PENDAHULUAN
2.2 ANAMNESIS
2.2.1 Keluhan Utama
Penurunan Kesadaran
2.2.2 Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang dengan keadaan tidak sadar sejak 14 jam yang lalu. Sebelum
penurunan kesadaran, pasien mengeluhkan nyeri dada dan pasien sempat muntah
satu kali.
Pasien mempunyai riwayat DM sejak 3 tahun yang lalu. Minum obat DM
tidak teratur. Pasien sudah tidak pernah minum obat DM lagi sejak 3 bulan yang
lalu.
Pasien menyangkal keluhan BAB mencret disertai dengan bau busuk yang
menyengat, mencret berwarna kehitaman disangkal. Mual yang dirasakan pasien
tidak disertai dengan muntah. Keluhan tidak disertai demam maupun riwayat batuk
lama.Pasien menyangkal pernah mengkonsumsi obat –obatan anti nyeri atau
konsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka waktu yang lama, menyangkal pernah
melakukan operasi di bagian perut, menyangkal memiliki anggota keluarga dengan
riwayat keganasan, atau yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
2
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit GEA sejak 1 bulan SMRS. Keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien tidak rutin mengkonsumsi obat setelah pulang post
rawat GEA.
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 104x/mnt, regular, lemah
Respirasi : 24x/mnt
Suhu : 36,0 0C
KEPALA :
1. Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
2. Kulit wajah : Edema (-), slight ikterik (-)
3. Mata
Tampak cekung : +/+
Letak : simetris
Palpebrae : edema (-)
3
Pupil : bulat, isokor
Sklera : ikterik -/-
Konjungtiva : anemis +/+
Reaksi cahaya : +/+
4. Hidung
Simetris
Deviasi septum (-)
Sekret (-)
Massa (-)
5. Telinga
Deformitas (-)
Luka (-)
6. Rongga Mulut
Bibir : Kering, Sianosis(-)
Lidah : lidah kering, tremor (-)
Frenulum linguae : kering
Faring hiperemis : (-)
Tonsil : T1-T1
LEHER
Kelenjar tiroid : tidak ada pembesaran
JVP : 5+2 cmH2O
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Trakea : tidak ada deviasi
THORAX DEPAN
4
Inspeksi
o Bentuk umum : simetris
o Pergerakan : simetris
o Skeletal : dbn
o Iktus cordis :-
Palpasi
o Kulit : hangat
o Sela iga : tidak melebar
o Vocal fremitus : kanan=kiri
o Iktus cordis :-
Perkusi
o Paru-paru : +/+
o Batas paru hepar : ICS V
o Peranjakan : 1 ICS
o Batas kanan jantung : ICS V linea parasternal dextra
o Batas kiri jantung : ICS V linea midclavicula sinistra
o Batas atas jantung : ICS III linea parasternal dextra
Auskultasi
o Suara pernafasan : VBS, +/+
o Suara tambahan : ronchi -/-, wheezing -/-
o Bunyi jantung : S1, S2 normal
o Murmur :-
THORAX BELAKANG
Inspeksi
o Bentuk : tidak dapat dinilai
o Pergerakan : tidak dapat dinilai
o Skelet : tidak dapat dinilai
Palpasi
o Vokal premitus : tidak dapat dinilai
5
Perkusi : tidak dapat dinilai
Auskultasi
o Suara pernafasan : tidak dapat dinilai
o Suara tambahan : tidak dapat dinilai
ABDOMEN
Inspeksi
o Bentuk : cekung, lembut
o Kulit : jaringan parut/jejas/luka (-)
Auskultasi : BU (+) meningkat
Palpasi
o Dinding perut : tidak ada massa
o Nyeri tekan : (+) pada daerah epigastrik
o Hepar : Tidak teraba pembesaran
o Lien : tidak ada pembesaran
Perkusi:
o Tympani
o Pekak samping (-), pekak pindah (-)
o Ruang traube (-)
EKSTREMITAS
Atas Bawah
Dingin Dingin
Edema -/- Edema -/-
Sianosis (-) Sianosis (-)
Palmar eritem (-) Palmar eritem (-)
6
Capillary refill > 2 detik Capillary refill > 2 detik
Terdapat area kebiruan yang luas
dibagian kulit paha kanan
7
Jumlah Leukosit 8.600 Sel/mm3 4000-10.000
Hemoglobin 7,8 gr/dl 12-16
Hematokrit 25 Sel/mm3 36-48
Jumlah Trombosit 560.000 Sel/mm3 150.000-400.000
Fungsi ginjal
Ureum 44,7 Mg/dl 15,0-43,2
kreatinin 1,20 Mg/dl 0,57-1,13
Elektrolit
Natrium 133,8 Mmol/l 135-148
Kalium 1,45 Mmol/l 3,5-5,3
Chlorida 87,7 Mmol/l 98-107
8
Elektrokardiogram
Hasil pemeriksaan EKG tidak tampak
adanya kelainan jantung yang tampak.
Irama sinus dengan heart rate 95 kali
permenit.
Kesan : Normal
Kolonoskopi
Hasil Pemeriksaan kolonoskopi :
• Report :
colonoscopy dilakukan sampai
dengan colon descendens (40 cm dari
anus), karena risiko perdarahan dan
perforasi.
• Anus : mukosa normal
• Rectosigmoid dna colon descendens :
seluruh mukosa edema hiperemis rapuh
dan mudah berdarah, pada bagian rectum
tampak beberapa ulcus dd/ fistel,
dilakukan biopsi untuk pemeriksaan PA.
9
Biopsi
Hasil Pemeriksaan
Makroskopik
Lima keeping jaringan diameter 0,2 cm, warna
putih kecoklatan.
Mikroskopik
Sediaan biopsy colon descenden, rectum dan
sigmoid dilapisi epitel torak bergoblet inti
dalam batas normal. Subepithelial tampak kripta bentuk tubuler dilapisi epitel torak
bergoblet, inti dalam batas normal. Tampak abses kripta. Lamina propia bersebukan
massif sel radang limfosit dan sel plasma pada seluruh ketebalan lamina propia.
Tidak tampak fisura ataupun pembentukan granulosum. Tidak tampak proses
spesifik maupun sel tumor ganas.
Kesimpulan : Ulcerative colitis
2.7 Penatalaksanaan
• Tatalaksana Awal: Pemberian cairan 2 L RL (Pemberian cairan selanjutnya
tergantung dari status hidrasi, pemeriksaan elektrolit, dan urine output.)
• Infus RL 2000 ML/24 jam
• Budenafalk 3x1 oral
• Salofalk 3x1 oral
• New diatab 3x2 oral
• Rillus 1x1 oral
• Probiostin 1x1 oral
• Pantoprazole 1x40 mg inj
• Omeprazole 1x40 mg inj
• Centabio zalp
Lembar monitoring di ruangan Dewi Sartika Tanggal 20 september 2018
10
Jam Pemeriksaan Terapi
21.00 S/ Mencret bercampur darah dan lendir 10x/hari, p/ -IVFD Infus RL 2000
Badan lemas kesulitan untuk duduk dan berdiri, selera ML/24 jam
makan hilang, mulut terasa pahit, mual dan nyeri Budenafalk 3x1 oral
perut, ada lecet di bagian bokong/ ruam popok Salofalk 3x1 oral
O/KU: lemah, Sakit sedang New diatab 3x2 oral
Kesadaran:E4M6V5 Probiostin 1x1 oral
TD:120/70mmHg Pantoprazole 1x40 mg inj
RR:22x/m N:95x/m T:36,0 C Omeprazole 1x40 mg inj
PF: conjungtiva anemis +/+ Centabio zalp
Mukosa mulut kering, KSR 1X 600 mg oral
Turgor kulit melambat, crt > 2 detik,
Terdapat area kebiruan di kulit paha kanan
A/colitis ulcerative dengan dehidrasi
Ringan sedang
11
Jam Pemeriksaan Terapi
16.00 S/ Mencret bercampur darah dan lendir 4x/hari, p/ -IVFD Infus RL 2000
Badan lemas kesulitan untuk duduk dan berdiri, selera ML/24 jam
makan hilang, mulut terasa pahit, mual dan nyeri Budenafalk 3x1 oral
perut berkurang, ada lecet di bagian bokong/ ruam Salofalk 3x1 oral
popok New diatab 3x2 oral
O/KU: lemah, Sakit sedang Rillus 1x1 oral
Kesadaran:E4M6V5 Probiostin 1x1 oral
TD:140/90mmHg Pantoprazole 1x40 mg inj
RR:22x/m N:80x/m T:37,2 C Omeprazole 1x40 mg inj
PF: conjungtiva anemis +/+ Centabio zalp
Mukosa mulut kering, KSR 1X 600 mg oral
Turgor kulit melambat, crt > 2 detik,
Terdapat area kebiruan di kulit paha kanan
A/colitis ulcerative dengan dehidrasi
Ringan sedang
12
Jam Pemeriksaan Terapi
13.00 S/ Mencret bercampur darah dan lendir 2x/hari, p/ -IVFD Infus RL 2000
Badan lemas kesulitan untuk duduk dan berdiri, selera ML/24 jam
makan hilang, mulut terasa pahit, mual dan nyeri Budenafalk 3x1 oral
perut berkurang, ada lecet di bagian bokong/ ruam Salofalk 3x1 oral
popok New diatab 3x2 oral
O/KU: lemah, Sakit sedang Rillus 1x1 oral
Kesadaran:E4M6V5 Probiostin 1x1 oral
TD:110/70mmHg Pantoprazole 1x40 mg inj
RR:22x/m N:83x/m T:37,0 C Omeprazole 1x40 mg inj
PF: conjungtiva anemis +/+ Centabio zalp
Mukosa mulut kering, KSR 1X 2 tab
Turgor kulit melambat, crt > 2 detik,
Terdapat area kebiruan di kulit paha kanan melebar
A/colitis ulcerative dengan dehidrasi
Ringan sedang
13
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : dubia
Quo ad sanationam : dubia ad malam
BAB III
14
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi
3.1.1 Anatomi sistem pencernaan
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum. Sekum
membentuk kantung buntu di bawah taut antara usus halus dan usus besar di katup
ileosekum. Tonjolan kecil mirip jari di dasar sekum adalah apendiks, jaringan
limfoid yang mengandung limfosit. Kolon, yang membentuk sebagian besar usus
besar, tidak bergelung-gelung seperti usus halus, tetapi terdiri dari tiga bagian yang
relatif lurus – kolon asendens, kolon transversus, dan kolon desendens. Bagian
akhir kolon desendens berbentuk huruf S, yaitu kolon sigmoid (sigmoid berarti
‘berbentuk S’), dan kemudian berbentuk lurus yang disebut rektum (rectum berarti
‘lurus’).
15
Gambar 1. Anatomi usus besar
(Netter FH. Atlas of human anatomy 3rd ed. Philadelphia: Elsevier-Saunders;2006.p. 267)
16
Gambar 2. Histologi usus besar
Fungsi utama kolon adalah absorbsi air dan elektrolit dari kimus
untuk membentuk feses yang padat dan penimbunan bahan feses sampai dapat
dikeluarkan. Sebagian besar absorbsi dalam usus besar terjadi pada
pertengahan proksimal kolon,sehingga bagian ini dinamakan kolon
pengabsorbsi, sedangkan kolon bagian distal pada prinsipnya berfungsi sebagai
tempat penyimpanan feses sampai waktu yang tepat untuk ekskresi feses dan
oleh karena itu disebut kolon penyimpanan.
Mukosa usus besar seperti juga mukosa usus halus, mempunyai
kemampuan absorpsi aktif natrium yang tinggi, dan gradient potensial listrik
yang diciptakan oleh absorpsi natrium juga menyebabkan absorpsi klorida.
Taut erat diantara sel-sel epitel dari epitel usus besar jauh lebih erat daripada
taut erat di usus halus. Absorbsi ion natrium dan klorida menciptakan gradien
osmotik di sepanjang mukosa usus besar, yang kemudian akan menyebabkan
absorpsi air. Usus besar dapat mengabsorpsi maksimal 5 sampai 8 liter cairan
dan elektrolit setiap hari. Bila jumlah total cairan yang masuk usus besar
melalui katup ileosekal atau melalui sekresi usus besar melebihi jumlah ini,
kelebihan cairan akan muncul dalam feses sebagai diare.
3.2. Definisi
17
Inflammatory bowel disease (IBD) adalah kondisi intestinal kronik
yang dimediasi oleh sistem imun. Tipe utama dari IBD adalah penyakit crohn
(crohn disease) dan kolitis ulseratif (ulcerative colitis).
Penyakit Crohn adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan
melibatkan semua lokasi pada traktus gastrointestinal. Penyakit ini dapat
didefinisikan berdasarkan lokasi seperti ileum terminal, kolonik, ileokolik, dan
gastrointestinal atas. Selain berdasarkan lokasi, penyakit ini juga dapat
didefinisikan berdasarkan bentuk penyakit seperti inflamasi, fistula, atau
striktura). Penyakit crohn ini umumnya mengenai bagian akhir usus halus yaitu
ileum sehingga sering disebut ileitis atau enteritis.
Penyakit kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi kronik pada
kolon (usus besar) terutama mengenai bagian mukosa kolon. Penyakit ini
termasuk salah satu inflammatory bowel diseases (IBD) yang hingga saat ini
belum diketahui penyebabnya secara jelas.
19
Tabel perbedaan antara colitis ulcerative dengan crohn disease
3.3 Epidemiologi
Penyebab IBD memang masih belum jelas, namun berhubungan
dengan faktor genetik dan faktor lingkungan sebagai pemicunya hal ini terbukti
dari 10-20% penderita pasti memiliki anggota keluarga yang terkena penyakit
yang sama. Insiden IBD beragam dan bergantung area geografiknya. Penyakit
crohn dan kolitis ulseratif memiliki insiden tertinggi di Eropa, USA, dan
Amerika Utara. Puncak usia untuk penyakit crohn dan kolitis ulseratif adalah
antara 15 dan 30 tahun. Puncak kedua muncul diantara usia 60 dan 80 tahun.
Rasio pria dan wanita untuk penyakit crohn 1,1-1,8 : 1 dan untuk kolitis
ulseratif 1 : 1.
3.2 Etiologi
20
Penyebab kolitis ulseratif tidak diketahui. Teori yang paling umum
bahwa kolitis ulseratif disebabkan oleh beberapa faktor genetik, reaksi sistem
imun yang salah, pengaruh dari lingkungan, penggunaan obat-obatan anti
inflamasi non-steroid, kurangnya kadar anti oksidan di dalam tubuh, faktor
stress, ada atau tidaknya riwayat merokok, dan riwayat mengonsumsi produk
susu. Sebagai contoh, beberapa orang memiliki risiko secara genetik untuk
terkena penyakit ini. Bakteri dan virus dapat memicu sistem imun mereka,
sehingga mengakibatkan suatu inflamasi. Karena kolitis ulseratif lebih sering
muncul di negara-negara berkembang, sangat memungkinkan diet tinggi lemak
jenuh dan makanan yang diawetkan memiliki kontribusi pada penyakit ini.
a. Penyebab genetik
Hipotesis terkini mengatakan bahwa genetik dapat menyebabkan
seseorang memperoleh kelainan pada respon imun humoral dan respon
imun yang dimediasi sel dan/atau respon imun secara umum yang
direaktivasi oleh bakteri komensal dan menyebabkan disregulasi respon
imun pada mukosa sehingga mengakibatkan inflamasi pada kolon.
Riwayat adanya kolitis ulseratif pada keluarga diasosiasikan dengan
seseorang yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit ini. Kesesuaian
penyakit ini ditemukan pada anak kembar monozigot. Penelitian genetik
telah mengidentifikasi beberapa lokus, beberapa di antaranya terkait
dengan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn. Baru-baru ini, salah satu lokus
yang diidentifikasi juga dikaitkan dengan kerentanan terhadap karsinoma
kolorektal. Kromosom pada pasien dengan kolitis ulseratif dianggap
kurang stabil. Fenomena ini juga dapat berkontribusi pada risiko
karsinoma yang meningkat. Apakah abnormalitas ini merupakan penyebab
atau akibat dari respon inflamasi sistemik yang terus-menerus pada kolitis
ulseratif, hal ini juga belum diketahui.
b. Reaksi imun
21
Reaksi imun yang membahayakan integritas barier epitel usus dapat
menyebabkan kolitis ulseratif. Autoantibodi serum dan mukosa yang
sifatnya melawan sel epitel usus mungkin terlibat. Adanya antibodi
antineutrofil sitoplasma/antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
dan anti-Saccharomyces cerevisiae antibodi (ASCA) adalah ciri-ciri utama
dari penyakit inflamasi usus. Selain itu, abnormalitas yang terjadi pada
sistem imun dianggap sedikit berperan pada rendahnya insiden kolitis
ulseratif pada pasien yang telah menjalani operasi usus buntu sebelumnya.
Pasien-pasien yang telah menjalani appendektomi memiliki insidens yang
rendah untuk terkena kolitis ulseratif.
c. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan juga berperan. Sebagai contoh, bakteri yang mereduksi
sulfat, memproduksi sulfat, ditemukan pada sejumlah besar pasien dengan
kolitis ulseratif, dan produksi sulfat pada lebih tinggi pada pasien kolitis
ulseratif dibandingkan pasien-pasien lainnya.
d. Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid
Penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid lebih tinggi pada
pasien dengan kolitis ulseratif dibandingkan dengan kontrol, dan sepertiga
pasien dengan kolitis ulseratif eksaserbasi yang dilaporkan baru saja
menggunakan obat-obatan anti inflamasi non-steroid. Penemuan ini dapat
menjadi bukti bahwa penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid
harus dihindari pada pasien dengan kolitis ulseratif.
3.3 Patogenesis
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kolitis ulseratif merupakan
salah satu bentuk dari penyakit inflamasi pada usus. Dalam penyakit inflamasi
usus atau inflammatory bowel disease, lamina propria diinfiltrasi oleh limfosit,
makrofag, dan sel-sel lain dari sistem imunitas. Penelitian yang intensif pada
antigen yang memicu respon imun belum menemukan suatu mikroba patogen
tertentu. Antibodi anti-kolon telah jelas teridentifikasi dalam serum pasien
kolitis ulseratif. Penyakit inflamasi usus mungkin juga berkaitan dengan
22
kegagalan supresi (atau "downregulasi") dari peradangan kronis level rendah
pada lamina propria sebagai respon paparan kronis terhadap antigen luminal,
khususnya bakteri komensal.
Apapun pemicu antigeniknya, sel T lamina propria yang teraktivasi
terlibat dalam patogenesis penyakit inflamasi usus. Pada penyakit inflamasi
usus, yaitu penyakit Crohn, limfosit yang teraktivasi menjadi limfosit TH1
yang menghasilkan interferon-γ (IFN-γ). Sitokin pro-inflamasi, termasuk
interleukin-1 (IL-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-α), dapat memperkuat
respon imun. Cedera epitel pada penyakit inflamasi usus tampaknya
disebabkan jenis oksigen reaktif dari neutrofil dan makrofag, serta sitokin
seperti TNF-α dan IFN-γ.
Pada tikus, kolitis terjadi ketika gen IL-2, IL-10, atau transforming
growth factor-β1 terkalahkan atau ketika ada beberapa sel T pada reseptor
mutan, dan kolitis berkembang pada tikus transgenik jika gen manusia HLA-
B27 telah lebih dulu diperkenalkan. Jika hewan yang sama dibesarkan dalam
lingkungan yang bebas dari kuman, kolitis tidak berkembang, sehingga
menunjukkan bahwa kolitis bisa menjadi satu-satunya manifestasi dari
berbagai abnormalitas dalam imunitas sistemik dan kolitis adalah hasil dari
respon imun abnormal terhadap bakteri komensal.
24
pemeriksaan kimia darah dapat ditemukan hipoalbuminemia,
hipokalemia, hipomagnesemia, dan alkali fosfatase yang meningkat.
Peningkatan sedimentasi eritrosit dan C-reaktif protein berhubungan
dengan fase akut dari penyakit ini. Sedangkan, pemeriksaan feses
dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain dari gejala yang
ditimbulkan.
25
Gambar 3. Foto polos abdomen pada pasien dengan kolitis ulseratif eksaserbasi
akut menunjukkan gambaran thumbprinting pada fleksura splenika dari kolon
b. Barium enema
Gambaran radiologi kolitis ulseratif pada pemeriksaan barium enema
sangat bervariasi tergantung dari stadiumnya. Kolon bisa saja terlihat
lebih sempit, dan hal ini bisa saja berhubungan dengan pengisian usus
yang tidak sempurna akibat spasme dan iritabilitas pada kolon.
Pemeriksaan barium enema dapat menunjukkan hilangnya haustra
pada lumen kolon. Adanya granula dapat disebabkan oleh hiperemia
dan udem pada mukosa yang dapat menyebabkan ulserasi. Ulser
superfisial dapat menyebar dan menutupi semua lapisan mukosa.
Terdapat gambaran bintik-bintik pada mukosa akibat perlengketan
barium pada ulser superfisial. Collar button ulcers merupakan ulserasi
yang lebih dalam pada mukosa yang udem dengan kripte abses pada
submukosa.
Striktur dapat terjadi pada 1-11% pasien yang menderita kolitis
ulseratif dalam jangka waktu yang lama. Striktur terutama ditemukan
pada kolon asendens.
26
pseudopolip
27
c. Computed tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat membantu ahli radiologi dalam
membedakan kolitis ulseratif dan penyakit Crohn, jika pemeriksaan
barium enema menunjukkan kemiripan di antara keduanya. CT dapat
mendeteksi bagaimana karakteristik dari kolitis ulseratif. CT-Scan
abdomen dan pelvis menunjukkan dilatasi, penebalan pada bagian
mural, dan permukaan mukosa yang ireguler, serta terdapat target
sign. Dapat juga terlihat pseudopolip pada dinding kolon, dan
pembuluh darah yang berdilatasi akibat adanya inflamasi dan
hiperemia.
28
3.4.4 Pemeriksaan Penunjang Lainnya
a. Pemeriksaan endoskopi dan biopsi
Sekali kita mencurigai kolitis ulseratif, pemeriksaan endoskopi berupa
kolonoskopi, harus dilakukan. Selain itu, harus dilakukan biopsi pada
mukosa yang meradang dan pada mukosa yang normal. Hasil yang
didapatkan pada pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi dapat
mengonfirmasi diagnosis kolitis ulseratif, dan juga berguna untuk
melihat atau memantau sejauh mana perjalanan penyakit tersebut.
Namun, tindakan ini harus dilakukan dengan hati-hati karena
kemungkinan dapat mengakibatkan perforasi atau komplikasi lainnya.
Kasus kolitis ulseratif yang berat ditandai dengan adanya ulser dan
perdarahan spontan.
3.5 Penatalaksanaan
Farmakologis
Sulfasalazine
Mengandung antibiotik (sulfapyridine) dan anti inflamasi (5 ASA) untuk
mengobati ulcerative colitis sedang sampai berat dan berfungsi mengobati
inflamasi di bagian jaringan ikat dan mukosa kolon.
Glukokortikoid
Baik secara oral maupun parenteral secara efektif menghambat proses
inflamasi pada system pencernaan, efektif pada pemberian dosis prednisone
40-60 mg/hari jika dengan 5 ASA tidak ada respon yang signifikan, dapat
juga diberikan hirokortison intravena dengan dosis 300 mg/hari atau metal
prednisolone 50-60 mg/hari.
30
Antibiotik
Dapat digunakan metronidazole untuk inflamasi aktif di fistula kolon
dengan dosis 15-20 mg/kg/hari, atau ciprofloxacin dengan dosis 500 mg,
atau rifaximin yang efektif untuk bakteri usus.
Methotrexate (MTX)
Berfungsi sebagai anti inflamasi dengan menurunkan produksi IL-1, dapat
diberikan secara intravena maupun subkutan dengan dosis 25 mg/minggu.
Cyclosporine (CSA)
Berfungsi dalam memblok produksi IL-2 dari T-helper limfosit dan
berfungsi dalam aktivasi T cell. Dosis diberikan 2-4 mg/kg/hari.
Pembedahan
Pembedahan, berupa panproktokolektomi (memotong kolon dan rektum),
merupakan terapi definitif pada kolitis ulseratif. Indikasi operasi pada kolitis
ulseratif bervariasi. Terapi medikamentosa yang gagal merupakan indikasi yang
paling sering untuk dilakukan pembedahan. Indikasi tindakan pembedahan segera
pada pasien kolitis ulseratif adalah adanya toksik megakolon yang refrakter dengan
terapi medikamentosa, adanya serangan fulminan yang refrakter dengan terapi
medikamentosa, dan perdarahan pada kolon yang tidak terkontrol. Sedangkan,
indikasi elektif adalah ketergantungan jangka panjang pada steroid, ditemukannya
displasia dan adenokarsinoma pada biopsi skrining, dan durasi penyakit yang sudah
mencapai 7-10 tahun.
31
Tabel indikasi dalam terapi bedah Inflamatory bowel disease
3.6 Komplikasi
Komplikasi intestinal :
• Perdarahan
• Toxic megacolon
32
3.7 Prognosis
Prognosis yang buruk ditandai dengan takikardia, demam tinggi, dan penurunan
peristaltik usus, serta adanya hipoalbuminemia. Kolitis ulseratif merupakan
penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Risiko kematian meningkat pada
pasien-pasien usia tua, dan pada pasien yang disertai komplikasi (misalnya: syok,
malnutrisi, anemia). Kasus-kasus yang berat dan kronik dapat menjadi lesi
prakanker. Penyebab kematian yang tersering pada kolitis ulseratif adalah
megakolon toksik. Untuk kekambuhan pada pasien colitis ulcerative juga dapat
terjadi.
33
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
34
Pasien menyangkal pernah mengkonsumsi obat –obatan anti nyeri atau
konsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka waktu yang lama, menyangkal pernah
melakukan operasi di bagian perut, menyangkal memiliki anggota keluarga dengan
riwayat keganasan, atau yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien dari
jawaban pasien faktor risiko genetik dan obat-obatan NSAID disangkal,
kemungkinan pasien bias terserang akibat pertahanan mukosa usus yang buruk, dan
respon system imun pada pasien.
35
seluruh ketebalan lamina propia menunjukan diagnosis yang tepat menuju colitis
ulcerative.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et
3. Hanauer SB. Inflammatory bowel diseases. In: Dale DC, Federman DD,
5. Brant WE. Pediatric chest. In: Brant WE, Helms CA, editors. Fundamentals of
diagnostic radiology 2nd ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 2007.
37