Anda di halaman 1dari 7

MRT: Angkutan perkotaan masa depan?

Oleh:
Delik Hudalah dan Yudistira Pratama2)
1)

1)
Staf pengajar pada Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB
2)
Peneliti pada Kelompok Keahlian Perencanaan dan Perancangan Kota, ITB

Apakah itu MRT?


MRT (mass rapid transit) secara harfiah dapat diartikan sebagai moda angkutan yang mampu
mengangkut penumpang dalam jumlah yang banyak (massal) dengan frekuensi dan kecepatan
yang sangat tinggi (rapid). Menurut modanya, MRT dapat dikelompokkan menjadi beberapa
jenis, antara lain: bus (buslane/busway), subway, tram, dan monorail.
Bus MRT dapat dibedakan dengan bus angkutan
biasa dan kendaraan lain karena biasanya
merupakan shuttle bus yang memiliki rute
perjalanan tertentu dan beroperasi pada lajur
khusus, sehingga sering disebut buslane/busway.
Pemisahan lajur ini dilakukan agar penumpang
tidak mengalami penundaan waktu perjalanan dan
tidak terganggu oleh aktivitas moda angkutan lain
yang melintasi rute perjalanan yang sama. Busway Bogota, kota yang berhasil mengembangkan
sendiri biasanya bervariasi ada yang berbentuk busway
ganda (bus gandeng), bus tunggal, dan bus
bertingkat. MRT jenis busway biasanya lebih banyak dipilih oleh kota-kota di negara
berkembang karena pengembangannya membutuhkan biaya yang lebih murah dibandingkan
dengan subway, monorel, ataupun tram. Kota Bogota di Kolombia merupakan salah satu
contoh sukses penerapan sistem busway.
MRT dalam bentuk subway pada prinsipnya
memiliki kesamaan sistem operasi dengan kereta api.
Namun, konstruksi teknisnya terdapat perbedaan
karena subway terletak di bawah tanah
(underground) tetapi stasiun-stasiunnya langsung
terhubung ke lokasi pusat kegiatan. Di Eropa Barat,
subway merupakan salah satu moda angkutan yang
London, kota pertama yang sangat populer dan seringkali dikenal dengan istilah
mengembangkan subway metro system. Kota London merupakan kota pertama
yang menerapkan sistem subway sebagai moda
angkutan massal berkecepatan tinggi pada tahun 1863.

Tram merupakan bentuk MRT dengan moda angkutan mirip dengan kereta api, tetapi jalur
operasinya dapat terintegrasi dengan jalan raya. Tram dapat ditemukan di hampir semua kota
menengah dan besar di Eropa dan di beberapa kota besar di Amerika. Tram pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1807 di Inggris dan merupakan bentuk awal MRT di dunia. Dalam
operasionalnya, dikenal dua jenis tram: (1) tram yang jalur operasinya menyatu dengan jalur
lalu-lintas kendaraan; dan (2) tram yang memiliki jalur operasional tersendiri yang dikenal
dengan istilah light rail.

Monorail merupakan MRT yang memiliki jalur tertentu dan biasanya tidak mengambil ruang
kota yang luas. MRT jenis ini biasanya memiliki jalur di atas jalan raya dan yang ditopang
dengan tiang-tiang yang sekaligus berfungsi untuk membentuk lintasan monorail. Berbeda
dengan MRT lainnya, monorail biasanya hanya terdiri atas satu rute dengan sistem lintasan
loop dengan beberapa stasiun pemberhentian yang menghubungkan dengan MRT lainnya
maupun langsung ke lokasi kegiatan tertentu. Penggunaan monorail sudah banyak
dikembangkan di kota-kota metropolitan di dunia antara lain Moskow, Tokyo, dan Sydney.

Di mana MRT sukses diterapkan?

Konsep MRT sudah banyak diterapkan di kota-kota besar di negara maju maupun negara-
negara berkembang. Biasanya, MRT merupakan bagian dari implementasi sistem transportasi
umum terpadu, yaitu sistem transportasi yang mampu menghubungkan orang dan barang dari
satu titik ke titik lain secara efisien dan memiliki kemudahan dalam melakukan perpindahan
dari satu moda ke moda lain (modal shift) tanpa mengurangi waktu tempuh perjalanan.
Pengembangan yang terpadu akan menjadikan MRT tidak hanya berfungsi sebagai sarana
angkutan yang efisien, tetapi juga instrumen yang handal untuk mengarahkan perkembangan
kota besar.

Salah satu negara tetangga terdekat yang sukses dalam mengembangkan MRT sebagai sistem
terpadu ini adalah Singapura. MRT di Singapura sudah dapat dikatakan sebagai “urat nadi”
pertumbuhan ekonomi dan daya tarik investasi. MRT yang dikembangkan di Singapura
terdiri busway dan monorail. Terdapat empat jalur monorail MRT di Singapura dan
semuanya saling terhubung antara satu dengan yang lainnya sehingga penumpang dapat
mengakses seluruh bagian negara Singapura dengan mudah. Selain itu, sistem ini juga
terhubung dengan sistem busway sehingga memudahkan penumpang untuk mengakses lokasi
yang tidak terhubung oleh sistem monorail.
Monorail di Singapura memiliki 87 stasiun dengan
panjang lintasan keseluruhan sepanjang 129,7 km.
Kemudahan lain dari MRT ini ialah adanya sistem
fares and ticketing yang mudah dan murah. Sistem
pembayaran tiket dilakukan dengan
mempergunakan kartu prabayar yang sudah terisi
sejumlah uang maupun uang logam. Keunggulan
sistem ini ialah penumpang hanya perlu satu kali
Singapura, negara yang berhasil membayar pada saat masuk sehingga memberikan
mengembangkan monorail
kemudahan untuk pindah lintasan, pindah moda,
maupun keluar menuju tujuan akhir. Sistem ini
dikoordinasikan secara terintegrasi oleh suatu perusahaan yang khusus menagani masalah
fare and ticketing MRT di Singapura.

Contoh sukses lainnya adalah pengembangan Busway TransMillenio di Kota Bogota


Columbia. Pengembangan tahap pertama dilakukan dari tahun 1999 sampai dengan 2002
yang meliputi 470 bus dalam jalur sepanjang 41 km. Pengembangan TransMillenio tahap dua
dilakukan pada tahun 2002 sampai dengan 2006 dengan penambahan untuk lahan ruang
terbuka dan pedestrian, serta pengembangan sistem pengelolaan. Unsur utamanya
pengembangan armada berkapasitas tinggi, pembangunan jalur busway, dan stasiun
pemberhentian. Hingga saat ini, kapasitas pelayanan TransMillenio Busway merupakan yang
terbesar di dunia karena mampu melayani kebutuhan perangkutan penumpang sekitar 35-40
ribu penumpang per jam. Untuk mempermudah proses ticketing, pihak pengelola
memberlakukan sistem smart card dimana pengguna hanya perlu mengisi kartu dengan
sejumlah nilai uang untuk mendapatkan layanan busway. Jalur busway dibuat dua lajur,
sehingga memungkinkan bus lain untuk menyalip jika bus yang ada di depannya sedang
berhenti.

Suatu keniscayaan
Tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan
perangkutan memiliki peran penting dalam
menggerakkan perekonomian kota-kota besar
di Indonesia. Permintaan akan perangkutan
akan semakin meningkat seiring dengan
pertumbuhan permintaan akan barang dan
jasa. Permintaan layanan perangkutan juga
akan semakin meningkat seiring dengan
Kemacetan telah menjadi keseharian di semakin besarnya jumlah penduduk. Karena
kota besar seperti Jakarta ruang yang terbatas, kota-kota besar seperti
Jakarta tidak mampu memenuhi tingginya
permintaan pergerakan penduduk hanya melalui penambahan jalan dan angkutan umum
berkapasitas kecil. Akibatnya terjadi penurunan tingkat pelayanan jalan pada ruas-ruas
tertentu di mana pergerakan kendaraan menjadi tersendat (fenomena bottleneck). Kondisi
tersebut semakin parah dengan munculnya emisi kendaraan yang dapat menimbulkan
gangguan kondisi kesehatan dan penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, lamanya waktu
yang dihabiskan di jalan dapat menimbulkan dampak psikologis berupa penurunan
ketidakstabilan emosi dan dampak ekonomis berupa penurunan tingkat produktivitas kerja.

Pengembangan MRT dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi persoalan perangkutan
di kota-kota besar tersebut. Keunggulan sistem ini ialah kemampuannya mengangkut
penumpang dalam jumlah besar, cepat, dan dapat diandalkan dalam berbagai situasi. Dengan
mempergunakan MRT, ruang jalan akan jauh lebih efisien karena penggunaan kendaraan
pribadi dapat diminimalisasi.

Kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), dan busway yang sudah dikembangkan di
kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai sarana
transportasi massal. Namun, di berbagai kota, ketiganya belum dapat sepenuhnya
dikategorikan sebagai MRT karena belum memenuhi kriteria sebagai sarana transportasi yang
benar-benar cepat dan handal dalam segala situasi.

Berangkat dari permasalahan lingkaran setan kemacetan di Ibukota Negara, busway misalnya
telah menjadi pilihan angkutan umum massal dan telah direalisasikan dalam waktu yang
relatif cepat sehingga mampu mengalahkan sistem angkutan berbasis rel (KRL) yang sudah
ada di Jakarta. Perlu dicatat bahwa hadirnya busway ini tidaklah dimaksudkan untuk
menghilangkan penggunaan kendaraan pribadi tetapi sebagai suatu usaha untuk
menyeimbangkan antara supply dan demand transportasi. Busway diharapkan dapat
mengoptimalkan penggunaan jalan yang sudah ada dengan cara mengurangi dampak negatif
yang ditimbulkan akibat tidak seimbangnya antara kecepatan penambahan jalan dengan
kecepatan pertumbuhan penggunaan kendaraan. Pada proyek sebelumnya, DKI Jakarta
berencana membuat monorel tetapi proyek tersebut belum terealisasi hingga sekarang karena
terkendala penyediaan dana.

Pengembangan MRT di beberapa kota terbesar di Indonesia, khususnya di Jakarta, dapat


dikatakan cukup telat dan kurang antisipatif karena dilakukan setelah situasi terdesak akibat
semakin parahnya tingkat kemacetan. Padahal, kinerja penataan ruang kota besar dapat
dilihat diantaranya dari berhasil tidaknya penerapan MRT di kota tersebut. Memang lebih
baik telat daripada tidak sama sekali. Namun, sebagai konsekuensinya, kita harus siap
menanggung biaya sosial yang sangat mahal. Beberapa ide pengembangan MRT seperti
busway di luar Jakarta dapat dikatakan cukup antisipatif dengan belajar dari keterlambatan
yang pernah dialami Jakarta. Namun, ini masih merupakan inisiasi dari atas, belum asli
berasal dari prioritas pemerintah lokal. Padahal yang akan merasakan langsung manfaat MRT
adalah pemerintah dan masyarakat lokal, bukan pemerintah pusat.

Rencana pembangunan subway melalui PT MRT Jakarta dapat menjadi terobosan mutakhir
dalam pengembangan sistem angkutan massal, khususnya perkeretaapian, di Indonesia.
Dengan menawarkan kenyamanan, kecepatan dan kapasitas angkut yang yang lebih besar,
MRT berbentuk subway dapat menjadi moda transportasi yang sangat dinanti untuk
keberlanjutan sistem transportasi di Indonesia di masa depan. MRT ini direncanakan akan
mulai beroperasi pada tahun 2016. Proyek MRT Jakarta yang akan dibangun membentang
dari Lebak Bulus di Jakarta Selatan dan Dukuh Atas di Jakarta Pusat sepanjang 14,5 km.
Empat kilometer diantaranya (4 stasiun) dibangun di bawah tanah dan 10,5 km dibangun
melayang di atas jalan (8 stasiun). Proyek ini adalah tahap 1 dari rencana 3 tahap
pembangunan MRT di Jakarta. Tahap 2 adalah dari Dukuh Atas ke Kota; dan tahap 3 adalah
jalur Timur-Barat. Untuk pembangunan Tahap 2 dan tahap 3 saat ini sedang dalam
pembuatan feasibility study.

Rencana Pembangunan MRT di DKI Jakarta


Benturan gaya hidup

Serba Salah Nafasku


Terasa Sesak Berimpitan
Berdesakkan
Bergantungan
Memang Susah
Jadi Orang Yang Tak Punya
Kemanapun Naik Bis Kota

Penggalan lirik di atas berasal dari salah satu lagu Achmad Albar yang cukup populer di
tahun delapan puluhan. Penggalan tersebut sebenarnya merefleksikan pandangan umum
masyarakat kita terhadap angkutan umum massal. Di Indonesia, kendaraan umum, apalagi
yang sifatnya massal, seringkali diidentikkan dengan kendaraan untuk orang miskin. Jika
tidak ditanggulangi, cara pandang yang keliru seperti ini dapat menjadi momok bagi
pengembangan MRT sebagai angkutan publik masa depan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya
masih berpandangan bahwa menggunakan
kendaraan pribadi merupakan simbo l
yang dapat secara efektif menunjukkan
kekayaan, status sosial, dan martabat
seseorang. Cara pandang ini tidak terlepas
dari berkembangnya perilaku
konsumerisme dan individualisme yang
telah lama menggantikan norma
kesederhanaan, tenggang rasa, dan Menerobos lintasan kereta api merupakan
perilaku yang membahayakan keselamatan
kesetiakawananan sosial yang dulu
dikenal sebagai Adat Timur. Globalisasi yang ditunjukkan dengan derasnya impor gaya hidup
liberal dari negara-negara maju telah mengisi norma baru dalam masyarakat. Misalnya
melalui film-film dan produk-produk yang mengedepankan konsumerisme dan gengsi.
Gemerlap kehidupan artis papan atas Hollywood yang tinggal di rumah-rumah mewah di
kawasan pinggiran telah menjadi acuan puncak kualitas hidup yang mengedepankan sisi
materi. Kegiatan melaju dengan menempuh jarak yang jauh dan sangat tergantung dengan
penggunaan kendaraan pribadi telah menjadi gaya hidup tersendiri.
Di Indonesia, angkutan umum khususnya
massal tidak hanya belum digemari
masyarakat, bahkan masih dianggap
sebagai salah satu biang persoalan
perkotaan. Jika ada kecelakaan di pintu
rel, seringkali yang disalahkan adalah
perusahaan kereta api karena dianggap
tidak mampu menjamin keamanan
pengendara mobil atau, yang lebih parah
lagi kereta api itu sendiri sudah dicap Menggunakan jalur busway merupakan
sebagai angkutan yang membahayakan perbuatan yang melanggar tata tertib lalu lintas
keselamatan masyarakat. Baru-baru ini,
pola pikir yang terbalik seperti ini juga diterapkan dalam menyikapi beberapa kecelakaan
akibat menyebrang jalan pada lintasan busway di Jakarta. Atau persoalan keseharian, jika kita
mengendarai kendaraan pribadi melewati kemacetan, maka kita cenderung lebih
menyalahkan bus atau angkutan kota sebagai sumber utama kemacetan karena
pemngemudinya sering menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan.
Mungkin pola pikir seperti ini pulalah
yang secara berangsur telah
menyebabkan punahnya tram yang dulu
pada zaman pendudukan Belanda cukup
diandalkan sebagai sarana angkutan
massal di kota-kota besar seperti Jakarta
dan Semarang. Kondisi ini sungguh
Tram melewati kawasan Glodok, Jakarta ironi karena di negara-negara asalnya
pada tahun 40an pemerintah justru rela menggelontorkan
subsidi dalam jumlah yang besar untuk
menjamin kelangsungan hidup tram ini.

Pengembangan MRT yang harmonis dan berkelanjutan haruslah berangkat dari gerakan
budaya. Kesadaran untuk beralih ke MRT sebaiknya tidak sekedar karena keterpaksaan tetapi
menjadi gaya hidup baru sehingga penerapannya akan menjadi mudah. Sebelum MRT
berkembang, warga Eropa Barat dan Cina terkenal sebagai pecinta sepeda, sebagai cerminan
moda transportasi yang sederhana dan ramah lingkungan. Dengan modal budaya seperti ini,
tidaklah terlalu sulit bagi pemerintah untuk memperkenalkan MRT, sebagai moda
transportasi masa depan, kepada masyarakatnya.

Rekomendasi: Membudayakan MRT

Lalu, apa yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kecintaan masyarakat terhadap MRT?
Pertama, penerapan MRT yang sukses sebagai gerakan budaya memerlukan kepemimpinan
yang kuat. Ini tidak serta merta dapat dimaknai dengan pemimpin yang otoriter. Pemimpin
yang diperlukan adalah yang dapat menjadi teladan yang baik bagi masyarakatnya.
Pemerintah misalnya dapat melakukan gerakan pejabat naik kendaraan umum. Para pejabat
juga seyogyanya memberikan contoh dengan tinggal pada jarak dan lokasi permukiman yang
masih memungkinkan untuk dapat diakses dengan kendaraan umum.

Upaya-upaya terobosan yang cukup kreatif yang dapat secara tidak langsung menunjang
pengembangan MRT pun perlu terus dikembangkan. Misalnya, program car free day di ruas-
ruas jalan tertentu seyogyanya jangan hanya dipandang sebagai program populis atau sekedar
memindahkan simpul kemacetan. Sebaliknya, program seperti ini, terlepas dari berbagai
keterbatasannya, perlu diapresiasi dan didukung karena secara bertahap dalam jangka
panjang dapat berperan dalam menumbuhkan kesadaran dan kebutuhan masyarakat akan
gaya hidup yang lebih efisien, sehat, dan ramah lingkungan.

Kedua, penerapan MRT yang berkelanjutan memerlukan koordinasi antar sektor dan antar
tingkat pemerintahan. Peningkatan penggunaan kendaraan umum oleh masyarakat luas akan
lebih realistis jika diiringi dengan mekanisme disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi
dan insentif bagi pengguna kendaraan umum. Pemerintah perlu secara konsisten mengelola
dampak industri kendaraan melalui misalnya penerapan pajak yang tinggi dan subsidi BBM
yang lebih selektif. Sebagai kompensasinya, pemerintah dapat mengalihkan dana yang ada
untuk pengembangan infrastruktur massal dan penunjangnya. Pembangunan rel kereta api
misalnya menjadi prioritas sehingga tidak terlalu tergantung dengan jalan tol.

Ketiga, seringkali kendala yang dihadapi bukanlah pada kualitas pelayanan MRT, tetapi
fasilitas penunjangnya. Untuk itu, dalam kerangka pengembangan MRT yang terpadu,
pemerintah harus mulai memikirkan misalnya sarana angkutan feeder (antara) yang handal
yang dapat menghubungkan rute MRT dengan pusat-pusat permukiman. Pemerintah juga
perlu memperbaiki jalur-jalur pejalan kaki yang menghubungkan halte-halte dengan pusat-
pusat kegiatan.

Dalam jangka panjang, pengembangan pusat-pusat permukiman maupun pusat-pusat kegiatan


baru di suatu kota perlu terintegrasi dengan master plan MRT. MRT sebagai sarana angkutan
skala perkotaan juga perlu lebih terintegrasi dengan sistem transportasi skala wilayah maupun
nasional. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengembangkan simpul-simpul
penghubung antar-moda seperti pengembangan halte MRT yang dipadukan dengan
pengembangan lokasi terminal bus, stasiun kereta api, atau bahkan bandar udara dan
pelabuhan. Lebih jauh lagi, sistem pembayaran sebaiknya memanfaatkan teknologi otomatis
seperti kartu prabayar atau chip dan sebaiknya dapat terintegrasi dengan moda angkutan
umum lain sehingga lebih efisien bagi pengguna.

Keempat, pengembangan MRT yang tangguh harus bertahap dan memperhatikan dampak
sosial selama proses transisi. Pengembangan MRT sebaiknya dimulai dengan yang sederhana
seperti busway. Lalu, seiring dengan bertambah rumitnya sistem pergerakan di suatu kota,
program berikutnya dapat melibatkan moda yang lebih rumit pula seperti monorail, tram, atau
subway.

Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan MRT berkonsekuensi pada
pengurangan lapangan kerja sektor transportasi kota karena operasinya relatif lebih padat
modal. Pemerintah harus memikirkan proses adaptasi dan pengalihan sebagian tenaga kerja
dan pengusaha sektor transportasi secara bertahap melalui peningkatan kapasitas, bantuan
permodalan, ataupun penyediaan lapangan kerja baru.

Anda mungkin juga menyukai