13
Obstructive Lung Disease (GOLD) kelompok 1-4 pada versi sebelumnya
memberikan informasi mengenai tingkat keparahan hambatan saluran nafas
berdasarkan FEV1.3,7,11
14
Tabel 4.2 Kuesioner mMRC3,15
15
kunjungan. 2) Advise (nasihati), yaitu memberikan dorongan yang kuat pada semua
perokok untuk berhenti merokok. 3) Assess (nilai), yaitu menentukan kerelaan
untuk berusaha berhenti merokok. 4) Assist (bimbing), yaitu membantu pasien
berhenti merokok. 5) Arrange (atur), yaitu membuat jadwal kontak lebih lanjut.1,9
Tabel 4.4 Meta-Analisis Efektivitas Metode Smoking Cessation pada Pasien PPOK10
16
4.1.2 Pulmonary Rehabilitation
American Thoracic Society dan European Respiratory Society
mendefinisikan pulmonary rehabilitation sebagai intervensi komprehensif
multidisiplin yang dilakukan berdasarkan assessment yang teliti pada pasien, dan
diikuti dengan terapi yang sesuai, meliputi exercise training, edukasi dan intervensi
manajemen diri, yang bertujuan untuk menciptakan gaya hidup yang sehat sehingga
kondisi fisik dan psikologi penderita PPOK dapat membaik.3,16, 17
17
Gambar 4.3 Lingkaran Setan PPOK17
Berbagai studi meta analisis berbasis bukti telah dilakukan untuk menilai
efek pulmonary rehabilitation ini terhadap pasien PPOK yang bergejala. Hasil yang
dapat diperoleh melalui pulmonary rehabilitation yaitu: 1) Meringankan gejala
dispneu, 2) Meningkatkan toleransi latihan / training endurance, 3) Mengurangi
ansietas dan depresi, 4) Mengurangi penggunaan alat-alat kesehatan / hospitalisasi,
5) Mengurangi biaya pengobatan, dan 6) Meningkatkan kualitas hidup.17
18
oksigen di rumah, 10) Terapi ventilasi mekanik di rumah, 11) Mengenal dan
mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen, dan 12) Dukungan psikologis.1,9
Tujuan self-management adalah untuk memotivasi, dan membina pasien
agar secara positif memperbaiki gaya hidup serta mengembangkan keterampilan,
sehingga mereka dapat mengelola penyakit dengan lebih baik.3 Berdasarkan GOLD
2018, bentuk self-management penderita PPOK adalah sebagai berikut.
b. Latihan Fisik
Latihan fisik ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas
transportasi oksigen. Latihan fisik yang baik akan menghasilkan peningkatan
volume maksimal O2 yang dikonsumsi oleh tubuh saat melakukan kegiatan yang
intensif, perbaikan kapasitas kerja aerobik maupun anaerobik, peningkatan cardiac
output dan stroke volume, peningkatan efisiensi distribusi darah, dan pemendekan
waktu yang diperlukan untuk recovery. Latihan jasmani pada PPOK terdiri dari dua
kelompok, yaitu latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan dan
meningkatkan exercise endurance.9
c. Manajemen Nutrisi
Sejak tahun 1950, beberapa penelitian telah mengobservasi kejadian
underweight dan malnutrisi pada pasien PPOK. Insiden malnutrisi ini sangat
bergantung pada tingkat keparahan penyakit, dan metode yang digunakan untuk
19
menentukan status nutrisi penderita. Jika underweight didefinisikan dengan berat
badan kurang dari 90% berat badan ideal, maka 20-50% pasien PPOK adalah
underweight. Pada pasien PPOK dengan FEV1 kurang dari 35% predicted, 50%
diantaranya malnutrisi. Dengan demikian, tingkat keparahan obstuksi saluran nafas
pada pasien PPOK berbanding lurus dengan risiko malnutrisi.18
20
yang dapat dilakukan pada kasus PCS ini adalah dengan nutritional supplement
therapy. Nutritional supplement therapy terbukti efektif dapat mempertahankan
dan meningkatkan kekuatan otot serta toleransi aktivitas pada pasien PPOK dengan
malnutrisi. Nutritional supplement therapy dapat dilakukan dengan cara : (1) Diet
tinggi lemak rendah karbohidrat, (2) Konsumsi sayur dan buah, (3) Konsumsi
makanan padat nutrisi dan cukup kalori dalam porsi kecil namun sering, (4)
Suplementasi omega-3 polyunsaturated fatty acids, (5) Suplementasi vitamin C, D,
dan E.18
4.1.3 Vaksinasi
Eksaserbasi akut merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
penderita PPOK. Meskipun eksaserbasi pada pasien PPOK terjadi akibat adanya
interaksi antara faktor host dan lingkungan, pemicu terbesar sebagian besar
eksaserbasi adalah community-acquired respiratory infections, yang disebabkan
oleh virus dan bakteri. Sementara itu, terapi efektif untuk mengatasi kejadian
eksaserbasi yang terjadi akibat infeksi sangat terbatas, sehingga diperlukan suatu
strategi untuk mencegah terjadinya infeksi yang berujung pada eksaserbasi pada
pasien PPOK. Pemberian vaksin Influenza dan Pneumococcus dapat menjadi
alternatif, dan sangat direkomendasikan untuk dilakukan pada seluruh pasien
PPOK.14 Berdasarkan rekomendasi vaksinasi untuk orang dewasa dengan indikasi
medis tertentu oleh Satgas Imunisasi Dewasa PAPDI Tahun 2017, penderita
penyakit paru kronik dapat diberikan imunisasi Influenza 1 dosis setiap tahun.
Penderita penyakit paru kronik yang berusia ≥ 50 tahun dapat diberikan vaksinasi
Pneumokokal Polisakarida (PPSV23) sebanyak 1 atau 2 dosis, dan penderita yang
berusia ≥ 60 tahun dapat diberikan vaksinasi Pneumokokal Konjugat 13-valent
(PCV13) 1 dosis.3,28 Vaksinasi Pneumokokal Polisakarida (PPSV23) juga
direkomendasikan untuk penderita PPOK yang berusia lebih muda dengan kondisi
komorbid yang bermakna, seperti penyakit jantung atau paru kronik.3
21
4.1.4 Terapi Oksigen
22
Gambar 4.5 Alur Terapi Oksigen pada Pasien PPOK3
23
4.1.5 Ventilasi Mekanik
Non-Invasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) terkadang digunakan
oleh pasien PPOK sangat berat yang stabil. Pada pasien PPOK yang mengalami
obstructive sleep apnea, penggunaan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
terbukti dapat meningkatkan survival rate dan menurunkan risiko rawatan.3
24
Tabel 4.9 Obat-Obat yang Biasa Digunakan dalam Terapi PPOK3
25
Sebelumnya, pengobatan PPOK dilakukan secara bertahap, bergantung
pada tingkat keparahan penyakit yang dinilai melalui spirometri. Pada PPOK
ringan, terapi awal dilakukan dengan pemberian short-acting bronchodilators
apabila diperlukan. Ketika penyakit berlanjut dan fungsi paru menurun (stage II-
IV), diberikan terapi regular dengan penambahan satu atau lebih long-acting
bronchodilators, seperti Long-Acting Muscarinic Antagonist (LAMA; juga biasa
dikenal dengan long-acting anticholinergic) atau Long-Acting 𝛽2 Agonist
(LABA).12 Namun, dengan klasifikasi terbaru menurut GOLD, pasien
dikelompokan berdasarkan gejala dan riwayat eksaserbasi, sehingga terapi awal
dapat diberikan berdasarkan kategori tersebut.3,7,12
26
Untuk semua pasien grup A sebaiknya diberikan terapi bronkodilator
berdasarkan efeknya terhadap sesak nafas, dapat berupa short-acting atau long-
acting bronchodilator. Sebaiknya dilanjutkan jika secara klinis memberikan
manfaat.3,7
Terapi inisial pada grup B terdiri dari long-acting bronchodilator. Long-
acting bronchodilator dinilai lebih unggul daripada short-acting bronchodilator,
yang dipakai apabila dibutuhkan. Pemilihan bronkodilator didasarkan pada persepsi
pasien terhadap perbaikan gejala yang dirasakan. Pasien yang mengalami sesak
persisten dengan monoterapi direkomendasikan menggunakan kombinasi dua
bronkodilator. Pasien dengan sesak nafas berat, terapi inisial menggunakan dua
bronkodilator dapat dipertimbangkan. Jika dengan penggunaan dua bronkodilator
tidak mengurangi gejala, pertimbangkan step down kembali menjadi monotorapi.
Pasien grup B biasanya memiliki penyakit penyerta yang harus diinvestigasi karena
dapat memperberat gejala dan mempengaruhi prognosis.3,7
Terapi inisial pada grup C terdiri dari long-acting bronchodilator tunggal.
LAMA lebih unggul dibandingkan LABA sehubungan dengan pencegahan
eksaserbasi. Oleh karena itu, direkomendasikan memulai terapi dengan LAMA
pada grup ini. Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat diberikan tambahan long
acting bronchodilator (LABA/LAMA), atau kombinasi terapi LABA dan Inhaled
Corticosteroid (ICS). Karena ICS meningkatkan risiko pneumonia pada beberapa
pasien, maka pilihan utama adalah LABA/LAMA.3,7
Untuk pasien grup D, direkomendasikan memulai terapi dengan kombinasi
LABA/LAMA karena lebih unggul dibandingkan terapi bronkodilator tunggal atau
LABA/ICS dalam mencegah eksaserbasi. Pasien Grup D lebih rentan mengalami
pneumonia ketika menerima terapi dengan ICS. Pada pasien yang memiliki gejala
asma dan PPOK pada saat yang bersamaan, terapi inisial dengan LABA/ICS
mungkin menjadi pilihan utama. Jumlah eosinofil darah yang tinggi juga dapat
menjadi pertimbangan untuk mendukung penggunaan ICS walaupun hal ini masih
diperdebatkan.
Pasien gup D yang tetap eksaserbasi dengan LABA/LAMA, lakukan
peningkatan terapi menggunakan LABA/LAMA/ICS. Jika sudah diterapi dengan
LAMA/LABA/ICS tetap mengalami eksaserbasi, maka pertimbangkan
27
penambahan Roflumilast (PDE4-inhibitor). Penambahan Roflumilast ini
dipertimbangkan untuk pasien dengan FEV1<50% dan bronkitis kronik, khususnya
jika sekurang-kurangnya pernah dirawat di rumah sakit sebanyak satu kali pada
tahun sebelumnya. Pilihan lainnya adalah dengan menambahkan makrolid
(Azithromycin), atau menghentikan penggunaan ICS dengan pertimbangan
efektivitas dan adverse effect nya (termasuk pneumonia).3,7
4.2.1 Bronkodilator
Terapi bronkodilator merupakan terapi awal yang dapat diberikan pada
pasien PPOK untuk mengatasi dispneu dan meningkatkan exercise endurance.
Semua jenis bronkodilator bekerja dengan cara merelaksasi otot polos pada saluran
pernafasan, sehingga mempermudah pengosongan paru dan mengurangi air
trapping, yang akhirnya meringankan gejala sesak pada penderita.8,13
Untuk terapi bronkodilator, LABA/LAMA lebih dipilih dari SABA/SAMA
kecuali pada pasien yang sangat jarang sesak. Pasien dapat memulai terapi tunggal
long-acting bronchodilator atau kombinasi dua long-acting bronchodilator. Pada
pasien dengan sesak persisten, monoterapi sebaiknya tingkatkan menjadi dua
kombinasi terapi. Bronkodilator inhalasi lebih direkomendasikan daripada
bronkodilator oral. Terapi dengan teofilin tidak direkomendasikan kecuali terapi
jangka panjang dengan bronkodilator lain tidak tersedia.3
28
b. Golongan Anti Kolinergik (Anti Muskarinik)
Obat yang termasuk golongan ini adalah ipratropium, oxitropium, dan
tiopropium bromide. Efek utamanya memblokade efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik. Efek bronkodilator dari short-acting anticholinergic inhalasi lebih
lama dibanding SABA. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi
kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan
status kesehatan, serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal. Efek samping
utama obat antikolinergik adalah mulut kering. Beberapa pasien yang
menggunakan ipratropium mengecap sensasi pahit dan rasa logam pada lidah.3,8,15
c. Methyl Xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xanthine setara dengan -2 agonist inhalasi,
tetapi efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya (safety margin)
sempit. Toksisitas obat ini bergantung pada dosis yang digunakan. Hal ini menjadi
permasalahan khusus untuk mehyl xanthines sehubungan dengan therapeutic
window-nya yang sempit, sementara sebagian besar manfaat dari obat ini akan
didapatkan apabila dosis obat yang diberikan mendekati ambang toksisitas. Efek
samping lainnya adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Pada konsentrasi obat yang
lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi, dan aritmia.3,8
29
dipertimbangkan. Statin tidak direkomendasikan untuk mencegah eksaserbasi.
Antioksidan dan mukolitik direkomendasikan hanya pada pasien tertentu.3
b. Glukokortikoid Oral
Penggunaan glukokortikoid oral dalam jangka waktu panjang menimbulkan
banyak efek samping, salah satunya miopati steroid, yang dapat menyebabkan
terjadinya kelemahan otot, penurunan fungsionalitas, dan kegagalan respirasi pada
pasien PPOK sangat berat. Glukokortikoid oral lebih banyak berperan dalam
manajemen PPOK eksaserbasi. Tidak ada bukti mengenai peran glukokortikoid oral
dalam terapi harian PPOK karena manfaat yang dapat diperoleh lebih sedikit
daripada komplikasi sistemik yang ditimbulkan.3
c. Inhibitor PDE4
Pada pasien dengan bronkitis kronik, PPOK berat - sangat berat, serta
riwayat eksaserbasi, inhibitor PDE4 dapat meningkatkan fungsi paru dan
mengurangi gejala eksaserbasi. Inhibitor PDE4 juga dapat meningkatkan fungsi
paru dan mengurangi gejala eksaserbasi pada pasien yang telah mendapatkan
kombinasi LABA/ICS dosis tetap. Efek samping inhibitor PDE4 ini adalah diare,
mual, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri abdomen, gangguan
tidur, dan nyeri kepala.3
30
d. Antibiotik
Terapi jangka panjang azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg, 3 kali
seminggu) dan erythromycin (500 mg, 2 kali sehari) dapat mengurangi kejadian
eksaserbasi dalam satu tahun. Namun, penggunaan azithromycin ini dihubungkan
dengan peningkatan insiden resistensi bakteri dan gangguan fungsi pendengaran.3
e. Mukolitik / Anti-Oksidan
Pada psien PPOK yang tidak mendapatkan terapi kortikosteroid inhalasi,
terapi reguler dengan mukolitik seperti N-acetylcysteine dan carbocysteine dapat
mengurangi risiko eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.3
31