Anda di halaman 1dari 14

Politik Luar Negeri Indonesia Masa Orde Baru

POLITIK LUAR NEGERI KEPEMIMPINAN SOEHARTO

Pengertian politik luar negeri

Politik Luar Negeri merupakan kebijakan suatu negara dalam mengatur hubungan dengan negara lain
dalam lingkup dunia internasional. Dengan demikian, politik luar negeri tentu saja berbeda antara negara
satu dengan negara lainnya tergantung pada tujuan nasional masing-masing negara.

Politik luar negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas, artinya negara Indonesia tidak memihak salah
satu blok kekuatan yang ada di dunia. Aktif artinya negara Indonesia selalu aktif dalam menciptakan
perdamaian dunia. Negara Indonesia aktif dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan
internasional.

Landasan Politik Luar negeri Indonesia

Landasan Politik Luar Negeri Indonesia ada 2, yaitu landasan ideal dan landasan konstitusional.

Landasan Ideal

Landasan ideal politik luar negeri Indonesia, yaitu Pancasila. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila harus dijadikan sebagai pedoman dan pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri
Indonesia.

Landasan Konstitusional

Landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia, yaitu UUD 1945. Landasan tersebut sangat penting
bagi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia dalam menunjang tercapainya tujuan nasional bangsa
Indonesia. Hal ini tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 maupun Batang Tubuh UUD 1945.

Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa
dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.

Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945. dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,

UUD 1945 Pasal 11. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.

UUD 1945 Pasal 13. Ayat 1 : Presiden mengangkat duta dan konsul. Ayat 2 : Dalam mengangkat duta,
Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Ayat 3 : Presiden menerima
penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Masa Pemerintahan Presiden Soeharto

Setelah Presiden Soekarno lengser dari kursi pemerintahan, Indonesia dipimpin oleh Soeharto. Presiden
Soeharto adalah presiden yang paling lama berkuasa dan memerintah di Indonesia, yakni selama kurang
lebih 32 tahun. Masa kepemimpinan Soeharto disebut era Orde Baru. Era orde baru (Orba) merupakan
era yang identik dengan kepemimpinan Soeharto, yaitu ketika Soeharto menjadi Presiden Republik
Indonesia mulai tanggal 12 Maret 1967 sampai dengan 21 Mei 1998.

Masa orde baru merupakan salah satu bentuk peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Presiden
Soeharto. Orde baru merupakan sebutan pemisah bagi rezim yang berkuasa pada saat itu. Setelah
lengsernya Soekarno pada tahun 1960an, terjadi perubahan pada pola hubungan luar negeri Indonesia,
yang mana pada masa orde lama terjalin hubungan diplomatik yang kurang baik dengan beberapa
negara karena karakter pemimpin dan bangsa begitu kuat dalam pandangan Internasional, apalagi
dengan faktor power shift pasca Perang Dingin yang menjadikan politik di masa itu sangat kuat dan tegas
ketika berhadapan dengan dunia luar. Dengan menunjukkan power sebagai negara yang kuat, hubungan
dengan beberapa negara Asia Tenggara kurang baik, padahal kita sebagai bangsa yang berdaulat
membutuhkan interaksi dengan dunia luar dalam segala bidang.

Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia lebih memfokuskan pada pembangunan sektor ekonomi.
Keterikatan pada pola-pola ekonomi maupun politik internasional mempunyai signifikansi yang tinggi
untuk memahami dinamika internal yang menjadi faktor determinan dalam mempengaruhi polugri pada
masa kepemimpinan Soeharto.[19] Faktor-faktor politik dan ekonomi yang dianggap paling berpengaruh
tersebut adalah kondisi domestik, modalitas, struktur dan proses penentuan politik luar negeri, agenda
utama, isu-isu domestik yang dominan dan gaya serta pola kepemimpinan politik

Pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan secara baik, tanpa adanya stabilitas politik keamanan
dalam negeri maupun di tingkat regional. Pemikiran inilah yang mendasari Soeharto mengambil
beberapa langkah kebijakan polugri, yaitu membangun hubungan yang baik dengan pihak-pihak Barat
dan good neighbourhood policy melalui Association South East Asian nation (ASEAN). (Wuryandari,
2008, hal. 115) Titik berat pembangunan jangka panjang kita adalah pembangunan ekonomi, untuk
mencapai struktur ekonomi yang seimbang dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, pada dasawarsa
abad yang akan datang.Tujuan utama politik luar negeri Soeharto pada awal penerapan New Order
(tatanan baru) adalah untuk memobilisasi sumber dana internasional demi membantu rehabilitasi
ekonomi negara dan pembangunan, serta untuk menjamin lingkungan regional yang aman yang
memudahkan Indonesia untuk berkonsentrasi pada agenda domestiknya. (Anwar, 2005, hal. 77)
Keberhasilannya dalam hal pembangunan ekonomi, Soeharto mendapatkan gelar Bapak Pembangunan
bangsa Indonesia dan beberapa penghargaan internasional.

Berikut pernyataan Presiden Soeharto mengenai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Bagi
Indonesia, politik luar negerinya yang berprinsip non-blok tidak identik dengan tidak adanya keterlibatan.
Itulah alasannya mengapa Indonesia lebih suka mengatakannya sebagai politik luar negeri yang bebas
dan aktif karena politik luar negeri kita tidak hampa, mati, atau tidak berjalan. Politik luar negeri
Indonesia adalah bebas di mana Indonesia bebas dari ikatan apapun juga, baik itu dalam secara militer,
politik ataupun secara ideologis bahwa Indonesia benar-benar terbebas dari berbagai masalah atau
peristiwa dengan tidak adanya pengaruh dari pihak manapun, baik secara militer, politis, ataupun secara
ideologis. (Kumar, 1997, hal. 35)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam bidang politik luar negeri, kebijakan politik luar negeri
Indonesia lebih menaruh perhatian khusus terhadap soal regionalisme. Para pemimpin Indonesia
menyadari pentingnya stabilitas regional akan dapat menjamin keberhasilan rencana pembangunan
Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia juga mempertahankan persahabatan dengan pihak Barat,
memperkenalkan pintu terbuka bagi investor asing, serta bantuan pinjaman. Presiden Soeharto juga
selalu menempatkan posisi Indonesia sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan kebijakan luar
negerinya tersebut, seperti halnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno. Beberapa sikap
Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya adalah :

Indonesia segera menghentikan konfrontasi dengan Malaysia

Upaya mengkahiri konfrontasi terhadap Malaysia dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali
kepercayaan dari Barat dan membangun kembali ekonomi Indonesia melalui investasi dan bantuan dari
pihak asing. Tindakan ini juga dilakukan untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia meninggalkan
kebijakan luar negerinya yang agresif. Konfrontasi berakhir setelah Adam Malik yang pada saat itu
menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menandatangani Perjanjian Bangkok pada tanggal 11 Agustus
1966 yang isinya mengakui Malaysia sebagai suatu negara.

Pembentukan ASEAN

Indonesia memainkan peranan utama dalam pembentukan organisasi ASEAN pada tanggal 31 Juli 1961.
ASEAN merupakan wadah bagi politik luar negeri Indonesia. Kerja sama ASEAN dipandang sebagai
bagian terpenting dari kebijakan luar negeri Indonesia. Ada konvergensi kepentingan nasional antara
negara-negara anggota ASEAN, yaitu pembangunan ekonomi dan sikap non komunis. Dengan demikian,
stabilitas negara-negara anggota ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia sendiri sangatlah penting.
ASEAN dijadikan barometer utama pelaksanaan kerangka politik luar negeri Indonesia. Berbagai
kebutuhan masyarakat Indonesia coba difasilitasi dan dicarikan solusinya dalam forum regional ini.
Pemerintahan Soeharto coba membangun Indonesia sebagai salah satu negara Industri baru di kawasan
Asia Tenggara, sehingga pernah disejajarkan dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand sebagai macan-
macan Asia baru. Di samping itu, poltik luar negeri Indonesia dalam forum ASEAN, juga untuk
membentuk citra positif Indonesia sebagai salah satu negara yang paling demokratis dan sangat layak
bagi investasi industri.

Konsep ZOPFAN dan SEANWFZ

27 November 1971 di Kuala Lumpur diadakan konferensi para menteri luar negeri ASEAN. Konferensi
menghasilkan sebuah konsep yang menghendaki agar kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan damai,
bebas, dan netral. Konsep ini diberi nama ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom, and Neutrality). Indonesia
juga mengenalkan konsep SEANWFZ (South East Asian Nuclear Weapons Free Zone) pada tahun 1983
sebagai bagian dari ZOPFAN. Konsep SEANWFZ ini sebenarnya merupakan refleksi dari hasrat Indonesia
untuk memainkan peranan yang aktif di panggung regional.

Pembentukan AFTA

Pada awalnya, AFTA merupakan usulan dari pihak Thailand. Indonesia awalnya menolak atas ide
pembentukan AFTA, namun pada akhirnya Indonesia menyetujuinya. Atas dukungan Indonesia, AFTA
kemudian menjadi usulan ASEAN, bukan lagi usulan Thailand. Dengan terbentuknya AFTA, maka kawasan
Asia Tenggara mulai memasuki era perdagangan bebas. Bagi Indonesia, terbentuknya ACFTA membentuk
peluang untuk menciptakan iklim investasi yang baik dan tentunya mendukung proses pembangunan
nasional.

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Republik Rakyat China (RRC)

Hubungan antara Indonesia dengan RRC membeku sejak Oktober 1967, karena RRC diyakini berada di
belakang kudeta yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1965. Indonesia akan menormalisasi hubungan
dengan RRC jika China benar-benar bersahabat dan berhenti memberikan bantuan dan fasilitas terhadap
para mantan pimpinan PKI. Pada awal tahun 1989, Indonesia secara tiba-tiba mengumumkan bahwa ada
kemungkinan bagi Jakarta dan Beijing untuk membuka kembali hubungan diplomatik. Keputusan
normalisasi hubungan Indonesia-China tampaknya memiliki kaitan erat dengan hasrat Presiden Soeharto
dalam memainkan peranan dominan dalam politik dunia secara umum dan wilayah Asia Pasifik secara
khusus.

Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik

Presiden Soeharto memakai Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) untuk memproyeksikan posisi
kepemimpinan Indonesia. Pada awalnya Indonesia tidak setuju dengan APEC. Kekhawatiran itu
didasarkan pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan. Kekhawatiran lainnya
adalah kehadiran APEC dapat mengikis kerja sama antara negara-negara ASEAN. Setelah berakhirnya
Perang Dingin, Indonesia mengubah pandangannya terhadap APEC. Faktor pendorongnya antar lain
adalah karena Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC selanjutnya. Keberhasilan Indonesia menjadi
ketua pertemuan APEC dan juga keberhasilan menjadi Ketua GNB X pada tahun 1992, setidaknya
memberikan pengakuan bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional.

Pasukan Indonesia ke Bosnia

Indonesia melakukan kunjungan dan mengirimkan pasukan penjaga perdamaian ke Bosnia ketika
Yugoslavia pecah dan terjadi kericuhan antara masyarakat Kristen dan Islam di Bosnia. Dalam
menghadapi kasus Perang Bosnia, Indonesia lebih menampilkan politik luar negeri yang bijak. Dengan
kata lain, Indonesia tidak menampilkan sikap politik yang terlalu berlebihan dalam memandang
persoalan internasional. Hal ini tentu menjadi posisi yang tepat dilakukan indonesia selaku ketua GNB.

Pembentukan OPEC

Selain ASEAN, keterlibatan Indonesia dalam membetuk kondisi perekonomian global yang stabil dan
kondusif, serta memaksimalkan kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota negara-
negara produsen atau penghasil minyak dalam OPEC. OPEC menjadi barometer pelaksanaan kebijakan
luar negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian dunia.

Pada masa Soeharto, politik luar negeri Indonesia cenderung sangat kooperatif dengan negara-negara
lain, khususnya negara-negara Barat. Konsep kebangsaan atau nasionalitas diidentikkan dengan
percepatan pembangunan dengan konsep dan teknik yang diadopsi dari negara-negara luar. Politik luar
negeri Indonesia juga masih cenderung patronatif dengan kebijakan dan orientasi ideologi liberal yang
diusung dalam globalisasi. Soerharto cenderung tunduk kepada modal asing yang sangat kuat
pengaruhnya terhadap pembangunan negara-negara dunia ketiga. Hal ini yang membuat Indonesia tidak
memiliki kedaulatan dan otoritas untuk mengatur bangsa dan negaranya sendiri.

Kepemimpinan Soeharto secara umum mempunyai karakteristik yang berbada dengan pendahulunya.
Diparuh pertama kepemimpinannya, dia cenderung adaptif dan low profile. Dan pada paruh terkhir
kepemimpinannya, sejak 1983, Soeharto mengubah gaya kepemimpinannya menjadi high profile.
Gayanya tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang pada kenyataannya tidak
dapat dilepaskan dari kondisi politik-ekonomi dan keamanan dalam negeri Indonesia. (Wuryandari, 2008,
hal. 170) Dengan nilai ingin menyejahterakan bangsa, Soeharto mengambil gaya represif (di dalam
negeri) dan akomodatif (di luar negeri).
Dalam masa kepemimpinan Soeharto, diplomasi masih digunakan sebagai instrumen politik luar negeri
yang dominan. Namun, pada masa pemerintahan Soeharto juga diterapkan diplomasi yang bersifat
koersif, artinya dalam menerapkan kebijakan Soeharto terkadang menggunakan otoritas penuh yang
dimilikinya sebagai Presiden Indonesia dengan sedikit memaksakan kepada seluruh perangkat pelaksana
politik luar negerinya (para menteri dan lembaga pemerintahan) dan kepada seluruh rakyatnya.

Kebijakan-kebijakan Ekonomi pada orientasi luar negeri

Soeharto juga menerapkan kebijakan ekonomi yang berorientasi luar negeri dengan melakukan
permintaan pinjaman dari luar negeri yaitu dengan melakukan permintaan peminjaman dari luar negeri.
Pada 19-20 September 1966 diadakanlah perundingan di Tokyo untuk membahas mengenai
penangguhan pembayaran utang luar negeri Indonesia dan menjajaki kemungkinan pencairan dana
bantuan luar negeri untuk Indonesia. Perundingan itu dikenal dengan Tokyo club' Negara-Negara maju
seperti Jepang,Inggris,Amerika Serikat ,Prancis,Italia,Jerman Barat, Dan Belanda menanggapi baik
maksud Indonesia ini kemudian diadakannya perundingan lanjutan di Paris yang kemudian disebut Paris
Club' Berikut ini hasil perundingan tersebut.

indonesia mendapatkan penangguhan pembayaran utang luar negeri yang seharusnya dibayar pada
tahun 1968 ditangguhkan hingga kurun waktu tahun 1972-1978

Utang-utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 1969 dan 1970 juga mendapatkan pertimbangan
untuk ditunda dengan pemberian syarat-syarat yang lunak dalam pelunasannya

Indonesia juga tergabung ke dalam Institusi ekonomi Internasional seperti World Bank yang waktu itu
masih bernama internasional Bank for Reconstruction and Development (IBRD), Internasional Monetary
Find (IMF), Internasional Development Agency (IDA) dan Asian Development Bank (ADB). Dana bantuan
luar negeri tersebut kemudian dinamakan sebagai Bukti Ekspor (BE), yang mencakup 3 sektor yaitu :

Sektor impor ,yang difokuskan pada impor barang-barang ekonomi seperti pupuk,suku cadang, dan obat
hama

Sektor proyek-proyek pembangunan. Dana proyek pembangunan ini didapat dari penjualan barang
konsumtif yang dihasilkan dari produksi barang impor yang keuntungannya dipakai sebagai modal
pembangunan.

Sektor pangan, yang difokuskan pada peningkatan swasembada pangan dalam negeri. Hasil dari
swasembada pangan ini kemudian digunakan sebagai modal pembangunan.

Dari kebijakan perekonomian yang dikeluarkan dalam masa orde baru baik itu bersifat dalam negeri
maupun luar negeri terdapat beberapa karakteristik yang mendasar. Karakteristik utamanya adalah
secara ideal pemerintah orde baru berusaha untuk membangun pembangunan pembangunan yang
terdistribusi secara merata di seluruh Indonesia.
POLITIK LUAR NEGERI MASA REFORMASI

Politik luar negeri sebuah negara merupakan perpaduan dan cerminan dari situasi sosial-politik, kondisi
ekonomi, dan kapabilitas militer domestik, yang dipengaruhi perkembangan yang terjadi di lingkungan
eksternalnya. Politik luar negeri juga dipengaruhi oleh faktor sejarah dan persepsi elit pembuat
keputusan. Implementasi Doktrin Politik Luar Negeri Bebas-Aktif memberikan ruang gerak yang luas bagi
diplomasi Indonesia bagi pencapaian kepentingan nasional. Doktrin ini mencitrakan Indonesia sebagai
sebuah negara yang bersahabat dan dapat berperan sebagai bridge builder.[3]

A. Runtuhnya Orde Baru

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun
1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia.
Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat.
Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul
demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan
ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998.

Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu me-ninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat
bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery
Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi
gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji
akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk
Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan
DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi.

Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk
diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto
mundur dari jabatannya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie.
Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.

Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang
harus dihadapinya, yaitu:

a) masa depan Reformasi.

b) masa depan ABRI.

c) masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.

d) masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya.

e) masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.


f) Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi
tuntutan reformasi dari masyarakat.

g) Kebijakan dalam bidang politik Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket
undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini
tiga undang-undang tersebut.

h) Kebijakan dalam bidang ekonomi. Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama
dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

i) Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers. Kebebasan menyampaikan pendapat dalam


masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai
golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di
samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi
dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).

j) Pelaksanaan Pemilu. Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai
yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik.
Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin
yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk
melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus
1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas
rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20
Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste
dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.

B. Reformasi Domestik

Gagasan reformasi sangat kuat disuarakan mahasiswa pada akhir 1997 dan awal 1998. Setelah selesai
Sidang Umum 1998 yang melahirkan pasangan Soeharto-BJ Habibie, gagasan reformasi semakin santer
dalam masyarakat akademis. Mahasiswa akhirnya mempelopori untuk menjadi gagasan slogan dalam
aksi unjuk rasa pro demokrasi-nya. Pada akhirnya, reformasi diartikan sebagai usaha mendesak Presiden
Soeharto mundur dari jabatannya dan pemerintah penggantinya menurunkan harga-harga sembako.

Setelah turun dari jabatan presiden 21 Mei lalu, Soeharto menyerahkan jabatannya kepada Wapres
Habibie. Maka lahirlah kabinet reformasi yang sampai sekarang masih dalam tahap transisi menjelang
pemilu Mei 1999. Setidaknya ada empat proses yang terjadi sebagai akibat kakunya Orde Baru dalam
menghadapi perubahan jaman. Eep Sefullah Fatah, menyebut faktor pertama adalah sentralisasi. Dalam
tahap reformasi terjadi lah era desentralisasi. Semula Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan
yang sentralistis sebagai cara untuk mempertahankan stabilitas politik agar pertumbuhan ekonomi bisa
terkejar. Namun pada prakteknya sentralisasi melahirkan KKN.

Reformasi juga melahirkan corak yang belawanan dengan aliran pemikiran Orde Baru yang menekankan
otonomisasi. Apa yang otonomisasi ? Menurut Eep, sejak awal kelahirannya Orde Baru berupaya
meminggirkan masyarakat dari proses pengambilan kebijakan publik dan proses pemerintahan secara
umum. Reformasi melahirkan de-otonomisasi dimana masyarakat ikut berpartisipasi dalam keputusan
publik.

Orde Baru juga melahirkan unsur ketiga yakni personalisasi. Kekuasaan yang memusat dan otonom
kemudian dipersonalisasikan di tangan Soeharto. Apapun keputusan politik harus sesuai dengan
“petunjuk bapak presiden”. Begitulah istilah yang sering digunakan menteri dalam menjelaskan
kebijakan pemerintah. Reformasi politik menjungkirbalikkan gagasan itu dengan mendorong ke arah de-
personalisasi dimana kekuasaan politik itu bukan berasal dan hanya di tangan presiden tapi terutama di
tangan rakyat yang bisa disalurkan melalui partai-partai politik.

Selain tiga aspek di atas, Orde Baru juga harus menghadapi kritikan rakyat karena kekuasaan kemudian
menjadi sesuatu yang sakral, tak boleh diganggu gugat dan tak terjangkau rakyat bawah. Dalam konteks
ini kekuasaan tak bisa salah, bebas dari kritik, tak bisa digugat apalagi dijungkirkan. Namun dengan
gelombang reformasi rakyat semakin terbuka bahwa kekuasaan presiden atau jabatan apapun tak lain
adalah amanah rakyat, bukan titisan dewa atau dari langit.

C. Reformasi Masa Pemerintahan

a) MASA PEMERINTAHAN B.J. HABIBIE

Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup serius.Akan tetapi,
Habibie berusaha mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara. Diantaranya,
pemerintahan Habibie menghasilkan dua Undang-Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan
atas hak asasi manusia. Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat
konvensi internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga
dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut. Dengan catatan positif atas beberapa
kebijakan dalam bidang HAM yang menjadi perhatian masyarakat internasional ini,

Habibie berhasil memperoleh legitimasi yang lebih besar dari masyarakat internasional untuk
mengkompensasi minimnya legitimasi dari kalangan domestik. Habibie mendapatkan kembali
kepercayaan dari dua institusi penting yaitu IMF sendiri dan Bank Dunia. Kedua lembaga tersebut
memutuskan untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar
dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan sebesar 14 milyar dolar. Hal ini memperlihatkan
bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan domestik tidak terlampau kuat, dukungan internasional
yang diperoleh melalui serangkaian kebijakan untuk memberi image positif kepada dunia internasional
memberi kontribusi positif bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju
demokrasi dimulai.
Keinginan Habibi mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah dimulainya di Industri pesawat
Terbang Nusantara (IPTN) dengan menjalankan program evolusi empat tahapan alih tehnologi yang
dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal. Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran
penting bahwa kebijakan luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan
pemerintahan transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas.
Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia
mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur.

Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru. Di akhir 1998, Habibie
mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi
opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur. Beberapa pihak meyakini bahwa
keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard
pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas
dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut
hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-
determination) bagi masyarakat Timor Timur.

Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia
Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun
lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan
pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian
memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal.
Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di
Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor
Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI
pada masa itu. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik.

Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya


mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro
integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum. Di mata publik
domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya
pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang
Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI
sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi
sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.

b) MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN WAHID

Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju demokrasi di
Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh
maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga menjadi contoh penting yang
memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan sipil militer) dan faktor eksternal
(diplomasi dan politik luar negeri). Bila dalam periode Habibie terjadi hubungan saling ketergantungan
antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa Abdurrahman Wahid terjadipower struggle yang
intensif antara presiden Wahid dengan TNI sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil
atas militer yang subyektif sifatnya.

Pasca reformasi, ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, politik luar negeri Indonesia
cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan oleh Soekarno pada masa orde
lama, dimana lebih menekankan pada peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa
pemerintahannya, politik internasional RI menjadi tidak jelas arahnya. Hubungan RI dengan dunia Barat
mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur. Salah satu yang paling menonjol adalah
memburuknya hubungan antara RI dengan Australia.

Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan
banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk implementasi
dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa pemerintahannya
yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya
dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah
soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi.

Namun, sebagian besar kunjungan – kunjungannya itu tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan, dengan
alasan yang absurd, Wahid berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana
yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti
ini membuat politik luar negeri Indonesia menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat
berbagai usaha yang telah dijalankan oleh Gus Dur menjadi sia-sia karena kurang adanya implementasi
yang konkrit.

c) MASA PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNO PUTRI

Belajar dari pemerintah presiden yang sebelumnya, Megawati lebih memperhatikan dan
mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti
diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama ini Komisi I DPR telah menjalankan peran cukup
signifikan dan tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi Indonesia.
Karena itu, Megawati mengupayakan sebuah “mekanisme kerja” yang lebih solid dengan Komisi I DPR
sehingga diharapkan dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja
bersama lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggung jawab atas dasar prinsip
check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkan bipartisanship foreign policy yang
berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.

Terlepas dari pentingnya politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu platform pemerintahan baru
dalam membantu upaya pemulihan ekonomi dan stabilitas keamanan di dalam negeri, Megawati lebih
memprioritaskan diri mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya,
Kalimantan Selatan atau Timor Barat di mana nasib ratusan ribu atau mungkin jutaan pengungsi dalam
kondisi amat memprihatinkan. Dengan kata lain, anggaran Presiden ke luar negeri lebih diperhemat dan
dialokasikan untuk membantu mengurangi penderitaan rakyat di daerah-daerah itu, tanpa harus
mengabaikan pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu aspek penting
penyelenggaraan pemerintah yang pelaksanaannya di bawah koordinasi Menteri Luar Negeri. Dan yang
lebih penting, untuk membuktikan kepada rakyat bahwa pemerintah Megawati memiliki sense of
urgency dan sense of crisisyang belum berhasil dibangun pemerintahan sebelumnya.

Namun masa pemerintahan presiden Abdurachman Wahid mewarisi pemerintahan yang lemah dan
diperburuk oleh kondisi keamanan yang tengah diambang separatism atau communal violence. Dan
pada akhirnya Megawati sebagai presiden selanjutnya juga tak mampu membawa pemerintahan pada
stabilitas yang lebih besar kendati perpolitikan Megawati pada masa pemerintahannya jauh memiliki
temper serta filosofi politik yang jauh lebih berkualifikasi dalam menjalankan konsiliasi nasional dan
kohesi daripada alternatif. Tapi sangat disayangkan ia tidak memiliki kemampuan untuk memaksa dan
mengkohenren admistrasinya. Hasilnya adalah perbaikan ekonomi yang tak jauh lebih membaik dari
sebelumnya

d) MASA PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YUDOYONO

Bagaimanapun selama masa pemerintahan yang terdahulu SBY telah berhasil mengubah citra Indonesia
dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa
pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai
opportunities. Jika PLNRI yang diterjemahkan Bung Hatta adalah ‘bagaikan mendayung di antara 2
karang’, maka Pak Banto mengatakan bahwa PLNRI di masa SBY adalah ‘mengarungi lautan
bergelombang’, bahkan ‘menjembatani 2 karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif
Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah.

Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY. Ini dilihat pada: komitmen Indonesia dalam
reformasi DK PBB, atau gagasan SBY untuk mengirim pasukan perdamaian di Irak yang terdiri dari
negara-negara Muslim (gagasan ini belum terlaksana hingga kini). Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI
di masa SBY, yaitu:

• terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).

• terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan domestik dan perubahan-


perubahan di luar negeri.

• ‘prakmatis kreatif’ dan ‘oportunis’, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja
yang bersedia membantu dan menguntungkan pihak Indonesia.

• TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity, harmony, security,
leadership, prosperity.

5 Hal dalam konsep TRUST ini kemudian menjadi sasaran PLNRI di tahun 2008 dan selanjutnya.

Pak Banto terlihat menilai sangat positif kinerja dari PLNRI SBY pada masa pemerintahannya yang
terdahulu. Namun kemudian, ia pun menyebutkan sisi kekurangan dari PLNRI SBY. Menurut beliau, PLNRI
SBY kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri. Di sini kita dapat melihatnya dari
bertambah banyaknya jumlah orang miskin di Indonesia. Padahal, jika secara konseptual PLN disebut
sebagai perpanjangan tangan dari kebijakan domestik, seharusnya PLNRI bisa menjadi media
penyelesaian masalah di dalam negeri. Oleh karena itu, banyak pihak yang menganggap PLNRI SBY
dengan sebutan: It’s about Image. Karena SBY berlaku hanya untuk memulihkan citra baik Indonesia di
luar negeri, dan kurang memperhatikan ke dalam negeri.

D. Agenda Reformasi

Bagaimana implikasi reformasi politik domestik terhadap kebijakan luar negeri ? Rakyat Indonesia
memiliki kebebasan untuk mendayagunakan kebijakan luar negeri sehingga melahirkan kemakmuran dan
kemajuan untuk seluruh lapisan masyarakat. Secara idiil, tujuan dari politik luar negeri Indonesia
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yakni untuk melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.

Dari empat reformasi yang sudah dilakukan rakyat Indonesia tampaknya bisa ditarik empat agenda
dalam reformasi politik luar negeri.

Pertama, perumusan kebijakan dan pelaksanaan politik luar negeri tak lagi tersentralisasi di badan
eksekutif atau di tangan presiden. Dengan tema-tema hubungan internasional seperti hak asasi manusia,
demokratisasi, lingkungan hidup dan terciptanya masyarakat madani, maka rakyat seluruhnya memiliki
akses dalam memberikan pemikiran, menilai dan ikut memikirkan arah kebijakan luar negeri. Soal hak
asasi manusia dicatat Budiarto Shambazy sebagai salah satu aspek penting dalam politik luar negeri
Indonesia di bawah Habibie seperti terlihat dalam kebijakan pemberian otonomi lebih luas ke Timor
Timur.

Begitu politik luar negeri itu tersentralisasi dalam lembaga eksekutif, maka arahnya tidak bisa dikritik lagi.
Misalnya, politik pinjaman dana untuk pembangunan ternyata di kemudian hari memberatkan
masyarakat sehingga melahirkan utang pemerintah sekitar 60 milyar dollar AS. Menurut Dr Hasjim Djalal,
masalah korupsi dan kolusi yang banyak dibicarakan kalangan domestik dan luar negeri bisa
mempengaruhi kredibilitas pemerintah sehingga politik luar negeri bisa kurang efektif.

Kedua, agenda reformasi perlu dilakukan agar politik luar negeri tidak lagi otonom dari perbuahan-
perubahan dan tuntutan masyarakat. Meminggirkan masyarakat dalam hal politik luar negeri akan
melahirkan langkah yang fatal terhadap kemajuan seluruh bangsa. Penilaian yang meremehkan efek
devaluasi Thailand dan peringatan dunia internasional terhadap kebijakan ekonomi luar negeri
pemerintah dan swasta mengakibatkan terjadinya prahara moneter yang menyakitkan. Dengan kata lain,
keputusan pemerintah tidak otonom tetapi tergantung dari masukan masyarakat. Dr Moh Idris Kesuma
melukiskan bahwa politik luar negeri itu tak lain daripada perjuangan seluruh bangsa Indonesia yang
pada awalnya mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan pengakuan internasional.

Ketiga, dalam jangka mendatang tidak perlu lagi keputusan penting dalam menghadapi era globalisasi ini
diserahkan ke tangan seorang presiden atau menteri. Karena kebijakan luar negeri pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap seluruh lapisan masyarakat dari kota sampai desa, maka pengambilan keputusan
hanya di tangan satu orang dengan asumsi ia serba tahu tentang politik luar negeri akan berakibat
kehilangan kontrol.
Keempat, meskipun orientasi politik luar negeri negeri sudah ditentukan bebas dan aktif serta landasan
idiilnya ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, namun dalam implementasinya jangan sampai terjebak
pada sakralisasi kebijakan. Politik luar negeri seperti halnya politik dalam negeri bukanlah sesuatu yang
sakral, yang suci, yang tak bisa diubah dan dikemas dengan pendekatan baru. Desakralisasi kebijakan
eksternal bisa dilakukan jika masyarakat ikut berpartisipasi dalam memikirkan arah bangsa Indonesia
dalam memasuki abad ke-21 ini.

Ciri politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan SBY, yaitu:

1. Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).

2. Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap perubahanperubahan domestik dan


perubahan-perubahan yang terjadi di luar negeri (internasional).

3. Bersifat pragmatis kreatif dan oportunis, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa
saja (baik negara, organisasi internasional, ataupun perusahaan multinasional) yang bersedia membantu
Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.

4. Konsep TRUST, yaitu membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Prinsip-prinsip dalam
konsep TRUST adalah unity, harmony, security, leadership, prosperity. Prinsip-prinsip dalam konsep
TRUST inilah yang menjadi sasaran politik luar negeri Indonesia di tahun 2008 dan selanjutnya.

Sejw

Anda mungkin juga menyukai