Anda di halaman 1dari 4

Tugas Forensik

Kasus dr. Setyaningrum dan Kasus dr. Ayu

Oleh :

Lany Arza 1740312248

Istiqa Dwi Pertiwi 1840312435

Fama Setiawati 1840312439

Amelinda Syafrawi Dinata 1840312307

Zulhar Riyadi 1840312467

Yoseph De Nachs 1840312438

dr. Taufik Hidayat, M.Sc, Sp.F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

2019
1. Kasus Dokter Setyaningrum

Kasus dokter Setyaningrum merupakan tonggak lahirnya hukum kesehatan

di Indonesia. Kasus ini terjadi pada tahun 1979. Dokter Setyaningrum menyuntik /

menginjeksi pasiennya (Nyonya Rusmini) dengan Streptomycin. Pasien diinjeksi

karena pada waktu itu kalau tidak disuntik pasien merasa belum / tidak diobati

meski telah diberikan obat-obat per oral. Untuk menyatakan keamanan

suntikannya tidak dilakukan anamnesis mengenai oleh dokter tersebut.

Berdasarkan hukum kedokteran, tindakan yang dilakukan dr.Setyaningrum

melakukan injeksi tanpa menanyakan apa pasien mengerti mengenai efek samping

obat. Hal ini melanggar hak pasien dan kewajiban dokter sesuai dengan UU No.

44 tahun 2009. Pada UU No. 44 tahun 2009 disebutkan bahwa pasien mempunyai

hak untuk mendapatkan informasi yang meliputi tatacara dan diagnosis tindakan

medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan medis, risiko dan komplikasi

yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Berdasarkan disiplin ilmu kedokteran, tindakan dr. Setyaningrum

melanggar peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 4 tahun 2011 mengenai

disiplin professional dokter dan dokter gigi. Pada pasal 28 disebutkan bahwa

tindakan pelanggaran disiplin professional dokter dan dokter gigi terdiri atas 28

bentuk. Terkait dalam kasus ini, bentuk pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh

dr. Setyaningrum yaitu tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai

kepada pasien dan keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran. Dalam hal

ini, pasien mempunyai hak atas informasi kesehatannya dan oleh karenanya

dokter atau dokter gigi wajib memberikan informasi dengan bahasa yang mudah

dipahami oleh pasien. Pada pasal ini juga dilanggar mengenai melakukan tindakan
tanpa persetujuan dari pasien, keluarga dekat atau walinya. Persetujuan tindakan

harus didapatkan dari pasien dalam bentuk lisan / tertulis.

Berdasarkan etik kedokteran, dari deklarasi hak-hak pasien yang tercantum

pada World Medical Association, dimana pasien mempunyai hak untuk

menentukan sendiri, bebas dalam membuat keputusan yang menyangkut diri

mereka sendiri dan dokter harus memberitahu konsekuensi dari tindakan yang

akan diambil oleh pasien. Pasien harus paham dengan jelas apa tujuan dari suatu

tes atau pengobatan, hasil apa yang akan diperoleh, dan dampak jika menunda

keputusannya.

Menurut keputusan Mahkamah Agung, dakwaan terhadap dr.

Setyaningrum tidak mendukung perihal kealpaan dokter. Hal ini berkaitan bahwa

dokter melakukan tugasnya dan telah mengobati serta melakukan upaya yang

sewajarnya terhadap reaksi alergi yang ditumbulkan. Pembelaan juga terkait atas

fasilitas puskesmas yang terbatas untuk melakukan suntik jantung, infus,

pemberian oksigen, dan tindakan yang membutuhkan saran yang rumit. Hal ini

menyatakan pasal 359 KUHP tidak terbukti ada dalam perbuatan dokter sehingga

dokter dibebaskan dari dakwaan yang menimpanya.

2. Kasus dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani

Berdasarkan hukum, dr Dewa Ayu, dkk melanggar UU No 29 tahun 2004

tentang praktek kedokteran. Pasal 45 ayat 1,2, dan 3 menjeleskan bahwa setiap

tindakan yang dilakukan dokter harus mendapatkan persetujuan setelah pasien

mendapatkan penjelesan lengkap seperti penjelasan mengenai risiko dan

komplikasi serta prognosis dari tindakan yang dilakukan. Terdakwa juga


melanggar pasal 52 (a) dan (c) tentang hak pasien untuk mendapatkan penjelasan

secara lengkap tentang tindakan medis dan mendapatkan pelayanan sesuai dengan

kebutuhan medis. Selain itu, karena adanya kelalaian/kealpaan, maka dapat

digunakan delik kealpaan pasal 359 KUHP tentang hukuman jika karena salahnya

menyebabkan matinya seseorang.

Berdasarkan segi disiplin ilmu kedokteran, terdakwa melanggar Peraturan

KKI No 4 (2011) tentang disiplin profesional dokter dan dokter gigi yaitu pasal 3

Ayat 2 poin (d), (h), (i), (r) yang membahas mengenai pelaksanaan

tindakan/asuhan medis yang tidak memadai pada situasi tertentu yang dapat

membahayakan pasien, tidak memberikan penjelasan yang memadai (adequate

information) kepada pasien atau keluarganya, melakukan tindakan/asuhan medis

tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat, wali atau

pengampunya, membuat keterangan medis yang tidak didasarkan kepada hasil

pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.

Berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), terdakwa

melanggar pasal 5 dan 10 KODEKI. Pasal 5 berisi menjelaskan tentang setiap

perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis

maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya

diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut. Pada kasusu ini,

terdakwa tidak melakukan informed consent, sementara terhadap pasien telah

dilakukan operasi Cito Secsio Sesaria yang melemahkan daya tahan fisik pasien.

Begitu pula mengenai pelanggaran pasal 10 yang menjelaskan bahwa dokter wajib

menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan lainnya,

serta wajib menjaga kepercayaan pasien.

Anda mungkin juga menyukai