Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

TATALAKSANA PPOK STABIL

Tujuan utama penatalaksanaan PPOK adalah semaksimal mungkin


mengurangi gejala (menghilangkan gejala, meningkatkan toleransi latihan,
meningkatkan kualitas hidup), dan mengurangi risiko (mencegah progresivitas
penyakit, mencegah dan mengobati eksaserbasi, mengurangi kematian).1,7
Penatalaksanaan PPOK stabil secara umum meliputi terapi non farmakologi, yaitu:
program berhenti merokok, pulmonary rehabilitation (edukasi, latihan fisik,
manajemen nutrisi), vaksinasi, terapi oksigen, ventilasi mekanik, dan terapi
endoskopi dan pembedahan, serta terapi farmakologi.7,9

Gambar 4.1 Pengelompokan PPOK Stabil Berdasarkan GOLD 20183

Berbeda dengan sebelumnya, Global Initiative for Chronic Obstructive


Lung Disease (GOLD) revisi tahun 2018 mengelompokkan penderita PPOK stabil
ke dalam empat kelompok. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) kelompok A-D memberikan informasi mengenai gejala dan risiko
eksaserbasi yang digunakan sebagai panduan terapi. Global Initiative for Chronic

13
Obstructive Lung Disease (GOLD) kelompok 1-4 pada versi sebelumnya
memberikan informasi mengenai tingkat keparahan hambatan saluran nafas
berdasarkan FEV1.3,7,11

Tabel 4.1 COPD Assessment Test3,15

Menurut beberapa penelitian, FEV1 yang sebelumnya digunakan dalam


pengelompokan PPOK berkorelasi lemah dengan keberatan gejala. Namun, uji
spirometri tetap dinilai penting untuk diagnosis, menentukan prognosis, dan
menentukan pendekatan terapi lainnya. Dengan demikian, pengelompokkan pasien
berdasarkan GOLD revisi 2018 dinilai efektif dan memberikan peluang pada klinisi
untuk memulai terapi dini pada beberapa keadaan, seperti keadaan emergensi atau
rawat inap.3,7,11

14
Tabel 4.2 Kuesioner mMRC3,15

4.1 Terapi Non Farmakologi


Terapi non farmakologi pada penderita PPOK yaitu : 1) Smoking cessation,
2) Pulmonary rehabilitation, meliputi edukasi dan manajemen diri, latihan fisik,
dan manajemen nutrisi, 3) Vaksinasi, 4) Terapi oksigen, 5) Ventilasi mekanik, dan
6) Terapi endoskopi dan pembedahan.

Tabel 4.3 Manajemen Non Farmakologi PPOK3

4.1.1 Smoking Cessation


Prevalensi perokok pada penderita PPOK berkurang seiring dengan
pertambahan tingkat keparahan penyakit, yaitu sekitar 54-77% pada PPOK ringan,
dan 38-51% pada PPOK berat.10 Merokok mempercepat progresivitas PPOK, dan
berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling penting dan
efektif dalam mengurangi progresivitas PPOK dan menurunkan angka kematian
akibat PPOK. Lima langkah untuk membantu pasien berhenti merokok, yaitu: 1)
Ask (tanyakan), yaitu mengidentifikasi secara sistematis semua perokok pada setiap

15
kunjungan. 2) Advise (nasihati), yaitu memberikan dorongan yang kuat pada semua
perokok untuk berhenti merokok. 3) Assess (nilai), yaitu menentukan kerelaan
untuk berusaha berhenti merokok. 4) Assist (bimbing), yaitu membantu pasien
berhenti merokok. 5) Arrange (atur), yaitu membuat jadwal kontak lebih lanjut.1,9

Tabel 4.4 Meta-Analisis Efektivitas Metode Smoking Cessation pada Pasien PPOK10

Metode paling ampuh untuk keberhasilan program smoking cessation ini


adalah melalui pendekatan konseling (behavioral therapy), yang dikombinasikan
dengan farmakoterapi menggunakan Varenicline dan Bupropion, serta Nicotine
Replacement Therapy (NRT) menggunakan inhaler, nasal spray, nicotine gum, dan
lain-lain. Penggunaan Varenicline dan kombinasi dua NRT dinilai cukup efektif,
sementara penggunaan monoterapi Varenicline dinilai lebih efektif dibandingkan
dengan Bupropion ataupun NRT.10

Tabel 4.5 Efektivitas Famakoterapi pada Smoking Cessation10

16
4.1.2 Pulmonary Rehabilitation
American Thoracic Society dan European Respiratory Society
mendefinisikan pulmonary rehabilitation sebagai intervensi komprehensif
multidisiplin yang dilakukan berdasarkan assessment yang teliti pada pasien, dan
diikuti dengan terapi yang sesuai, meliputi exercise training, edukasi dan intervensi
manajemen diri, yang bertujuan untuk menciptakan gaya hidup yang sehat sehingga
kondisi fisik dan psikologi penderita PPOK dapat membaik.3,16, 17

Gambar 4.2 Langkah dan Keuntungan Pulmonary Rehabilitation17

Saat ini, pulmonary rehabilitation memainkan peranan penting dalam


manajemen pasien PPOK yang bergejala, dengan cara memutus lingkaran setan
dispneu - penurunan aktivitas - dekondisi (penurunan kebugaran dan tonus otot
akibat kurangnya aktivitas) - isolasi.17

17
Gambar 4.3 Lingkaran Setan PPOK17

Berbagai studi meta analisis berbasis bukti telah dilakukan untuk menilai
efek pulmonary rehabilitation ini terhadap pasien PPOK yang bergejala. Hasil yang
dapat diperoleh melalui pulmonary rehabilitation yaitu: 1) Meringankan gejala
dispneu, 2) Meningkatkan toleransi latihan / training endurance, 3) Mengurangi
ansietas dan depresi, 4) Mengurangi penggunaan alat-alat kesehatan / hospitalisasi,
5) Mengurangi biaya pengobatan, dan 6) Meningkatkan kualitas hidup.17

a. Edukasi dan Manajemen Diri


Edukasi memegang peranan penting dalam pengelolaan jangka panjang
PPOK stabil. Edukasi ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan pasien
mengenai PPOK dan pengobatannya, serta menambah keterampilan yang
dibutuhkan pasien sehubungan dengan PPOK. Edukasi yang tepat diharapkan dapat
mengurangi kecemasan pasien PPOK, dan memberikan semangat hidup walaupun
dengan keterbatasan aktivitas. Beberapa prioritas edukasi penderita PPOK adalah
1) Berhenti merokok, 2) Penggunaan obat-obatan, 3) Faktor lingkungan yang
berhubungan dengan penyakit, 4) Vaksinasi, 5) Pencegahan eksaserbasi dan
manajemen awal eksaserbasi, 6) Penyesuaian terhadap keterbatasan aktivitas dan
manajemen dispneu, 7) Pentingnya aktivitas fisik, 8) Terapi nutrisi, 9) Terapi

18
oksigen di rumah, 10) Terapi ventilasi mekanik di rumah, 11) Mengenal dan
mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen, dan 12) Dukungan psikologis.1,9
Tujuan self-management adalah untuk memotivasi, dan membina pasien
agar secara positif memperbaiki gaya hidup serta mengembangkan keterampilan,
sehingga mereka dapat mengelola penyakit dengan lebih baik.3 Berdasarkan GOLD
2018, bentuk self-management penderita PPOK adalah sebagai berikut.

Tabel 4.6 Self-Management Penderita PPOK3

Kelompok A, B, C, D Mengelola gaya hidup berisiko, seperti berhenti merokok,


meningkatkan aktivitas fisik, serta memastikan cukup tidur
dan diet sehat.
Kelompok B dan D Belajar cara mengelola sesak nafas, teknik penyimpanan
energi, dan manajemen stres.
Kelompok C dan D Menghindari faktor-faktor yang memperberat penyakit,
memonitor dan mengelola perburukan gejala, dan
mempertahankan komunikasi dengan dokter secara teratur.
Kelompok D Berdiskusi dengan dokter tentang terapi paliatif dan rencana
perawatan lanjutan.

b. Latihan Fisik
Latihan fisik ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas
transportasi oksigen. Latihan fisik yang baik akan menghasilkan peningkatan
volume maksimal O2 yang dikonsumsi oleh tubuh saat melakukan kegiatan yang
intensif, perbaikan kapasitas kerja aerobik maupun anaerobik, peningkatan cardiac
output dan stroke volume, peningkatan efisiensi distribusi darah, dan pemendekan
waktu yang diperlukan untuk recovery. Latihan jasmani pada PPOK terdiri dari dua
kelompok, yaitu latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan dan
meningkatkan exercise endurance.9

c. Manajemen Nutrisi
Sejak tahun 1950, beberapa penelitian telah mengobservasi kejadian
underweight dan malnutrisi pada pasien PPOK. Insiden malnutrisi ini sangat
bergantung pada tingkat keparahan penyakit, dan metode yang digunakan untuk

19
menentukan status nutrisi penderita. Jika underweight didefinisikan dengan berat
badan kurang dari 90% berat badan ideal, maka 20-50% pasien PPOK adalah
underweight. Pada pasien PPOK dengan FEV1 kurang dari 35% predicted, 50%
diantaranya malnutrisi. Dengan demikian, tingkat keparahan obstuksi saluran nafas
pada pasien PPOK berbanding lurus dengan risiko malnutrisi.18

Solid black line : Cachexia


Solid gray line : Semi starvation
Dashed gray line : Muscle atrophy
Dashed black line : No impairment

Gambar 4.4 Survival Curves Penderita PPOK18

Pulmonary Cachexia Syndrome (PCS) pada pasien PPOK dikarakteristikan


dengan hilangnya berat badan 5-10% dari berat badan awal, atau berat kurang dari
90% berat badan ideal, atau hilangnya 5% berat badan dalam waktu 3-12 bulan
terakhir. Patogenesis pasti terjadinya PCS masih belum jelas karena banyaknya
faktor yang dapat mempengaruhi penurunan berat badan yang progresif pada
penderita PPOK. Beberapa diantara faktor yang mempengaruhi tersebut adalah
hipoksia jaringan, disuse atrophy, perubahan metabolisme dan intake kalori, stres
oksidatif, aging, inflamasi sistemik, dan pengobatan (glukokortikoid).18
Manajemen umum PCS pada pasien PPOK adalah dengan optimalisasi
fungsi paru sehingga beban pernafasan dapat diturunkan, dan berujung pada
turunnya kebutuhan kalori dan meningkatnya toleransi aktivitas. Intervensi nutrisi

20
yang dapat dilakukan pada kasus PCS ini adalah dengan nutritional supplement
therapy. Nutritional supplement therapy terbukti efektif dapat mempertahankan
dan meningkatkan kekuatan otot serta toleransi aktivitas pada pasien PPOK dengan
malnutrisi. Nutritional supplement therapy dapat dilakukan dengan cara : (1) Diet
tinggi lemak rendah karbohidrat, (2) Konsumsi sayur dan buah, (3) Konsumsi
makanan padat nutrisi dan cukup kalori dalam porsi kecil namun sering, (4)
Suplementasi omega-3 polyunsaturated fatty acids, (5) Suplementasi vitamin C, D,
dan E.18

4.1.3 Vaksinasi
Eksaserbasi akut merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
penderita PPOK. Meskipun eksaserbasi pada pasien PPOK terjadi akibat adanya
interaksi antara faktor host dan lingkungan, pemicu terbesar sebagian besar
eksaserbasi adalah community-acquired respiratory infections, yang disebabkan
oleh virus dan bakteri. Sementara itu, terapi efektif untuk mengatasi kejadian
eksaserbasi yang terjadi akibat infeksi sangat terbatas, sehingga diperlukan suatu
strategi untuk mencegah terjadinya infeksi yang berujung pada eksaserbasi pada
pasien PPOK. Pemberian vaksin Influenza dan Pneumococcus dapat menjadi
alternatif, dan sangat direkomendasikan untuk dilakukan pada seluruh pasien
PPOK.14 Berdasarkan rekomendasi vaksinasi untuk orang dewasa dengan indikasi
medis tertentu oleh Satgas Imunisasi Dewasa PAPDI Tahun 2017, penderita
penyakit paru kronik dapat diberikan imunisasi Influenza 1 dosis setiap tahun.
Penderita penyakit paru kronik yang berusia ≥ 50 tahun dapat diberikan vaksinasi
Pneumokokal Polisakarida (PPSV23) sebanyak 1 atau 2 dosis, dan penderita yang
berusia ≥ 60 tahun dapat diberikan vaksinasi Pneumokokal Konjugat 13-valent
(PCV13) 1 dosis.3,28 Vaksinasi Pneumokokal Polisakarida (PPSV23) juga
direkomendasikan untuk penderita PPOK yang berusia lebih muda dengan kondisi
komorbid yang bermakna, seperti penyakit jantung atau paru kronik.3

21
4.1.4 Terapi Oksigen

Penderita PPOK dapat mengalami hipoksemia progresif dan


berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi
oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel, baik di otot maupun organ-organ lainnya.9,20
Indikasi terapi oksigen jangka panjang penderita PPOK stabil adalah, 1) PaO2 ≤ 7,3
kPa (55 mmHg) atau SaO2 ≤ 88% dengan atau tanpa hiperkapnia yang
terkonfirmasi sebanyak dua kali dalam waktu 3 minggu, dan 2) PaO2 antara 7,3 kPa
(55mmHg) dan 8,0 kPa (60 mmHg), atau SaO2 ≤ 88%, jika terdapat bukti adanya
hipertensi pulmonal, udem perifer akibat gagal jantung kongestif, atau polisitemia
(hematokrit > 55%).3,20
Terapi oksigen dapat dilakukan di rumah atau di rumah sakit. Terapi oksigen
di rumah diberikan pada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas
kronik. Terapi oksigen jangka panjang di rumah pada keadaan stabil terutama
diberikan saat tidur atau sedang beraktivitas. Lama pemberian 15 jam/hari dengan
nasal kanul 1-2 liter/menit. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah
hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur, dan terapi oksigen saat aktivitas
bertujuan untuk menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan
aktivitas. Sebagai parameter, digunakan analisis gas darah atau pulse oximetry.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.9
Pemilihan alat bantu harus dilakukan secara hati-hati, disesuaikan dengan
tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut. Pemberian
oksigen yang terlalu tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar CO2. Bila
terdapat kenaikan PaCO2, dipilih sungkup non-rebreathing.9

22
Gambar 4.5 Alur Terapi Oksigen pada Pasien PPOK3

Perjalanan udara (air-travel) dapat menginduksi eksaserbasi hipoksemia


pada pasien dengan PaO2 ≤ 9,3 kPa.1 Walaupun perjalanan udara dinilai aman untuk
sebagian besar pasien dengan gagal nafas kronik yang mendapatkan LTOT, pasien
idealnya harus dapat mempertahankan in-flight PaO2 sekurang-kurangnya 6,7 kPa
(50mHg). Menurut penelitian, hal ini dapat dicapai oleh penderita hipoksemia
sedang hingga berat, yang berada pada level permukaan laut, dengan pemberian
oksigen 3 liter/menit menggunakan nasal kanul, atau 31% menggunakan venturi
facemask. Untuk penderita dengan saturasi oksigen saat istirahat > 95% dan saturasi
oksigen setelah 6 menit berjalan kaki > 84%, boleh melakukan perjalanan tanpa
assessment lebih lanjut.3

Tabel 4.7 Penentuan Kebutuhan Oksigen untuk Perjalanan Udara21

23
4.1.5 Ventilasi Mekanik
Non-Invasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) terkadang digunakan
oleh pasien PPOK sangat berat yang stabil. Pada pasien PPOK yang mengalami
obstructive sleep apnea, penggunaan Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
terbukti dapat meningkatkan survival rate dan menurunkan risiko rawatan.3

Tabel 4.8 Indikasi NIPPV untuk PPOK Berat yang Stabil22

Gejala Lelah, dispneu, nyeri kepala pagi hari

Kriteria fisiologis Salah satu dari dibawah ini:


 PaCO2 ≥ 55 mmHg
 PaCO2 50-54 mmHg dan desaturasi nokturnal (oksimeter ≤ 88%
selama 5 menit berturut-turut saat sedang mendapat terapi
oksigen ≥ 2 l/menit.
 PaCO2 50-54 mmHg dan riwayat rawatan yang berhubungan
dengan gagal nafas hiperkapnik rekuren ( ≥ 2 kali dalam setahun)

4.1.6 Terapi Endoskopi dan Pembedahan


Lung volume reduction surgery dapat lakukan pada pasien dengan emfisema
lobus atas, sedangkan untuk advanced emphysema dapat dilakukan bronchoscopic
lung volume reduction. Pada pasien dengan bulla yang besar dapat dilakukan
tindakan bullectomy. Untuk pasien dengan PPOK sangat berat dan tanpa
kontraindikasi yang relevan, tindakan transplantasi paru dapat dipertimbangkan.3

4.2 Terapi Farmakologi


Dahulunya, studi berpandangan bahwa FEV1 pada penderita PPOK
menurun seiring dengan berjalannya waktu. Namun, beberapa penelitian terkini
menunjukkan bahwa penurunan FEV1 pada penderita PPOK terjadi pada tahap
awal, yaitu pada GOLD stage 2 dan 3. Penurunan nilai FEV1 ini bahkan juga dapat
terjadi pada GOLD stage 1. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa
hilangnya fungsi paru yang berakibat pada menurunnya aliran udara ekspirasi
terjadi sangat cepat pada tahap awal PPOK. Oleh karena itu, pengobatan PPOK
sedini mungkin sangat penting dilakukan untuk menghindari perburukan
penyakit.11

24
Tabel 4.9 Obat-Obat yang Biasa Digunakan dalam Terapi PPOK3

Solution for Vials for Duration


Drug Inhaler (mcg) nebulizer oral injecton of action
(mg/ml) (mg) (hours)
Beta2-agonist
Short-acting
Fenoterol 100-200 (MDI) 1 2,5 mg (pill) 4-6
0,05% (syrup)
Levalbuterol 45-90 (MDI) 0,1 0,21 6-8
0,25 0,42
Salbutamol (albuterol) 90, 100, 200, (MDI & 1 2 2,5 5 2 4 5 mg (pill) 0,1 0,5 mg 4-6, 12
DPI) mg/ml 8mg (extended (extended
release tablet) release)
0,024%/0,4mg
(syrup)
Terbutaline 500 (DPI) 2,5 5 mg (pill) 0,2 0,25 1 4-6
mg
Long-acting
Arformoterol 0,0075 12
Formoterol 4,5-9 (DPI) 0,01 12
Indacaterol 75-300 (DPI) 24
Olodaterol 2,5. 5 (SMI) 24
Salmeterol 25-50 (MDI&DPI) 12
Anticholinergics
Short-acting
Ipratropium bromide 20, 40 (MDI) 0,2 6-8
Oxitropium bromide 100 (MDI) 7-9
Long-acting
Aclidinium bromide 400 (DPI), 400 (MDI) 12
Glycopyrronium bromide 15,6 & 50 (DPI) 1 mg (solution) 0,2 mg 12-24
Tiotropium 18 (DPI), 2,5 & 5 (SMI) 24
Umeclidinium 62,5 (DPI) 24
Combination of short-acting beta2-agonist plus anti cholinergic in one device
Fenoterol/ipratropium 50/20 (SMI) 1,25 0,5 mg 6-8
in 4ml
Salbutamol/ipratropium 100/20 (SMI), 75/15 0,5 2,5 mg 6-8
(MDI) in 3ml
Combination of long-acting beta2-agonist plus anticholinergic in one device
Formoterol/aclidinium 12/400 (DPI) 12
Formoterol/glycopyrronium 9,6/18 (MDI) 12
Indacaterol/glycopyrronium 27,5/15,6 & 110/50 (DPI) 12-24
Vilanterol/umeclidinium 25/62,5 (DPI) 24
Glycopyrrolate/Formoterol 4,8/9 (MDI) 24
Olodaterol/tiotropium 5/6 (SMI) 24
Methylxantines
Aminophyline 105 mg/ml 250, 500 Variable,
(solution) mg up to 24
Theophiline (SR) 100-600 mg 250, 400, Variable,
(pill) 500 mg up to 24
Combination of long-acting beta2-agonist plus corticosteroids in one
Formoterol/beclomethasone 6/100 (MDI)
Formoterol/budesonide 4,5/160 (MDI), 4,5 /80
(MDI). 9/320 (DPI),
9/160 (DPI)
Formoterol/mometasone 10/200, 10/400 (MDI)
Salmoterol/fluticasone 5/100, 50/250. 5/500
(DPI), 21/45, 21/115,
21/230 (MDI)
Vilanterol/fluticasone furoat 25/100 (DPI)
Phosphodiesterase-4 inhibitors
Roflumilast 500 mcg (pill)

25
Sebelumnya, pengobatan PPOK dilakukan secara bertahap, bergantung
pada tingkat keparahan penyakit yang dinilai melalui spirometri. Pada PPOK
ringan, terapi awal dilakukan dengan pemberian short-acting bronchodilators
apabila diperlukan. Ketika penyakit berlanjut dan fungsi paru menurun (stage II-
IV), diberikan terapi regular dengan penambahan satu atau lebih long-acting
bronchodilators, seperti Long-Acting Muscarinic Antagonist (LAMA; juga biasa
dikenal dengan long-acting anticholinergic) atau Long-Acting 𝛽2 Agonist
(LABA).12 Namun, dengan klasifikasi terbaru menurut GOLD, pasien
dikelompokan berdasarkan gejala dan riwayat eksaserbasi, sehingga terapi awal
dapat diberikan berdasarkan kategori tersebut.3,7,12

Gambar 4.6 Terapi Farmakologi Berdasarkan Kategori GOLD 20183

Pada panduan GOLD sebelumnya, rekomendasi terapi diberikan hanya


untuk terapi inisial. Namun, banyak di antara pasien PPOK yang telah mendapatkan
pengobatan mengalami gejala persisten setelah terapi inisial, atau beberapa gejala
membaik sehingga pengobatan yang dibutuhkan lebih sedikit. Oleh karena itu,
dibuat rekomendasi baru yang lebih luas pada GOLD 2018.3,7

26
Untuk semua pasien grup A sebaiknya diberikan terapi bronkodilator
berdasarkan efeknya terhadap sesak nafas, dapat berupa short-acting atau long-
acting bronchodilator. Sebaiknya dilanjutkan jika secara klinis memberikan
manfaat.3,7
Terapi inisial pada grup B terdiri dari long-acting bronchodilator. Long-
acting bronchodilator dinilai lebih unggul daripada short-acting bronchodilator,
yang dipakai apabila dibutuhkan. Pemilihan bronkodilator didasarkan pada persepsi
pasien terhadap perbaikan gejala yang dirasakan. Pasien yang mengalami sesak
persisten dengan monoterapi direkomendasikan menggunakan kombinasi dua
bronkodilator. Pasien dengan sesak nafas berat, terapi inisial menggunakan dua
bronkodilator dapat dipertimbangkan. Jika dengan penggunaan dua bronkodilator
tidak mengurangi gejala, pertimbangkan step down kembali menjadi monotorapi.
Pasien grup B biasanya memiliki penyakit penyerta yang harus diinvestigasi karena
dapat memperberat gejala dan mempengaruhi prognosis.3,7
Terapi inisial pada grup C terdiri dari long-acting bronchodilator tunggal.
LAMA lebih unggul dibandingkan LABA sehubungan dengan pencegahan
eksaserbasi. Oleh karena itu, direkomendasikan memulai terapi dengan LAMA
pada grup ini. Pasien dengan eksaserbasi persisten dapat diberikan tambahan long
acting bronchodilator (LABA/LAMA), atau kombinasi terapi LABA dan Inhaled
Corticosteroid (ICS). Karena ICS meningkatkan risiko pneumonia pada beberapa
pasien, maka pilihan utama adalah LABA/LAMA.3,7
Untuk pasien grup D, direkomendasikan memulai terapi dengan kombinasi
LABA/LAMA karena lebih unggul dibandingkan terapi bronkodilator tunggal atau
LABA/ICS dalam mencegah eksaserbasi. Pasien Grup D lebih rentan mengalami
pneumonia ketika menerima terapi dengan ICS. Pada pasien yang memiliki gejala
asma dan PPOK pada saat yang bersamaan, terapi inisial dengan LABA/ICS
mungkin menjadi pilihan utama. Jumlah eosinofil darah yang tinggi juga dapat
menjadi pertimbangan untuk mendukung penggunaan ICS walaupun hal ini masih
diperdebatkan.
Pasien gup D yang tetap eksaserbasi dengan LABA/LAMA, lakukan
peningkatan terapi menggunakan LABA/LAMA/ICS. Jika sudah diterapi dengan
LAMA/LABA/ICS tetap mengalami eksaserbasi, maka pertimbangkan

27
penambahan Roflumilast (PDE4-inhibitor). Penambahan Roflumilast ini
dipertimbangkan untuk pasien dengan FEV1<50% dan bronkitis kronik, khususnya
jika sekurang-kurangnya pernah dirawat di rumah sakit sebanyak satu kali pada
tahun sebelumnya. Pilihan lainnya adalah dengan menambahkan makrolid
(Azithromycin), atau menghentikan penggunaan ICS dengan pertimbangan
efektivitas dan adverse effect nya (termasuk pneumonia).3,7

4.2.1 Bronkodilator
Terapi bronkodilator merupakan terapi awal yang dapat diberikan pada
pasien PPOK untuk mengatasi dispneu dan meningkatkan exercise endurance.
Semua jenis bronkodilator bekerja dengan cara merelaksasi otot polos pada saluran
pernafasan, sehingga mempermudah pengosongan paru dan mengurangi air
trapping, yang akhirnya meringankan gejala sesak pada penderita.8,13
Untuk terapi bronkodilator, LABA/LAMA lebih dipilih dari SABA/SAMA
kecuali pada pasien yang sangat jarang sesak. Pasien dapat memulai terapi tunggal
long-acting bronchodilator atau kombinasi dua long-acting bronchodilator. Pada
pasien dengan sesak persisten, monoterapi sebaiknya tingkatkan menjadi dua
kombinasi terapi. Bronkodilator inhalasi lebih direkomendasikan daripada
bronkodilator oral. Terapi dengan teofilin tidak direkomendasikan kecuali terapi
jangka panjang dengan bronkodilator lain tidak tersedia.3

a. Golongan -2 Agonis


Golongan -2 agonis merupakan terapi fundamental dalam tatalaksana
PPOK. Stimulasi terhadap reseptor-reseptor beta adrenergik menyebabkan
perubahan Adenosin Trifosfat (ATP) menjadi cyclic-ATP sehingga timbul relaksasi
otot polos jalan nafas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Golongan -2
agonis terbagi atas short-acting (SABA) dan long-acting (LABA) -2 agonist. Efek
terapi SABA biasanya habis dalam 4-6 jam, sedangkan efek terapi LABA dapat
bertahan dalam 12 jam atau lebih. Efek samping adanya stimulasi reseptor β2
adrenergik dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan mempunyai
potensi untuk mencetuskan aritmia. Tremor somatik merupakan masalah pada
pasien lansia yang diobati obat golongan ini.3,8,15

28
b. Golongan Anti Kolinergik (Anti Muskarinik)
Obat yang termasuk golongan ini adalah ipratropium, oxitropium, dan
tiopropium bromide. Efek utamanya memblokade efek asetilkolin pada reseptor
muskarinik. Efek bronkodilator dari short-acting anticholinergic inhalasi lebih
lama dibanding SABA. Tiopropium memiliki waktu kerja lebih dari 24 jam. Aksi
kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki gejala dan
status kesehatan, serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal. Efek samping
utama obat antikolinergik adalah mulut kering. Beberapa pasien yang
menggunakan ipratropium mengecap sensasi pahit dan rasa logam pada lidah.3,8,15

c. Methyl Xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xanthine setara dengan -2 agonist inhalasi,
tetapi efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya (safety margin)
sempit. Toksisitas obat ini bergantung pada dosis yang digunakan. Hal ini menjadi
permasalahan khusus untuk mehyl xanthines sehubungan dengan therapeutic
window-nya yang sempit, sementara sebagian besar manfaat dari obat ini akan
didapatkan apabila dosis obat yang diberikan mendekati ambang toksisitas. Efek
samping lainnya adalah mual, muntah, dan sakit kepala. Pada konsentrasi obat yang
lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi, dan aritmia.3,8

4.2.2 Anti-Inflammatory Agents


Untuk terapi anti inflamasi, monoterapi jangka panjang dengan ICS tidak
direkomendasikan. Terapi jangka panjang dengan ICS dapat dipertimbangkan
sehubungan dengan penggunaannya bersama LABA untuk pasien dengan riwayat
eksaserbasi, walaupun terapi adekuat dengan LABA telah diberikan. Terapi jangka
panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
Pada penderita dengan eksaserbasi walaupun telah diberikan LABA/ICS
atau LABA/LAMA/ICS, bronkitis kronik, dan penderita dengan hambatan jalan
napas berat sampai sangat berat, penambahan inhibitor PDE-4 dapat
dipertimbangkan. Pada perokok / mantan perokok dengan eksaserbasi walaupun
telah mendapatkan terapi yang adekuat, pemberian makrolid dapat

29
dipertimbangkan. Statin tidak direkomendasikan untuk mencegah eksaserbasi.
Antioksidan dan mukolitik direkomendasikan hanya pada pasien tertentu.3

a. Kortikosteroid Inhalasi (ICS)


Terapi kombinasi antara ICS dan LABA dinilai lebih efektif untuk
meningkatkan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi, dibandingkan dengan
terapi tunggal. Namun, penggunaan obat ini secara rutin dapat meningkatkan risiko
pneumonia, terutama pada PPOK berat. Triple inhaled therapy ICS/LAMA/LABA
dapat memperbaiki gejala penyakit dan fungsi jantung, serta mengurangi
eksaserbasi pada pasien PPOK, jika dibandingkan dengan ICS/LABA atau
monoterapi LAMA.3

b. Glukokortikoid Oral
Penggunaan glukokortikoid oral dalam jangka waktu panjang menimbulkan
banyak efek samping, salah satunya miopati steroid, yang dapat menyebabkan
terjadinya kelemahan otot, penurunan fungsionalitas, dan kegagalan respirasi pada
pasien PPOK sangat berat. Glukokortikoid oral lebih banyak berperan dalam
manajemen PPOK eksaserbasi. Tidak ada bukti mengenai peran glukokortikoid oral
dalam terapi harian PPOK karena manfaat yang dapat diperoleh lebih sedikit
daripada komplikasi sistemik yang ditimbulkan.3

c. Inhibitor PDE4
Pada pasien dengan bronkitis kronik, PPOK berat - sangat berat, serta
riwayat eksaserbasi, inhibitor PDE4 dapat meningkatkan fungsi paru dan
mengurangi gejala eksaserbasi. Inhibitor PDE4 juga dapat meningkatkan fungsi
paru dan mengurangi gejala eksaserbasi pada pasien yang telah mendapatkan
kombinasi LABA/ICS dosis tetap. Efek samping inhibitor PDE4 ini adalah diare,
mual, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri abdomen, gangguan
tidur, dan nyeri kepala.3

30
d. Antibiotik
Terapi jangka panjang azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg, 3 kali
seminggu) dan erythromycin (500 mg, 2 kali sehari) dapat mengurangi kejadian
eksaserbasi dalam satu tahun. Namun, penggunaan azithromycin ini dihubungkan
dengan peningkatan insiden resistensi bakteri dan gangguan fungsi pendengaran.3

e. Mukolitik / Anti-Oksidan
Pada psien PPOK yang tidak mendapatkan terapi kortikosteroid inhalasi,
terapi reguler dengan mukolitik seperti N-acetylcysteine dan carbocysteine dapat
mengurangi risiko eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.3

4.2.3 Terapi Obat Lainnya


Pasien PPOK dengan defisiensi herediter berat alpha-1-antitrypsin dan
mengalami emfisema merupakan kandidat pemberian alpha-1-antitrypsin
augumentation therapy. Pemberian antitusif tidak direkomendasikan pada pasien
PPOK. Obat yang digunakan untuk mengobati hipertensi pulmonal primer tidak
direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dengan hipertensi pulmonal
sekunder akibat PPOK. Long acting opioid oral dan parenteral dosis rendah dapat
dipertimbangkan untuk mengobati sesak pada pasien PPOK dengan penyakit berat.3

31

Anda mungkin juga menyukai