Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS

PRURITUS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Kulit Kelamin Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh :
Ari Astuti
2006 031 0020

Diajukan Kepada :
dr. Endang TS, Sp. KK

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT KELAMIN RSUD TIDAR MAGELANG


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2010
1
LAPORAN PRESENTASI KASUS
“PRURITUS”

A. KASUS
BLANKO LAPORAN KASUS
Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Tidar Magelang
Tanggal 30 November 2010

Nama Pasien : Tn. Rambat Nama Koas : Ari Astuti


Umur : 60 tahun No. Mhs. : 2006.031.0020
Alamat : Kebon Agung, Kec. Tempuran, Residen : -
Kabupaten Magelang Konsulen : dr. Endang T.S, Sp.KK

ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Gatal di seluruh tubuh

2. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien merasakan gatal di seluruh tubuh sejak satu minggu yang lalu. Tidak terdapat
bercak pada kulit namun terasa gatal sehingga pasien menggaruknya. Pasien pernah
berobat ke puskesmas sebelumnya namun gatal tidak juga hilang. Tensi 170/70 mmHg.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :


- Riwayat penyakit yang sama sebelumnya (-)
- Riwayat alergi (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang sedang mengalami atau pernah mengalami hal yang
sama sebelumnya.

2
PEMERIKSAAN FISIK
Tidak ditemukan lesi primer maupun sekunder pada kulit.

DIAGNOSIS BANDING
1. Pruritus
2. Xerosis
3. Scabies

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hitung darah lengkap (CBC)
2. BUN dan kreatinin serum
3. Tes tiroid (pemeriksaan kadar TSH dan T3-bebas)
4. Elektroforesis protein (AFP, bilirubin direk, indirek)
5. Biopsi kulit
6. CT-scan atau USG abdomen, chest radiography

DIAGNOSIS : Pruritus

TERAPI :
Terapi yang diberikan adalah untuk menghilangkan atau meringankan rasa gatal sebelum
penyebab yang mendasarinya diketahui, yaitu antihistamin oral seperti chlorpheniramine
maleat (CTM), dosis dewasa 4 mg setiap 4-6 jam (maksimal 24 mg sehari); anak usia di
bawah 1 tahun tidak direkomendasikan, usia 1-2 tahun 1 mg 2x sehari, usia 2-5 tahun 1 mg
setiap 4-6 jam (maksimal 6 mg sehari), usia 6-12 tahun 2 mg setiap 4-6 jam (maksimal 12 mg
sehari) atau antihistamin lain bisa diberikan cetirizine diHcl 10 mg 1 kali sehari (dosis
maksimal 10 mg/hari).

SARAN : edukasi terhadap pasien agar tidak menggaruk kulit yang gatal sehingga tidak
timbul lesi sekunder.

3
II. PEMBAHASAN
PRURITUS

1. Definisi
Pruritus atau gatal digambarkan sebagai sensasi tidak menyenangkan di kulit yang
menimbulkan keinginan untuk menggaruk. Pruritus yang hebat menyebabkan pasien menggaruk
kulit lebih dalam dan lama, sehingga kadang kulit bisa sampai berdarah karena sensasi nyeri
ditoleransi lebih baik daripada rasa gatal. Lokasi timbulnya pruritus bisa lokal maupun general
tergantung penyebab yang mendasarinya. Gatal bisa terjadi pada dermatitis/eczema ataupun pada
gigitan serangga. Beberapa gangguan dermatologis tersebut dapat menyebabkan gatal dan ini
harus dieksklusi bila mempertimbangkan pruritus sebagai diagnosisnya. Pruritus yang tidak
disertai lesi kulit primer disebut sebagai pruritus esensial atau pruritus sine materia.

Pruritus Generalisata

Anamnesis umum + pemeriksaan fisik

Ya,  diobati sesuai


Sumber eksternal, obat, atau penyakit sistemik dasar
penyebabnya

Tidak,  Pemeriksaan kulit lengkap

Ekskoriasi tanpa diagnosis atau tidak


ada lesi yang dapat diidentifikasi Perbaikan  hentikan terapi,
evaluasi ulang

Obati selama 2 minggu dengan Tidak ada perbaikan  ulangi


antihistamin, emolien, losio, atau anamnesis, pemeriksaan fisik, profil
sabun ringan. kimia, CBC, elektroforesis protein,
urinalisis, tes tiroid, dll

4
Pruritus esensial biasanya timbul secara general dan dimungkinkan terjadi karena adanya
penyakit sistemik penyerta yang disebut sebagai pruritus renal, pruritus kolestasis, pruritus
hematologis, pruritus endokrin, pruritus gravidarum, maupun pruritus yang berhubungan dengan
keganasan. Pruritus juga dapat terjadi tanpa diketahui penyebab pastinya, sehingga pasien
dengan pruritus memerlukan dukungan emosional dari keluarga dan penyedia layanan kesehatan.

2. Etiopatofisiologi
Mekanisme pruritus secara umum berhubungan dengan inisiasi reseptor saraf yang
bertanggungjawab menimbulkan rasa gatal yang ada di kulit. Sensasi pruritus ditransmisikan
lewat saraf nosiseptif tak bermielin dimana akhiran saraf bebasnya terletak di dekat jembatan
dermoepidermal. Neuron yang mentransmisikan sensasi pruritus ini lebih sensitif terhadap
neurotransmitter-neuropeptida yang menginduksi sensasi gatal dibanding sensasi nyeri.
Neurotransmitter-neuropeptida yang bertanggungjawab atas sensasi gatal antara lain histamin,
serotonin, bradikinin, neuropeptida-P, protease, dan endothelin (yang menghasilkan oksida
nitrat). Opioid juga dikenal sebagai salah satu modulator terjadinya pruritus. Sensitisasi reseptor
µ-opioid menginisiasi pruritus, sedangkan blokade reseptor µ-opioid dan stimulasi reseptor-
kappa menekan kejadian pruritus. Impuls kemudian ditransmisikan secara aferen lewat ganglion
sensorium nervi spinalis menuju cornu dorsalis medulla spinalis lalu dilanjutkan ke traktus
spinotalamikus. Proyeksi aferen ini lalu diteruskan ke thalamus untuk kemudian diterjemahkan
di korteks gyrus postcentralis sebagai rasa gatal (pruritus). Pruritus yang terjadi karena adanya
underlying disease atau penyakit penyerta sistemik bisa mempunyai mekanisme patofisiologi
yang berbeda satu sama lain.

a. Pruritus Renal
Pruritus renal terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronis (CRF) yang mendapat
hemodialisis (HD) dan tidak dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal akut (ARF). Pruritus renal
bersinonim dengan pruritus uremia, namun sebenarnya kejadian pruritus ini tidak ditimbulkan
karena adanya uremia. Pruritus ditimbulkan karena histamin bersirkulasi secara sistemik pada
pasien yang menerima HD, ditemukan kenaikan jumlah mastosit di berbagai organ, dan
peningkatan level serotonin.

5
b. Pruritus Kolestasis
Kolestasis adalah berhentinya atau tersumbatnya aliran empedu (bilier). Sumbatan ini bisa
terjadi karena gangguan di hepar (misalnya sirosis hepatis) atau memang karena sumbatan
terletak di saluran empedu. Kenaikan level histamin di vasa darah dan konsentrasi garam empedu
dalam hepar, serta penurunan level albumin intravasa menginisiasi terjadinya pruritus.

c. Pruritus Hematologis
Ion besi dikenal sebagai substansi kimiawi yang berperan dalam reaksi enzimatik tubuh.
Walaupun defisiensi besi tidak menyebabkan pruritus secara langsung, namun mekanisme
metabolik yang disebabkan karena defisiensi ini menyebabkan timbulnya pruritus. Gangguan ini
dapat dialami pada pasien dengan anemia defisiensi besi.
Kenaikan level basofil yang bersirkulasi dalam darah dan mastosit di kulit sehingga
menyebabkan pruritus juga dapat dijumpai pada pasien dengan polisitemia vera. Sensasi gatal
pada pasien polisitemia vera dirasakan setelah mandi dengan air panas. Prostaglandin yang
dihasilkan mastosit dan peningkatan degranulasi platelet ini berkorelasi dengan pelepasan
serotonin, yang akhirnya menyebabkan pruritus.

d. Pruritus Endokrin
Hipertiroidisme berhubungan dengan insidensi pruritus. Elevasi jumlah hormon tiroid
mengaktivasi kinin untuk meningkatkan metabolisme jaringan. Reaksi vasodilatasi saat
metabolisme menurunkan ambang batas gatal pada kulit sehingga pruritus mudah terjadi.
Hipotiroidisme juga berhubungan dengan pruritus karena penurunan metabolisme tubuh
mengakibatkan xerosis, kulit menjadi kering, timbul fisura (chapped skin) sehingga mudah
mengalami pruritus. Pasien dengan diabetes mellitus juga dilaporkan bisa mengalami gangguan
ini. Abnormalitas metabolik, disfungsi autonomis, anhidrosis, dan neuropati diabetikum
dimungkinkan mampu menginisiasi terjadinya pruritus.

e. Pruritus Gravidarum
Pruritus gravidarum diinduksi oleh estrogen dan kadang berhubungan dengan kolestasis
(pregnancy cholestasis). Pruritus terutama terdapat pada trimester akhir kehamilan, yang dimulai
dari abdomen atau badan, kemudian generalisata. Ada kalanya pruritus disertai anoreksia,

6
nausea, dan muntah. Penampakan objektif terlihat ekskoriasi karena garukan. Pruritus akan
hilang setelah penderita melahirkan tetapi dapat residif pada kehamilan berikutnya.

f. Pruritus yang berhubungan dengan keganasan


Pengeluaran toksin dan mediator sistem imun mempunyai peran penting pada mekanisme
pruritus yang berhubungan dengan keganasan. Pada pasien dengan limfoma Hodgkin,
leukopeptidase dan bradikinin nampak sebagai mediator pruritogenik utama dari sel limfoid
maligna tersebut.

3. Epidemiologi
Pruritus mengenai 20% orang dewasa di Amerika Serikat dengan sekitar 40-50% didasari
oleh penyakit penyerta sistemik.
- Renal pruritus mengenai sekitar 66% pasien CRF yang mendapat HD. Pasien yang tidak
mendapat HD prevalensinya sekitar 30%.
- Pasien kolestasis dengan sirosis bilier primer 60% mengalami pruritus.
- Pasien polisitemia vera 48-70% mengalami pruritus aquagenik.
- Hipertiroidisme menyebabkan pruritus sekitar 4-11%, umumnya pada pasien yang tidak
mendapat terapi/penanganan adekuat. Sedangkan prevalensi pruritus untuk hipotiroidisme
dan DM tidak diketahui dengan pasti karena lebih jarang terjadi.
- Prevalensi pruritus yang berhubungan dengan keganasan sangat sedikit, sekitar 1-8%.
Didominasi oleh Hodgkin limfoma sekitar 35% dari jumlah keseluruhan dan 10% oleh non-
hodgkin lymphoma (NHL).

4. Penampakan Klinis
Anamnesis riwayat penyakit sekarang meliputi onset, lokasi, durasi, derajat keparahan, faktor
yang memprovokasi, dan hubungannya dengan aktivitas seperti mandi, harus digali dari pasien
dengan cermat. ROS (Review of Systems) dibutuhkan untuk melihat kemungkinan adanya
penyakit sistemik yang mempengaruhi. Riwayat mengkonsumsi obat juga perlu ditanyakan
untuk mengeksklusi pruritus karena obat. Riwayat penyalahgunaan alcohol juga diperlukan
untuk mengetahui penyebab pruritus karena penyakit hati kronis bisa menimbulkan kolestasis.
Stress emosional dapat menginisiasi terjadinya pruritus karena gangguan psikiatrik.

7
a. Pruritus Renal
Gejala pruritus bisa berlangsung pada umumnya--gatal terus menerus dari pagi sampai
malam hari, hingga gejala yang sangat jarang terjadi--pruritus timbul secara spontan sehingga
menyebabkan ketidaknyamanan paroksismal. Penderita pruritus renal sebanyak 46% mengalami
gatal setiap hari, sedangkan pruritus timbul mingguan atau bulanan pada 52% pasien. Pruritus
lokal terjadi pada 56% pasien dan paling sering dirasakan di punggung, abdomen, kepala, dan
tangan. Lokasi di kepala yang paling sering timbul adalah di vertex, dapat pula dijumpai
ekskoriasi. Gejala eksaserbasi timbul pada malam hari, selama, atau setelah HD. Intensitas gatal
bisa naik pada musim panas. Kadang dijumpai xerosis difus dan half-and-half nails, neuropati
perifer, dan uremia.

Half-and-half nail

b. Pruritus Kolestasis
Pruritus kolestatis timbul intermitten, ringan, dan bisa lokal maupun general. Rasa gatal
memburuk pada tangan, kaki, dan sekitar baju yang ketat. Pruritus dan kelelahan paling sering
timbul pada pasien dengan sirosis bilier primer.

c. Pruritus Hematologis
Hubungan antara pruritus hematologis dengan defisiensi besi masih diperdebatkan, rasa gatal
ini timbul secara general, kadang bisa terkonsentrasi di perianal dan regio vulva. Pasien dengan
polisitemia vera akan mengalami rasa gatal setelah mandi dengan air panas yang akan timbul
beberapa menit setelah kontak dengan air. Sensasi gatal ini juga bisa timbul beberapa tahun
setelah pasien menderita polisitemia. Gejala penyerta pada pruritus hematologis antara lain
pusing, gangguan penglihatan, penurunan berat badan, keringat malam, vertigo, dan eritem pada
jari-jari tangan kaki. Pasien pruritus hematologis mungkin pucat, hal ini berhubungan dengan

8
anemia, seperti anemia defisiensi besi. Kulit kemerahan dijumpai pada pasien polisitemia vera,
dengan distribusi antara lain di bibir, hidung, telinga, dan leher, serta hipertensi dan pembesaran
lien.

d. Pruritus Endokrin
Pada sebagian besar pasien, pruritus endokrin terjadi secara general dan disertai gejala klinis
hipertiroidisme atau hipotiroidisme. Pruritus yang berhubungan dengan diabetes mellitus jarang
terjadi. Pasien dengan hipertiroidisme mempunyai kulit yang hangat, halus, dan baik, namun bisa
juga terdapat urtikaria kronis dan angioedema, sedangkan pasien dengan hipotiroidisme
mempunyai kuku yang rapuh dan kering.

e. Pruritus Gravidarum
Pruritus terutama terdapat pada trimester akhir kehamilan, yang dimulai dari abdomen atau
badan, kemudian generalisata. Ada kalanya pruritus disertai anoreksia, nausea, dan muntah.
Penampakan objektif terlihat ekskoriasi karena garukan. Pruritus akan hilang setelah penderita
melahirkan tetapi dapat residif pada kehamilan berikutnya.

f. Pruritus yang berhubungan dengan keganasan


Gejala pruritus pada pasien limfoma berbeda dengan pasien karsinoma. Pruritus pada
karsinoma berlangsung dari sedang sampai berat dengan lokasi terbanyak di permukaan
ekstensor ekstremitas superior dan permukaan anterior cruris. Pruritus pada lubang hidung
mungkin berhubungan dengan tumor otak. Pruritus pasien limfoma biasanya muncul kurang
lebih 5 tahun setelah terjadinya limfoma, paling sering pada penyakit non-hodgkin subtype
sklerosis nodular. Rasa gatal ini tidak dapat ditoleransi, kontinyu, berat, dan sering disertai
sensasi terbakar pada kulit, diawali pada ekstremitas inferior kemudian menyebar ke seluruh
tubuh. Jika terlokalisasi, pruritus hanya terasa pada aliran limfatik sekitar proses limfoma
tersebut. Pruritus leukemia diawali secara general dan tidak lebih berat dibanding limfoma.

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dibutuhkan untuk mengetahui penyebab pruritus walaupun
pemeriksaan klinis juga bisa menandai adanya kelainan sistemik tertentu. Pemeriksaan

9
laboratoris yang bisa dilakukan untuk mendiagnosis kemungkinan pruritus karena penyakit
penyerta sistemik antara lain :
No. Jenis pemeriksaan Temuan Penyerta sistemik Jenis pruritus
- Hct > 65%
Polisitemia Vera
-  MCV, >98 fl
- RBC normal atau <2,8
Hitung darah lengkap
1. juta/mm3
(CBC) Anemia
- Hb , <10 gr/dl Pruritus
defisiensi besi
-  MCV, MCH, Hematologis
MCHC
2. Kadar vitamin B12 serum , >900 pg/ml Polisitemia vera
TIBC (Total Iron Binding Anemia
3. , >360 µg/dl
Capacity) defisiensi besi
- BUN > 40 mmol/l
atau >120mg%
BUN (blood urea
4. - Level serum kreatinin CRF Pruritus Renal
nitrogen), serum kreatinin
>90µmol/l atau
>10mg%
AFP
5.  level Kolestasis Pruritus
Bilirubin direk, indirek
kolestasis
6. USG abdomen Obstruksi bilier primer kolestasis
TSH , T3-bebas  Hipertiroidisme Pruritus
7. Level TSH, T3-bebas
TSH , T3-bebas  hipotiroidisme endokrin
Limfadenopati Hodgkin Pruritus
8. Chest radiography
mediastinum lymphoma malignansi

6. Penatalaksanaan
Terapi pruritus didasarkan pada etiologi yang mendasarinya. Tanpa diketahui penyebabnya,
terapi yang diberikan hanya bersifat paliatif dan hasilnya tidak begitu memuaskan. Secara umum,
anti-pruritus utama adalah antihistamin, yang bekerja menghambat reseptor histamin agar tidak
berikatan dengan histamin. Antihistamin berperan menggantikan histamin dengan cara

10
menempati reseptor histamin sehingga reseptor histamin menjadi inaktif dan pruritus dapat
dihindari. Antihistamin yang diberikan untuk pasien pruritus bisa disertai dengan zat sedatif agar
pasien bisa sekaligus istirahat, seperti chlorpheniramine maleat (CTM), dosis dewasa 4 mg setiap
4-6 jam (maksimal 24 mg sehari); anak usia di bawah 1 tahun tidak direkomendasikan, usia 1-2
tahun 1 mg 2x sehari, usia 2-5 tahun 1 mg setiap 4-6 jam (maksimal 6 mg sehari), usia 6-12
tahun 2 mg setiap 4-6 jam (maksimal 12 mg sehari) atau antihistamin lain bisa diberikan
cetirizine diHcl 10 mg 1 kali sehari (dosis maksimal 10 mg/hari).

a. Pruritus Renal
- Terapi sistemik : arang aktif (activated carchoal), merupakan pilihan terapi lini pertama
pada pasien dengan pruritus renal. Mekanisme utamanya tidak diketahui dengan pasti,
namun bersifat sebagai pengikat agen pruritogenik. Pemberian arang aktif tidak boleh
dicampur dengan susu atau es krim karena akan menurunkan kadar absorbsinya. Efek
samping pemberian arang aktif antara lain diare, emesis, nausea, melena,
ketidakseimbangan elektrolit, hipotensi, dan obstruksi gastrointestinal.
o Dewasa : 6 gr 4x1 (PO)
o Anak : <1 th = tidak direkomendasikan, >1th = dosis seperti pada orang dewasa.
- Topikal : salep capsaisin 0,025%. Berasal dari family Solanaceae, capsaisin menurunkan
sensasi pruritus dengan cara menekan kinerja substansi P pada saraf sensoris perifer
sehingga menurunkan transmisi sensasi pruritus. Capsaisin hanya digunakan secara
topical.
o Dewasa : topical 3-4 kali sehari selama 3-4 minggu lalu dievaluasi.
o Anak : sama dengan dewasa.

b. Pruritus Kolestasis
Kolestiramin menjadi pilihan utama terapi pruritus kolestasis, bekerja menghambat sirkulasi
enterohepatik dengan cara berikatan dengan asam empedu di gastrointestinal.
o Dewasa : 4-16 gr peroral, 4 kali sehari dengan dosis terbagi. Diberikan 4 gr
sebelum dan sesudah makan untuk mengimbangi kontraksi vesica felea. Pemberian tidak
boleh >16 gr perhari.
o Anak : tidak direkomendasikan.

11
Kolestiramin bisa menyebabkan reaksi hipersensitivitas, menghambat penyerapan vitamin A,
D, E, dan K, konstipasi, dan nausea.

c. Pruritus Hematologis
Aspirin adalah terapi sistemik pilihan utama untuk pasien pruritus dengan polisitemia vera,
bekerja dengan cara menurunkan kadar serotonin dan prostaglandin akibat degranulasi
platelet.
o Dewasa : 300-500 mg 4 kali sehari peroral.
o Anak : tidak direkomendasikan
Aspirin bisa menyebabkan reaksi hipersensitivitas, kerusakan hepar, hiperprotrombinemia,
defisiensi vitamin K, asma, maupun gangguan perdarahan.

d. Pruritus Endokrin
Pruritus pada hipotiroidisme bersifat sekunder, berhubungan dengan metabolisme yang
kurang sehingga kulit menjadi xerosis. Terapi dapat diberikan emolien dan terapi sulih
hormon (thyroid hormone-replacement). Pada pasien hipertiroidisme, pruritus diatasi dengan
koreksi fungsi tiroid disamping pemberian antihistamin oral.

e. Pruritus generalisata dapat pula menyerang daerah vagina. Pimecrolimus topikal bisa
diberikan untuk mencegah terjadinya pruritus vaginal kronis. Berasal dari derivat ascomycin,
substansi alami yang diproduksi oleh jamur Streptomyces hygroscopicus var ascomyceticus
ini secara selektif menghambat produksi dan pengeluaran sitokin inflamatoar dari sel T aktif
dengan cara berikatan dengan imunofilin sitosol reseptor makrofin-12.

7. Prognosis dan Komplikasi


Kesulitan tidur dan ide bunuh diri dapat dijumpai pada pasien dengan pruritus berat. Wanita
hamil <33 minggu yang tidak mendapat terapi pruritus adekuat dapat mengalami persalinan awal
(preterm) bahkan kematian janin. Komplikasi lain yang dapat dijumpai antara lain liken simpleks
kronis, nodul prurigo, ekskoriasi, maupun infeksi sekunder.

12
Pruritus renal merupakan pertanda independen terjadinya mortalitas 3 tahun kemudian pada
pasien yang mendapat hemodialisis. Pasien Hodgkin lymphoma dengan pruritus generalisata
berat juga mempunyai prognosis buruk.

III. KESIMPULAN
Pruritus adalah sensasi tidak menyenangkan di kulit yang menimbulkan keinginan untuk
menggaruk. Pruritus generalisata tanpa lesi primer bisa disebabkan karena terdapat penyakit
penyerta sistemik yang mendasarinya, antara lain CRF, gangguan hematologis, gangguan
endokrin, gangguan hepatobilier, maupun keganasan. Terapi paliatif seperti antihistamin
diperlukan untuk meringankan gejala namun hanya pengobatan terhadap penyakit yang
mendasarinya pruritus bisa dihentikan.

13
IV. DAFTAR PUSTAKA

David F Butler, MD, Jared J Lund, MD, 2010. Pruritus and Systemic Disease. Diakses tanggal 8
Desember 2010, dari www.emedicine.medscape.com

Nora V. Bergasa. 2005. The Pruritus of Cholestasis. Review Journal of Hepathology 43 (2005) :
1078-1088 : Elsevier

Pour-Reza-Gholi, F., Nasrollahi, A., Firouzan, A., Esfahani, E.N., Farrokhi, F. 2007. Low-Dose
Doxepin for Treatment of Pruritus in Patients on Hemodialysis. Iranian Journal of Kidney
Disease (IJKD) volume 1 num 1.

Putz, R., Pabst, R. 2003. Sobotta-Atlas Anatomi Manusia Jilid 1 : Kepala, Leher, Ekstremitas
Atas. Jakarta : EGC

14

Anda mungkin juga menyukai