lihat Lampiran 1 (alfa bloker)
4) Kontraindikasi:
hipotensi ortostatik
5) Efek Samping:
hipotensi, sedasi, pusing, kantuk, lemah, lesu, depresi, sakit
kepala, mulut kering, mual, sering berkemih, takikardia,
palpitasi
6) Dosis:
Hiperplasia prostat mula-mula 2 kali 500 mcg sehari selama 3-7
hari, kemudian disesuaikan dengan respons penderita, dosis
penunjang umumnya (dan maksimal) 2 kali 2 mg per hari. Pada
lansia dimulai dengan dosis lebih rendah
e. Tamsulosin Hidroklorida
1) Indikasi:
lihat keterangan di atas
2) Peringatan:
lihat keterangan di atas
3) Kontraindikasi:
lihat keterangan di atas, gangguan fungsi hati berat
4) Efek Samping:
lihat keterangan di atas
5) Dosis:
400 mcg perhari sebagai dosis tunggal
f. Terazosin Hidroklorida
1) Indikasi:
pengobatan simptomatik hiperplasia prostat jinak (efek jangka
panjang terazosin HCl adalah pada pembedahan, obstruksi urin
akut atau komplikasi hiperplasia prostat lain); pengobatan
hipertensi (secara tunggal atau dikombinasi dengan
antihipertensi lain seperti obat diuretik dan beta-bloker).

32
2) Peringatan:
kanker prostat; gejala hipotensi ortostatik, penurunan tekanan
darah, pusing, hipotensi postural, sinkop dan vertigo; hindari
mengemudi dan mengoperasikan mesin berbahaya 12 jam
setelah dosis awal, setelah peningkatan dosis dan setelah
penghentian terapi
3) Interaksi:
digunakan hati-hati dengan antihipertensi lain, khususnya
antagonis kalsium, verapamil untuk mencegah kemungkinan
peningkatan hipotensi yang signifikan. Saat menggunakan tablet
terazosin HCl dan antihipertensi lain secara bersamaan, dosis
harus dikurangi dan penentuan dosis perlu diulangi.
4) Efek Samping:
lihat keterangan di atas; peningkatan berat badan, paraesthesia,
dispnea, thrombositopenia, kegugupan, penurunan libido, nyeri
punggung (back pain) nyeri pada anggota gerak. Dosis awal
dapat menyebabkan collapse dikarenakan efek hipotensif
(karena itu harus diminum saat beristirahat di atas tempat tidur.
Pasien harus diperingatkan untuk berbaring jika gejala seperti
pusing, kelelahan, atau berkeringat dan untuk tetap berbaring
sampai gejala tersebut mereda.
5) Dosis:
Hiperplasia prostat jinak, awal: tidak boleh lebih dari 1 mg pada
waktu istirahat. Pasien diawasi selama penggunaan awal untuk
meminimalisir risiko respon hipotensi berat. Dosis lanjutan:
dosis ditingkatkan bertahap menjadi 2 mg, 5 mg atau 10 mg satu
kali sehari untuk memperoleh perbaikan gejala dan/atau tingkat
aliran. Umumnya dosis yang diberikan untuk memperoleh
respon klinik adalah 10 mg sekali sehari. Namun pengobatan
dengan 10 mg selama minimal 4-6 minggu dapat diberikan
untuk memperoleh efek yang bermanfaat. Beberapa pasien tidak

33
memperoleh respon klinik meskipun telah dilakukan penetapan
dosis. Beberapa pasien merespon dosis 20 mg perhari, namun
jumlah pasien tidak cukup untuk menggambarkan kepastian
dosis ini. Diperlukan data pendukung untuk penggunaan dosis
yang lebih tinggi pada pasien yang tidak cukup kuat atau tidak
merespon dosis 20 mg perhari. Jika terazosin HCl dihentikan
selama beberapa hari, pengobatan diulangi dengan regimen
dosis awal.

34
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Paliatif care (Perawatan paliatif) adalah pendekatan yang meningkatkan
kualitas hidup pasien dan keluarga mereka dalam menghadapi masalah yang
terkait dengan penyakit yang mengancam jiwa, melalui penceghan-pencegahan
sempurna dan pengobatan rasa sakit masalah lain, fisik, psikososial, spirirtual
(kemenkes RI Nomor 812, 2007). Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari
bagaimana suatu bahan kimia/obat berinteraksi dengan sistem biologis,
khususnya mempelajari aksi obat di dalam tubuh. (Ekawati, Zullies. 2014)
Terapi farmakologi nyeri diberikan terapi obat analgetik nonopiat
sepertiaspirin, asetaminofen, atau NSAID, codeine, hydrocodone,
morfin,fentanil, hidromorfon, levorfanol, metadon, oksikodon, dan oksimorfon,
kortikosteroid, antidepresan, anticonvulsan, anestetik local, inhibitor substansi
p, dan inhibitor resorpsi tulang. Terapi farmakologi mual muntah terapi yang
diberikan pada mual muntah antasid, antihistamin, antikolinergik, fenotiazin,
kostikosteroid, metoclopramid, reseptor penghambat serotonin selektif /
selective serotonin reseptor inhibitor (ssri), ondansetron, granisetron,
dolasetron, palonosetron, benzodiasepin, dan profilaksis granisetron.
Terapi farmakologi anemia yaitu suplementasi eritropoetin, terapi
androgen, mengurangi iatrogenic blood loss, suplementasi besi, suplementasi
asam folat, dan transfusi darah. Terapi farmakologi diare pada paliatif anti-
sekresi selektif, opiat, dan absorbent. Terapi farmakologi konstipasi terapi yang
diberikan yaitu bisacodyl. Terapi farmakologi retensi urine dengan diberikan
alfa-blokerz, alfuzosin hidroklorida, doksazosin, prazosin hidroklorida,
tamsulosin hidroklorida, dan terazosin hidroklorida.
B. Saran
Dengan adanya makalah tentang terapi farmakologi pada perawatan
paliatifini diharapkan agar pembaca atau teman-teman sejawat dapat

35
memperoleh manfaat dari makalah ini terutama dalam melakukan asuhan
keperawatan paliatif.

36
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Rani. 2013. Farmakologi. http://www.slideshare.net/raneedp/farmakologi-


26717082 diakses tanggal 7 Agustus 2018

Ekawati, Zullies. 2014. My Books. https://zulliesikawati.wordpress.com/my-


books/ diakses tanggal 7 Agustus 2018

Dworkin, dkk. 2007. Pharmacologic management of neuropathic pain:


Evidence-based recommendation.

International Society of Nephrology. (2012). Kindey disease improving global


outcome: Clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease.
Kidney International Supplements; 2: 283-335.

Joyce L. Kee, Evelyn R. Hayes. 1996. Farmakologi. Jakarta: EGC.


Kamus Kesehatan. Farmakologi.
http://kamuskesehatan.com/arti/farmakologi/ diakses tanggal 7 Agustus
2018
Jung, BF dkk. 2003. Neuropathic pain following breast cancer surgery : proposed
classification and research update. [cited 03 Agust 2018 ]. Available from
URL
http://www.rsds.org/pdfsall/neuropathic_pain_post_breast_cancer.pdf

KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan


Perawatan Palliative Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Locatelli F, Covic A, Eckardt KU, Wiecek A, Vanholder R.(2009). Anemia


management in patients with chronic kidney disease: a potion statement by
the anemia working group of European renal best practice (ERBP).
Nephrol Dial Transplant; 24: 348-354.
Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser AL, Loscalzo J. (2012).
Harrison’s Principles of internal medicine. 18th ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2012.

MacGinley RJ, Walker RG. (2013). International treatment guidelines for


anaemia in chronic kidney disease: what has changed?. MJA 22 July 2013;
vol 199 (2).

Manuaba, IB Tjakra Wibawa. 2010. Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid


PERABOI. Jakarta: CV Sagung Seto.

Mercadante, S. 2010. The use of rapid onset opioids for breakthrough cancer
pain, the challenge of its dosing. [cited 03 Agust 2018]. Available from
URL: http://www.e-eso.net/croh/chro216.pdf

National Kidney Foundation. (2012). K/DOQI Clinical Practice Guidelines for


Chronic Kidney Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J
Kidney Dis 39: suppl 1,

Singh AK, Szczech L, Tang KL, Barnhart H, Sapp S, Wolfson M, et al. (2006).
Correction of anemia with epoetin alfa in chronic kidney disease. N Engl J
Med; 355: 2085-98.

Sukandar,E.Y dkk. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT.ISFIL

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Leaflet GIZI
    Leaflet GIZI
    Dokumen3 halaman
    Leaflet GIZI
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Sap DM
    Sap DM
    Dokumen7 halaman
    Sap DM
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Resume Panel Expert
    Resume Panel Expert
    Dokumen9 halaman
    Resume Panel Expert
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Keluarga
    Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Keluarga
    Dokumen5 halaman
    Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Keluarga
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Kesehatan Reproduksi Pada Ibu Hamil
    Kesehatan Reproduksi Pada Ibu Hamil
    Dokumen12 halaman
    Kesehatan Reproduksi Pada Ibu Hamil
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen9 halaman
    Bab 1
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • HIPERTENSI
    HIPERTENSI
    Dokumen9 halaman
    HIPERTENSI
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Roleplay
    Roleplay
    Dokumen3 halaman
    Roleplay
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • EBP
    EBP
    Dokumen67 halaman
    EBP
    Angga Ferlatiyana
    100% (2)
  • KESEHATAN REPRODUKSI IBU HAMIL
    KESEHATAN REPRODUKSI IBU HAMIL
    Dokumen12 halaman
    KESEHATAN REPRODUKSI IBU HAMIL
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Kesehatan Brestcare
    Kesehatan Brestcare
    Dokumen9 halaman
    Kesehatan Brestcare
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Kolik Leaflet
    Kolik Leaflet
    Dokumen2 halaman
    Kolik Leaflet
    Vina Anggraini
    100% (2)
  • Skala Gosnell
    Skala Gosnell
    Dokumen2 halaman
    Skala Gosnell
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • FORMAT PENGKAJIAN
    FORMAT PENGKAJIAN
    Dokumen27 halaman
    FORMAT PENGKAJIAN
    Dayu Ari
    Belum ada peringkat
  • Leaflet DM
    Leaflet DM
    Dokumen2 halaman
    Leaflet DM
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Askep Jiwa
    Askep Jiwa
    Dokumen26 halaman
    Askep Jiwa
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • POSBINDU LANSIA
    POSBINDU LANSIA
    Dokumen2 halaman
    POSBINDU LANSIA
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen24 halaman
    Bab Ii
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • A. Konsep Dasar 1. Definisi
    A. Konsep Dasar 1. Definisi
    Dokumen16 halaman
    A. Konsep Dasar 1. Definisi
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Lembar Bimbingan
    Lembar Bimbingan
    Dokumen3 halaman
    Lembar Bimbingan
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • BAB IV Dan V EBP Fraktur 2B Baru Fix
    BAB IV Dan V EBP Fraktur 2B Baru Fix
    Dokumen12 halaman
    BAB IV Dan V EBP Fraktur 2B Baru Fix
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Woc
    Woc
    Dokumen4 halaman
    Woc
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Teknik Membaca Jurnal
    Teknik Membaca Jurnal
    Dokumen26 halaman
    Teknik Membaca Jurnal
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen24 halaman
    Bab Ii
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Terapi Pemberian Range of Motion (Rom)
    Terapi Pemberian Range of Motion (Rom)
    Dokumen17 halaman
    Terapi Pemberian Range of Motion (Rom)
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen24 halaman
    Bab Ii
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Woc
    Woc
    Dokumen1 halaman
    Woc
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat
  • Resume Ujian New
    Resume Ujian New
    Dokumen6 halaman
    Resume Ujian New
    Angga Ferlatiyana
    Belum ada peringkat