Case Asma
Case Asma
PENDAHULUAN
Latar Belakang
belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor
lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor.1 Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%
pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2
berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan untuk
dan berkembang secara optimal sesuai dengan usianya. Serangan asma biasanya
dan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis dan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang,
sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas
namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan
asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal),
musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau
2.2 Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara
Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia
13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health
Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57
per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per
1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-
laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya
hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding
wanita.5
laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu.
Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang
meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara
yang menyebabkan berkembangnya asma dan faktor yang memicu gejala asma atau
keduanya. Faktor tersebut meliputi faktor pejamu (host) dan faktor lingkungan.
untuk berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi), atau hipereaktivitas
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, adanya infeksi pernapasan terutama
2.4 Patogenesis
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang
timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan.
Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang
udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi
saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T
pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma
populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma
awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel
plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada
rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat
kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul
adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma
Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap
dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan
adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta
dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis,
kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga
apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka
inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan
proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat
infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa
proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi.
Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi
2.5 Patofisiologi
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada
mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang
merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas
sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon
hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari
yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi
dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang
mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan
produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami
pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah
karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil
terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran
napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot
polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran
anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada terasa
berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi
pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak
bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat menunjang penegakan
diagnosis.7
didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi
adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau
khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator
dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma
menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter,
atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl
asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran nafas. Walaupun berbagai usaha
yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini
Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak
banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari
pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak
muscle strength testing, volume para absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan
paru yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostic anak
dengan batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan
apabila ada manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru
mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi
jalan napas, 3) pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit
paru restriktif seperti kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau penyakit
interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan nafas.6
Walau pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai
Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan
maneuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama berguna pada
penyakit dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik.
Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6 tahun
adalah forced expiratory volume in 1 second (FEV1) dan vital capacity (VC)
dengan alat spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus
puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter. Pengukuran variabilitas dan
reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis asma,
melalui derajar berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman
pengelolaan asma. 6
fungi paru lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan dengan
nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi PEF harus
diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama beberapa
minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline melainkan oleh
mengukur nilai diural PEF terbaik adalah pengukuran selama paling sedikit 1
minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai PEF
6
pagi hari terendah dan nilai PEF malam hari tertinggi.
Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu
dan dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis. Pada pasien
yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian
respons saluran nafas terhadap metakolin, histamine, atau olahraga dapat membantu
menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan hasi positif tidak selalu berarti
bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan Karena hiperreaktivitas
saluran nafas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi dan kondisi lain seperti
dengan cara memeriksa eosinophil sputum, baik yang spontan maupun yang
juga merupakan cara menilai petanda inflamasi yang noninvasive. Walaupun pada
orang yang tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum
terdapat penlitian yang menyatakan bahwa hal yang dapat membatu dalam
diagnosis asma. 6
serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat
membantu menentukan faktor resiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk
inhalasi agonis β2 kerja pendek tunggal sehingga obat ini menjadi pilihan utama
prokaterol. Agonis β2 kerja pendek harus diberikan dengan dosis terendah dan
2. Ipratropium bromida
inhalasi ketiga saat serangan asma menurunkan risiko rawat inap dan memperbaiki
3. Streoid sistemik
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan mencegah
memungkinkanm, steroid oral diberikan dalam satu jam pertama. Pemberian secara
Pemberian secara oral sama efektifnya dengan pemberian secara intravena. Steroid
sistemik prednison diberikan peroral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis
4. Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan asma serangan berat atau dengan
ancaman henti nafas yang tidak berespon dengan dosis maksimal agonis β2 dan
steroid sistemik. Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan
direkomendasikan yaitu dosis inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20
1 mg/kgBB akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2µgml. Untuk efek terapi
yang maksimal, target kadar aminofilin serum adalah 10-20µg/ml. Oleh karena itu
kadar aminofilin serum seharusnya diukut 1-2 jam setelah loading dose diberikan
Pertimbangan pemberian injeksi MgSO4 pada pasien dengan asma serangan berat
yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap setalah satu jam
pemberian terapi awal dengan dosis maksimal (agonisβ2 kerja pendek dan steroid
6. Adrenalin
7. Steroid inhalasi
Streoid inhalasi nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 µg atau 2-5 ampul
budesonid) dapat digunakan untuk serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk
memberi dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Z.P
Agama : Islam
tanggal 21 Deseember 2016 di Bangsal Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan:
Keluhan Utama :
Batuk sejak 1 minggu yang lalu, berdahak dan tidak disertai pilek.
Sesak nafas sejak 8 jam yang lalu, berbunyi menciut, dipengaruhi oleh
sejak 3 jam yang lalu, pasien sudah dikenal menderita asma sejak usia 3
tahun. Serangan terakhir 3 bulan yang lalu. Saat sesak, anak bicara dengan
Pasien merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, lahir ditolong bidan,
cukup bulan, langsung menangis ketika lahir, berat badan lahir 3000 gram dan
panjang badan 48 cm. Selama kehamilan ibu tidak ada menderita penyakit berat,
Bayi:
sumur, perkarangan sempit. Kesan: riwayat perumahan dan sanitasi cukup baik
Riwayat Imunisasi:
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
- Kesadaran : Sadar
- Suhu : 36,8° C
- Berat Badan : 21 kg
- BB/U : 75%
- TB/U : 97,6%
- BB/TB : 84%
Thoraks
Paru
Pr : Sonor
Jantung
Abdomen
Pr : Timpani
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi baik, capillary refilling time <2 detik
Laboratorium Rutin
Hb : 10 g/dl
Diagnosis kerja
Rencana Tatalaksana
Dexamethoson 3x3 mg IV
- Batuk ada
- Batuk berdahak
- Thorak :
P/ - Oksigen 1 liter/menit
- Dexamethason 3x3 mg iv
- Batuk berdahak
- Thorak :
- Dexamethason 3x3 mg iv