Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Definisi

Bell’s Palsy merupakan suatu penyakit yang menyerang bagian depan dari

kepala yaitu wajah. Bell’s palsy adalah salah satu penyakit yang menyerang wajah

dimana terjadi kelumpuhan akut yang terjadi pada bagian saraf wajah yang tidak

diketahui penyebabnya. Kelainan tersebut bisa terjadi akibat dari kelainan

traumatis, infeksi, tekanan, inflamasi atau kelainan metabolik yang menyerang

saraf dibagian wajah, predisposisi genetik, dan reaksi autoimun. Kelumpuhan

saraf wajah ini bisa terjadi secara keseluruhan ataupun hanya sebagian wajah

(Nurkholbiah et al., 2016).

Meskipun merupakan suatu penyakit idiopatik, banyak para ahli yang

melakukan penelitian dan mendefinisikan Bell’s palsy sesuai dengan penelitian

nya masing-masing. Menurut Lowis (2012) Bell’s palsy merupakan kelemahan

wajah dengan tipe lower motor neuron yang disebabkan oleh keterlibatan nerves

facialis idiopatik di luar system saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologic

lainnya.

Bell’s palsy adalah penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah di

seluruh dunia. Ini adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum dari

saraf cranial (Taylor et al., 2013).

6
7

2.1.2 Anatomi Fisiologi

2.1.2.1 Nervus Facialis

Secara anatomis, bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang

menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf

intermedius atau pars intermedius wisberg. Ada pakar yang menganggap sebagai

saraf terpisah, namun pada umumnya saraf intermedius ini di anggap sebagai bagian

dari saraf facialis. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan

saraf facialis di kanal facialis. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah di

hantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum.

Serabut yang menghantar sensasi eksteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion

genikulatum dan berakhir pada desendens dan inti akar desendens dari saraf

trigeminus. Hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus

Nervus facialis berasal dari pertemuan antara pons dan medulla yang

memiliki dua akar saraf medial dan lateral :

1. Akar saraf medial merupakan akar saraf yang lebih besar dan merupakan

bagian nervus facialis yang sebenarnya.

2. Akar saraf lateral lebih kecil yang berada diantara akar saraf medial dan

nervus vestibulocochlear (VIII); ini merupakan nervus intermediate wrisberg.

Nervus intermediate wrisberg menyertai nervus facialis sejauh genu dan

berakhir di ganglion genikulatum.


8

2.1.2.2 Otot-otot Wajah

Gambar 2.1 Anatomi otot wajah (Saladin, 2012)


Keterangan:
1. M. Frontalis
2. M.Orbicutaris Oculi
3. M. Levator Labii Superior
4. M. Zygomaticum Minor
5. M. Zygomaticum Mayor
6. M. Risorios
7. M. Depressor Anguli Oris
8. M. Depressor Labii Inferioris
9. M. Platysma
10. M. Mentalis
11. M. Orbicularis Oris
12. M. Buccinator
13. M. Masseter
14. M. Levator Anguli Oris
15. M. Nasalis
16. M. Corrugator Supercili
9

Gambar 2.2 Ganglion Genikulatum (Barral et al, 2009)

Keterangan:
1. Processus mastoideus
2. Nervus facialis
3. Processus styloideus
4. Ganglion genikulaatum
10

Gambar 2.3 Perjalanan nervus facialis (Barral et al, 2009)

Keterangan:
1. Ganglion trigeminal
2. Nervus facialis
3. Nervus vestibulococher
4. Nervus accessories
5. Nervus hypoglossal
6. Nervus vagus
7. Nervus glossopharingeal
11

Tabel 2.1 otot-otot wajah (Saladin, 2012)


No Nama Otot Origo Insersio Fungsi
1 M. frontalis Galea Kulit dahi Mengangkat alis
aponeurotica dan mengerutkan
dahi
2 M. orbicularis Pars. Orbital Kelopak mata Menutup kelopak
occuli mata
3 M. procerus Os. Nasale Kulit dahi Menarik turun kulit
bagian bawah dahi dan mata,
antara kedua mengembangkan
alis mata cuping hidung
4 M. Tulang Superolateral Tersenyum
zygomatikum zygomaticus sudut mulut
mayor dan
minor
5 M. orbicularis Pars. Marginal Kulit kelopak Bersiul atau
oris dan pars. mata, lempeng menutup bibir
Labialis: tarsal dan
sebelah lateral dinding orbital
angulus oris dengan
perluasan
medial dan
lateral dari
apeneurosis
6 M. levator Permukaan Membuka mata atau
palpebrae bawah ala minor mengangkat kelopak
superioris osis mata atas
sphenoidalis, di
atas canalis
opticus
12

2.1.3 Etiologi

Penyebab dari Bell’s Palsy masih dikatakan idiopatik atau masih belum

diketahui penyebabnya. Namun ada beberapa teori yang mendasari penyebab dari

Bell’s palsy. Menurut Lowis (2012), terdapat empat teori yang berhubungan

dengan penyebab Bell’s palsy, antara lain:

1. Teori Ischemic Vaskuler

Dalam teori Ischemic Vaskuler menyebutkan bahwa terjadinya gangguan

sirkulasi darah di kanalis falopii akan menimbulkan suatu paralisis pada nervus

facialis. Kerusakan yang ditimbulkan yaitu berasal dari tekanan saraf perifer

terutama yang berhubungan dengan pembluh darah yang mengaliri saraf tersebut.

Jika terdapat respon simpatis yang berlebihan maka akan terjadi spasme arterioral

atau statis vena pada bagian bawah dari canal facialis, sehingga menimbulkan

oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap suplai darah,

menambah iskemia dan menjadikan nervus facialis mengalami parese.

2. Teori Infeksi Virus

Herpes zoster merupakan virus yang paling banyak menjadi penyebab dari

Bell’s palsy. Virus ini hidup dalam jaringan saraf. Apabila terjadi radang, virus ini

akan menyerang bagian dari ganglion genikulatum yang mengakibatkan paralisis

pada otot-otot wajah yang disarafi. Virus Herpes zoster ini yang menyebabkan

kelemahan pada otot-otot wajah yang membuat terjadinya bell’s palsy.


13

3. Teori Imunologi

Reaksi dari imunologi terhadap infeksi virus yang timbul merupakan

penyebab dari terjadinya bell’s palsy. Berdasarkan teori ini, pasien diberikan

pengobatan kortikosteroid dengan tujuan mengurangi inflamasi dan oedema di

dalam kanalis falopii dan juga imunosuperessor.

4. Teori Herediter

Teori ini berpendapat bahwa faktor herediter menjadi salah satu penyebab

dari bell’s palsy. Teori ini menghubungkan bahwa faktor herediter berhubungan

dengan kelainan anatomis pada kanalis facialis. Dimana pada saat tertentu apabila

ada faktor pencetus misalnya pada keadaan dingin akan menyebabkan saluran

(kanal) terjadi vasokontriksi atau menyempit yang berakibat dari terjepitnya

nervus facialis yang melintasi saluran tersebut.

2.1.4 Patofisiologi

Beberapa pendapat berargumen bahwa pada Bell’s Palsy terjadi suatu

inflamasi akut pada nervus facialis pada daerah tulang temporalis.

Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses

inflamasi pada nervus facialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus

facialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang

temporal. Perjalanan nervus facialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis

facialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu

keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut,

adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari


14

konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus facialis bisa mendapat

gangguan di lintasan supranuklear, nuclear dan infranuklear. Lesi supranuklear

bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar

ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah

di korteks motorik primer (Bahrudin, 2011).

Kelumpuhan pada bell’s palsy akan terjadi pada bagian atas dan bawah

dari seluruh bagian otot wajah. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak

dapat ditutup dan jika memejamkan mata akan terlihat bola mata yang berbalik ke

atas, sudut mulut tidak dapat diangkat, bibir tidak bisa mencucu dan platisma

tidak dapat digerakan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan

secara wajar sehingga tertimbun di daerah itu.

2.1.5 Tanda dan gejala

Gejala Bell’s Palsy dapat berupa kelumpuhan otot wajah pada satu sisi

yang terjadi secara tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari).

Pasien juga mengeluhkan nyeri disekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada

wajah walaupun tidak ada gangguan sensorik. Terkadang juga diikuti oleh

hiperakusis (sensitif terhadap suara), berkurangnya produksi air mata,

hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Kelumpuhan saraf facialis dapat terjadi

secara parsial atau komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1-7 hari dapat berubah

menjadi kelumpuhan komplit (Munilson et al., 2007)

Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf facialis harus dibedakan

kelumpuhan sentral atau perifer. Dimana kelumpuhan sentral terjadi hanya pada
15

bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot dahi

dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan kelumpuhan perifer

terjadi pada saraf bagian perifer (Munilson et al., 2007).

Berdasarkan studi yang dilakukannya terhadap etiologi, derajat, sisi lesi

dan progresivitas inflamasi saraf facialis, Bell’s palsy dibedakan dalam 3 fase

yaitu :

a. Fase akut (0-3 minggu)

Inflamasi saraf facialis berasal dari ganglion genikulatum, biasanya akibat

infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV). Inflamasi ini dapat meluas ke bagian

proximal dan distal serta dapat menyebabkan edema saraf.

b. Fase sub akut (4-9 minggu)

Inflamasi dan edema saraf facialis mulai berkurang.

c. Fase kronik (> 10 minggu)

Edema pada saraf menghilang, tetapi pada beberapa individu dengan infeksi

berat, inflamasi pada saraf tetap ada sehingga dapat menyebabkan atrofi dan

fibrosis saraf (Munilson et al., 2007).

2.1.6 Prognosis

Sekitar 75% pasien bell’s palsy sembuh sempurna dalam kurun waktu 2-3

minggu, 15% sembuh dengan memuaskan akan tetapi ada kemungkinan

mengalami asimetris wajah ringan, dan 10% lainnya mengalami penyembuhan

yang buruk pada empat bulan dengan gangguan neurologis yang menetap dan

bentuk kosmetik yang jelek. Beberapa dari pasien ini mengalami penyembuhan
16

yang lambat. Selain kelemahan sisa, bentuk penyembuhan buruk lainnya yaitu

reinervasi nerves facialis aberrant yang mengakibatkan synkinesis wajah yang

ditandai dengan adanya aktivasi involunter serangkaian otot wajah pada waktu

melakukan aktivasi otot-otot wajah lainnya (Gilden, 2006).

Dari studi kasus pada 1011 penderita bell’s palsy tanpa terapi medika

mentosa ataupun operasi keseluruhan terdapat 85% menunjukan tanda dan

kemajuan pertama pada tonus dan gerak otot pada tiga minggu pertama. 15%

lainnya mengalami degenerasi komplit yang terdiri dari 11% tanda perbaikan

setelah tiga bulan, 3% pada bulan keempat, dan 1% sisanya pada bulan kelima

(Peitersen, 2002).

Beberapa faktor terkait dengan prognosis pemulihan yang tidak sempurna

yang meliputi :

1. Usia lanjut (>55-60 tahun) prognosisnya kurang baik. Dan pada usia anak-

anak mengalami prognosis paling baik dengan tingkat 90% tingkat

kesembuhan (Gilden, 2006).

2. Derajat kesembuhan pada awal sakit. Bila paresis inkomplit, maka

prognosisnya akan baik (Subagiartha, 2001).

3. Hiperauksis. Hilangnya indera pengecapan pada 2/3 anterior lidah yang

berlangsung lebih dari dua minggu, prognosisnya kurang baik (Subagiartha,

2001).
17

2.2 Teknologi Intervensi Fisioterapi

Kabat Exercise

Metode Kabat exercise tidak jauh berbeda dengan penanganan dengan

metode PNF (Propioseptive Neuromuscular Facilitation) dimana Kabat exercise

juga merupakan jenis teknik rehabilitasi kontrol motorik yang didasarkan pada

fasilitasi neuromuskuler propioseptif. Metode Kabat exercise pada tahap awal

kasus Bell’s palsy terbukti memberikan tingkat pemulihan yang lebih baik dan

cepat dibanding rehabilitasi yang hanya mengandalkan obat (Barbara et al., 2010).

Rehabilitasi kabat terdiri atas fasilitasi respons sukarela dari otot yang terganggu

melalui pola global dari seluruh bagian otot yang mengalami resistensi. Metode

ini sangat rasional untuk otot wajah, karena sebagian besar otot wajah berjalan

secara diagonal, dengan iradiasi yang mudah ke daerah wajah atas karena

persilangan lintas nervus facialis (Monini et al., 2016).

Perbedaan dengan metode PNF adalah dimana metode PNF menggunakan

skema motor yang mengaktifkan otot secara sinergis tidak dibedakan dari yang

menggunakan fungsi biarticular. Regulasi kontraksi otot diperoleh dengan model

stimulus respons dan melalui sistem motor umpan balik. Sedangkan dalam

pengembangan dengan metode kabat exercise, skema yang mengaktifkan otot-

otot biarticular dibedakan dari yang menghasilkan aktivasi otot–otot sinergis. Hal

ini yang menekankan bahwa pentingnya fungsi biarticular, proses integrasi

kortikal yang lebih maju dibanding dengan aktivasi otot-otot sinergis (Monari et

al., 2016).
18

Metode kabat exercise adalah suatu teknik neurorehabilitasi yang

menggunakan pola gerakan spiral dan diagonal dalam hubungannya dengan

peregangan, resistensi dan teknik fasilitasi propioseptif lainnya untuk memperkuat

perekrutan neuromuscular.

Menurut Adler et al (2008) prinsip dasar dari fasilitasi yaitu sebagai

berikut:

1. Resistance

Jumlah resistance yang diterapkan selama kontrasksi otot konsentris

adalah jumlah terbesar yang masih memungkinkan pasien untuk bergerak dengan

lancar tanpa adanya nyeri sampai batas lingkup gerak. Resistance harus

disesuaikan dengan seluruh polaa untuk mendukung pola komponen yang kuat

dan lemah.

Tujuan dari resistance ini adalah untuk membantu kontraksi otot-otot dan

kontrol gerakan, untuk meningkatkan kekuatan, dan membantu pembelajaran

gerak.

2. Irradiation dan Reinforcement

Menggunakan respon menyebar untuk stimulasi. Respon ini dapat dilihat

sebagai peningkatan fasilitasi atau inhibisi pada otot sinergis dan pola gerakan.

3. Manual Contact

Manual contact merujuk pada bagaimana dan dimana tangan terapis

ditempatkan pada pasien. Bila memungkinkan, manual contact ditempatkan pada

kelompok otot agonis atau pada insersio tendonnya. Kontak ini memungkinkan

terapis untuk menerapkan tahanan pada kelompok otot yang tepat dan
19

memberikan aba-aba kepada pasien dengan arah gerakan yang diinginkan. Selain

itu, manual contact juga sebagai rangsangan sensoris pada kulit dan rangsangan

proprioceptive.

4. Posisi dan gerak tubuh

Pengontrolan gerakan pasien akan lebih efektif ketika terapis berada dalam

garis gerakan. Tubuh terapis harus sejalan dengan gerakan yang diinginkan, bahu

dan panggul terapis menghadap arah gerak, lengan dan tangan juga sejalan

gerakan. Resisten yang diberikan berasal dari tubuh terapis dengan menggunakan

berat badan terapis sehingga tidak menimbulkan kelelahan bagi terapis.

5. Verbal

Perintah verbal dilakukan untuk memberitahu pasien apa yang harus

dilakukan dan kapan harus melakukannya. Instruksi yang diberikan harus tepat

dan jelas. Dalam memberikan perintah verbal dapat dikombinasikan dengan

gerakan pasif yang bertujuan untuk mengajarkan gerak pada pasien.

6. Visual Contact

Dengan bantuan visualcontact pasien dapat mengikuti, mengontrol dan

jika memungkinkan dapat mengoreksi sikap dan gerakan.

7. Traksi dan Aproximasi

Peregangan sendi akan mempermudah terjadinya gerak sendi, sedangkan

penekanan akan mempermudah gerak ekstensi.

8. Stretch

Dengan menggunakan peregangan otot dan stretch reflex untuk

memfasilitasi kontraksi dan mengurangi kelelahan otot.


20

2.3 Kerangka Berpikir

Bell’s Palsy
Iskemik vaskular

Virus Etiologi tidak diketahui jelas

Imunologi

Faktor herediter

1. Kelemahan otot-otot wajah


2. penurunan kemampuan fungsional otot-otot wajah

Evaluasi:
- MMT
Kabat Exercise
- House Brackmann

Hasil:
- Meningkatkan kekuatan otot
- Meningkatkan kemampuan
fungsional otot wajah
-
21

2.4 Keaslian Penelitian

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Taufik Nurahman
NIM : 109116011
Alamat : RT 04/01 Desa Dayeuhluhur, Kec. Dayeuhluhur, Kab. Cilacap
Dengan ini menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Aplikasi Kabat
Exercise Pada Kasus Bell’s Palsy” bukan merupakan suatu plagiat dari Karya
Tulis/Skripsi/Tulisan Ilmiah manapun dan merupakan hasil karya asli penulis.
Demikian surat pernyataan ini penulis buat dengan sebenar-benarnya.

Cilacap,
Penulis,

TAUFIK NURAHMAN

Anda mungkin juga menyukai