Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

CHRONIC KIDNEY DISEASE DENGAN ALO + HD


DI RUANG HD
RSU SAIFUL ANWAR MALANG

OLEH :
NORMALITA DWI PUSPITA SARI
(1501470016)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI D-IV KEPERAWATAN LAWANG
September 2017
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan medical bedah di ruang HD RSU Saiful
Anwar Malang oleh mahasiswa Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang Program Studi D- IV
Lawang.

Nama : Normalita Dwi Puspita Sari

NIM : 1501470016

Telah di periksa dan disahkan oleh

Pasuruan , September 2017


Mahasiswi

Normalita Dwi Puspita Sari

1501470016

Pembimbing Lahan Pembimbing Akademi

Kepala Ruangan
CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
A. DEFINISI
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen
lain dalam darah). CKD merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,
biasanya berlangsung beberapa tahun (Brunner & Suddarth, 2002).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten dan
irreversible (Mansjoer, dkk, 2009).
Gagal ginjal kronik merupakan penyakit ginjal tahap akhir yang progresif dan irreversible
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan
cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (Smeltzer dan Bare, 2009).

Chronic kidney disease (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau penurunan
GFR <60 ml/menit/1.73m2 selama ≥3 bulan. Kerusakan ginjal yang dimaksud adalah adanya
abnormalitas patologis atau adanya marker kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas pada
pemeriksaan darah, urine, atau imaging.
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada
tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal (Chonchol, 2005)
B. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Penyebab GGK menurut Price & Wilson (2006) dibagi menjadi delapan kelas, antara
lain:
1. Infeksi misalnya pielonefritis kronik
2. Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
3. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis
maligna, stenosis arteria renalis
4. Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodosa, sklerosis sistemik progresif
5. Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik, asidosis
tubulus ginjal
6. Penyakit metabolik misalnya DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis
7. Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik, nefropati timbal
8. Nefropati obstruktif

Faktor predisposisi:
1) Diabetes
2) Usia lebih dari 60 tahun
3) Penyakit ginjal congenital
4) Riwayat keluarga penyakit ginjal
5) Autoimmune (lupus erythematosus
6) Obstruksi renal (BPH dan prostitis)
7) Ras
Faktor presipitasi:
1) Paparan toksin dan beberapa medikasi yang berlebih
2) Gaya hidup (hipertensi, atherosclerosis)
3) Pola makan (diet)
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi CKD berdasarkan Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) pada
tahun 2002 yaitu:

Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test) dapat
digunakan rumus :
Clearance creatinin (ml/ menit) = (140-umur ) x berat badan (kg)
72 x creatinin serum
*) Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

a. Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 CKD biasanya belum merasakan gejala
yang mengindikasikan kerusakan pada ginjal. Hal ini disebabkan ginjal tetap
berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi 100% sehingga banyak
penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun hal
tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya
seperti diabetes dan hipertensi.
b. Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, seseorang yang berada pada stadium 2 juga
tidak merasakan gejala karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik, walaupun
dengan GFR yang mulai menurun.
c. Stadium 3
Seseorang yang menderita CKD stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat
yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. Dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa–
sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium
ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan
pada tulang.
d. Stadium
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15–30% saja dan apabila seseorang
berada pada stadium ini sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani
terapi pengganti ginjal/dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi
penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini.
Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi
(hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit
kardiovaskular lainnya.
e. Stadium
Pada stadium ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.

Gambar 1. Tingkatan Gagal Ginjal Kronis


D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada klien dengan CKD dapat mengenai
semua sistem diantaranya yaitu:
a. Gangguan pada sistem Gastrointestinal
 Anoreksia, nausea dan vomitus, berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein didalam usus, terbentuknya zat –zat toksik akibat metabolisme bakteri
usus seperti amonia dan metal guanidine, serta sembabnya mukosa usus.
 Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh
bakteri di mulut menjadi amonia sehingga napas berbau amonia. Akibat yang
lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis.
 Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui.
 Gastritis erosif, ulkus peptik, dan kolitis uremik.
b. Kulit
 Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan
urokrom, gatal-gatal dengan ekskoriasi akibat toksin uremik dan pengendapan
kalsium di pori-pori kulit.
 Ekimosis akibat gangguan hematologis.
 Urea fros, akibat kristalisasi urea yang ada pada keringat, (jarang dijumpai)
 Bekas-bekas garukan karena gatal.
c. Sistem Hematologi
 Anemia dapat disebabkan berbagai faktor antara lain:
o Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada
sumsum tulang menurun.
o Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia
toksik.
o Defisisensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan yang
berkurang.
o Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit.
o Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatirodisme sekunder.
 Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia
Mengakibatkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang
berkurang serta menurunnya faktor trombosit III dan ADP (adenosin difosfat)
 Gangguan fungsi leukosit.
Fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit menurun sehingga
imunitas juga menurun.
d. Sistem saraf dan otot
 Restless leg syndrome
Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan.
 Burning feat syndrome
Rasa semutan dan seperti terbakar, terutama di telapak kaki.
 Ensefalopati metabolic
Lemah , tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus,
kejang.
 Miopati
e. Kelemahan dan hipotrofi otot-otot terutama otot-otot ekstermitas proksimal. Sistem
Kardiovaskular
 Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau peningkatan aktivitas
sistem renin-angiotensin-aldosteron.
 Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi perikardial, penyakit
jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat
penimbunan cairan hipertensi.
 Gangguan irama jantung akibat elektrolit dan klasifikasi metafisik.
 Edema akibat penimbunan cairan.
f. Sistem endokrin
 Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki akibat
produksi testoteron dan spermatogenesis yang menurun. Sebab yang lain juga
dihubungkan dengan metabolik tertentu (seng, hormon paratiroid). Pada wanita
timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenorea.
 Gangguan metabolisme glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens keratinin < 15 mL/ menit), terjadi
penurunan klirens metabolik insulin menyebabkan waktu paruh hormon aktif
memanjang. Keadaan ini dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa
darah akan berkurang.
 Gangguan metabolisme lemak.
 Gangguan metabolisme vitamin D
g. Gangguan sistem lain
 Tulang: osteodistrofi renal,yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa, osteoklerosis,
dan klasifikasi metastatik.
 Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai hasil
metabolisme.
 Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia.
E. PATOFISIOLOGI
Penurunan GFR dapat dideteksi dengan mendapatkan urin 24 jam untuk
pemeriksaan klirens kreatinin. Akibat dari penurunan GFR, maka klirens kretinin akan
menurun, kreatinin akan meningkat, dan nitrogen urea darah (BUN) juga akan
meningkat.
Gangguan klirens renal. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai
akibat dari penurunan jumlah glumeruli yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan
klirens (substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal).
Dari salah satu fungsi ginjal yaitu mengendalikan kadar gula dalam darah yaitu
ada dua hormon yang berperan di ginjal untuk mengendalikan kadar gula dalam darah
yaitu hormon insulin dan hormon adrenalin, hormon insulin berfungsi sebagai penurun
kadar gula dalam darah sedangkan hormon adrenlin sebagai peningkatan gula dalam
darah. Ketika ginjal mengalami gangguan, dua hormon tersebut tidak dapat bekerja
seperti fungsinya masing-masing, etika gagal ginjal terjadi seseorang resiko terhadap
komplikasi hipoglikemi.
Gejala dari gagal ginjal yang mengalami hipoglikemi adalah mual muntah, ketika
ginjal mengalami gangguan menyebabkan sekresi protein terganggu sehingga terjadi
sindrome uremia, dan menjadi gangguan keseimbangan asam basa sehingga produksi
asam meningkat menyebabkan asam lambung naik terjadi iritasi lambung dan mual
muntah.
Tidak adanya asupan nutrisi kedalam tubuh juga merupakan salah satu
penyebab dari hipogikemi, karena asupan glukosa di dalam darah tidak terpenuhi, bagi
penderita gagal ginjal akan semakin mempersulit ketika asupan nutrisi yang kandungan
di dalamnya adalah glukosa tidak dapat difungsikan oleh ginjal untuk mengeluarkan
hormon adrenalin untuk merangsang peningkatan kadar glukosa di dalam darah.
Hipoglikemia harus segera mendapat pengelolaan yang memadai. Di berikan
makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula
berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intravena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon deberikan pada pasien
hipoglikemia berat. Untuk menghindari timbulnya hipoglikemia pada pasien perlu
diajarkan bagaimana menyesuaikan penyuntikan insulin dengan waktu dan jumlah
makanan (karbohidrat)
Retensi cairan dan natrium. Ginjal kehilangan kemampuan untuk
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal. Terjadi penahanan cairan
dan natrium; meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan
hipertensi.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adequate,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk terjadi
perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran GI.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat. Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh
memiliki hubungan yang saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, yang lain
akan turun. Dengan menurunnya GFR, maka terjadi peningkatan kadar fosfat serum dan
sebaliknya penurunan kadar kalsium.
Penurunan kadar kalsium ini akan memicu sekresi paratormon, namun dalam
kondisi gagal ginjal, tubuh tidak berespon terhadap peningkatan sekresi parathormon,
akibatnya kalsium di tulang menurun menyebabkab perubahan pada tulang dan
penyakit tulang.
Penyakit tulang uremik (osteodistrofi). Terjadi dari perubahan kompleks kalsium,
fosfat, dan keseimbangan parathormon.( Smeltzer dan Bare, 2009).
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium yang umumnya dianggap menunjang, kemungkinan
adanya suatu Gagal Ginjal Kronik :
a. Laju Endap Darah : Meninggi yang diperberat oleh adanya anemia, dan
hipoalbuminemia.
b. Anemia normositer normokrom, dan jumlah retikulosit yang rendah.
c. Ureum dan kreatinin : Meninggi, biasanya perbandingan antara ureum dan
kreatinin lebih kurang 20 : 1. Ingat perbandingan bisa meninggi oleh karena
perdarahan saluran cerna, demam, luka bakar luas, pengobatan steroid, dan
obstruksi saluran kemih.
d. Perbandingan ini berkurang : Ureum lebih kecil dari Kreatinin, pada diet rendah
protein, dan Tes Klirens Kreatinin yang menurun.
e. Hiponatremi : umumnya karena kelebihan cairan.
f. Hiperkalemia : biasanya terjadi pada gagal ginjal lanjut bersama dengan
menurunnya diuresis.
g. Hipokalsemia dan Hiperfosfatemia : terjadi karena berkurangnya sintesis 1,24
(OH)2 vit D3 pada GGK.
h. Fosfatase lindi meninggi akibat gangguan metabolisme tulang, terutama
Isoenzim fosfatase lindi tulang.
i. Hipoalbuminemis dan Hipokolesterolemia; umumnya disebabkan gangguan
metabolisme dan diet rendah protein.
j. Peninggian Gula Darah , akibat gangguan metabolisme karbohidrat pada gagal
ginjal, (resistensi terhadap pengaruh insulin pada jaringan ferifer)
k. Hipertrigliserida, akibat gangguan metabolisme lemak, disebabkan, peninggian
hiormon inslin, hormon somatotropik dan menurunnya lipoprotein lipase.
l. Asidosis metabolik dengan kompensasi respirasi menunjukan pH yang
menurun, BE yang menurun, HCO3 yang menurun, PCO2 yang menurun,
semuanya disebabkan retensi asam-asam organik pada gagal ginjal.
2. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia,
gangguan elektrolit (hiperkalemia, hipokalsemia). Kemungkinan abnormal
menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
3. Ultrasonografi (USG)
Untuk mencari adanya faktor yang reversibel seperti obstruksi oleh karena batu
atau massa tumor, dan untuk menilai apakah proses sudah lanjut.
4. Foto Polos Abdomen
Sebaiknya tanpa puasa, karena dehidrasi akan memperburuk fungsi ginjal. Menilai
bentuk dan besar ginjal dan apakah ada batu atau obstruksi lain.
5. Pieolografi Intra-Vena (PIV)
Dapat dilakukan dengan cara intravenous infusion pyelography, untuk menilai
sistem pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan Pielografi Retrograd
Dilakukan bila dicurigai ada obstruksi yang reversibel.
7. Pemeriksaan Foto Dada
Dapat terlihat tanda-tanda bendungan paru akibat kelebihan air (fluid overload),
efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikadial.
G. PENATALAKSANAAN
a) Konservatif
Diet TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
Protein dibatasi karena urea, asam urat dan asam organik merupakan hasil
pemecahan protein yang akan menumpuk secara cepat dalam darah jika terdapat
gangguan pada klirens renal. Protein yang dikonsumsi harus bernilai biologis
(produk susu, telur, daging) di mana makanan tersebut dapat mensuplai asam
amino untuk perbaikan dan pertumbuhan sel. Biasanya cairan diperbolehkan 300-
600 ml/24 jam. Kalori untuk mencegah kelemahan dari Karbohidrat dan lemak.
Pemberian vitamin juga penting karena pasien dialisis mungkin kehilangan vitamin
larut air melalui darah sewaktu dialisa.
b) Simptomatik
1. Hipertensi ditangani dengan medikasi antihipertensi kontrol volume
intravaskuler. Gagal jantung kongestif dan edema pulmoner perlu pembatasan
cairan, diit rendah natrium, diuretik, digitalis atau dobutamine dan dialisis.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya tanpa gejala dan tidak perlu
penanganan, namun suplemen natrium bikarbonat pada dialisis mungkin
diperlukan untuk mengoreksi asidosis.
2. Anemia
Penatalaksanaan anemia dengan rekombinan erythropoiesis-stimulating
agents (ESAs) dapat memperbaiki kondisi pasien CKD dengan anemia secara
signifikan. ESAs harus diberikan untuk mencapai dan mempertahankan
konsentrasi hemoglobin 11.0 sampai 12.0 gr/dL. Pasien juga harus menerima
suplemen zat besi selama menerima terapi ESA karena erythropoiesis yang
diinduksi secara farmakologis dibatasi oleh supply zat besi, ditunjukkan dengan
kebutuhan ESA yang lebih sedikit setelah pasien menerima suplemen zat besi.
Selain itu, karena tubuh membentuk banyak sel darah merah, tubuh juga
memerlukan banyak zat besi sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi. Serum
ferritin dan persen transferrin saturation mengalami penurunan setelah 1
minggu terapi ESA pada pasien dengan CKD yang menerima dialysis. Karena
pasien CKD mengalami gangguan metabolism zat besi, serum ferritin dan
persen transferrin saturation harus dipertahankan lebih tinggi daripada individu
normal. Maintenance serum ferritin yang disarankan yaitu ≥200 ng/mL, dan
persen transferrin saturation ≥20%. Sebagian besar pasien CKD membutuhkan
suplementasi zat besi parenteral untuk mencapai kadar zat besi yang
disarankan.
c) Terapi Pengganti
1. Transplantasi Ginjal
Transplantasi ginjal adalah terapi yang paling ideal mengatasi gagal ginjal
karena menghasilkan rehabilitasi yang lebih baik disbanding dialysis kronik
dan menimbulkan perasaan sehat seperti orang normal. Transplantasi ginjal
merupakan prosedur menempatkan ginjal yang sehat berasal dari orang lain
kedalam tubuh pasien gagal ginjal. Ginjal yang baru mengambil alih fungsi
kedua ginjal yang telah mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya.
Seorang ahli bedah menempatkan ginjal yang baru (donor) pada sisi
abdomen bawah dan menghubungkan arteri dan vena renalis dengan ginjal
yang baru. Darah mengalir melalui ginjal yang baru yang akan membuat urin
seperti ginjal saat masih sehat atau berfungsi. Ginjal yang dicangkokkan
berasal dari dua sumber, yaitu donor hidup atau donor yang baru saja
meninggal (donor kadaver).
2. Cuci Darah (dialisis)
Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi
secara pasif melalui suatu membran berpori dari satu kompartemen cair
menuju kompartemen cair lainnya. Hemodialisis dan dialysis merupakan dua
teknik utama yang digunakan dalam dialysis, dan prinsip dasar kedua teknik
itu sama, difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisis sebagai respons
terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
a. Dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan atau CAPD
Dialisis peritoneal adalah metode cuci darah dengan bantuan membran
selaput rongga perut (peritoneum), sehingga darah tidak perlu lagi
dikeluarkan dari tubuh untuk dibersihkan seperti yang terjadi pada mesin
dialisis. CAPD merupakan suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi
rendah sehingga perlu diperhatikan kondisi pasien terhadap kerentanan
perubahan cairan (seperti pasien diabetes dan kardiovaskular).
b. Hemodialisis klinis di rumah sakit
Cara yang umum dilakukan untuk menangani gagal ginjal di Indonesia
adalah dengan menggunakan mesin cuci darah (dialiser) yang berfungsi
sebagai ginjal buatan.
H. KOMPLIKASI CKD
Seperti penyakit kronis dan lama lainnya, penderita CKD akan mengalami
beberapa komplikasi. Komplikasi dari CKD menurut Smeltzer dan Bare (2001) serta
Suwitra (2006) antara lain adalah :
1. Hiper kalemi akibat penurunan sekresi asidosis metabolik, kata bolisme, dan
masukan diit berlebih.
2. Prikarditis, efusi perikardial, dan tamponad jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin
angiotensin aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoitin.
5. Penyakit tulang serta klasifikasi metabolik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum
yang rendah, metabolisme vitamin D yang abnormal dan peningkatan kadar
alumunium akibat peningkatan nitrogen dan ion anorganik
6. Uremia akibat peningkatan kadar uream dalam tubuh.
7. Gagal jantung akibat peningkatan kerja jantung yang berlebihan
8. Edema paru terjadi akibat penimbunancairan serosa atau serosanguinosa yang
berlebihan di ruang interstisial dan alveolus paru-paru. Hal ini timbul karena ginjal
tidak dapat mensekresi urin dan garam dalam jumlah cukup.
9. Malnutrisi karena anoreksia, mual, dan muntah.
10. Hiperparatiroid, Hiperkalemia, dan Hiperfosfatemia.
LUNG OEDEMA

A. DEFINISI
 Edema paru akut adalah keadaan patologi dimana cairan intravaskuler keluar ke ruang
ekstravaskuler, jaringan interstisial dan alveoli yang terjadi secara akut. Pada keadaan
normal cairan intravaskuler merembes ke jaringan interstisial melalui kapiler endotelium
dalam jumlah yang sedikit sekali, kemudian cairan ini akan mengalir ke pembuluh limfe
menuju ke vena pulmonalis untuk kembali ke dalam sirkulasi (Flick, 2000; Hollenberg,
2003).
 Acute Lung Odema (ALO) atau edema paru akut adalah terjadinya penumpukan cairan
secara massif di rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan
respirasi dan ancaman gagal nafas (Gumiwang, 2007).
 Edema paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadi
secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem
paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non
kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga
terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia
(Harun dan Sally, 2009)

B. ETIOLOGI
a. Ketidakseimbangan Starling Forces
1) Peningkatan tekanan kapiler paru
Etiologi dari keadaan ini antara lain:
 Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
 Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel
kiri.
 Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
2) Penurunan tekanan onkotik plasma
 Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing
enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi. hipoalbuminemia saja
tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler
paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan
menyebabkan edema paru.
3) Peningkatan tekanan negatif intersisial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural, contoh
yang sering menjadi etiologi adalah:
 Pengambilan terlalu cepat pneumotoraks atau efusi pleura (unilateral).
 Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
4) Peningkatan tekanan onkotik intersisial
 Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
b. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress
Syndrome)
Keadaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan
alveolar. Cukup banyak kondisi medis maupun surgical tertentu yang berhubungan
dengan edema paru akibat kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan
Starling Force.
1) Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
2) Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
3) Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl
thiourea).
4) Aspirasi asam lambung.
5) Pneumonitis radiasi akut.
6) Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
7) Disseminated Intravascular Coagulation.
8) Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
9) Shock lung oleh karena trauma di luar toraks.
10) Pankreatitis perdarahan akut.
c. Insufisiensi Limfatik
1) Post Lung Transplant
2) Lymphangitic Carcinomatosis
3) Fibrosing Lymphangitis (silicosis)
d. Tak diketahui/tak jelas
1) High Altitude Pulmonary Edema
2) Neurogenic Pulmonary Edema
3) Narcotic overdose
4) Pulmonary embolism
5) Eclampsia
6) Post Cardioversion.
7) Post Anesthesia
8) Post Cardiopulmonary Bypass.
(Harun & Sally, 2009)

FAKTOR RISIKO
Penyebab paling umum dari edema paru adalah gagal jantung. Tapi tidak setiap kasus
adalah karena masalah jantung. Beberapa faktor risiko edema paru meliputi:
 Tekanan darah tinggi
 Diabetes
 Penyakit jantung koroner atau katup
 Kegemukan
 Cedera sistem saraf
 Infeksi

C. KLASIFIKASI
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-
kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru
Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Tetapi dengan
adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Cronic
1. Edema paru kardiogenik
Yaitu edema paru yang disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
 Penyakit pada arteri koronaria
Arteri yang menyuplai darah untuk jantung dapat menyempit karena adanya deposit
lemak (plaques).
 Kardiomiopati
Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi lemah sehingga tidak mampu
mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung memompa darah lebih berat
pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu mengkompensasi beban
tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang akan mengakibatkan
cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
 Gangguan katup jantung
Pada kasus gangguan katup mitral atau aorta, katup yang berfungsi untuk mengatur
aliran darah tidak mampu membuka secara adekuat (stenosis) atau tidak mampu
menutup dengan sempurna (insufisiensi). Hal ini menyebabkan darah mengalir kembali
melalui katub menuju paru-paru.
 Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel
kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
(Harun dan Sally, 2009).
2. Edema paru non kardiogenik
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu
sendiri. Edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh
darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial
paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena
membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein
plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak
adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif
mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana terjadi
cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan
cairan alveolar (Lorraine et al, 2005).
3. PATOFISIOLOGI
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui
celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke ruang
alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini
disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan
memasuki ruang intertisial, cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang
kemudian dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam
jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar
dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dihasilkan
sebagian oleh gradient tekanan onkotik protein.
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan
tekanan hidrostatik yang cepat dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan filtrasi cairan
transvascular. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan
dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri (LVED) dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (18 –
25 mmHG) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang ruang intersisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih ti nggi (>25) maka cairan
edema akan menembus epitel paru,membanjiri alveolus. Kejadian tersebut akan
menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut :
- Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan
oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
- Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal
sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan
melalui mekanime interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel
kiri.
- Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung
Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostati k maka
sebaliknya, edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam
intersisial paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein
tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeable untuk dilewati oleh protein plasma.
Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan antara kecepatan filtrasi cairan ke
dalam paru dan kecepatan cairan tersebut dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.
4. MANIFESTASI KLINIS
 Serangan khas terjadi pada malam hari setelah berbaring selama beberapa jam dan
biasanya di dahului dengan rasa gelisah, ansictas dan tidak dapat tidur.
 Awitan sesak nafas mendadak dan rasa akfiksia (seperti kebiasaan nafas) tangan menjadi
dingin dan basah, bantalan kuku menjadi sianotik dan warna kulit menjadi abu-abu.
 Nadi cepat dan lemah, vena leher distensi
 Batuk hebat menyebabkan peningkatan jumlah sputum mokoid.
 Dengan makin berkembangnya edema paru, ansietas berkembang menjadi mendekati,
pasien muali bingung, kemudian stopor.
 Nafas menjadi bising dan basah (dapat tenggelam oleh cairan sendiri)
 Heomamptec (batuk darah)
 Ronchi
+ +
+ +
+
 Tekanan darah menurun
 Takhikardi
Cara membedakan ALO kardiogenik dan ALO non kardiogenik
ALO kardiogenik ALO non kardiogenik
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang
Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow meter)
S3 gallop/kardiomegali (+) Nadi kuat
(-)
Tak meningkat
JVP Meningkat Kering
Ronki Basah Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
Keterangan:
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure
(Harun dan Nasution,2006)
5. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pengobatan pada penyakit edema paru di arahkan terhadap penyakit primer yang
menyebabkan terjadinya edema paru tersebut disertai pengobatan suportif terutama
mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi hemodinamik sehingga diharapkan
mekanisme kompensasi tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi gagal multiorgan.
Pemberian oksigen sering berguna untuk meringankan dan menghilangkan rasa nyeri
dada dan bila memungkinkan dapat dicapai paling baik dengan memberikan tekanan positif
terputus-putus.
Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan menurunkan tekanan arteri
pulmonal berarti dapat membantu mengurangi kebocoran kapiler paru. Caranya ialah dengan
retriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator pulmonal (nitric oxide/NO). Pada
prinsipnya penatalaksanaan yang penting yaitu mempertahankan keseimbangan yang optimal
antara tekanan pulmoner yang rendah untuk mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan
darah yang adekuat untuk mempertahankan perfusi jaringan dan transport oksigen yang
optimal.
Apabila sudah ditemukan gagal ginjal, dilakukan perawatan konservatif berupa diet
rendah protein. Apabila gagal ginjal sudah lanjut, diperlukan dialysis bahkan transplantasi ginjal.
HEMODIALISA

A. DEFINISI
Hemodialysis adalah bentuk dialysis yang menggunakan mesin (alat dialysis ginjal)
untuk membuang kelebihan cairan, bahan kimia dan produk sisa dari darah. (Litin, 2009)
Hemodialysis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut, gagal ginjal
kronis, dan gagal ginjal terminal melalui mesin. Hemodialysis termasuk jenis membrane dialysis
selain cangkok ginjal. Kelebihan dengan hemodialysis adalah pasien hanya datang ke rumah
sakit minimal 2 kali perminggu sedangkan cangkok ginjal hanya dapat digantikan dengan ginjal
asli yang diberikan oleh donor ginjal. (Rizal, 2011)
Terapi hemodialisa adalah suatu teknologi tingkat tinggi sebagai terapi pengganti untuk
mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti
air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membrane
semi permeable sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi
proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hemodialisa adalah suatu
terapi pengganti ginjal yang menggunakan mesin ginjal buatan untuk mengeluarkan cairan dan
produk limbah dalam tubuh kita, dimana menggantikan ginjal yang sudah tidak dapat berfungsi
dengan baik lagi.
B. TUJUAN
Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik dari darah dan
mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksik
dan sisa nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dialiser tempat darah tersebut di bersihkan dan
kemudian di kembalikan lagi ke tubuh pasien.
1. Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah dan bagian
cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam kompartemen
dialisat.
3. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
4. Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

C. INDIKASI
1. Gagal ginjal akut
2. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit
3. Kalium serum lebih dari 6 mEq/l
4. Ureum lebih dari 200 mg/dl
5. PH darah kurang dari 7,1
6. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari
7. Intoksikasi obat dan zat kimia
8. Sindrom Hepatorenal

D. PRINSIP KERJA
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu: difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
 Toksin dan zat limbah di keluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah
yang memilki konsentrasi tinggi ke cairan yang konsentrasi rendah.
 Air yang berlebihan akan di keluarkan dari tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air
dapat di kendalaikan dengan menciptakan gradien tekanan dengan kata lain, air bergerak
dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang loebih rendah
(cairan dialisat).gradien ini dapat di tingkatkan meleui tekanan negatif yang di kenal dengan
ultrafiltrasi. Tekanan negatif ini di terapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada
membran dan memfasilitasi pengeluran air karena pasien tidak dapat mengekresikan ari
kekuatan ini di perlukan untuk mengeluarkan cairan hingga tercapai
isovolemia(keseimbangan cairan).

E. PROSES HEMODIALISA
Mekanisme proses pada mesin hemodialisa, darah dipompa dari tubuh masuk
kedalam mesin dialysis lalu dibersihkan pada dialyzer (ginjal buatan), lalu darah pasien yang
sudah bersih dipompakan kembali ke tubuh pasien.
Mesin dialysis yang paling baru telah dilengkapi oleh system komputerisasi dan secara
terus menerus memonitor array safty-critical parameter, mencangkup laju alir darah dan
dialysate, tekanan darah, tingkat detak jantung, daya konduksi, pH dan lain-lain. Bila ada yang
tidak normal, alarm akan berbunyi. Dalam hemodialysis memerlukan akses vascular (pembuluh
darah) hemodialysis (AVH) yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah yang cukup
besar, yaitu diperlukan kecepatan darah sebesar 200 – 300 ml/menit secara kontinyu selama
hemodialysis 4 – 5 jam.
AVH dapat berupa kateter yang dipasang di pembuluh darah vena di leher atau paha
yang bersifat temporer. Untuk yang peramanen dibuat hubungan antara arteri dan vena,
biasanya di lengan bawah disebut arteriovenous fistula, lebih populer bila disebut (brescia)
cimino fistula. Kemudian darah dari tubuh pasien masuk ke dalam sirkulasi darah mesin
hemodialysis yang terdiri dari selang inlet/arterial (ke mesin) dan selang outlet/venous (dari
mesin ke tubuh), kedua ujungnya disambung ke jarum dan kanula yang ditusuk ke pembuluh
darah pasien. Darah setelah melalui selang inlet masuk ke dialisar. Jumlah darah yang
menempati sirkulasi darah di mesin berkisar 200 ml. Dalam dialiser darah dibersihkan, sampah-
sampah secara kontinyu menembus membrane dan menyeberang ke kompartemen dialisat, di
pihak lain cairan dialisat mengalir dalam mesin hemodialysis dengan kecepatan 500 ml/menit
masuk ke dalam dialiser pada kompartemen dialisat. Cairan dialisat merupakan cairan yang
pekat dengan bahan utama elektrolit dan glukosa, cairan ini dipompa masuk ke mesin sambil
dicampur dengan air bersih yang telah mengalami proses pembersihan yang rumit (water
treatment). Selama proses hemodialysis, darah pasien diberi heparin agar tidak membeku bila
berada di luar tubuh yaitu dalam sirkulasi darah mesin.
Prinsip hemodialysis sama seperti metoda dialysis. Melibatkan difusi zat terlarut ke
sembarang suatu selaput semipermeable. Prinsip pemisahan menggunakan membran ini terjadi
pada dialyzer. Darah yang mengandung sisa-sisa metabolisme dengan konsentrasi yang tinggi
dilewatkan pada membrane semipermeable yang terdapat dalam dialyzer, dimana dalam
dialyzer tersebut dialirkan dialysate dengan arah yang berlawanan (counter current).
Driving force yang digunakan adalah perbedaan konsentrasi zat yang terlarut berupa
racun seperti partikel-parttikel kecil, seperti urea, kalium, asam urea, fosfat dan kelebihan
khlorida pada darah dan dialysate. Semakin besar konsentrasi racun tersebut di dalam darah
dan dialisat maka proses difusi semakin cepat. Berlawanan dengan peritoneal dialysis, dimana
pengangkutan adalah antar kompartemen cairan yang statis, hemodialysis bersandar pada
pengangkutan konvektif dan menggunakan konter mengalir, dimana bila dialysate mengalir ke
dalam berlawanan arah dengan mengalir axtracorporeal sirkuit. Metode ini dapat meningkatkan
efektifitas dialysis.
Dialysate yang digunakan adalah larutan ion mineral yang sudah disterilkan, urea dan
sisa metabolisme lainnya, seperti kalium dan fosfat, berdifusi ke dalam dialysate. Selain itu
untuk memisahkan yang terlarut dalam darah digunakan prinsip ultrafiltrasi. Driving force yang
digunakan pada ultrafiltrasi ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik antara darah dan dialyzer.
Tekanan darah yang lebih tinggi dari dialyzer memaksa air melewati membrane. Jika tekanan
dari dialyzer diturunkan maka kecepatan ultrafiltrasi air dan darah akan meningkat.
Jika kedua proses ini digabungkan, maka akan didapatkan darah yang bersih setelah
dilewatkan melalui dialyzer. Prinsip inilah yang digunakan pada mesin hemodialysis modern,
sehingga keefektifannnya dalam menggantikan peran ginjal sangat tinggi. (Rizal, 2011).
F. PENATALAKSANAAN PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS JANGKA PANJANG
 Diet dan massalah cairan
Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis mengingat
adanya efek uremia. Apabila ginajal yang rusak tidak mampu mengekresikan produk
akhir metabolisme, subtansi yang bersifat asam ini akan menumpuk dalam serum
pasien dan bekerja sebagai racun atau toksin yang di kenal dengan gejala uremik.
 Pertimbangan medikasi
Banyak obat yang dieksresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang
memerlukan obat-obatan harus di pantau dengan ketat untuk memastikan agar kadar
obat-oabatan dalam darah dan jaringan dapat di pertahankan tanpa menimbulkan
akumulasi toksik.

G. KOMPLIKASI
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:
1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.
2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi
darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul
sebagai serangan kejang.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat meningglkan ruang
ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CKD

A. PENGKAJIAN
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada
Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1. Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami
CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses pengobatan,
penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan
lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena
kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak
menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan
yang tidak sehat.
2. Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,glomerulonefri tis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius bagian
bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3. Pengkajian pola fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah.
Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah
pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini
meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b. Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6
bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
c. Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah
atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.

d. Aktifitas dan latian.


Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat
menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e. Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya
adalah pasien terliat sering menguap.
f. Pola persepsi dan kognitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran
seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g. Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai terjadinya
HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas.
h. Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam
hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan
kualitas hubungan.
i. Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri
jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.
j. Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat,
mudah terpancing emosi.
k. Pola kepercayaan
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan
perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti
biasanya.
4. Pengkajian fisik
a. Penampilan / keadaan umum
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b. Tanda-tanda vital.
TD naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c. Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi
peningkatan berat badan karena kelebian cairan.
d. Kepala
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung kotor
dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa
mulut pucat dan lidah kotor.
e. Leher dan tenggorok : peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f. Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu napas,
pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah),
terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g. Abdomen : terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h. Genital : kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i. Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan
Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j. Kulit : turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan
terjadi perikarditis.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialysis.
2. Pola nafas tidak efektif b.d edema paru, asidosis metabolic, pneumonitis, perikarditis
3. Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluan urin, retensi cairan dan natrium.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang
inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
5. Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive
6. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b.d kurangnya informasi
kesehatan.
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan/KH Intervensi


1 Intoleransi aktivitas
Setelah dilakukan askep NIC: Toleransi aktivitas
b.d ... jam Klien dapat 1. Tentukan penyebab intoleransi
ketidakseimbangan menoleransi aktivitas & aktivitas & tentukan apakah
suplai & kebutuhan melakukan ADL dgn baik penyebab dari fisik, psikis/motivasi
O2 Kriteria Hasil: 2. Kaji kesesuaian aktivitas&istirahat
 Berpartisipasi dalam klien sehari-hari
aktivitas fisik dgn TD, 3. Peningkatan aktivitas secara
HR, RR yang sesuai bertahap, biarkan klien
 Warna kulit berpartisipasi dapat perubahan
normal,hangat&kering posisi, berpindah&perawatan diri
 Memverbalisasikan 4. Pastikan klien mengubah posisi
pentingnya aktivitas secara bertahap. Monitor gejala
secara bertahap intoleransi aktivitas
 Mengekspresikan 5. Ketika membantu klien berdiri,
pengertian pentingnya observasi gejala intoleransi spt
keseimbangan latihan mual, pucat, pusing, gangguan
& istirahat kesadaran&tanda vital
 Peningkatan toleransi 6. Lakukan latihan ROM jika klien
aktivitas tidak dapat menoleransi aktivitas
2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan askep Monitor Pernafasan:
efektif b.d ..... jam pola nafas klien 1. Monitor irama, kedalaman dan
hiperventilasi, menunjukkan ventilasi yg frekuensi pernafasan.
penurunan energi, adekuat dg kriteria :
2. Perhatikan pergerakan dada.
kelemahan  Tidak ada dispnea 3. Auskultasi bunyi nafas
 Kedalaman nafas 4. Monitor peningkatan
normal ketidakmampuan istirahat,
 Tidak ada retraksi dada kecemasan dan sesak nafas.
/ penggunaan otot
bantuan pernafasan
Pengelolaan Jalan Nafas
5. Atur posisi tidur klien untuk
maximalkan ventilasi
6. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
7. Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sesuai kebutuhan
8. Auskultasi bunyi nafas
9. Bersihhkan skret jika ada dengan
batuk efektif / suction jika perlu.
3 Kelebihan volume Setelah dilakukan askep Fluit manajemen:
cairan b.d. ..... jam pasien 1. Monitor status hidrasi (kelembaban
mekanisme mengalami keseimbangan membran mukosa, nadi adekuat)
pengaturan cairan dan elektrolit.
2. Monitor tnada vital
melemah Kriteria hasil:
3. Monitor adanya indikasi
 Bebas dari edema overload/retraksi
anasarka, efusi 4. Kaji daerah edema jika ada
 Suara paru bersih
 Tanda vital dalam Fluit monitoring:
batas normal 5. Monitor intake/output cairan
6. Monitor serum albumin dan protein
total
7. Monitor RR, HR
8. Monitor turgor kulit dan adanya
kehausan
9. Monitor warna, kualitas dan BJ
urine
4 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan askep Manajemen Nutrisi
nutrisi kurang dari …..jam klien menunjukan 1. kaji pola makan klien
kebutuhan tubuh status nutrisi adekuat
2. Kaji adanya alergi makanan.
dibuktikan dengan kriteria
hasil 3. Kaji makanan yang disukai oleh
klien.
 BB stabil
4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk
 Tidak terjadi malnutrisi, penyediaan nutrisi terpilih sesuai
 Tingkat energi adekuat dengan kebutuhan klien.
 Masukan nutrisi 5. Anjurkan klien untuk meningkatkan
adekuat asupan nutrisinya.
6. Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
7. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan pentingnya
bagi tubuh klien

Monitor Nutrisi
8. Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
9. Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan klien
makan.
10. Monitor lingkungan selama makan.
11. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan dengan
waktu klien makan.
12. Monitor adanya mual muntah.
13. Monitor adanya gangguan dalam
proses mastikasi/input makanan
misalnya perdarahan, bengkak
dsb.
14. Monitor intake nutrisi dan kalori
6 Resiko infeksi b/d Setelah dilakukan askep Kontrol infeksi
tindakan invasive, ... jam risiko infeksi 1. Ajarkan tehnik mencuci tangan
penurunan daya terkontrol dg KH:
2. Ajarkan tanda-tanda infeksi
tahan tubuh primer  Bebas dari tanda-tanda 3. laporkan dokter segera bila ada
infeksi tanda infeksi
 Angka leukosit normal 4. Batasi pengunjung
 Pasien mengatakan 5. Cuci tangan sebelum dan sesudah
tahu tentang tanda- merawat ps
tanda dan gejala
6. Tingkatkan masukan gizi yang
infeksi
cukup
7. Anjurkan istirahat cukup
8. Pastikan penanganan aseptic
daerah IV
9. Berikan PEN-KES tentang risk
infeksi
Proteksi infeksi:
10. Monitor tanda dan gejala infeksi
11. Pantau hasil laboratorium
12. Amati faktor-faktor yang bisa
meningkatkan infeksi
13. Monitor Vital Sign
6 Kurang Setelah dilakukan askep Pendidikan : proses penyakit
pengetahuan … jam Pengetahuan klien 2. Kaji pengetahuan klien tentang
tentang penyakit / keluarga meningkat dg penyakitnya
dan pengobatannya KH:
3. Jelaskan tentang proses penyakit
b.d. kurangnya Pasien mampu: (tanda dan gejala), identifikasi
sumber informasi
 Menjelaskan kembali kemungkinan penyebab.
penjelasan yang 4. Jelaskan kondisi klien
diberikan 5. Jelaskan tentang program
 Mengenal kebutuhan pengobatan dan alternatif
perawatan dan pengobantan
pengobatan tanpa 6. Diskusikan perubahan gaya hidup
cemas yang mungkin digunakan untuk
 Klien / keluarga mencegah komplikasi
kooperatif saat 7. Diskusikan tentang terapi dan
dilakukan tindakan pilihannya
8. Eksplorasi kemungkinan sumber
yang bisa digunakan/ mendukung
9. instruksikan kapan harus ke
pelayanan
10. Tanyakan kembali pengetahuan
klien tentang penyakit, prosedur
perawatan dan pengobatan
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2000. Nursing care plans: Guidelines for
planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa,I.M. Jakarta: EGC.
Fauci et al. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th Edition. United States of
America: McGraw-Hill Companies, Inc.
Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p. 1651-1653.
Lorraine et al. 2005. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med.;353:2788-96.
Mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : Media Aeusculapius FKUI.
Nurko, Saul. 2006. Anemia in chronic kidney disease: Causes, diagnosis, treatment. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. 73(3): 289-97
Smeltzer, Suzanne C., Bare, Brenda G. 2001. Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical
Nursing 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins
Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Kllinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai