107 – 114
ISSN 1978 - 3000
Dewan Redaksi
Ketua Dr. Ir. Rustama Saepudin, MSc.
Dr. Irma Badarina, SPt, MP.
Reviewer 1. Prof. Dr. Ir. Urip Santoso, MSc
2. Prof. Dr.agr. Johan Setianto
3. Dr.Ir. Yosi Fenita, MP
4. Dr. Ir. Dwatmadji, MSc
5. Heri Dwi Putranto, SP.t, MS.c, Ph.D
6. Dr. Ir. Bieng Brata, MP
7. Dr. Ir. Dadang Suherman, MS.i
8. Dr. Ir. Basyarudin Zain, MP
Jurnal Sain Peternakan Indonesia adalah majalah ilmiah resmi yang dikeluarkan
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, sebagai
sumbangannya kepada pengembangan ilmu Peternakan yang diterbitkan dalam
Bahasa Indonesia dan Inggris yang memuat hasil-hasil penelitian,telaah/tinjauan
pustaka, kasus lapang atau gagasan dalam bidang peternakan.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia (ISSN 1978 – 3000) dalam satu tahun terbit dua
kali (Januari-Juni dan Juli -Desember). Edisi khusus dalam Bahasa Inggris dapat
diterbitkan apabila perlu. Redaksi menerima tulisan di bidang peternakan yang
belum pernah dipublikasikan.
EDITORIAL
Salam Redaksi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia (JSPI) telah berusia 8 tahun dan tercermin dari
volume edisi ini, yaitu volume 8 no 2. Usia 8 tahun adalah relatif muda untuk dikatakan
sudah mapan, tetapi JSPI senantia berusaha untuk tampil dengan sebaik-baiknya.
Pada volume ini, kembali JSPI menampilkan berbagai artikel ilmiah bidang
peternakan, mulai dari aspek fisiologis, produksi, nutrisi, pemuliaan, teknologi hasil,
dan aneka hewan potensial, termasuk kajian pada aspek sosial ekonominya. Khusu
pada edisi ini dimuat tanggapan terhadap artikel berjudul “Pengaruh Suplementasi
Daun Katuk Terhadap Ukuran Ovarium dan Oviduk Serta Tampilan Produksi Telur
Ayam Burgo” pada JSPI Vol 6 No. 2 halaman 103-114. Tanggapan ini diperlukan
Artikel yang ada telah melewati proses telaah dan editing, namun demikian masukan
dari pembaca masih sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Akhirnya, semoga artikel yang disajikan ini semakin memberikan wahana baru dalam
Selamat membaca
Redaksi
ISSN 1978 - 3000
DAFTAR ISI
Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Katuk (Sauropus Androgynus)
Terhadap Kadar Kolesterol Telur Itik Mojosari (Anas Javanica).
(DiahKasmirah, YosiFenita, UripSantoso) 77 – 86
Penambahan Tepung Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn)
Dalam Ransum Terhadap performan pertumbuha ayam broiler.( Septi
Susanti, Johan Setianto, Warnoto) 87 – 96
Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan
Suplementasi Tepung Kelopak Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn)
(Gustina, Olfa Mega, R. Saepudin) 97 – 110
Karakteristik Morfologis Dan Reproduksi Kerbau Pampangan Di Propinsi
Sumatera Selatan. (Muhakka, Riswandi dan Asep Indra M. Ali) 111 – 120
Model Penentuan Suhu Kritis Pada Sapi Perah Berdasarkan Kemampuan
Produksi Dan Manajemen Pakan (D. Suherman2, B.P. Purwanto3, W.
Manalu4, I.G. Permana5 ) 121 – 138
Pengaruh Penambahan Tepung Ikan Sidat (Anguilla Spp) Pada Pembuatan
Tortilla Chips Terhadap Nilai Gizi, Kadar Air Dan Daya Terima
Organoleptik (Yenni Okfrianti, Kamsiah, Dirga Gusti Veli) 139 - 152
Kualitas Karkas serta Uji Organoleptik Ayam Peraskok, Ayam Buras
Kampung, dan Ayam Broiler pada Umur Potong Belah Empat
(Kususiyah) 153 -158
Pengaruh Variasi Konsentrasi Tepung KedelaisebagaiBahan Pengikat
terhadap Kadar Air dan MutuOrganoleptik Nugget Ikan Gabus
(Ophiocephalus sriatus) (Yenni Ofrianti, Jamila Wati) 159-168
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras Pedaging dengan Sistem
Kemitraan Berbeda di Kecamatan Tellusiattinge Kabupaten Bone (Analysis
of Broiler Breeders Income with Different Partnership System in Bone
Regency, District Tellusiattinge) (S. N. Sirajuddin, V. S Lestari, dan
M.Nizam) 169 - 175
ABSTRACT
The aim of this study was to evaluate the effect of different levels of Katuk
(Sauropus androgynus) meal supplementation on egg cholesterol of Mojosari ducks.
The research was conducted from 23rd July to 17th September 2012. A total of 36
Mojosari ducks was assigned to completely randomized design. The experimental
animals were distributed into four treatment groups as follows: R0 (diet without
katuk leaf meal), R1 (diet + 2,5% katuk leaf meal), R2 (diet + 5% katuk leaf meal), R3
(diet + 7,5% katuk leaf meal) with three replication (nine ducks each). The results
showed that katuk meal supplementation with levels of 2,5%, 5% and 7,5% which
were mixedinto ration reduce egg yolk weight and egg cholesterol level. The result
analysis of ANOVA showed that katuk meal supplementation had significantly
reduced egg yolk weight and egg cholesterol level of Mojosari ducks at the 8th week
of observation (P<0.01). Moreover, katuk (Sauropus androgynus) meal
supplementation which was mixed into ration did not significantly affect egg yolk
weight percentage. In conclusion, katuk (Sauropus androgynus) meal
supplementation up to 5% in diet reduce egg yolk weight and egg cholesterol level
of Mojosari ducks, but did not significantly affect egg yolk weight percentage.
Keywords: Mojosari ducks, egg yolk, egg cholesterol level, and Sauropus
androgynus leaf meal
ABSTRAK
ulangan terdiri dari tiga itik Mojosari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian tepung daun katuk (Saurpusandrogynus) dengan taraf 2,5%, 5%, dan 7,5%
dalam ransum menurunkan berat kuning telur dan kadar kolesterol. Hasil analisis
ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa pemberian tepung daun katuk berpengaruh
sangat nyata (P<0,01) menurunkan berat kuning telur pada pengamatan minggu ke
8 dan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) menurunkan kadar kolesterol telur itik.
Penambahan tepung daun katuk dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap
persentase berat kuning telur. Disimpulkan bahwa pemberian tepung daun katuk
pada level ≥ 5% dalam ransum, menurunkan berat kuning telur dan kadar
kolesterol telur itik Mojosari, tetapi tidak menurunkan persentase berat kuning
telur.Kata kunci: Itik Mojosari, kuning telur, kadar kolesterol telur, tepung daun
katuk (Sauropus androgynus)
Kata kunci : Itik mojosari, kuning telur, level kolesterol telur, tepung daun
Sauropus androgynus
Tabel 3. Pengaruh penggunaan tepung daun katuk terhadap kadar kolesterol telur
Perlakuan
Pengamatan R0 R1 R2 R3 SD P
Kolesterol (mg/%) 1,54b 1,78a 1,35c 1,28c 0,22 P<0,01
Kolesterol (mg/ 1 g kuning
telur) 15,35b 17,84a 13,53c 12,82c 2,24 P<0,01
Kolesterol (mg/ butir telur) 375,86a 385,7a 248,15b 216,68b 1,43 P<0,01
Ket : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P>0,05) R0 =
ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2,5% Tepung Daun Katuk (TDK), R2 ransum kontrol + 5 % TDK, R3 = ransum
kontrol + 7,5% TDK.
The Effect Of Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) Petal Flour In Diet On Growth
Performance Of Broiler Chicken
Septi Susanti, Johan Setianto, Warnoto
ABSTRACT
This research aims to investigate the effect of rosella (Hibiscus sabdariffa Linn)
petal flour supplementation in 18,47% protein diet on growth performance of
broiler chickens. A total ofbroiler chickens were distributed into 4 treatment groups
with 4 chickens in each group as replications. The treatmen groups were P0 (control
group), P1 (basal diet +0,5% rosella petal flour), P2 (basal diet + 1% rosella petal
flour) and P3 (basal diet +1,5% rosella petal flour). Result showed that based on the
research results, it is revealed that rosella petal flour supplementation of 0,5%, 1%,
1,5% had significantly decreased feed intake, body weight and weight gain, how
ever, the rosella petal flour supplementation of 1,5% increased feed conversion
(P<0,05)
Keyword :Supplement, broiler, performance, rosella
ABSTRAK
pertambahan berat badan tetapi penambahan tepung kelopak bunga rosella 1,5%
meningkatkan konversi ransum (P<0,05).
Kata Kunci :Feed suplement, broiler, prforman, tepung kelopak bunga rosella
ABSTRACT
This research to evaluate the impact of rosella petal flour (Hibiscus sabdariffa
Linn) on the quality of carcass broiler. This research used completely randomized
design of 4 treatments and 4 replicates groups. There fore the total broiler, used in
this research were is 48 broilers. The treatment consists of P0 (basal ration), P1 (basal
ration+0.5% flour petals rosella), P2 (basal ration+1% of flour petals rosella), P3
(basal ration+1.5% flour petals rosella). The results showed that giving flour petals
rosella significantly reduced weight of carcass (P< 0.05). On treatment of the P3
(331,13 g) was much lower than P2 (390,50 g), P1 (488,38 g) and P0 (606,25 g).
Treatment of the carcass weight of P2 (390,50 g) was much lower than P1 (488,38 g)
and P0 (606,25 g) and weight of carcass treatment P1 (488,38 g) was much lower
than P0 (606,25 g). On the other hard, giving rosella petal flour was not significantly
affect on the percentage of carcass (P0 59,14%, 58,84% P1, P2, and P3 59,62% 59,91%),
color of the carcass (ranging from 3.03-3.27), and meat bone ratio thighs and chest
(ranged thigh 1.96-2.63 and chest range from 1.95-3.29). Giving flour petals rosella
(Hibiscus sabdariffa Linn) reduced weight of carcass but did not affect the percentage
of carcass, carcass color, and meat bone ratio of thighs and chest.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kualitas karkas ayam broiler dengan
ransum protein yang menggunakan tepung kelopak bunga rosella (Hibiscus
sabdariffa Linn) sebagai feed suplement. Penelitian ini menggunakan rancangan acak
lengkap dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan.Ayam yang digunakan sebanyak 48
Kata Kunci :Feed suplement, kualitas karkas, tepung kelopak bunga rosella
98 | Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
100 | Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
vitamin C kelopak bunga rosella yang ayam broiler selama penelitian adalah
terdapat dalam ransum perlakuan 454 g/ekor, dengan kisaran 331,13
(P1, P2, P3) yaitu 14 ppm (P1), 28 ppm g/ekor sampai dengan 606,25 g/ekor.
(P2) dan 42 ppm (P3). Oleh karena itu Berat karkas tertinggi yaitu sebesar
perlakuan (P1, P2, P3) yang
mengandung tepung kelopak bunga
rosella nyata menurunkan berat 606,25 g/ekor terdapat pada perlakuan
karkas ayam broiler dibandingkan P0 yaitu perlakuan tanpa
perlakuan kontrol (P0). menggunakan tepung kelopak bunga
rosella sedangkan berat karkas
Dilihat dari gambar grafik
terendah terdapat pada perlakuan
diatas diperoleh hasil semakin tinggi
dengan penggunaan tepung kelopak
level penggunaan tepung kelopak
bunga rosella 1,5% (P3).
bunga rosella yang diberikan dalam
Pakan yang diberikan dalam
ransum ayam broiler, semakin
ransum belum memenuhi kebutuhan
menurunkan berat karkas ayam
ayam broiler karena protein yang
broiler. Penurunan yang terjadi pada
terkandung dalam ransum dibawah
tiap 0,5% pemberian tepung kelopak
normal. Rancangan protein ransum
bunga rosella pada setiap perlakuan
awal penelitian yaitu 22% tetapi
sama yaitu 95,09 g. setelah dianalisis protein yang
Hasil analisis ragam terkandung dalam ransum penelitian
menunjukkan pemberian tepung yaitu 18,47%, sedangkan protein yang
kelopak bunga rosella berpengaruh dibutuhkan oleh ayam broiler sekitar
Tabel 5. Rataan berat karkas tanpa lemak abdomen ayam broiler selama penelitian (g/ekor).
Ulangan Rata-rata +
Perlakuan 1 2 3 4 Jumlah Standar Deviasi
700
P0 620 580 600 625 2425,0 606,25 + 20,56 a
b
Berat karkas tanpa lemak
100
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
Level Pemberian Tepung Kelopak Bunga Rosella (%)
Gambar 1. Grafik rataan berat karkas tanpa lemak abdomen ayam broiler
nyata (P<0,05) terhadap berat karkas 20-23% (NRC, 1994) sehingga berat
ayam broiler. Rataan berat karkas
102 | Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
karkas ayam broiler penelitian ini tepung kelopak bunga rosella dalam
lebih rendah daripada berat karkas ransum nyata menurunkan berat
normal. Selain itu pemberian feed karkas tanpa lemak abdomen secara
suplement (tepung kelopak bunga signifikan dengan semakin tingginya
Tabel 6. Rataan persentase karkas broiler
Ulangan Rata-rata +
Perlakuan 1 2 3 4 Jumlah Standar Deviasi
P0 59,05 59,18 58,25 60,10 236,58 59,14 + 0,76 a
a
P1 59,05 58,40 59,04 58,87 235,36 58,84 + 0,31
P2 58,48 59,09 60,23 60,68 238,48 59,62 + 1,01 a
a
P3 58,93 62,11 57,78 60,83 239,65 59,91 + 1,93
Rerata 59,38 + 1,125 ns
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05).
rosella) dalam ransum pada fase stater penggunaan level tepung kelopak
(umur 4 hari) diduga menjadi salah bunga rosella pada setiap perlakuan
satu penyebab pertumbuhan ayam yang diberikan pada ayam broiler.
broiler perlakuan menjadi terhambat Pada kenaikan tiap 0,5% pemberian
karena kelopak bunga rosella tepung kelopak bunga rosella terjadi
mengandung antioksidan dan penurunan berat karkas tanpa lemak
vitamin C yang tinggi padahal pada abdomen yaitu sebesar 92,32 g (P1),
fase itu ayam broiler masih dalam 92,33 g (P2) dan 92,32 g (P3).
tahap berkembang.
Menurut Didah (2006)
kandungan antioksidan pada kelopak
merah (bunga rosella), jumlahnya 1,7 Persentase Karkas
mmol/prolox lebih tinggi
dibandingkan dengan kumis kucing. Hasil analisis ragam
Kandungan vitamin C dalam tepung menunjukkan pemberian tepung
kelopak bunga rosella berperan dalam kelopak bunga rosella tidak
menurunnya berat karkas tanpa berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
lemak abdomen ayam broiler. persentase karkas ayam broiler. Hal
Kelopak bunga rosella mengandung ini berarti kandungan yang terdapat
vitamin C 3 kali lebih banyak dari dalam tepung kelopak bunga rosella
anggur hitam, 9 kali dari jeruk sitrus, dalam pakan yang diberikan belum
10 kali dari buah belimbing dan 2,5 atau tidak dapat memberikan
kali dari jambu biji (Anonimous, pengaruh yang berarti terhadap
2008). persentase karkas ayam broiler.
Rataan persentase karkas ayam
Dari gambar diatas dapat broiler selama penelitian adalah
dijelaskan bahwa penambahan
104 | Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
61.50
60.50
y = 0.617x + 58.916
59.50 R² = 0.1001
58.50
57.50
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
Level Pemberian Tepung kelopak Bunga Rosella (%)
Gambar 3. Grafik rataan persentase karkas ayam broiler.
3.50
3.40
Warna Karkas
3.30
3.20
3.10 y = -0.1532x + 3.2689
3.00 R² = 0.9978
2.90
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6
Level Pemberian Tepung Kelopak Bunga Rosella (%)
karkas.
Penurunan pada setiap 0,5%
level pemberian tepung kelopak
bunga rosella sebesar 0,03 (P1), 0,02
(P2) dan 0,03 (P3). Meat bone ratio
Rataan skor warna karkas Meat bone ratio merupakan
ayam broiler sebesar 3,16 dengan perbandingan antara jumlah daging
kisaran skor warna 3,03 sampai dan tulang dari seekor ternak. Meat
dengan 3,27. Dalam kelopak bunga bone ratio paha adalah berat daging
rosella terdapat pigmen antosianin paha tanpa tulang dibandingkan berat
yang membentuk flavonoid. tulang pada bagian paha. Rataan meat
Flavonoid adalah kelompok zat warna bone ratio paha dan dada selama
106 | Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
108 | Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
110 | Kualitas Karkas Ayam Broiler yang Mengkonsumsi Ransum dengan Tepung Kelopak Bunga
ISSN 1978 - 3000
ABSTRAK
karena umur pertama kawin (pubertas) rata-rata 130 hari (Batasamma, 2006).
rata-rata 2,3 tahun, dalam artian Kalau dilihat dari hasil menunjukkan
ternak tersebut beranak pertama bahwa meskipun estrus lebih cepat
setelah satu tahun sejak kawin setelah beranak namun estrus tersebut
pertama. Angka ini lebih rendah bila tidak dibarengi dengan kawin,
dibandingkan hasil penelitian sehingga rata-rata kawin setelah
Chantalakhana (1981) yang beranak 139,11 hari. Hasil ini hampir
menyatakan umur beranak pertama sama dengan hasil penelitian
kerbau di Indonesia berkisar 3,5 – 4,7 Batasamma (2004), bahwa Kerbau
tahun. Belang kawin setelah beranak rata-
Estrus (berahai) pertama rata 130 hari pada saat terjadinya
setelah beranak Kerbau Pampangan gejalah berahi. Pada Tabel 4
rata-rata 88,33 hari, hasil tersebut ditampilkan beberapa data tentang
menunjukkan bahwa kerbau berahi (estrus) pertama setelah
pampangan estrus setelah beranak beranak pada beberapa jenis kerbau.
cukup cepat dibandingkan dengan
Kerbau Belang di Sulawesi Selatan.
Kerbau Belang berahi setelah beranak
Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. Mansjoer, S.S. 1985. Pengkajian sifat-
Banyuasin. 2011. Populasi sifat produksi ayam kampung
ternak menurut jenis. Dinas serta persilangannya dengan
Peternakan dan Perikanan Kab. ayam Rhode Island Red.
Banyuasin. 2011. Disertasi. Fakultas Pascasarjana
Dinas Peternakan dan Perikanan Kab. IPB. Bogor.
OKI. 2011. Populasi ternak Murti, T.W., G. Ciptadi. 1988. Kerbau
menurut jenis. Dinas Perah dan Kerbau Kerja.
Peternakan dan Perikanan Kab. Tatalaksana dan Pengetahuan
OKI. Dasar Pasca Panen. PT.
Drucker, A.G, V. Gomez an S. Mediyatama Sarana Perkasa,
Anderson. 2001. The economic Jakarta.
valuation of farm animal Perera, B.M.A.O. 2011.Reproductive
genetic resources: A survey of cycles of Buffallo. Anim.
available methods. Ecol. Econ. Reprod. Sci. 124:194-199.
36:1-18. Permentan.2006. Tentang Pedoman
Hardjosworo, P.S. 1985. Konservasi Pembibitan Kerbau yang Baik
Ternak Asli.Fakultas (Good Breeding Practice).
Peternakan. IPB. Bogor Sianturi, R.G., B. Purwantara, I.
Handoyo. J., Sherly Sisca dan Supriatna, Amrozi dan P.
Mastutiningsih. 2005. Sekilas Situmorang. 2012. Optimasi
Keragaman Hayati di Jawa Inseminasi Buatan pada kerbau
Tengah. Warta Plasma Nutfah lumpur (Bubalus bubalis)
Indonesia. No.17. melalui teknik sinkronisasi
estrus dan ovulasi.Jur. Ilmu
Kurniawan, Ida Haranida. S, Hadiatmi Ternak dan Veteriner. 17:92-99.
dan Asadi. 2004. KATALOG Warwck, E.J., J.M. Astuti dan W.
DATA PASPOR PLASMA Hardjosubroto. 1995.
Nutfah Tanaman Pangan. Balai Pemuliaan Ternak. Gadjah
Besar Penelitian dan Mada University. Press,
Pengembangan Bioteknologi Yogyakarta.
dan Sumberdaya Genetik
Pertanian. Bogor.
ABSTRACT
A research was conducted in Jakarta and Bogor and during January 2011 until
February 2011. The objective of research were to measure effects of critical
temperature (air temperature and humidity) on indicate physiological responses for
critical temperature of Fries Holland Heifer.They were fed twice daily with grass and
concentrate. Six dairy heifers were used in the research. The Indicate physiological
responses were skin temperature, rectal temperature, and body temperature for 14
days. The results show that critical temperature on physiogical responses were
significantly better on cattle for ANN which for critical temperature in Jakarta and
Bogor that with the same and significantly better too on cattle which rectal
temperature and skin temperature in Jakarta and Bogor.
Key words: critical temperature, heifer, indicate physiological responses, ANN
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan di Jakarta dan Bogor dari bulan Januari hingga Pebruari
2012.Penelitian ini bertujuan untuk menentukan suhu kritis (suhu dan kelembaban
udara) pada sapi dara peranakan Fries Holland berdasarkan indikator respon
fisiologis.Pakan diberikan dua kali setiap hari dengan rumput dan konsentrat.Enam
ekor sapi dara yang digunakan dalam penelitiannya.Parameter respon fisiologis
yang diamati meliputi suhu kulit, suhu rektal, dan suhu tubuh selama 14 hari. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan suhu kritis pada sapi dara yang
dihitung dengan program Artificial Neural Network (ANN) di dareah Jakarta dan
Bogor. Berdasarkan indikator respon fisiologis untuk menentukan suhu kritis
dengan program ANN yang paling sensitif melalui suhu rektal dan suhu kulit baik
di Jakarta maupun Bogor
Kata kunci: suhu kritis, sapi dara, indikator respon fisiologis
06.00 - 07.00 dan sore hari pukul 15.00 Metode Pengukuran Parameter
- 16.00 dengan 60% rumput dan 40% 1. Suhu dan kelembaban udara diukur
konsentrat. Selama pengamatan sapi dengan termometer bola basah dan
bola kering. Pengukuran dilakukan
tidak dimandikan.
di dalam kandang.
Rancangan penelitian secara
2. Indeks suhu kelembaban (THI)
purposive untuk menganalisis
dihitung menggunakan rumus
penentuan batas suhu kritis sapi
Hahn (1985) yaitu : THI = DBT + 0,36
perah dara dalam kandang
WBT + 41.2, DBT = suhu bola kering
berdasarkan respon fisiologis pada
(0C) dan WBT = suhu bola basah
masing-masing waktu dan suhu
(0C).
lingkungan dengan berbeda daerah.
3. Kecepatan angin diukur
Selanjutnya dilakukan pengamatan
menggunakan anemometer digital
respon fisiologis pada masing-masing
yang diletakkan di dalam kandang.
waktu dan suhu lingkungannya, dari
Anemometer di buka selama 15
pukul 5.00 hingga pukul 20.00 dengan
menit kemudian di baca kecepatan
selang waktu pengamatan satu jam.
rata-rata tiap detiknya.
Parameter yang diamati terdiri
4. Suhu permukaan kulit (Ts), diukur
atas faktor iklim dan respon fisiologis pada empat titik lokasi
sapi perah. Faktor iklim yang diukur pengukuran yaitu punggung(A),
meliputi suhu udara bola basah dan dada (B), tungkai atas (C), dan
bola kering (DBT-WBT), kelembaban tungkai bawah (D). Rataan suhu
udara (RH), kecepatan angin, dan permukaaan kulit dihitung
berdasarkan rumus McLean et al.
menghitung Temperature Humidity
(1983); Ts = 0.25 (A + B) + 0.32 C +
Indeks (THI). Pengamatan suhu udara 0.18 D.
dan kelembaban dalam kandang 5. Suhu rektal (Tr), diukur dengan
dilakukan setiap hari dari pukul 05.00 memasukkan termometer klinis ke
hingga pukul 20.00 dengan selang dalam rektal sedalam ± 10 cm
waktu satu jam selama 14 hari. Respon selama tiga menit.
6. Suhu tubuh (Tb), dihitung dari
fisiologis sapi yang diukur adalah
suhu permukaan kulit (Ts) dan
suhu permukaan kulit (Ts), suhu
menjumlahkan dengan suhu rektal
rektal (Tr), dan menghitung suhu (Tr) menurut McLean et al. (1983).
tubuh (Tb). Pencatatan suhu Suhu tubuh (Tb) dihitung dengan
permukaan kulit (Ts), suhu rektat (Tr), rumus : Tb = 0.86 Tr + 0.14 Ts
dan suhu tubuh (Tb) dilakukan selama Analisis data berupa penentuan
14 hari dari pukul 05.00 hingga pukul batas suhu kritis pada sapi dara PFH
20.00 dengan selang waktu satu jam.
mulai menderita suhu kritis atau dan Jakarta (pukul 12.00), sebaliknya
dimulainya menderita cekaman, kelembaban udara menurun, akan
sehingga mekanisme termoregulasi tetapi kelembaban tersebut tetap pada
mulai bekerja terutama dengan cara nilai yang berpotensi memberikan
meningkatkan pernafasan, denyut suhu kritis ternak atau cekaman panas,
jantung dan penguapan air melalui baik di daerah Bogor maupun Jakarta.
kulit. Untuk mengetahui status suhu Nilai rataan THI pada pukul 12.00 dan
kritis pada ternak dapat dilakukan pukul 13.00 adalah yang tertinggi di
dengan mengetahui suhu tubuh yang daerah Bogor yaitu sebesar 82, tetapi
diestimasikan dari hasil pengukuran di daerah Jakarta sebesar 84. Hasil nilai
suhu rektal dan suhu kulit, sedangkan rataan THI tersebut mengindikasikan
untuk mengetahui tingkat adanya suhu kritis atau cekaman
pembuangan panas tubuh (heat loss) panas pada ternak, hal ini berdasarkan
dapat dilakukan dengan mengetahui klasifikasi Pennington dan
suhu kulit, frekuensi pernafasan dan VanDevender (2004) nilai THI tersebut
denyut jantung (Purwanto 1993). menunjukan terjadinya suhu kritis
Daerah termonetral bagi ternak atau cekaman panas sedang pada
merupakan kisaran suhu udara dan ternak. Cekaman panas sedang
THI yang paling sesuai untuk ditandai dengan terjadinya pelepasan
kehidupannya, dimana terjadi tubuh sebanyak 50% melalui proses
metabolisme basal dan hanya terjadi respirasi (Berman 2005). Pada kondisi
mekanisme pengaturan panas secara iklim mikro tersebut, harus
sensible dengan menggunakan energi diperhatikan peternak di Indonesia
yang paling sedikit. Kisaran suhu untuk mengurangi pengaruh iklim
udara tersebut tidak menyebabkan mikro dengan beberapa cara yang
peningkatan atau penurunan fungsi disarankan oleh Velasco et al. (2002)
tubuh (McDowell 1972; Yousef 1985), melalui perbaikan manajemen pakan,
terjadinya metabolisme basal pada imbangan nutrisi, pemberian air
kisaran suhu termonetral tersebut minum adlibitum, dan sirkulasi
berarti pula produksi panas tubuh kandang. Usaha lain untuk
sangat rendah. Kecepatan angin pada peningkatan pemahaman efek
pukul 05.00 hingga pukul 07.00 lingkungan iklim mikro pada siang
(Gambar 1) sangat rendah dan bernilai hari dengan ditandai terjadinya suhu
0 m/s sehingga angin belum cukup kritis ternak dan cekaman panas
berfungsi untuk membantu pelepasan menuntut peternak untuk
panas dan mereduksi beban panas memaksimalkan efek positif dan
tubuh ternak (Yani dan Purwanto negatifnya (Coller et al. 2006). Waktu
2006). pemberian pakan dan pemberian
Pada siang hari (pukul 10.00- pakan yang memiliki heat
15.00), suhu udara dan THI meningkat increamentrelatif rendah dengan
hingga pukul 13.00 di daerah Bogor berdasarkan suhu kritis ternak
0.5
Jakarta
Kecepatan angin
0.4
0
0.3 5 6 7 8 9 10 11 12Waktu
13 (WIB
14 15
) 16 17 18 19 20
Jakarta
0.2
100
80
60 Bogor
Jakarta
Udara (0C)Indeks
Kelem
baban
0.1
Suhu
5 6 7 8 Waktu
9 10 pengamatan
11 12 13 (WIB)
14 15 16 17 18 19 20
50 Bogor
00 Waktu (WIB)
Jakarta
Suhu
5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 1010 1111 1212 1313 1414 1515 1616 1717 1818 1919 2020
Bogor
Waktu pengamatan (WIB)
Gambar 1.Rataan Fluktuasi suhu udara, kelembaban udara, indeks suhu kelembaban dan
Kecepatan angin.
Gambar 2 Rataan fluktuasi suhu rektal (Tr) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00
hingga pukul 20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta
36
Suhu kulit ( 0C)
34
32
30 Panitan bogor
28 pondok rangon
26
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Waktu pengamatan (WIB)
Gambar 3 Rataan fluktuasi suhu kulit sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00 -pukul
20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta
39
Suhu tubuh ( 0C)
38.5
38
37.5 Panitan bogor
37 pondok rangon
36.5
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Waktu pengamatan (WIB)
Gambar 4 Rataan fluktuasi suhu tubuh (Tb) sapi dara PFH tiap jam dari pukul 05.00
hingga pukul 20.00 antara daerah Bogor dengan Jakarta
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat mempengaruhi suhu rektal dan suhu
dikatakan bahwa sapi perah kulit pada sapi perah.Tingkat suhu
mengalamami cekaman panas apabila kritis berdasarkan suhu rektal dan
suhu rektal lebih dari 39,1 C dan suhu
o
suhu kulit pada suhu dan kelembaban
kulit lebih dari 37,1oC. udara yang berbeda baik di daerah
Berdasarkan hasil prediksi hasil Bogor maupun Jakarta dapat dilihat
simulasi ANN, perubahan suhu dan pada Tabel 2.
kelembaban udara sangat sensitif
Peningkatan kelembaban udara terhadap perubahan suhu rektal
dan suhu udara yang sama dan suhu dibandingkan perubahan suhu kulit.
udara berbeda sangat mempengaruhi Suhu kritis dengan indikator suhu
terhadap suhu kritis pada sapi perah. kulit mulai terjadi apabila suhu udara
Pada saat udara 22,50-25,50 C baik di
o naik menjadi 31oC dengan kelembaban
daerah Bogor maupun Jakarta belum udara 86% (Bogor) dan suhu udara
terjadi suhu kritis(cekaman panas) naik menjadi 32,50oC dan kelembaban
meskipun terjadi perubahan udara 88% (Jakarta). Pada saat suhu
kelembaban udara. Suhu udara dan udarayang tinggi yaitu 31- 32oC dan
kelembaban udara tersebut, suhu 32,50-33,50oC masing-masing untuk
rektal dan suhu kulit masih pada daerah Bogor dan Jakarta, terjadi suhu
kisaran normal. Saat suhu udara 26- kritis (cekaman) panas dengan
32oC (Bogor) dan suhu udara 26- indikator suhu rektal dan suhu kulit,
33,50oC (Jakarta), sapi perah mulai tetapi suhu rektal lebih sensitif
terjadi suhu kritis (cekaman panas) dibandingkan suhu kulit, karena suhu
dengan indikator cekaman panas pada rektal dipengaruhi baik dari
suhu rektal. Pada saat peningkatan lingkungan eksternal berasal dari
kelembaban udara dengan suhu udara iklim mikro maupun berasal dari
yang sama dan suhu udara yang panas tubuh.
berbeda sangat mempengaruhi
Tabel 1. Hasil simulasi ANN perkiraan suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts) pada
suhu dan kelembaban udara yang berbeda di daerah Bogor dan Jakarta
Bogor Jakarta
Suhu udara Kelembaba Suhu rektal Suhu kulit Suhu udara Kelembaba Suhu rektal Suhu kulit
(oC) n udara (%) (oC) (oC) (oC) n udara (%) (oC) (oC)
Tabel 2 Suhu dan kelembaban udara pada saat sapi perah mulai mengalami suhu
kritis (cekaman panas) dengan indikator suhu rektal (Tr) dan suhu kulit (Ts)
di daerah Bogor dan Jakarta
Bogor Jakarta
o Kelembaban udara Indikator Suhu udara Kelembaba Indikator
Suhu udara ( C)
cekaman (oC) n udara cekaman
(%) panas (%) panas
22,50 – 25,5 60 - 23,5–25,5 58 -
26 86 Tr 26 88 Tr
27 84 Tr 27,5 88 Tr
28 84 Tr 29 88 Tr
29 84 Tr 30,5 88 Tr
30 84 Tr 31 84 Tr
31 86 Ts 32 82 Tr
31 84 Tr 32,5 88 Ts
32 84 Tr 33 66 Tr
32 86 Ts 33 78 Ts
1. Model penerapan Artificial Neural Beede DK, Coolier RJ. 1986. Potential
Network (ANN) dapat nutritions for intensive
digunakan untuk menentukan managed cattle during thermal
suhu kritis berdasarkan peubah stress. J Anim Sci 62: 543.
suhu dan kelembaban udara di Berman A. 2005. Estimates of heat
dalam kandang sapi perah PFH stress relief needs for Holstein
terhadap respon fisiologisnya dairy cows. J Anim Sci 83: 1377-
dengan indikator suhu rektal dan 1384.
suhu permukaan kulit. Berman A. 2008. Increasing heat stress
2. Peningkatan kelembaban dan suhu relief produced by coupled coat
udara yang sama dan suhu udara wetting and forced ventilation.
berbeda sangat mempengaruhi J Dairy Sci 91: 4571-4578.
terhadap suhu kritis pada sapi Berman A. 2010. Forced heat loss from
perah. Suhu udara berkisar antara body surface heat flow to body
22,50-25,50oC baik di daerah Bogor surface.J Dairy Sci 93:242-248.
maupun Jakarta belum terjadi suhu Bohmanova J, Misztal I, Cole JB. 2007.
kritis meskipun terjadi perubahan Temperature-humidity indices
kelembaban udara. as indicators of milk production
3. Suhu udara 26oC dengan losses due to heat stress. J Dairy
kelembaban udara 86% di Bogor Sci 90: 1947-1956.
dan Suhu udara 26oC dengan Brosh Aet al. Effect of solar radiation,
kelembaban udara 88% di Jakarta, dietary energy, and time of
sapi perah mulai terjadi suhu kritis feeding on thermoregulatory
dengan indikator cekaman panas responses and energy balance in
pada suhu rektal. Suhu kritis cattle in a hot environment. J
dengan indikator suhu kulit mulai Anim Sci 76: 2671-2677.
terjadi pada suhu udara 31oC Collier RJ, Dahl GE, VanBaale MJ.
dengan kelembaban udara 86% 2006. Major advances associated
(Bogor) dan suhu udara naik with environmental effects on
menjadi 32,50oC dan kelembaban dairy cattle. J Dairy Sci 89: 1244-
udara 88% (Jakarta). Suhu rektal 1253.
lebih sensitif dibandingkan suhu Ganong. 1983. Review of Medical
kulit. Semakin meningkat suhu Physiology.Ed ke-11. California:
rektal sapi perah lebih sensitif Lange Medical Publication.
dipengaruhi perubahan Gebremedhin KG. 1985. Heat
kelembaban dan suhu udara Exchange Between Livestock
and Environment. Dalam:
ABSTRACT
Tortilla Chips is a typical Mexican food in the form of cassava chips, flat round shape,
golden brown color and crispy and savory taste. The process of making tortilla chips
that use local materials eel that is widely available in the Bengkulu area and has a
high nutritional value that is in the eel 100g contains 19 grams of protein,
unsaturated fatty acids 12 g, Vitamin A at 4700 IU, 1337 mg of DHA, and EPA 742
mg.This studyaimed todetermine the effect ofaddition offish mealeelvariationon
water contentandorganoleptic qualitytortilla chips..This study was conducted using
a completely randomized design. Organoleptic analysis of the test data were
analyzed using the Kruskal-Wallis test significant if it is followed by Mann Whitney
test, while for the water content in the data analysis by One Way Anova test and if
the test continued with significant LSD.The results of water content test showed no
effect of fish meal on the eel to the water content in the tortilla chips which show
the value of ρ = 0.000 (ρ <0,05). While the results of organoleptic tests found no effect
of adding flour to the organoleptic quality eel color, flavor, and texture of the tortilla
chips, so it is not followed by Mann Whitney test.The addition of flour tortilla chips
eel at a concentration of 10% is the addition of the most ideal and most preferred by
the panelists of the organoleptic quality of the color, flavor, and texture. This
research can be continued to test the protein in tortilla chips eel.
ABSTRAK
Tortilla Chips adalah makanan khas Meksiko yang berupa keripik dengan bahan
baku singkong, berbentuk bundar gepeng, warna kuning kecoklatan dan rasanya
renyah serta gurih. Proses pembuatan tortilla chips memanfaatkan bahan lokal yaitu
ikan sidat yang banyak terdapat di daerah Bengkulu dan mempunyai nilai gizi
yang tinggi yaitu dalam 100gr ikan sidat mengandung protein 19 gr, asam lemak
tak jenuh 12 gr, Vitamin A sebesar 4700 IU, DHA sebesar 1337 mg, dan EPA 742
mg.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi penambahan
tepung ikan sidat terhadap kadar air dan mutu organoleptik tortilla chips. Penelitian
ini dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Analisis data hasil uji
organoleptik dianalisis menggunakan uji Kruskal Wallis apabila signifikan maka
dilanjutkan dengan uji Mann Whitney, sedangkan untuk data kadar air di analisis
dengan uji One Way Anova dan apabila signifikan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil
penelitian uji kadar air menunjukkan ada pengaruh penambahan tepung ikan sidat
terhadap kadar air pada tortilla chips yang di tunjukkan dengan nilai ρ=0,000
(ρ<0,05). Sedangkan dari hasil uji organoleptik didapatkan tidak ada pengaruh
penambahan tepung ikan sidat terhadap mutu organoleptik warna, rasa, dan
tekstur tortilla chips, sehingga tidak dilanjutkan dengan uji Mann
Whitney.Penambahan tepung ikan sidat pada tortilla chips dengan konsentrasi 10%
merupakan penambahan yang paling ideal serta paling disukai oleh panelis dari
mutu organoleptik warna, rasa, dan tekstur. Penelitian ini dapat dilanjutkan
dengan melakukan uji protein pada tortilla chips ikan sidat.
1 2 3
P P1 P1 P1
Keterangan :
Analisis
kadar air dianalisa secara
statistik dengan uji One – Way Analisa
Data yang diperoleh dari uji
Of Variance (ANOVA) apabila
organoleptik dianalisis secara statistik
signifika p < 0.05 maka uji di
dengan Uji Kruskal wallis jika hasilnya
lanjutkannya yaitu uji LSD (Least
signifikan p < 0,05 maka uji
Signifikan Different)
dilanjutkan dengan Uji Mann Whitney
dan untuk data yang diperoleh dari uji
chips memiliki nilai rata- rata untuk perlakuan P1 adalah 6 (suka), dapat
ketiga perlakuan yaitu 1%, ini masih dilihat pada Tabel 1.4. Hasil Uji
dibawah standar maksimum SNI Kruskal Wallis pada perlakuan (P1, P2,
yaitu 6%, hal ini disebakan karena dan P3) tidak berpengaruh secara
dalam pembuatan tortilla chips ikan signifikan terhadap warna tortilla chips
sidat sangat tidak menggunakan air ikan sidat, yang ditunjukkan nilai ρ =
sebagai pelarut. 0,848 (ρ>0,05), sehingga tidak
dilanjutkan dengan Uji Mann Whitney.
3. Pengaruh Variasi Konsentrasi Hal ini menunjukkan bahwa panelis
Tepung Ikan Sidat Terhadap tidak dapat membedakan warna
Mutu Organoleptik (Warna) tortilla chips dengan variasi
Tortilla Chips penambahan tepung ikan sidat yang
berbeda dan dapat diartikan bahwa
Berdasarkan hasil penelitian semakin banyak penambahan tepung
diketahui bahwa tortilla chips dengan ikan sidat maka semakin rendah
perlakuan P1 memilik tingkat tingkat kesukaan panelis terhadap
kesukaan yang tertinggi ini mutu organoleptik (warna) tortilla
ditunjukkan oleh nilai modus pada chips ikan sidat.
Tabel 1.4 Nilai Mutu Organoleptik (Warna) Tortilla Chps Ikan
Sidat
Perlakuan Nilai Modus Nilai Rata - Rata Ket
P1 6 5 a
P2 5 5,2 a
P3 5 5,1 a
* Huruf y ang sama (a) p ada keterangan menunjukkan tidak ada p erbedaan ny ata p ada
taraf 5% menurut uji Kruskal Wallis (ρ).
Keterangan Nilai M odus dan nilai rata - rata :
1 : amat sangat tidak suka, 2: sangat tidak suka, 3 : agak tidak suka, 4: netral
5 : agak suka, 6: suka, 7 : suka sekali.
Tabel 1.5 Nilai Mutu Organoleptik (Rasa) Tortilla Chips Ikan Sidat
Tabel 1.6 Nilai Mutu Organoleptik (Tekstur) Tortilla Chips Ikan Sidat
Perlakuan Nilai Modus Nilai Rata – Ket Uji Kruskal
Rata Wallis (ρ)
P1 6 5,23 A
P2 5 4,93 A 0,291
P3 5 5,20 A
*Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5% menurut uji
Kruskal Wallis (ρ).
Keterangan Nilai Modus dan nilai rata - rata :
1 : amat sangat tidak suka, 2: sangat tidak suka, 3 : agak tidak suka, 4: netral
5 : agak suka, 6: suka, 7 : suka sekali.
Winarno, F.G.1993. Pangan Gizi, Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan Dan
Teknologi, dan Konsumen. Jakarta . Gizi. Bogor. MBRIO press.
PT Grahamedia Pustaka Utama.
Peraskok is a cross between layer and Bangkok native chicken which are expected
to have high growth rate and native chicken quality. An experiment was conducted
to evaluate carcass quality and organoleptic of Peraskok (a cross between layer
chicken and Bangkok native chicken), native chickens and broiler to provide four-
cut chickens. Five chicken, each for peraskok, native chickens and broiler were
sampled for evaluation of chicken weight at four-cut age, carcass weight, carcass
percentage, shank length, drumstick length, back length, carcass appearance, and
carcass-preference tests, including taste, smell, color, and texture. Data were
tabulated and discussed descriptively. The results demonstrated that carcass
quality of peraskok was similar to those of native chicken.
ABSTRAK
Peraskok merupakan ayam F1 hasil persilangan ayam ras petelur dengan ayam
Buras Bangkok yang diharapkan memiliki pertumbuhan cepat dan kualitas daging
setara dengan ayam kampung.Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas
serta uji organoleptik Ayam Peraskok, Ayam Buras Kampung, dan Ayam Broiler
pada umur potong belah empat. Lima ekor Ayam Peraskok, lima ekor Ayam Buras
Kampung, lima ekor Ayam Broiler dipergunakan untuk pengambilan data. Peubah
yang diukur adalah berat potong belah empat, berat karkas, persentase karkas,
panjang shank, panjang drumstik, panjang punggung, tampilan karkas, dan uji
organoleptik yang meliputi : uji rasa, uji bau, uji warna, serta kekesatan karkas. Data
yang diperoleh ditabulasi dan dibahas secara deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kualitas karkas Ayam Peraskok sama dengan kualitas karkas
Ayam Kampung.
Jenis ayam Berat Hidup (g) Berat Karkas (g) Persentase Karkas (%)
Ayam Peraskok Umur 10 Mingu 728 452 62,11
Ayam Buras Umur 12 Minggu 734 457 62,27
Ayam Broiler Umur 4 Minggu 1014 668 65,86
Tabel 2. Rataan panjang shank, panjang drumstik, dan panjang punggung, serta tampilan
karkas pada umur potong belah empat
Tabel 3. Rataan skor uji rasa, bau karkas, warna karkas, tampilan karkas
ABSTRACT
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan tepung kedelai pada
pembuatan nugget ikan gabus (Ophiocephalus Sriatus) terhadap kadar air dan mutu
organoleptik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak ada pengaruh penambahan tepung kedelai terhadap kadar air nugget
ikan gabus. Tidak ada pengaruh penambahan tepung kedelai dengan mutu
organoleptik (atribut warna) (ρ > 0,05). Serta ada pengaruh terrhadap penambahan
tepung kedelai dengan mutu organoleptik (atribut rasa dan tekstur) (ρ < 0,05).
Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan pengaruh konsentrasi penambahan tepung
kedelai terhadap daya simpan nugget.
Kata Kunci:Nugget, Bahan Pengikat, Kedelai, Ikan Gabus
Ini berarti bahwa semakin sedikit pe- nugget ikan gabus dengan
nambahan tepung kedelai maka penambahan tepung kedelai 10% dan
semakin tinggi kadar air. 15% sebanyak 56% panelis.
Berdasarkan hasil penelitian me- 60%
Tabel 1. Kadar Air Nugget Ikan Gabus dengan Penambahan Tepung Kedelai
Penambahan Tepung Kadar Air (%) dalam Keterangan Uji Anova
kedelai 100 gr
10% 11 a
15% 10,6 a 0,216
20% 10,5 a
Keterangan : Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada taraf 5%
menurut uji LSD (ρ).
suka
60%
Tidak suka
50%
40% Agak suka
1. Penambahan tepung kedelai tidak
30%
20%
berpengaruh terhadap kadar air nugget
Suka
10% ikan gabus. Kadar air nugget tertinggi
0% Sangat suka
10% 15% 20%
yaitu nugget ikan gabus dengan
Penambahan Tepung Kedelai (%) penambahan tepung kedelai 10%.
2. Penambahan tepung kedelai tidak
Gambar 3. Hasil Uji Organoleptik Tekstur Nugget Ikan Gabus
berpengaruh terhadap sifat organo-
Berdasarkanpenelitian diketahui leptik warna nugget ikan gabus.
bahwa mutu oragnoleptik (tekstur) Warnanugget yang paling disukai
nugget ikan gabus dipengaruhi oleh yaitu nugget ikan gabus dengan
penambahan variasi konsentrasi penambahan tepung kedelai 10%.
tepung kedelai.Hal ini dikarenakan 3. Penambahan tepung kedelai
nugget ikan gabus hanya berpengaruh terhadap sifat
menggunakan santan dan telur organoleptik rasa nugget ikan
(sumber lemak) sebagai cairannya. gabus. Rasa nugget yang paling
Menurut Winarno (2008), disukai yaitu nugget ikan gabus
penambahan lemak (santan dan telur) dengan penambahan tepung
dimaksudkan untuk menambah kedelai 10%.
kalori serta memperbaiki tekstur dan 4. Penambahan tepung kedelai
cita rasa makanan. Air yang berpengaruh terhadap sifat
terkandung dalam bahan makanan organoleptik tekstur nugget ikan
dapat mempengaruhi tekstur dan cita gabus. Tekstur nugget yang paling
rasa makanan.Semakin sedikit air disukai yaitu nugget ikan gabus
dalam bahan makanan, maka tekstur dengan penambahan tepung
bahan makanan semakin kedelai 15%.
keras.Didalam pembuatan nugget 5. Nugget ikan gabus dengan
ikan gabus tidak menggunakan air penambahan tepung kedelai 10%
tetapi hanya menggunakan santan merupakan penambahan yang
dan telur sebagai penggati air atau paling ideal.
cairan.
Tabel 4. Nilai Rata – Rata Mutu Organoleptik (Tekstur) Nugget Ikan Gabus
Penambahan Tepung Nilai Rata-rata Keterangan Uji Kruskal Wallis
Kedelai Tekstur (ϼ)
10% 34,04 a
15% 47,80 a 0,009
20% 32,14 b
Keterangan : Huruf yang berbeda (b) pada keterangan menunjukkan ada perbedaan nyata pada taraf 5%
menurut Uji Kruskal Wallis (ρ).
http://eprints.uns.ac.id/130/1/ http://smartsains.blogspot.co
167080309201010381.pdf, 01 m/2008/06/petunjuk-
Desember 2011. pengujian-organoleptik.html,
Nurbahri, W., 2011.Organoleptik. 03 Novem-ber 2011.
Diakses dari Soeparno, 2005.Ilmu dan Teknologi
http://wimvynurbahri.blogsp Daging. Gadjah Mada
ot.com/2011/06/organoleptik. University Press,
html, 03 November 2011. Yogyakarta.
Nurjanah, dkk., 2005. Pengaruh Santoso, 2005. Teknologi Pengolahan
penambahan bahan pengikat Kedelai (Teori dan Praktek).
terhadap karateristik fisik Diakses dari
otak-otak ikan sapu-sapu http://labfpuwg.files.wordpre
(Liposarcus pardalis).Diakses ss.com/2010/02/teknologi-
dari pengolahan-kedelai-teori-
http://repository.usu.ac.id/bit dan-praktek.pdf, 15 Oktober
stream/123456789/15155/1/ag 2011.
p-apr2006-2.pdf, 15 Oktober Supariasa, IDN, dkk., 2001. Penilain
2011. Status Gizi. Buku Kedokteran
Oktavia, Q., 2011. Pembuatan Abon EGC, Jakarta.
Ikan Tuna dengan Tarwotjo C. S., 1998. Dasar-Dasar Gizi
Penambahan Jamur Tiram. Kuliner. Penerbit PT
Karya Tulis Ilmiah, Gramedia Widiasarana
Politeknik Kemenkes, Indonesia, Jakarta.
Bengkulu. Winarno F.G., 2008. Kimia Pangan
Priwindo, S., 2009.Pengaruh danGizi. M-Biro Press, Bogor.
Pemberian Tepung Susu
Sebagai Bahan Pengikat
terhadap Kualitas Nugget
Angsa.Diakses dari
http://repository.usu.ac.id/bit
stream/123456789/7604/1/09E
00567.pdf, 15 Oktober 2011.
Riwan, 2008.Sifat-sifat Organoleptik
Dalam Pengujian Terhadap
Bahan Makanan. Diakses dari
http://www.ubb.ac.id/menule
ngkap.php?judul=Sifat-
sifat%20Organoleptik%20Dal
am%20Pengujian%20Terhada
p%20Bahan%20Makanan&&
nomorurut_artikel=130, 02
November 2011.
Sakti, Arrs., 2008. Petunjuk Pengujian
Organoleptik. Diakses dari
Abstract
This study aimed to determine differences income of broiler breeders on different
partnership system. The research was conducted in the District Tellusiattinge March
to May 2013 with the kind of research was descriptive and analytical data used was
Revenue = Revenue-Cost. The results showed that the income of broiler farmers who
partner with companies was higher than farmers who partner with private companies
(bakul)
Key words: income,partnership,breeders,broiler,company,privat company
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pendapatan pendapatan
peternak ayam ras pedaging pada sistem kemitraan berbeda . Penelitian ini dilakukan
di Kecamatan Tellusiattinge pada bulan Maret hingga Mei 2013 dengan jenis
penelitian adalah deskriptif dan analisis data yang digunakan yaitu Pendapatan=
Penerimaan-Biaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan peternak ayam
ras pedaging yang bermitra dengan perusahaan lebih tinggi dibandingkan peternak
yang bermitra dengan perusahaan perorangan(bakul)
Kata kunci: pendapatan,bermitra,peternak, ayam ras pedaging,perusahaan,bakul
Supriyatna,S.,Wahyuni,S.,Rusastra.I.W
Sirajuddin, S.N, Aminawar, M, Yunus,
.R.2006.Analisis Kelembagaan
D. 2007. Faktor-faktor yang
Kemitraan Usaha Ternak Ayam
Memotivasi Peternak dalam Ras Pedaging:Studi Kasus di
Melakukan Kemitraan di Propinsi Bali.Seminar Nasional
Kecamatan Bantimurung, Teknologi dan Peternakan.hal
Kabupaten Maros. Jurnal :830-840
Agribisnis,.VI(2) :14-27.
Surya,A. 2013. Pengambilan
Sirajuddin, S.N,.Rohani, S, Lestari, V.S,
Keputusan Peternak Ayam Ras
Aminawar, M, Siregar A.R,
Pedaging Dalam Menentukan
Aryanto. 2012. Penerapan
Perusahaan Mitra. Skripsi.
Kontrak Sistem Kemitraan Dalam
Jurusan Sosial Ekonomi
Menunjang Agribinis Ayam Ras
Fakultas Peternakan UNHAS
Pedaging di Propinsi Sulawesi
Selatan. Seminar Nasional
Windarsari. 2007. Kajian Usaha
Peternakan Berkelanjutan 4.
Peternakan Ayam Ras Pedaging
Prosiding. Hal.238-240.
di Kabupaten Karanganyar:
Sirajuddin,S.N. 2005. Analisis Membandingkan antara Pola
Produktifitas Kerja Peternak Kemitraan dan Pola Mandiri.
pada Usaha Ayam Ras Pedaging Tesis. Sekolah Pascasarjana
Pola Kemitraan dan Mandiri di Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kabupaten Maros. Jurnal Ilmu
Kepada Yth:
Tabel 2. halaman 109 menunjukkan bahwa jumlah ovarium ayam Burgo ada 2
buah; pada Tabel 2. tersebut ditampilkan data berat ovarium sebelah kiri dan data
berat ovarium sebelah kanan. Selanjutnya penulis menyatakan bahwa secara umum
ovarium ayam Burgo betina sebelah kanan cenderung lebih berat dibandingkan
ovarium sebelah kiri (alinea 1 halaman 109). Lebih lanjut penulis merujuk buku
Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi yang ditulis oleh Salisbury
(1985) yang dikutip sebagai berikut : ”Ovarium unggas sebelah kanan cenderung lebih
aktif dari pada ovarium sebelah kiri sehingga ovarium unggas sebelah kanan akan
lebih besar ukurannya dan lebih besar bobotnya dibanding ovarium unggas sebelah
kiri.
2. Jumlah oviduk
Dari kedua hal tersebut di atas, saya sebagai pembaca menyimpulkan bahwa
artikel tersebut menyampaikan jumlah ovarium ayam Burgo ada 2 buah, yaitu
ovarium sebelah kiri dan sebelah kanan, dimana ovarium ayam Burgo sebelah kanan
cenderung lebih berat dibandingkan ovarium sebelah kiri. Selain hal tersebut juga
disampaikan bahwa jumlah oviduknya ada sepasang. Pernyataan ini sangat berbeda
dengan teori yang selama ini telah diakui secara luas oleh ilmuwan unggas antara lain
sebagai berikut: Menurut Nickel et al. (1977), meskipun ada dua gonad selama tahap
pertumnbuhan, umumnya pada burung hanya ovarium kiri yang berkembang
penuh. Pada unggas, pertumbuhan ovarium kanan sudah kalah jauh dari bagian kiri
pada penetasan hari ke-7, dan sehari setelah menetas ovarium kanan sudah
menghilang dan hanya tertinggal sedikit. Ovarium terletak mendatar pada lobus
anterior dari ginjal kiri. Nesheim et al. (1979) menyatakan, meskipun burung memiliki
ISSN 1978 - 3000
dua ovarium dan oviduct, hanya bagian kiri yang berkembang normal dan berfungsi
pada hampir seluruh burung, termasuk ternak unggas. North (1984) juga
menyatakan, pada awal perkembangan embrio, ada dua ovarium dan dua oviduk,
tetapi bagian kanan mengecil, sehingga hanya tinggal ovarium dan oviduk kiri pada
saat menetas. Etches (2000) menyatakan, pada ayam betina dewasa, ovarium kiri
merupakan organ yang kompleks, mengandung beberapa jaringan, sementara
ovarium bagian kanan tidak berfungsi, strukturnya menjadi rudimenter.
Daftar Pustaka
Neheim, M.C., R.E. Austic, and L.E.Card. 1979. Poultry Production. 12th ed. Lea&
Febiger. Philadelphia.
Nickel, R., A. Schummer., E. Seiferle., and W. G. Siller. P.A.L. Wight. 1977. Anatomy
of the Domestic Birds. Springer-Verlag. New York. Heidelberg. Berlin.
North, M.O. 1984. Commercial Chicken Production Manual. Third Edition. AVI
Publishing Company, Inc. Westport, Connecticut.
Salisburi, G.W. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Sapi. Gajah
Mada Universiti.
Note
Nickel et al. (1977) : “although there are two gonads during developmental stages, in
the majority of birds only the left ovary reaches full development. In the fowl,
development of the right ovary has alreaday fallen behind the left by the 7th day of
incubation and within the first day after hatching it has all disappeared except for a
small remnant. The ovary lies flat against the anterior lobe of the left kidney.”
Nesheim et al. (1979) : ”Although bird embryos possess two ovaries and oviducts, only
the left one normally develops and becomes functional in nearly all species of birds,
including the domestic fowl”.
North (1984):”at the time of early embryonic development, two ovaries and two
oviducts exist, but the right set atrophies, leaving only the left ovary and oviduct at
hatching”.
Etches (2000) :“In the mature laying hen, the left ovary is acomplex organ containing
several different tissues where as the right ovary is a nonfunctional, rudimentary
structure”.
Suprijatna et al. (2008) :” pada awal perkembangan embrio, terdapat dua ovarium dan
dua oviduk, bagian sebelah kanan mengalami atrofi sehingga pada saat menetas yang
tinggal hanya ovarium dan oviduk bagian kiri”.
ISSN 1978 - 3000
14. SARAN, memuat saran - saran atau masukan yang perlu disampaikan
berdasarkan penelitian yangtelah dilakukan.
15. DAFTAR PUSTAKA, disusun dengan memuat nama berdasarkan abjad, tahun,
judul, Penerbit, Kota, halaman tanpa nomor urut. Memuat minimal 7 (tujuh)
buah jurnal ilmiah.
Contoh penulisaan daftar pustaka:
CATATAN:
INFORMASI TAMBAHAN:
Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (periode januari-Juni dan Juli – Desember).
Naskah dapat dikirim melalui email: jspiunib@yahoo.com dan jspi@unib.ac.id.
ISSN 1978 - 3000
Formulir Pemesanan
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA
(Indonesia Animal Science Journal)
ISSN 1978 – 3000
Nama : …………………………………………………….....
Lembaga/Perguruan Tinggi: …………………………………………………….....
Alamat :……………………………………………………......
: …………………………………………………….....
Kabupaten/Kodia : …………………………………………………….....
Propinsi : …………………………………………………….....
Kode Pos : …………………………………………………….....
e- mail : …………………………………………………….....
Telepon/HP : ……………………………………………………….
Fax : ……………………………………………………….