Anda di halaman 1dari 23

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TERHADAP ISPA PADA

BALITA DI PUSKESMAS GEDANGAN KABUPATEN SIDOARJO

PROPOSAL
Untuk Memenuhi Persyaratan
Tugas Ilmu Kesehatan Masyarakat

Oleh :
Hans Jaladara (15710001)
Nanik Fattqurotul Aini (15710027)
Premi Resti Yulianti (15710035)
Abdul Aziz (15710074)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA

BAB I

PENDAHULUAN

1
A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia menyadari bahwa mewujudkan Indonesia sehat diperlukan

manusia sehat, dengan cara memperhatikan manusia sejak dini yaitu sejak masa balita

karena anak merupakan sumber potensi dan penerus bangsa. Masa balita adalah masa

perkembangan tercepat dalam kehidupan anak, sekaligus paling rentan terhadap serangan

penyakit salah satunya adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Depkes RI, 2007).

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dikenal sebagai salah satu penyebab

kematian utama pada bayi dan anak balita di negara berkembang. ISPA menyebabkan

empat dari 15 juta kematian pada anak berusia di bawah lima tahun pada setiap tahunnya,

sebanyak dua per tiga kematian tersebut adalah bayi (WHO, 2003).

Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) menempati urutan pertama

menyebabkan kematian pada kelompok bayi dan balita. Survey mortalitas yang dilakukan

oleh subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA / pneumonia sebagai penyebab kematian

bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 10-20% pertahun (Maryunani, 2011)

Menurut SKDI 2007, anak balita yang mengalami gejala ISPA adalah 11%, hal ini

meningkat 3% dibandingkan dengan temuan SKDI 2002-2003 yang hanya sebesar 8%.

Prevalensi ISPA pada bayi kurang dari 6 bulan yaitu sebesar 6% dan tertinggi pada anak

umur 24-35 bulan yaitu 14%. Balita yang tinggal bersama ibu perokok cenderung

menderita ISPA lebih tinggi yakni 16% daripada yang tinggal bersama ibu bukan perokok

yaitu 11%. Makin rendah pendidikan ibu, makin tinggi prevalensi ISPA. (DepKes RI

2008)

Banyak faktor yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menjadi faktor

pendorong terjadinya ISPA. Suatu kejadian penyakit yang muncul dapat disebabkan oleh

beberapa factor. H.L. Blum mengelompokkan faktor tersebut ke dalam faktor lingkungan,

2
perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Faktor perilaku dipengaruhi oleh

tingkat pengetahuan dan sikap seseorang. Sesuai dengan pendapat tersebut pengetahuan

ibu dapat memengaruhi kejadian ISPA. Pengetahuan yang rendah tentang diare

memperbesar kemungkinan kejadian ISPA, karena seseorang yang kurang atau tidak

memahami atau mengetahui proses kejadian ISPA yang sedang terjadi tidak mengetahui

pula tentang tata laksana awal penanganan ISPA (Notoatmodjo, 2007).

Tingginya angka kejadian ISPA pada anak, tidak terlepas dari peran orang tua

salah satunya adalah peran ibu. Peran ibu adalah sebagai pengurus rumah tangga,

pengasuh dan pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai anggota

masyarakat kelompok sosial. Peran ibu dalam masalah kesehatan adalah penting, karena

di dalam merawat anaknya ibu sebagai pelaksana dan pembuat keputusan dalam

pengasuhan anak yaitu dalam memberi makanan, memberi perawatan kesehatan dan

memberi stimulus mental sehingga ibu dalam pelaksanaannya diharapkan dapat

memberikan pencegahan ISPA (Setiadi,2008).

Menurut data dari Puskesmas Gedangan Kabupaten Sidoarjo ISPA berada pada

urutan pertama dengan jumlah temuan 142 kasus pada seluruh pasien yang datang ke

puskesmas Gedangan pada bulan April 2017. Dimana didapatkan data balita yang terkena

ISPA 115 balita (80%). Dengan tingginya kejadian penyakit ini maka penulis mengadakan

penelitian mengenai “Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang ISPA Pada Pasien Balita Di

Puskesmas Gedangan, Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo.”

B. Rumusan Masalah

Adakah hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA terhadap kejadian ISPA

pada balita di puskesmas Gedangan, Kecamatan Gedangan Kabupaten Sidoarjo

bulan April tahun 2017?

3
C. Tujuan

1. Tujuan umum

Mengetahui apakah ada hubungan antara pengetahuan ibu balita dengan ISPA

terhadap kejadian ISPA pada .balita di Puskesmas Gedangan Kabupaten

Sidoarjo

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengidentifikasi pengetahuan ibu balita tentang ISPA

b. Untuk mengidentifikasi ISPA pada balita di Puskesmas Gedangan

kabupaten sidoarjo

c. Untuk menganalisa hubungan pengetahuan ibu terhadap ISPA dengan

kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Gedangan Kabupaten Sidoarjo

D. Manfaat Hasil Penelitian

1. Manfaat bagi masyarakat

a. Dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit ISPA pada

balita serta cara pencegahan penyakit ISPA tersebut

b. Dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat untuk mengetahui penyakit

ISPA pada anak

2. Manfaat bagi peneliti

Untuk menerapkan ilmu yang telah diberikan selama pendidikan khususnya

dalam bidang penelitian dan menambah pengalaman serta keterampilan dalam

melihat penyakit yang ada di masyarakat khususnya yang berhubungan

dengan ISPA.

4
3. Manfaat bagi instansi terkait

Bagi puskesmas, dapat dijadikan sebagai masukan dalam upaya untuk

menentukan kejadian ISPA pada anak di desa tersebut sehingga dapat

dilakukan upaya dini untuk mencegah meningkatnya kejadian ISPA di desa

tersebut.

4. Manfaat bagi pengembangan ilmu

Dapat dijadikan sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya, terutama yang

berhubungan dengan penyakit ISPA.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ISPA
1. Definisi
Istilah ISPA yang merupakan singkatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut. ISPA

adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran

5
pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti

sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Nelson, 2003).


ISPA atau infeksi saluran pernapasan akut adalah suatu kelompok penyakit yang

menyerang saluran pernapasan. Secara otomatis, ISPA dapat dibagi dalam dua bagian

yaitu infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan bawah. Jadi

disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang

terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan

pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Anik, 2010).


2. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri

penyebabnya antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus,

Hemofilus, Bordetella dan Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan

Micovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus

(Suhandayani, 2007)..
Penyebab dari ISPA sebagaian besar adalah oleh virus, dengan frekuensi lebih

dari 90% untuk ISPA bagian atas, sedangkan untuk ISPA bagian bawah frekuensinya

lebih kecil. Penyakit ISPA bagian atas mulai dari hidung, nasofaring, sinus paranasalis

sampai dengan laring hampir 90% disebabkan oleh viral, sedangkan ISPA bagian

bawah hampir 50% diakibatkan oleh bakteri. Saat ini telah diketahui bahwa penyakit

ISPA melibatkan lebih dari 300 tipe antigen dari bakteri maupun virus tersebut

(WHO, 2008).
3. Klasifikasi
a. Klasifikasi penyakit ISPA dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan

untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun


b. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, dibagi atas : pneumonia berat dan bukan

pneumonia. Pneumonia berat ditandai dengan adanya napas cepat (Fast

breathing), yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih, atau

adanya tarikan kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam (Severe chest

6
indrawing), sedangkan bukan pneumonia bila tidak ditemukan tarikan dinding

dada bagian bawah dan tidak ada nafas cepat (Muttaqin, 2008).
c. Kelompok umur 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun dibagi atas : pnemonia berat,

pnemonia dan bukan pnemonia. Pneumonia berat, bila disertai napas sesak yaitu

adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik

napas. Pneumonia didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernapas

disertai adanya napas cepat sesuai umur, yaitu 40 kali permenit atau lebih. Bukan

pneumonia, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada

napas cepat (Muttaqin, 2008).


Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :
a. ISPA ringan
Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek

dan sesak.
b. ISPA sedang
ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 390 C

dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.


c. ISPA berat
Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan

menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.


4. Tanda dan Gejala
Penyakit ISPA adalah penyakit yang sangat menular, hal ini timbul karena

menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau

stres. Secara umum yang sering di dapat adalah rhinitis, nyeri tenggorokan, batuk-

batuk dengan dahak kuning/putih kental, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu

badan meningkat antara 4-7 hari, disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia,

mual, muntah-muntah dan insomnia. Kadang-kadang dapat juga terjadi diare. Bila

peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah,

infeksi saluran tuba eustachii, hingga bronkhitis dan pneumonia (radang paru) (Hood

Alsagaff, 2009).

7
Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam, pusing, malaise

(lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah), photophobia (takut

cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara nafas), dyspnea (kesakitan

bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan

dapat berlanjut pada gagal nafas apabila tidak mendapat pertolongan dan

mengakibatkan kematian (Nelson, 2003).


5. Faktor Resiko
a. Pemberian Asi esklusif
Kolostrum mengandung zat kekebalan 10-17 kali lebih banyak dari susu

matang. Zat kekebalan pada ASI dapat melindungi bayi dari penyakit mencret atau

diare, ASI juga menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit infeksi, telinga,

batuk, pilek, dan penyakit alergi. Dan pada kenyataannya bayi yang diberi ASI

eksklusif akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan dengan bayi yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif (Depkes RI, 2001).


ASI merupakan makanan alamiah terbaik yang dapat diberikan oleh

seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkannya, selain komposisinya sesuai

untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi yang berubah sesuai dengan

kebutuhan bayi pada setiap saat. ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat

menghindarkan dari berbagai penyakit infeksi. Pemberian ASI juga mempunyai

pengaruh emosional yang luar biasa yang mempengaruhi hubungan batin ibu dan

anak serta perkembangan jiwa anak. ASI mengandung mineral zinc yang terbukti

efektif untuk menurunkan penyakit pneumonia (radang paru), diare dan penyakit

infeksi lainnya. Zink juga dapat menurunkan lama dan derajat keparahan ISPA

(Azwar, 2001).
b. Status gizi dan daya tahan tubuh
Masukan zat gizi yang berasal dari makanan yang dimakan setiap hari

harus dapat memenuhi kebutuhan tubuh karena konsumsi makanan sangat

berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi yang baik terjadi bila tubuh

8
memperoleh asupan zat gizi yang cukup sehingga dapat digunakan oleh tubuh

untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak dan kecerdasan, produktivitas kerja

serta daya tahan tubuh terhadap infeksi secara optimal (Sjahmien Moehji, 2000).
Malnutrisi dianggap bertanggungjawab terhadap ISPA pada balita terutama

pada negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena

keadaan malnutrisi menyebabkan lemahnya daya tahan tubuh anak. Hal tersebut

memudahkan masukya agen penyakit ke dalam tubuh. Malnutrisi menyebabkan

resistensi terhadap infeksi menurun oleh efek nutrisi yang buruk. Menurut WHO

(2008), telah dibuktikan bahwa ada hubungan antara malnutrisi dengan episode

ISPA.
c. Faktor usia
Usia diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuhnya. Bayi dan balita

merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih

rentan terhadap berbagai penyakit infeksi.


Faktor resiko ISPA juga sering disebutkan dalam literature adalah faktor

umur. Adanya hubungan antara umur anak dengan ISPA mudah dipahami, karena

semakin muda umur balita, semakin rendah daya tahan tubuhnya. Anak berumur

kurang dari dua tahun memiliki resiko lebih tinggi untuk terserang ISPA. Depkes

(2000), menyebutkan resiko terjadinya ISPA yaitu pneumonia terjadi pada umur

lebih muda lagi yaitu kurang dari dua bulan. Anak dengan umur kurang dari 2

tahun merupakan anak yang sangat beresiko terkena penyakit pneumonia. Hal ini

disebabkan karena anak di bawah umur 2 tahun imunisasai belum sempurna dan

saluran pernafasan relative sempit (Naria et al, 2008).


d. Faktor lingkungan
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak

dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahan paru sehingga akan

memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan

ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar

9
tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan

karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya

sehingga dosis pencemaran tentunya akan lebih tinggi.


Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk

menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti

keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.

Kurangnya ventilasi akan menyebabkan O2 (oksigen) didalam rumah yang berarti

kadar CO2 (karbondioksida) yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi

meningkat. Tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara

didalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan

penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-

bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Hal ini akan menyebabkan

peningkatan terjadinya ISPA.

6. Penularan ISPA

Kuman penyakit ISPA ditularkan dari penderita ke orang lain melalui udara

pernapasan atau percikan ludah penderita. Pada prinsipnya kuman ISPA yang ada di

udara terhisap oleh pejamu baru dan masuk ke seluruh saluran pernafasan. Dari

saluran pernafasan kuman menyebar ke seluruh tubuh apabila orang yang terinfeksi

ini rentan, maka ia akan terkena ISPA (Depkes RI, 2002).

Pada infeksi virus, transmisi diawali dengan penyebaran virus ke daerah

sekitar terutama melalui bahan sekresi hidung. Dari beberapa penelitian klinik,

laboratorium dan penelitian lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya

kontak hand to hand merupakan modus yang terbesar bila di bandingkan dengan cara

penularan aerogen (yang semula banyak di duga sebagai penyebab utama) (Hood

Alsagaff, 2009).

10
Organisme yang menyebabkan ISPA biasanya ditularkan melalui droplet. Saat

seorang pasien ISPA batuk atau bersin, droplet sekresi kecil dan besar tersembur ke

udara dan permukaan sekitar. Droplet besar perlahan-lahan turun ke permukaan di

sekitar pasien (biasanya dalam jarak 1 meter dari pasien). Permukaan tersebut bisa

juga terkontaminasi melalui kontak dengan tangan, sapu tangan/tisu yang sudah

dipakai, atau benda lain yang sudah bersentuhan dengan sekret tersebut. Cairan tubuh

lain dan feses bisa juga mengandung bahan infeksius. Karena itu, ISPA dapat

ditularkan oleh aerosol dari saluran pernapasan atau melalui kontak dengan

permukaan yang telah terkontaminasi (WHO, 2008).

7. Pencegahan
a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik
Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita

atau terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA. Misalnya

dengan mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak minum air

putih, olah raga dengan teratur, serta istirahat yang cukup, kesemuanya itu akan

menjaga badan kita tetap sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan

tubuh kita akan semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus / bakteri

penyakit yang akan masuk ke tubuh kita.


b. Imunisasi
Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun

orang dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita supaya

tidak mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus /

bakteri.
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan
Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan

mengurangi polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga

dapat mencegah seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan

11
terkena penyakit ISPA. Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi

udara (atmosfer) agar tetap segar dan sehat bagi manusia.


d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri

yang ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara

yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa

virus / bakteri di udara yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi yang

melayang di udara). Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari

sekresi saluran pernafasan yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan

melayang di udara), yang kedua duet (campuran antara bibit penyakit) (Depkes

RI, 2002).

B. Pengetahuan
1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui

pancaindra manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).


Pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

adalah pendidikan formal. Jadi pengetahuan sangat erat hubungannya dengan

pendidikan, di mana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi, maka orang

tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi perlu ditekankan, bukan

berarti seseorang yang berpendidikan rendah, mutlak berpengetahuan rendah pula.

Hal ini mengingat bahwa, peningkatan pengetahuan tidak mutlak di peroleh dari

pendidikan non formal.

12
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2007:140), pengetahuan yang mencakup domain
kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:

a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

rangsangan yang telah diberikan.


b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untyuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi

tersebut secara benar.


c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi dan kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat

diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,

prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.


d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain.


e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi

baru dari formulasi-formulasi yang ada.


f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan

pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria

yang sudah ada.

2. Kategori Pengetahuan

13
Menurut Arikunto (2006), pengetahuan dibagi dalam 3 kategori, yaitu:

a) Baik: bila subyek mampu menjawab dengan benar 76% - 100% dari seluruh

pertanyaan

b) Cukup: bila subyek mampu menjawab dengan benar 56% - 75% dari

seluruhpertanyaan

c) Kurang: bila subyek mampu menjawab dengan benar 40% - 55% dari seluruh

pertanyaan

3. Pengetahuan Tentang Penyakit ISPA

Tingginya angka kejadian ISPA di Indonesia dapat dikurangi dengan

mengupayakan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh keluarga sebagai

lingkungan terdekat khususnya para ibu balita yang sangat memperhatikan kesehatan

anaknya dan untuk melakukan upaya-upaya pencegahan ISPA pada balita diperlukan

pengetahuan yang memadai, pengetahuan ibu yang mencukupi diharapkan akan

dapat meningkatkan upaya ibu dalam mencegah ISPA pada balita. (WHO, 2008).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang demikian pula dengan pengetahuan ibu tentang ISPA. Dimana

pengetahuan tentang ISPA ini dapat diperoleh di posyandu, puskesmas, Koran,

majalah, leaflet dll. Sehingga ibu-ibu balita memiliki pengetahuan yang kuat akan

memungkinkan mampu untuk melakukan upaya-upaya pencegahan ISPA pada balita

mereka. Pengetahuan yang harus dimiliki oleh ibu balita tentang ISPA meliputi

pengertian, penyebab, tanda dan gejala, cara cara yang dapat dilakukan untuk

14
mencegah ISPA di rumah (pemenuhan gizi balita, vitamin A, pemberian ASI,

pencegahan polusi udara, status imunisasi serta kepadatan tempat tinggal). (Depkes

RI, 2006).

Dengan pengetahuan yang dimiliki di atas diharapkan ibu balita dapat

melakukan upaya pencegahan ISPA pada balita sehingga akan menurunkan angka

kejadian ISPA. Aspek pengetahuan ibu tentang ISPA berdasarkan studi pendahuluan

masih merupakan masalah yang menurut penulis perlu mendapat prioritas utama

dengan harapan jika pengetahuannya baik diharapkan dapat melakukan upaya

pencegahan yang baik pula sehingga pada akhirnya membantu menurunkan angka

kejadian ISPA.

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Lingkungan:

-Merokok

TINGKAT -Tidak memakai


Perilak masker ISPA Pelayanan Kesehatan
PENGETAHUAN IBU u
Lingkungan - Penyuluhan
-Tingkat pendidikan
- Asap Rokok - Edukasi cara batuk
-Tingkat Penghasilan
- Polusi Udara
-Jenis pekerjaan
- Ventilasi Rumah
-Pengetahuan mengenai mata
rantai :
Keterangan - Kepadatan Rumah
: Diteliti : Tidak Diteliti
o Penyebab

o Sumber infeksi
15
o Cara penularan

o Cara pencegahan
Gambar 3.1: Kerangka Konsep Penelitian tentang tingkat pengetahuan ibu tentang ISPA pada

balita di Puskesmas Gedangan Kabupaten Sidoarjo

Deskripsi Kerangka Konsep:

Kejadian suatu penyakit (ISPA) menurut H.L Blum dipengaruhi oleh faktor

lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Faktor perilaku ibu

dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu. Tingkat pengetahuan yang terkait dengan

ISPA adalah pengetahuan mengenai mata rantai penularannya yaitu: penyebab,

sumber infeksi, serta cara pencegahannya. Sesuai dengan tujuan penelitian yang

bersifat menghubungkan variabel-variabel yang akan diteliti, penelitian ini meneliti

variabel independent yaitu Pengetahuan Ibu Tentang ISPA sedangkan variabel

dependent yang akan diteliti yaitu Kejadian ISPA Pada Balita.

B. Hipotesis Penelitian
Ada Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang ISPA dengan Kejadian ISPA

pada Balita di Puskesmas Gedangan tahun 2017

16
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Observasional, dengan

pendekatan cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan dengan sekali pengamatan

pada suatu saat tertentu terhadap objek sebagai objek penelitian adalah pasien yang

memeriksakan diri di Puskesmas Gedangan selama bulan April sampai Mei tahun 2017

dengan variabel yang diteliti.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan di Puskesmas Gedangan ,Desa Gedangan,

Kecamatan Gedangan, Kabupaten Sidoarjo pada bulan April sampai Mei tahun 2017.

C. Populasi dan Sampel


Populasi adalah sekelompok subyek yang mempunyai kuantitas dan

karakteristik tertentu (Sastroasmoro, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

balita yang berobat di Puskesmas Gedangan bulan April sampai Mei tahun 2017 dan di

perkirakan 108 pasien dalam 2 minggu.


D. Besar Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan estimasi proporsi

dengan presisi mutlak, dengan rumus Lemeshow:

n = Z21-α/2.P(1-P)
d2
Keterangan:
n = Sampel
N = Jumlah Populasi
P = Proporsi menderita ISPA (0,80)
Z21-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2, yaitu 1,96

17
d = Presisi 0.1

sehingga
n= (1,96)2 x 0,8 x 0,2
(0,1)2
n= 61,46
n digenapkan menjadi 62 sampel

Teknik pengambilan sampel Consecutive menentukan sampel dengan mengambil

pasien balita yang hadir secara berurutan sampai berjumlah 62 anak balita yang

mendekati kriteria sebagai berikut :


1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam

sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Notoatmodjo, 2007) yaitu:

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Balita yang datang untuk periksa dengan gejala infeksi saluran nafas akut ke

puskesmas gedangan kabupaten sidoarjo.


b. Ibu balita bersedia menjadi informan dengan menandatangani inform consent.

2. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat

mewakili sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian

(Notoatmodjo, 2007)

Kriteria Ekslusi sampel kasus dalam penelitian ini adalah :

a. Balita yang saat penelitian tidak berada di tempat

b. Balita dengan cacat fisik berupa kelainan pendengaran, penglihatan dan

pengucapan dan cacat mental

E. Variabel Penelitian
1. Variabel independen

18
Variabel independen (bebas) adalah variabel yang mempengaruhi variabel

terikat (dependen) (Hidayat,2007). Dalam penelitian ini, variabel bebas adalah tingkat

pengetahuan ibu terhadap tingkat pengetahuan tentang infeksi saluran pernafasan

akut.

2. Variabel dependen

Variabel dependen (terikat) adalah variabel yang akan dipengaruhi oleh variabel

bebas (Hidayat,2007). Dalam penelitian ini, variabel terikat adalah infeksi saluran

nafas akut pada balita (di Puskesmas Gedangan, Desa Gedangan , Kecamatan

Gedangan, Kabupaten Sidoarjo).

F. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah mendefinisikan variable secara opersional berdasarkan

karakteristik yang diamati, memumgkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau

pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau fenomena (Hidayat,2007).


Tabel IV : Definisi Operasional Penelitian

NO VARIABEL DEFINISI ALAT KATEGORI SKALA


OPERASIONAL UKUR DATA
1 Variable bebas Pengetahuan ibu adalah Wawancara 1 : Baik: bila Ordinal
(independen): pengetahuan yang dimiliki berdasarkan subyek mampu
Pengetahuan ibu tentang penyakit ISPA kuesioner menjawab
ibu tentang meliputi : tanda, dengan benar
ISPA penyebab, penularan, 76% - 100%
pencegahan dan 2 2: Cukup: bila
penanggulangan penyakit subyek mampu
ISPA yang ditentukan oleh menjawab
jawaban dari pertanyaan dengan benar
kuesioner. 56% - 75%
3 3. Kurang: bila
subyek mampu
menjawab
dengan benar
40% - 55%
2 Variabel terikat ISPA adalah infeksi akut Rekam Kategori: Nominal
(dependent) yang menyerang salah medis 1. ISPA
ISPA satu bagian atau lebih dari 2.Bukan ISPA
19
saluran napas mulai dari
hidung sampai dengan
alveoli atau kantong paru
termasuk jaringan
adneksanya seperti sinus
atau rongga disekitar
hidung atau
sinus para nasal, rongga
telinga tengah, dan pleura
(Kemenkes, 2010 ; Ditjen
P2PL, 2009 ; Depkes,
2002). Dengan kategori
ISPA dan Bukan ISPA

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Data primer:

Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara berdasarkan kuesioner

kepada ibu balita yang datang berobat ke Puskesmas Gedangan bulan April samapai

Mei tahun 2017.

2. Data sekunder:

Data sekunder diperoleh dari data catatan rekam medis Kecamatan Gedangan,

Kabupaten Sidoarjo.

H. Pengolahan dan Analisis Data


1. Pengolahan data

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan program SPSS

(Statistic Product Service Solution) melalui beberapa tahap, yaitu :

a. Editing

20
Editing adalah pengecekan kembali apakah isian pada lembar kuesioner

sudah sesuai dan lengkap dengan absen jawaban yang telah disediakan.

b. Coding

Setiap lembar kuesioner yang telah diisi oleh responden diberi kode yang

dilakukan oleh peneliti agar lebih mudah dan sederhana.

c. Processing

Processing adalah memproses data dengan menggunakan menggunakan

perhitungan manual odds ratio.

d. Cleaning

Mengecek kembali data yang sudah diproses apakah ada kesalahan atau tidak

ada masing-masing variabel yang sudah di proses sehingga dapat di perbaiki dan

di nilai.

2. Analisis data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan uji chi square

yang menganalisis hubungan variabel bebas yaitu tingkat pengetahuan dengan

variable terikat yaitu kejadian diare pada balita di puskesmas Gedangan pada bulan

Maret tahun 2016. Adapun syarat uji chi-square harus memenuhi syarat yaitu : nilai

frekuensi harapan kurang dari lima (EF < 5) dan tidak boleh lebih dari atau sama

dengan 20 persen dari semua sel yang ada. Apabila tidak memenuhi syarat maka

digunakan uji fisher exact test (Sastroasmoro, 2011).

Nilai P alpha yang diambil pada penelitian ini adalah 0,05 dengan demikian

bila hasil penelitian menunjukkan P value ≤ P alpha maka dikatakan bahwa kedua

variabel tersebut berhubungan (Sastroasmoro, 2011).

21
DAFTAR PUSTAKA

Anik, maryuani.2010.ilmu kesehatan anak dalam kebidanan.Jakarta:TIM

Arikunto S, 2006. ProsedurPenelitianSuatuPendekatanPraktik, Ed Revisi VI, Penerbit PT


RinekaCipta, Jakarta

Azwar, A.2001.Pengantar epidemiologi.edisi revisi.Jakarta Barat:Binarupa Aksara

Departemen Kesehatan RI, 2007. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Untuk Penanggulangan Pneumonia Pada Balita: Jakarta.

Departemen Kesehatan RI,, ( 2008)., Pedoman Promosi Penanggulangan Pneumonia Balita., Jakarta :
Dirjen P2M & PLP., DepKes RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2002.pedoman pemberantasan dan


penatalaksanaan ISPA.Direktorat jendral kesehatan masyarakat.Direktorat promosi
kesehatan

Hidayat, A. 2007. Riset keperawatan dan teknik penulisan ilmiah. Jakarta: Salemba medika

Hood, Alsagaff, dkk.2009.dasar-dasar ilmu penyakit paru.Surabaya:Airlangga University


Press

Maryunani anik,dkk. 2011. Asuhan Kegawatan Dan Penyulit Pada Neonatus. Jakarta: Trans Info
Medika.

Muttaqin, Arif.2008.buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


imunologi.Jakarta:Salemba Medika

Naria, Evi dkk.2008.hubungan kondisi rumah dengan keluhan ISPA pada balita.diperoleh
dari: http//Usu.press.usu.ac.id

Nelson, dkk.2003.ilmu kesehatan anak.Edisi 15 vol 1.Jakarta:EGC

Notoatmodjo,Soekidjo. 2005.Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmojo, Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.
22
Notoatmodjo,s. 2007. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta

Sastroasmoro, Sudigdo. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitisn Klinis Edisi ke-4. Jakarta:
Sagung Seto

Setiadi. 2008. Konsep & keperawatan keluarga. Yogyakarta : Graha ilmu

Sjahmien, Moehji.2003.ilmu gizi dan penanggulangan gizi buruk.Jakarta:papas sinar sinanti

Suhandayani, I.2007.faktor-faktor yang berhubungan dengan ISPA.universitas negeri


semarang

WHO, 2003, Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak, EGC, Jakarta

WHO.2008.Penanganan ISPA pada anak.Jakarta:EGC

23

Anda mungkin juga menyukai