Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN HASIL PBL MODUL 1

BATUK & SESAK


SKENARIO 2

DISUSUN OLEH
KELOMPOK IV

SELVI DIAN N 110-210-0142


ANDI MARDHATILLAH 110-213-0013
NUSRINI RAHMAH N 110-213-0014
MUTMAINNAH IRWAN 110-213-0037
NURFATRIANI 110-213-0038
CARIMA GHALIE DZAKI 110-213-0067
RHISKI ARINI RUSLAN 110-213-0068
YOLANDA EVA P 110-213-0098
SITI SHAHRINA T.A 110-213-0099
WAHYUDI KURNIANTO 110-213-0128
ERZA ALIFIANDA 110-213-0129
HESTI WIDYA ANINDITA 110-213-0158

Tutor: dr. Akina Maulidhany Tahir

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
SKENARIO

Seorang anak 5 tahun yang nampak kurus, dibawa oleh ibunya ke poli anak karena
demam tinggi. Anak rewel dan tak pernah tidur sejak malam sebelumnya. Anak ini sudah sering
batuk yang disertai beringus dan hampir 1 bulan terakhir ini batuk dan beringusnya tidak pernah
berhenti. Kadang ia sesak bila batuk, serta kadang-kadang juga disertai demam. Riwayat
imunisasi : hanya mendapatkan imunisasi wajib. Tinggi badan anak 110 cm dan berat badan 15
kg.

KATA SULIT

 Batuk : Ekspulsi udara dari dalam paru yang tiba-tiba sambil mengeluarkan suara
berisik.(21)
 Sesak : Keadaan mental yang berkaitan dengan keinginanan yang tak terpuaskan untuk
mendapatkan ventilasi yang kuat. (21)
 Demam : Peningkatan temperatur tubuh diatas normal (37Oc)(21)
 Rhinore : Sekresi mukus encer dari hidung(21)

KATA/KALIMAT KUNCI

 Anak 5 tahun, kurus


 Demam tinggi
 Batuk disertai sesak, beringus hampir sebulan
 Hanya mendapat imunisasi wajib
 TB = 110 , BB = 15

PERTANYAAN

1. Bagaimana Anatomi, Histologi dan Fisiologi dari Sistem Respirasi ?


2. Jelaskan Patomekanisme dari semua gejala !
3. Sebutkan macam – macam imunisasi wajib !
4. Sebutkan dan jelaskan diagnosis banding dari skenario ?

JAWABAN

1.1 ANATOMI

Anatomi respirasi
Struktur yang membentuk sistem pernapasan dapat dibedakan menjadi struktur utama
(principal structure), dan struktur pelengkap (accessory structure).
Yang termasuk struktur utama sistem pernapasan adalah saluran udara pernapasan, terdiri
dari jalan napas, dan saluran napas, serta paru (parenkim paru).Yang disebut sebagai saluran
udara pernapasan bagian atas (jalan napas) adalah nares, hidung bagian luar, hidung bagian
dalam, sinus paranasal, faring, dan laring, sedangkan saluran udara pernapasan bagian bawah
(saluran napas) adalah trakea, bronkus, dan bronkiolus.
Yang dimaksud dengan parenkim paru adalah organ berupa kumpulankelompok alveoli
yang mengelilingi cabang-cabang pohon bronkus (generasi saluran napas 1-24).Bronkus dimulai
dari bronkus principalis kanan dan kiri (generasi 1). Kemudian bronkus principalis kanan
bercabang menjadi bronkus lobaris superior, medius, dan inferior (generasi 2).Bronkus
principalis kiri bercabang menjadi bronkus lobaris superior dan inferior.Dan masing-masing
bronkus lobaris bercabang lagi menjadi bronkus segmentalis dan subsegmental (generasi 3-
9).Generasi saluran napas 10-14 adalah bronkiolus terminalis, generasi saluran napas 15-18
bronkiolus respiratorius.generasi saluran napas 19-24 ductus alveolaris, sacculus alveolaris,
serta alveolus.
Struktur pelengkap tersebut adalah dinding dada yang terdiri dari iga dan otot, otot
abdomen dan otot-otot lain, diafragma, serta pleura.(3)

Gambar 1.1 Anatomi Respirasi (1)

Otot-Otot Pernapasan

Otot inspirasi utama (principal), yaitu:


 M. interkostalis eksterna,
 M. interkatiliginus parasternal, dan
 Otot diafragma.
Otot inspirasi tambahan (accessory respiratory muscle), yaitu:
 M. sternokleidomastoideus
 M. skalenus anterior
 M. skalenus medius
 M. skalenus posterior
Otot ekspirasi (active breathing), yaitu:
 M. interkostalis interna
 M. interkaliginus parasternal
 M. rektus abdominis
 M. oblikus abdominis eksternus(3)

Gambar 1.2 Anatomi Respirasi (1)

HISTOLOGI RESPIRASI
Hidung

Tersusun oleh tulang, cartilago, otot, nervus, pembuluh darah, epitel olfaktorius, dan
jaringan ikat. Glandula sebacea dan rambut-rambut halus dilapisi epitel silindris semu berlapis
bersilia dengan banyak kelenjar mukosa. Di hidung terdapat epitel khusus.(3)
Gambar 1.3 Histologi hidung (4)

Trakea

Terdiri dari epitel silindris semu berlapis bersilia (sel goblet), kelenjar serosa, jaringan
ikat, perikondrium, dan cartilago (berbentuk huruf C). Bagian belakang tidak memiliki cincin
cartilago (pars membranacea) tapi diisi oleh serabut-serabut otot.(3)

Gambar 1.4 histologi trakea (4)


Laring

Rongga melebar, bentuk irreguler, antara nasofaring & trakea .


1. Mikroskopis :
 Mukosa: epitel bertingkat bersilia dan epitel berlapis gepeng tak bertanduk
 Lamina propria : Anyaman penyambung jarang & kelenjar
 Kartilago:
- kartilago hialin : k tiroid / krikoid
- kartilago elastis : kartilago kuneiformis/kornikulata
- kartilago campuran : kartilago arichtenoidea
 Otot/ ligamentum : otot skelet(3)

Gambar 1.5 histologi laring (4)

Bronchus & Bronchiolus

Terdiri dari cartilago hyalin, pembuluh darah, epitel respiratorius, jaringan ikat, dll.

Gambar 1.6 histologi bronchus dan bronkhiolus(4)


BIOKIMIA RESPIRASI

Komposisi gas pernapasan


Udara atmosfer (760 mmHg) memiliki komposisi gas-gas utama:
N2 : 79% → P N2 : 79% X 760 = 600 mmHg
O2 : 21% → P O2 : 21% X 760 = 159 mmHg
CO2 : 0,04% → P CO2 : 0,04% X 760= 0,3 mmHg

Pengangkut O2 CO2
Hemoglobin 98.5 % 30 %
Plasma darah 1.5 % 10 %
(H2CO3)- - 60 %

Adanya uap air (H2O) dengan tekanan 47 mmHg di dalam alveoli, maka komposisi gas
oksigen dan karbondioksida berbeda:
H2O : dengan tekanan parsial 47 mmHg
O2 : dengan tekanan parsial 104 mmHg
CO2 : dengan tekanan parsial 40 mmH
d. Fisiologi respirasi

Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen/ O2 bagi seluruh jaringan
tubuh dan membuang karbon dioksida/ CO2 ke atmosfir. Ini adalah the Cardinal Function of
the Lung.

Gambar 1.7 Anatomi Respirasi (1)

Untuk mencapai tujuan ini, sistem pernapasan menjalankan fungsi :


1. Ventilasi paru, yaitu masuknya udara atmosfir kedalam paru sampai di alveoli dan
keluarnya udara alveoli paru ke udara bebas / atmosfir lagi.
2. Difusi O2 dan CO2 antara darah kapiler paru & udara alveoli. Hal ini terjadi karena
ventilasi berlangsung terus-menerus yang dibarengi aliran perfusi darah ke dalam kapiler
alveoli yang juga terus-menerus mengalir.
3. Transport O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh (CES/ECF) ke dan dari sel. Point
ini sebenarnya tidak termasuk murni fungsi pernafasan, akan tetapi ini pekerjaan jantung
pembuluh darah
4. Perfusi O2 dan CO2 yang terjadi di antara jaringan dan kapiler darah.

MEKANISME RESPIRASI
INSPIRASI EKSPIRASI
2. Patomekanisme dari semua gejala !

A. RINORE

Mekanisme Rinore
Mekanisme terjadinya pilek atau rinore adalah sebagai berikut:
a. Allergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan
lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells
(APC).
b. Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen
dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan
sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B
diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE.
c. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil
yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada
permukaannya memiliki reseptor untuk IgE.Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga
memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah.
d. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama,
alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit
dan basofil. Ikatan tersebut akanmenimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi
perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
e. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses
degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung
dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik,
yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic
Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah
obstruksi oleh histamin.
f. Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler & permeabilitas, sekresi
mucus
g. Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek atau rinore
Gambar 1.8 Patomekanisme Rhinore

B. DYSPNEA

Definisi
Dyspnea didefinisikan sebagai pernapasan yang abnormal atau kurang nyaman
dibandingkan dengan keadaan normal seseorang sesuai dengan tingkat kebugarannya. Dyspnea
merupakan gejala yang umum ditemui dan dapat disebabkan oleh berbagai kondisi dan etiologi.
Organ yang paling sering berkontribusi dalam dyspnea adalah jantung dan paru.

Patofisiologi(6,7,8)
Dyspnea berkaitan dengan ventilasi. Ventilasi dipengaruhi oleh kebutuhan metabolic dari
konsumsi oksigen dan eliminasi karbondioksida. Frekuensi ventilasi bergantung pada rangsangan
pada kemoreseptor yang ada di badan karotid dan aorta. Selain itu, frekuensi ini juga dipengaruhi
oleh sinyal dari reseptor neural yang ada di parenkim paru, saluran udara besar dan kecil, otot
pernapasan, dan dinding toraks.
Pada dyspnea, terjadi peningkatan usaha otot dalam proses inspirasi dan ekspirasi. Karena
dypsnea bersifat subjektif, maka dypsnea tidak selalu berkorelasi dengan derajat perubahan
secara fisiologis. Beberapa pasien dapat mengeluhkan ketidakmampuan bernapas yang berat
dengan perubahan fisiologis yang minor, sementara pasien lainnya dapat menyangkal terjadinya
ketidakmampuan bernapas walaupun telah diketahui terdapat deteriorasi kardiopulmonal.
Tidak terdapat teori yang dipakai secara universal dalam menjelaskan mekanisme dypsnea pada
seluruh situasi klinik. Campbell dan Howell (1963) telah memformulasikan teori length-tension
inappropriateness yang menyatakan defek dasar dari dypsnea adalah ketidakcocokan antara
tekanan yang dihasilkan otot pernafasan dengan volume tidal (perubahan panjang). Kapanpun
perbedaan tersebut muncul, muscle spindle dari otot interkostal mentransmisikan sinyal yang
membawa kondisi bernapas menjadi sesuatu yang disadari. Reseptor jukstakapiler yang terlokasi
di interstitium alveolar dan disuplai oleh serat saraf vagal tidak termielinisasi akan distimulasi
oleh terhambatnya aktivitas paru. Segala kondisi tersebut akan mengaktivasi refleks Hering-
Breuer dimana usaha inspirasi akan dihentikan sebelum inspirasi maksimal dicapai dan
menyebabkan pernapasan yang cepat dan dangkal. Reseptor jukstakapiler juga bertanggung
jawab terhadap munculnya dyspnea pada situasi dimana terdapat hambatan pada aktivitas paru,
seperti pada edema pulmonal.
Pada pasien dengan edema pulmonal, cairan yang terakumulasi akan mengaktifkan serat
saraf di interstitium alveolar dan secara langsung menyebabkan dyspnea. Substansi yang terhirup
yang dapat mengiritasi akan mengaktifkan reseptor di epitel saluran pernafasan dan memproduksi
nafas yang cepat, dangkal, batuk, dan bronkospasm. Dalam merespon kegelisahan, sistem saraf
pusat juga dapat meningkatkan frekuensi pernapasan. Pada pasien dengan hiperventilasi, koreksi
penurunan PCO2 sendiri tidak mengurangi sensasi dari nafas yang tidak tuntas. Ini merefleksikan
interaksi antara pengaruh kimia dan saraf pada pernafasan.
Teori lain mengaitkan dyspnea dengan ketidakseimbangan asam basa, mekanisme sistem
saraf pusat, berkurangnya kapasitas bernafas, meningkatnya usaha untuk bernafas, peningkatan
tekanan transpulmonal, kelemahan otot respiratorik, meningkatnya kebutuhan oksigen untuk
bernafas, ketidaksinergisan otot interkostal dan diafragma, serta aliran respirasi yang abnormal.
Dyspnea pada saat aktivitas fisik dapat disebabkan oleh output ventrikel kiri yang gagal
untuk meningkat selama berolahraga dan mengakibatkan meningkatnya tekanan vena pulmonal.
Pada asma kardiak, bronkospasme diasosiasikan dengan terhambatnya aktivitas paru dan
kemungkinan disebabkan karena cairan edema pada dinding bronkus.
Dyspnea pada akhirnya akan dapat diinduksi oleh empat hal utama, yaitu:
• Meningkatnya kebutuhan ventilasi
• Menurunnya kapasitas ventilasi
• Meningkatnya resistensi saluran nafas
• Menurunnya compliance paru.
FAKTOR PENCETUS

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI

PELEPASAN MEDIATOR

VASOKONTRIKSI PENINGKATAN
PENINGKATAN SEKRESI
PERMEABILITAS KAPILER
OTOT POLOS MUKUS

BRONKOSPASME EDEMA MUKOSA PENINGKATAN


PRODUKSI MUKUS

OBSTRUKSI SAL. NAPAS

HIPOVENTILASI
(KOMPENSASI,HIPERVENTILASI)

HIPERKAPNIA

C. Batuk

Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensoris nervus vagus di laring, trakea, bronkus besar, atau serat
afferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat menimbulkan batuk. Batuk juga timbul
bila reseptor batuk di lapisan faring dan esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar
dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot abduktor kartilago
aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat, sehingga udara dengan cepat dan dalam
jumlah banyak masuk ke dalam paru. Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot
toraks, perut dan diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan
peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah banyak memberikan
keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi sehingga lebih cepat dan kuat serta
memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang
potensial.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adduktor kartilago aritenoidea,
glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan intratoraks meninggi sampai 300 cmHO
agar terjadi batuk yang efektif. Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis
terbuka . Batuk dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi/ ekspulsi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi, sehingga
terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan
pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan
cabang-cabang bronkus merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah
terjadi fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret yang ada
dalam saluran nafas atau getaran pita suara.
D. DEMAM

Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah
zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen
yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme
seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah
endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen
adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh
dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN.
Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit
walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi. Proses terjadinya
demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen
eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut
akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan
IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk
membentuk prostaglandin. (9)
Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat
termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu
patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas
antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut.
Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada
akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut . (4)
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase
pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan
vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi
panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam
merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu
yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang
ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk
menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan(10)
3. Sebutkan macam – macam jenis imunisasi (11)

Imunisasi wajib ialah imunisasi yang di wajibkan oleh pemerintah (imunisasi dasar),
digunakan untuk mencegah suatu kejadian yang luar biasa atau penyakit endemic atau untuk
kepentingan tertentu. Program pengembangan imunisasi yang diwajibkan antara lain :
BCG,Hepatitis B, Polio, DTP dan Campak.
4. Apa diagnosis banding dari skenario !

4.1 TUBERKULOSIS PARU

A. Definisi
Penyakit infeksi yang disebabkan bakteri yang dapat memengaruhi semua jaringan tubuh, tetapi
paling umum terlokalisasi di paru-paru.(12)

B. Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis & kadang M.bovis.(12)

C. Klasifikasi
1. Tuberculosis Primer ( Childhood tuberculosis)
2. Tuberculosis Post Primer ( Adult tuberculosis).(13)

D. Patogenesis
1. Tuberculosis Primer ( Childhood tuberculosis)
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi
droplet nuclei dalam udara sekitar. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan
menempel pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran
partikel <5 mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil kemudian oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag. Kebanyakan
pertikel keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman
yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut
sarang primer atau efek primer atau sarang (fokus) Ghon. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ
tubuh lainnya. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi perjalanan ke seluruh bagian paru
menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (Limfadenitis
regional). Sarang primer + limfangitis lokal + Limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke).
Kompleks primer ini dapat menjadi :
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini banyak terjadi. Sembuh dengan meninggalkan
sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi hilus, keadaan ini terdapat pada lesi
pneumonia yang luasnya > 5 mm dan ± 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant.
Berkomplikasi dan menyebar secara a) perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya
b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru yang ada di sebelahnya. Kuman
dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus c) secara limfogen, ke
organ tubuh lainnya d) secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.

2. Tuberculosis Post Primer ( Adult tuberculosis)


Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahhun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (tuberkulosis post primer). Sarang dini ini
mula-mula juga terbentuk sarang pneumonia kecil, dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi
tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel histosit dan sel Datia-Langhans yang
dikelililngi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.
Sarang yang mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan
fibrosis.Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan perkapuran. Sarang dini meluas
sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya
mengalami nekrosis, menjadi lembek membentuk jaringan keju.(13)

E. Gejala Klinis
Tuberkulosis primer biasanya asimtomatik. Bentuk ssekunder lebih sering menyebabkan
demam yang tidak nyata, keringat malam, kehilangan berat badan, batuk produktif dan pada
sputum terdapat garis-garis darah, atau hemoptisis.(14)
Demam. Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas
badan dapat mencapai 40-41℃. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar tetapi
kemudian dapat timbul kembali.
Batuk/batuk darah. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan
untuk mengeluarkan produk-produk radang. Sifat batuk dimulai dari non-produktif, kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan yang lanjut berupa batuk darah karena
tedapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terdapat pada
kavitas tetapi dapat juga karena ulkus dinding bronkus.
Sesak napas. Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas. Sesak napas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengan bagian
paru.
Nyeri dada. Gejala ini jarang ditemukan. Timbul bila infiltrasinya sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gerakan pada kedua pleura saat pasien
menarik/melepaskan napasnya.
Malaise. Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan
berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (BB turun), sakit kepala, meriang,
nyeri otot, keringat malam dll. Gejala malaise ini makin hari makin berat dan hilang timbul
secara tidak teratur.(13)

F. Diagnosis

Pada dewasa
1. Anamnesis
Gejala klinis : demam yang tidak nyata, keringat malam, kehilangan berat badan, batuk produktif
dan pada sputum terdapat garis-garis darah, atau hemoptisis.

2. Pemeriksaan Fisis
Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia
Suhu demam (subfebris)
Badan kurus atau berat badan menurun
Perkusi yang redup dan suara napas bronkial
Ada pula suara napas tambahan berupa ronki, basah, kasar, dan nyaring.
Vesikuler melemah apabila ada penebalan pleura
Pada TB paru yang lanjut akan ditemui atrofi dan retraksi otot-otot inter-kostal
dll.(13)
Pada anak-anak(17)
Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan pasien TB dewasa
aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberculin, dan gambaran sugestif pada foto
toraks. Meskipun demikian, sumber penularan/kontak tidak selalu dapat teridentifikasi, sehingga
analisis yang seksama terhadap semua data klinis sangat diperlukan. Diagnosis pasti dapat
ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung (direct smear),
dan/atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard), atau gambaran PA TB.
Hanya saja, diagnosis pasti pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada
TB anak (paucibacillary), dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga
hanya 10-15% pasien TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobiologiknya positif/ditemukan
kuman TB. Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
radiologis. Oleh karena itu, analisis kritis perlu dilakukan terhadap sebanyak mungkin fakta
untuk menegakkan diagnosis.
Kesulitan menegakkan diagnosis TB pada anak menyebabkan banyak usaha membuat pedoman
diagnosis dengan sistem scoring dan alur diagnostik, misalnya pedoman yang dibuat oleh WHO,
Stegen dan Jones, dan UKK Respirologi PP IDAI. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) membuat
kriteria untuk membuat diagnosis TB pada anak.
Tabel 4.4.8 Petunjuk WHO untuk diagnosis TB anak
a. Dicurigai tuberkulosis
1. Anak sakit dengan riwayat kontak pasien tuberkulosis dengan diagnosis pasti
2. Anak dengan:
Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan
Berat badan menurun, batuk dan mengi yang tidak membaik dengan pengobatan
antibiotika untuk penyakit pernapasan
Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit
b. Mungkin tuberkulosis
Anak yang dicurigai tuberkulosis ditambah:
Uji tuberculin positif (10 mm atau lebih)
Foto rontgen paru sugestif tuberkulosis
Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis
Respons yang baik terhadap pengobatan dengan OAT
c. Pasti tuberkulosis (confirmed TB)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan
Identifikasi Mycobacterium tuberculosis pada karakteristik biakan
Kriteria WHO ini telah dievaluasi secara prospektif oleh Houwart, dkk, denga hasil baik.
Penilaian pada 258 anak dengan “mungkin tuberkulosis” sesuai criteria WHO maka setelah
diikuti lebih lanjut 109 (42%) menjadi “pasti tuberkulosis” dengan biakan positif, 86 (33%)
diagnosisnya tetap “mungkin tuberkulosis”, sedangkan 63 (24%) bukan tuberkulosis. Diantara
109 anak dengan biakan positif, 11 anak foto rontgen parunya normal.
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI sudah pernah membuat alur diagnosis TB anak yang
dimuat dalam buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB yang diterbitkan oleh Departemen
Kesehatan RI. Dalam alur diagnosis tersebut, terdapat 10 butir kriteria tuberkulosis anak, bila
terpenuhi tiga atau lebih, anak sudah dapat didiagnosis TB. Setelah dievaluasi pelaksanaannya di
lapangan, alur diagnosis tersebut sangat berpotensi menyebabkan terjadinya overdiagnosis TB
pada anak.
Hal-hal yang mencurigakan TB:

1. Mempunyai sejarah kontak erat dengan pasien TB dengan BTA (+)


2. Uji tuberkulin yang positif (> 10 mm)
3. Gambaran foto rontgen sugestif TB
4. Terdapat reaksi kemerahan yang cepat (dalam 3-7 hari) setelah imunisasi dengan
BCG
5. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu
6. Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang jelas
7. Berat badan yang turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang baik yang
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi (failure to
thrive)
8. Gejala-gejala klinis spesifik (pada kelenjar limfe, otak, tulang dll)
9. Skofuloderma
10. Konjungtivitis fliktenularis

Bila >= 3

Dianggap TB

Beri OAT
Observasi 2

Membaik
Memburuk/tetap

TB
Bukan TB kebal obat

Teruskan
Rujuk ke RS
Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan Kavitas (+) BTA (+)
keluarga, BTA BTA tidak
(-) atau tidak jelas
tahu
Uji Tuberkulin Negatif Positif
Status Gizi BB/TB <90% atau BB/U Klinis gizi buruk atau
<80% BB/TB <70% atau BB/U
<60%
Demam tanpa sebab jelas ≥2 minggu
Batuk ≥3 minggu
Pmbesaran Kelenjar Limfe Kolli, ≥1 cm, jumlah >1, tidak nyeri
Aksila, Inguinal
Pembengkakan tulang/sendi panggul, Ada pembengkakan
lutut, falang
Foto Normal/ Tidak jelas
Infiltrat
Pembesaran kelenjar
Konsolidasi
segmental/lo bar
Atelektasis

Catatan:
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
Jika dijumpai skrofuloderma langsung didiagnosis TB
Berat badan dinilai saat datang
Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
Foto rontgen bukan alat diagnosis utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan system skorinh TB anak
Didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6 (skor maksimal 14). Cut off point ini masih bersifat
tentatif/ sementara, nilai definitive menunggu hasil penelitian yang sedang dikerjakan. 4

Pemeriksaan Penunjang
Tes darah
Dapat mendeteksi anemia, penurunan natrium, dan peningkatan kalsium.
Tes Mantoux
Sangat positif pada TB paru pascaprimer.Sering negatif pada TB milier (penurunan respon
pejamu) dan HIV (Penurunan imunitas selular).
Tes Heaf (tes krining : sekarang jarang digunakan)
Suatu cincin dengan enam cocokan peniti yang dibuat melalui larutan tuberkulin pada lengan
bawah.
Mikrobiologi
Basil tahan asam dapat dideteksi pada sputum atau bilasan paru yang menggunakan pewarnaan
Ziehl-Neelsen. Namun, basil tumbuh lambat, dan kultur serta sensitivitas obat memerlukan waktu
waktu 4-6 minggu.
Histopatologi
Aspirasi pleura dengan biopsi mengkonfirmasi TB pada 90% pasien dengan efusi pleura.
Radiologi dada
Pembentukan bayangan di lobus bawah sangat menunjang. Kavitas di apeks, efusi pleura, dan
pneumotoraks dapat terjadi.(16)

Terapi
Nutrisi yang baik, pengurangan konsumsi alkohol, dan kepatuhan pada terappi obat merupakan
faktor-faktor penting.
TB paru tanpa komplikasi diobati selama 6 bulan dengan 3 obat yaitu rifampisin, pirazinamid,
dan isozianid selama 2 bulan, diikuti rifampisin dan isozianid selama 4 bulan. Tambahan
piridoksin mencegah neuropati perifer akibat isozianid. Fungsi hati sebaiknya dipantau, karena
rifampisin dan pirazinamid dapat menyebabkan disfungsi hati.
Jika dicurigai ada resistensi obat maka regimen empat obat (ditambahkan etambutamol) dapat
dimulai.
Pada TB paru berat, kortikosteroid kadang-kadang memperbaiki hasil.(16)
Komplikasi
Komplikasi dini : Pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, poncet’s arthropathy
Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas  SOPT (sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis),
kerusakan parenkim berat  fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom
gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.(13)
Pencegahan
Vaksinasi BCG (Basil Calmette-Guerin)
Dari beberapa peneliti diketahui bahwa Vaksinasi BCG (Basil Calmette-Guerin) yang telah
digunakan pada anak-anak hanya memberikan daya proteksi sebagian saja, yakni 0-80%. Tetapi
BCG tetap dipakai karena ia dapat mengurangi kemungkinan terhadap TB berat (meningitis, TB
milier, dll) dan TB ekstra paru lainnya.(13)
B. PNEUMONIA
Pneumonia merupakan inflamasi yang mengenai parenkim paru distal dari jalan napas besar dan
mengenai bronkiolus respiratorik dan alveolus
ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh bakteri, yang terjadi secara primer atau
sekunder setelah infeksi virus. Penyebab tersering pneumonia bakteri adalah bakteri gram-positif
:
Streptococcus pneumonia yang menyebabkan pneumonia streptococcus. Bakteri Staphylococcus
aureus dan streptococcus beta hemoliticus grup A juga sering menyebabkan pneumonia,
demikian juga Pseudomonas aeruginosa.
Pneumonia lainnya juga disebabkan oleh virus,misalnya influenza. Anak-anak yang masih kecil
sangat rentan terutama terhadap pneumonia virus, biasanya dari infeksi dengan respiratory
syncytial virus (RSV) , parainfluensa, adenovirus, atau rino virus
Pneumonia mikoplasma, jenis pneumonia yang relative dijumpai, disebabkan oleh
mikroorganisme.
Resiko untuk mengidap pneumonia lebih besar paa anak-anak, orang berusia lanjut, atau mereka
yang mengalami gangguan kekebalan atau menderita penyakit atau kondisi kelemahan lain.(18)
PATOGENESIS
Proses pathogenesis pneumoni terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imunitas) inang,
mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain.
Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat ringannya
penyakit, diagnosis dari pasien.
Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet
sering disebabkan Streptococus pneumonia, melalui slang infuse oleh Staphylococcus aureus
sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh P.aeruginosa dan Enterobackter. Pada masa
kini terlihat perubahan pola mikroorganisme penyebab ISNBA akibat adanya perubahan keadaan
pasien seperti gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan
antibiotic yang tidak tepat yang menimbulkan perubahan karakteristik kuman.Dijumpai
peningkatan patogenitas/jenis kuman akibat adanya berbagai mekanisme, terutama oleh S.
aureus, B. catarrhalis, H. influenza dan Enterobacteriacae. Juga oleh berbagai bakteri enteric
gram negative.(13)
GAMBARAN KLINIS
Gelaja pneumonia hamper sama untuk semua jenis pneumonia, tetapi terutama mencolok pada
pneumonia yang disebabkan oleh bakteri.
Peningkatan frekuensi napas yang bermakna. Frekuensi pernapasan normal dan abnormal
bervariasi sesuai usia, pada bayi dan anak-anak yang masih kecil memiliki frekuensi napas
normal yang lebih cepat dibandingkan anak-anak yang sudah besar dan orang dewasa.
Demam dan menggigil dakibat proses inflamasi dan batuk yang sering sekali produktif, prulen
dan terjadi sepanjang hari ; bayi mungkin terdengar mendengkur sebagai upaya untuk
memperbaiki aliran udara.
Nyeri dada akibat iritasi pleur. Nyeri mungkinn meluas atau menjalar ke area abdonmen.
Sputum berwarna merah karat (untuk Streptococcus pneumonia), merah muda (untuk
Staphylococcus aureus) atau kehijauan dengan bau khas (untuk Pseudomonas aeruginosa).
Bunyi crackle, bunyi paru tambahan ketika jalan napas terbuka tiba-tiba, merupakan indikasi
adanya infeksi jalan napas bawah.
Keletihan akibat reaksi inflamasi dan hipoksia, apabila infeksianya serius.
Nyeri pleura akibat proses inflamasi dan edema.
Biasanya sering terjadi respons subjectif dispnea
Hemoptitis, yaitu batuk darah dapat terjadi akibat cidera toksin langsung pada kapiler atau akibat
reaksi inflamasi yang menyebabkan kerusakan kapiler(18)
PERANGKAT DIAGNOSTIK
Hitung sel darah putih biasanya meningkat (kecuali apabila pasien mengalami imunodefisiensi).
Hal ini terutama terjadi pada pneumonia bakeri.
Edema ruang intertisia sering tampak pada pemeriksaan radiograf (sinar X) dada. Hasil
pemeriksaan gas darah arteri mungkin abnormal.

KOMPLIKASI
Sianosis disertai hipoksia mungkin terjadi
Ventilasi mungkin menurun akibat akumulasi mucus, yang dapat berkembang menjadi atelektasis
absopsi
Gagal napas dan kematian dapat terjadi pada kasus ekstrem berhubungan dengan kelelahan atau
sepsis (penyebaran infeksi ke darah).
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk pneumonia bergantung pada penyebab, sesuai yang ditentukan
berdasarkan pemeriksaan sampel sputum prepengobatan. Terapi yang dapat dilakukan antara lain
:
Antibiotik, terutama untuk pneumonia bakteri. Pneumonia lain dapat diobati dengan antibiotic
untuk mengurangi resiko infeksi bakteri sekunder yang dapat berkembang dari infeksi asal
Istirahat
Hidrasi untuk membantu mengencerkan sekresi
Teknik napas dalam untuk meningkatkan ventilasi alveolus dan mengurangi resiko aktelektasis.

C. Bronkhitis kronik(20)
Definisi : bronkhitis kronik adalah batuk berulang dan berdahak selama lebih dari 3 bulan setiap
tahun dalam periode paling sedikit 3 tahun. Sebab utamanya adalah merokok, berbagai penyakit
akibat pekerjaan, polusi udara, dan usia tua, terutama pada laki-laki. Hipersekresi dan tanda-tanda
adanya penyumbatan saluran napas yang kronik merupakan tanda dari penyakit ini.
Berdasarkan ada tidaknyapenyempitan bronkus maka penyakit ini dapat dibagi menjadi 2, yakni:
• Yang tidak disertai dengan penyempitan bronkus dimana dasar penyakitnya semata-mata
oleh karena hipersekresi dari kelenjar mukus bronkus dengan atau tanpa adanya infeksi bronkus
• Yang disertai dengan penyempitan bronkus, batuk, produksi sputum, disertai dengan
dispnea dan wheezing (mengi). Pada yang kedua ini prognosisnya lebih buruk dari yang pertama

Patologi: pada bronkhitis kronik terjadi hipertrofi kelenjar mukus dari trakeobronkial, dimana
dapat menyebabkan penyempitan pada saluran bronkus, sehingga diameter bronkus ini menebal
30-40% dari tebalnya dinding bronkus normal. Sekresi dari sel goblet bukan saja bertambah
dalam jumlahnya akan tetapi juga lebih kental sehingga menhasilkan substansi yang
mukopurulen. Keadaan ini juga disertai dengan bronkiektasis dan atelektasis yang disebabkan
oleh penyumbatan. Permukaan bronkus senantiasa terinfeksi, oleh karena mekanisme untuk
membersihkan bronkus melalui silia maupun dengan mekanisme sekresi menjadi hilang,
sehingga paru selalu diinfeksi oleh kuman Haemophilus influenza dan Streptococcus pneumonia
yang menghasilkan mukus yang purulen pada setiap eksaserbasi. Pada stadium akhir dari
bronkhitis kronik dapat terjadi hipoksemia dan hipertrofi ventrikel kanan yang disertai dengan
penebalan pembuluh darah pulmonal dan arteriole, cabang dari arteri pulmonal.
Klinis: Pada tingkat permulaan hanya cabang-cabang bronkus dengan diameter kurang dari 2 mm
saja yang terkena.pada fase selanjutnya maka cabang bronkus besar juga terkena dan dapat
dibuktikan dengan pemeriksaan faal paru dimana terjadi penurunan dari fungsi obstruktif.
Berbagai gejala klinik yang didapatkan:
• Batuk terutama pada pagi hari pada perokok.
Septum kental dan mungkin juga purulen, terutama bila terinfeksi oleh Haemophilus influenza.
Pada tingkat permulaan didapatkan adanya dispnea yang sesaat
• Dispnea makin lama makin berat dan sehari penuh, terutama pada musim dimana udara
dingin dan berkabut. Selanjutnya, sesak napas terjadi bila bergerak sedikit saja dan lama-
kelamaan dapat terjadi sesak napas yang berat sekalipun dalam keadaan istirahat
• Pada sebagian pasien sesak justru datangnya pada malam hari, terutama pada pasien yang
berusia tua sehingga menyebabkan tidur pasien menjadi terganggu. Keadaan ini sama seperti
pada gambaran dekompresi kordis kiri. Tanda yang paling dominan pada usia lanjut adalah sesak
napas pada waktu bekerja ringan dan sesak napas ini bersifat progresif
• Pink puffer dan blue blotter
Baik bronkhiti maupun emfisema dapat dibagi menjadi pink puffer dan blue blotter. Pada pink
puffer ditandai dengan sesak yang sangat berat dan terdapatnya hiperinflasi paru dan sianosis,
sehingga muka pasien terlihat berwarna merah biru (pink) dan bengkak (puffer). Analisis darah,
bik PaO2 maupun PaCO2 relatif normal. Hiperinflasi paru ini dapat menyebabkan terjadinya
gejala-gejala dekompensasi jantung kanan, yakni berupa edema dan asites, tekanan vena jugularis
yang meningkat dan berdilatasi. Pokoknya pada tipe pink puffer gambaran utamanya adalah kor
pulmonale. Berbeda dengan blue blotter yang menjadi masalah utamanya justru hipoksemia dan
bila kronik maka didapatkan pula hiperkapnia. Kadar O2 dalam darah menurun, terutamaketika
tidur malam dan kadang-kadang penurunan kadar O2 darah yang sangat tinggi ini tidak dapat
terlihat pada pink puffer.

Komplikasi:
Beberapa komplikasi yang dapat ditemukan pada bronkhitis adalah:
• Empisema
• Kor pulmonale
• Kegagalan pernapasan
• Polisitemia
Terdapat batuk, sputum, dan tanda-tanda hipoksemia pada blue blotter. Eksaserbasi akut
disebabkan oleh infeksi. Pada auskultasi terdapat ronki basah, baik pada ekspirasi maupun
inspirasi. Sesak napas dan wheezing (mengi) merupakan tanda utama dari bronkhitis.
Bila sudah terdapat komplikasi kor pulmonale, maka prognosis dari penyakit ini sudah buruk.
Pemeriksaan faal paru : FEV1 kurang dari 75%. Dalam keadaan kronik bukan saja FEV1 yang
berkurang tetapi VC juga. Pemeriksaan paru dengan MBBB menunjukkan terdapatnya penurunan
faal paru. Pada keadaan yang kronik keadaan ini sulit dibedakan dengan asma
Bronkhitis Akut
Definisi: bronkhitis akut merupakan peradangan akut membran mukosa bronkus yang disebabkan
oleh infeksi mikroorganisme. Penyakit ini sering melibatkan trakea sehingga lebih tepat disebut
trakeobronkhitis akut.
Etiologi : penyebab yang paling sering adalah virus seperti virus influenza, parainfluenza,
adenovirus, serta rhinovirus. Bacteri yang sering menjadi penyebab adalah Mycoplasma
pneumoniae, tetapi biasanya bukan infeksi primer.penyakit ini biasanya sembuh dengan
sendirinya, namun jika dilatarbelakangi oleh penyakit kronik seperti emfisema, bronkhitis kronik,
serta bronkiektasis, infeksi bakteri ini harus mendapat perhatian serius
Manifestasi klinis: biasanya didahului oleh gejala infeksi saluran napas bagian atas seperti hidung
buntu (stuffy), pilek (runny nose) dan sakit tenggorokan. Batuk yang bervariasi dari ringan
sampai berat, biasanya dimulai dengan batuk yang tidak produktif. Batuk ini sangat mengganggu
di waktu malam. Udara dingin, banyak bicara, napas dalam, serta tertawa akan merangsang
terjadinya batuk. Pasien akan mengeluh ada nyeri retrosternal, dan rasa gatal pada kulit. Setelah
beberapa hari akan terdapat produksi sputum yang banyak; dapat bersifat mukus tetapi bisa juga
mukopurulen. Sesak napas hanya terjadi jika terdapat penyakit kronik kardiopulmonal.
Peradangan bronkus biasanya menyebabkan hiperreaktivitas saluran pernapasan yang
memudahkan terjadinya bronkospasme. Pada penderita asma, penyakit ini dapat menjadi
pencetus terjadinya serangan asma. Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemuan keadaan normal,
dan kadang-kadang terdengar suara wheezing di beberapa tempat; ronkhi dapat terdengar jika
produksi sputum meningkat. Foto toraks menunjukan gambaran normal.
Penatalaksanaan : biasanya simtomatik, yaitu tirah baring, menghindari udara dingin dan kering.
Kadang-kadang inhalasi uap air sangat membantu. Pada pasien yang menderita batuk yang sangat
mengganggu, dapat diberikan obat batuk yang mengandung kodein atau dekstrometorfan.
Antibiotik hanya diberikan jika terdapat infeksi sekunder bakterial atau PPOK.
D. BRONKIOLITIS(19)
1. Definisi
Bronkiolitis merupakan infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada
umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala-gejala obstruksi bronkiolus.
Bromkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi,
dan air trapping/hipperaerasi paru pada foto dada
2. Epidemiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Virus (RSV), 60-90% dari kasus, dan sisanya
dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenza tipe 1,2 dan 3, Influenza B, Adenovirus tipe 1,2
dan 5 atau Mycoplasma. RSV adalah penyabab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya
penyebab yang dapat menimbulkan epidemic. Hayden dkk (2004) mendapatkan bahwa infeksi
RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45% - 90% dan menyebabkan pneumonia sebanyak
40%.
Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6
bulan. Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak
pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat
penyakitnya. Di Negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai
awal musim semi, di Negara tropis pada musim hujan.
3. Patogenesis
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk
paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV
untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein) yang mengikat sel dan protein F
(fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangga. Kedua
protein ini merangsang antibody neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain
antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat
dan menimbulkan sekuele.
Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi didalam nasofaring kemudian menyebar dari
saluran napas atas ke saluran napas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran napas
dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi system saluran napas melalui
kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran
patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan
terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus. Virus yang
merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam
bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar
terhadap allergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P)
yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena
kombinasi dari proses inflamasi, edema, saluran napas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta
spasme otot polos saaluran napas.
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan
compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua
faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan sistem kerja pernapasan, batuk, wheezing,
obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai
gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran napas berbanding terbalik dengan diameter
saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan efek
cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit.
Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus.
Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak-anak yang lebih besar mungkin
merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien
dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluaran napas bawah akan meningkatkan
resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cummulatif imunity
sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi
bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,
sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari.
Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan asma:
(1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak kecil sering kali disertai wheezing. (2)
Penderita wheezing berulang yang desertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali
mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda.
4. Manifestasi Klinis
Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin. Gejala ini
berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan berkurang.
Kemudian timbul distress nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak napas.
Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah sera sulit makan dan minum.
Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekalidan bahkan ada yang mengalami
hipotermi. Terjadi distres napas dengan frekuansi napas lebih dari 60 kali permenit, kadang-
kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat napas cuping hidung
penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi.
Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat
toksis. Karakteristiknya: gambaran klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu
atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses
penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis. Histapatologi: hipertrofi dan timbunan infltrat
meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa.
5. Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya epidemic RSV di
masyarakat. Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau
kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya batuk, pilek,
demam an (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assesment
Instrument (RDAI), yang menilai distress napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu wheezing
dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang 3 dimasukkan
dalam kategori ringan.
Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan
nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan
hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan
pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas
pemeriksaan ini adalah 80-90%.
6. Tata Laksana
Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapui suportif: oksigenasi, pemberian cairan untuk
mencegah dehidrasi dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bias dirawat jalan dan
perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai berat harus
dirawat inap. Penderita risiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang dari 3 bulan,
premature, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi imun, distres
napas. Tujuan perawatan dirumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi
komplikasi atau bila diperlukan pemberian antivirus.
Penanganan Bronkiolitis pada anak di RS Dr. Soetomo Surabaya, yaitu:
1. Cairan dan nutrisi: adekuat tergantung kondisi penderita
2. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila perlu
dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi mekanik
3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, IV
4. Antibiotika: Penyaki berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi sekunder
5. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung

7. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara,
membatasi penularan terutama di rumah sakit, misalnya dengan membiasakan dengan cuci
tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita. Pemberian ASI.
Penggunaan immunoglobulin (RSV-IG)pada bayi berumur kurang dari 24 bulan dengan
Bronchopulmonary dysplasia (BPD), bayi premature (kurang dari 35 minggu) menunjukkan hasil
penurunan yang signifikan: jumlah yang terinfeksi RSV, jumlah penderita yang masuk rumah
sakit serta memperpendek waktu perawatan di rumah sakit dan ICU. RSV-IG dapat di toleransi
dengan baik.
Penelitian menggunakan vaksin RSV menggunakan virus hidup (live attenuated subunit,
live recombinant) dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi yang adekuat.

DAFTAR PUSTAKA
(1)
Netter. Atlas Anatomi. e-book
(2)
Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC
(3)
Guyton, Arthur C., & Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
EGC
(4)
Sherwood, Lauralee. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC
(5)
Price, Sylvia Anderson dan Lorraine MW. Patofisiologi Vol 1. Ed 6. Jakarta : EGC. 2005.
(6)
Morgan WC, Hodge HL. Diagnostic evaluation of dyspnea. Diakses pada Jumat, 31 Oktober
2014. Diunduh dari: http://www.aafp.org/afp/980215ap/morgan.html
(7)
Chemo Care. Dyspnea (shortness of breath). Diakses pada Jumat, 31 Oktober 2014. Diunduh
dari: http://www.chemocare.com/MANAGING/dyspnea.asp
(8)
Mukerji V. Dypsnea, orthopnea, and paroxysmal nocturnal dyspnea. Diakses pada Jumat, 31
Oktober 2014. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK213/
(9)
Dinarello, C.A., and Gelfand, J.A,. 2005. Fever and Hyperthermia. In: Kasper, D.L., et. al., ed.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 16 Singapore: The McGraw-Hill Company, Hal
104-108.
(10)
Dalal, S., and Zhukovsky D.S., 2006. Pathophysiology and Management of Fever. J Support
Oncol., 2006 (4), Hal 9–16.
(11)
Buku Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2008
(12)
Ethel Sloane, anatomi dan fisiologi untuk pemula hal 277
(13)
Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM jilid II ed VI hal 865-881
(14)
Tuberkulosis, Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan di Indonesia (PDPI)
(15)
Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak, UKK Pulmonologi PP IDAI, 2005
(16)
At A Glance SISTEM RESPIRASI Hal 81
(17)
Rahajoe, N. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Halaman 207-211
(18)
Elizabeth. J. Corwin. Buku saku PATOFISIOLOGI . edisi revisi 3.Jakarta: EGC,2009.
Halaman 541-544
(19)
Landia Setiawati, Retno Asih S, Makmuri MS. Treatment of Bronchiolitis. Divisi Respirologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo, Surabaya.
(20)
Prof. Dr, H. Tabrani Rab.2013.Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:TIM
(21)
Kamus Dorland edisi 21

Anda mungkin juga menyukai