Anda di halaman 1dari 9

Membahas mengenai masalah utama kesling dan penyelesaiannya melalui

pendekatan SILK

RUANG LINGKUP
1. Beban kesehatan lingkungan di indonesia
2. Permasalahan kesehatan lingkungan di indonesia
3. Perkenalan SILK dalam penyelesaian masalah kesehatan lingkungan

Berdasarkan data dari WHO 12,6 jt oleh faktor lingkungan, diperkirakan


Tahun depan kematian 250 rb/tahun karena malnutrisi, malaria, diare, dan
serangan panas yang berlebihan
1. Perubahan iklim, dampak akses luar bersih, kecukupan pangan,
perubahan iklim
2. Kesenjangan dan kesetaraan dalam mengakses sanitasi yang bersih
3. Rendahnya pembuatan kebijakan dan regulasi yang layak terhadap
lingkungan sosial dan bidang ekonomi
Kualitas lingkungan mulai menurun hal ini mempengaruhi pertumbuhan globalisasi,
urbanisasi, gaya hidup yang tidak sehat,dan lingkungan kerja, keamanan pangan
yang kompleks, transisi nutrisi, selain itu peningkatan penggunaan bahan kimia
buatan berbahaya.
Selain itu kita juga harus mengahadapi pertumbuhan yang menjadi
tantangan yaitu, penyakit tidak menular (PTM), penyakit menular (PM), dan
penyakit berbasis vektor hal ini tentu akan merubah tatanan global maupun local
yang berpengaruh pada kesehatan.
Beban kesehatan lingkungan adanya perusakan lingkungan yang member
dampak kesehatan misalnya kasus kebakaran hutan menimbulkan kejadian ISPA,
kondisi banjir meninmbulkan kasus Diare. Lingkungan secara umum memberi
dampak,baik langsung maupun tidak langsung.
keterpajanan bahan kimia berbahaya, radiasi, biologi perlu adanya sistem
yang terintegrasi seperti misalnya sistem integrasi surveillance yang merupakan
penggabungan dari berbagai sistem surveillance. Berbicara mengenai pajanan perlu
dipikirkan pula pajanan terhadap hewan yang tentu akan mempengaruhi kesehatan
hewan dalamhal ini dalam menyelesaikan masalah perlu diselesaikan sesuai dengan
bidangnya, contoh kasus di daerah Timor Tengah Selatan yang disebut dengan Ume
memiliki fungsi untuk menunjang kehidupan namaun juga merusak kesehatan
dalam hal ini bayi.

Berdasarkan gambar diatas dapat dijelaskan bahwa interaksi antara


komunitas (C) dengan lingkungan (E) yang ditunjang atau saling terkait
dengan infrastruktur(I) yang tersedia dan dikendalikan oleh sistem (S)
merupakan sebuah pendekatan dalam menuntaskan masalah kesehatan yang
tepat dimana dari dalam komunitas kita dapat mengenali orang-orang
dengan kondisi sehat dan adapula yang berperan sebagai carrier maupun
penderita yang kemudian berinteraksi dengan agen penyakit dilingkungan
yang bersumber dari fisik, kimia,biologi maupun mikrobiologi serta sumber
daya alam dan sumber daya buatan , ruang terbuka (ambience).
KOMUNITAS

SISTEM

INFRASTRU LINGKUNGA
KTUR N

KOMUNITAS

Kanker serviks merupakan salah satu kanker penyebab utama


kematian wanita di seluruh dunia. Kanker serviks menduduki urutan tertinggi
di negara berkembang dan berada pada urutan ke 10 di negara maju atau
urutan ke 5 secara global. Di Indonesia kanker, serviks menduduki urutan
pertama dari 10 kanker terbanyak yang ditemukan di 13 labarotorium
patologi anatomi di Indonesia. Menurut World Health Organization (WHO),
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita kanker serviks
terbesar di dunia.
Menurut data Globocan International Agency for Research on Cancer
(IARC) tahun 2012 memperkirakan 528.000 kasus baru kanker serviks.
Sebagian besar (sekitar 85%) dari beban global terjadi di daerah yang kurang
berkembang yang menyumbang hampir 12% dari semua kanker pada wanita.
Daerah yang berisiko tinggi, berdasarkan Age Standardized Rate (ASRs)
lebih dari 30 per 100.000 populasi, adalah Afrika Timur (42,7), Melanesia
(33,3), Afrika Selatan (31,5) dan Afrika Tengah (30,6). Jumlah terendah
terdapat di Australia/Selandia Baru (5,5) dan di Asia Barat (4,4). Kanker
serviks adalah kanker yang paling umum terjadi pada wanita di Afrika Timur
dan Tengah (3,4). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
menunjukkan, penyakit kanker serviks dan kanker payudara, merupakan
penyakit kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia pada tahun 2013.
Prevalensi kanker serviks sebesar 0,8‰ dan prevalensi kanker payudara
sebesar 0,5‰. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki prevalensi
kanker serviks tertinggi (sebesar 1,5‰)

LINGKUNGAN
Agen Infeksius
Mutagen pada umumnya berasal dari agen-agen yang ditularkan melalui
hubungan seksual seperti Human Papilloma Virus (HPV) dan Herpes
Simpleks Virus Tipe 2 (HSV 2) (Benedet 1998; Nuranna 2005).
1. Human Papilloma Virus (HPV)
Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa Human Papilloma
Virus (HPV) sebagai penyebab neoplasia servikal. Karsinogenesis pada
kanker serviks sudah dimulai sejak seseorang terinfeksi HPV yang
merupakan faktor inisiator dari kanker serviks yang menyebabkan
terjadinya gangguan sel serviks.
2. Virus Herpes Simpleks
Walaupun semua virus herpes simpleks tipe 2 (HPV-2) belum
didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah
menunjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik pada sampel jaringan
wanita dengan displasia serviks. DNA sekuens juga telah diidentifikasi
pada sel tumor dengan menggunakan DNA rekombinan. Diperkirakan, 90%
pasien dengan kanker serviks invasif dan lebih dari 60% pasien dengan
neoplasia intraepitelial serviks (CIN) mempunyai antibodi terhadap virus.
3. Lain-lain
Infeksi trikomonas, sifilis, dan gonokokus ditemukan berhubungan dengan
kanker serviks. Namun, infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan
seksual dengan multipel partner dan tidak dipertimbangkan sebagai
faktor risiko kanker serviks secara langsung.
4. Merokok
Saat ini terdapat data yang mendukung bahwa rokok sebagai penyebab
kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel
skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma).
Mekanis- me kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah
ditunjukkan pada perokok) atau melalui efek imunosupresif dari
merokok. Bahan karsinogenik spesifik dari tembakau dapat dijumpai
dalam lendir dari mulut rahim pada wanita perokok. Bahan karsinogenik ini
dapat merusak DNA sel epitel skuamosa dan bersama infeksi HPV dapat
mencetuskan transformasi keganasan.

Faktor Risiko yang Diperkirakan


1. Kontrasepsi Oral
Risiko noninvasif dan invasif kanker serviks telah menunjukkan
hubungan dengan kontrasepsi oral. Bagaimanapun, penemuan ini
hasilnya tidak selalu konsisten dan tidak semua studi dapat
membenarkan perkiraan risiko dengan mengontrol pengaruh kegiatan
seksual. Beberapa studi gagal dalam menunjukkan beberapa
hubungan dari salah satu studi, bahkan melaporkan proteksi terhadap
penyakit yang invasif.
Hubungan yang terakhir ini mungkin palsu dan menun- jukkan deteksi
adanya bias karena peningkatan skrining terhadap pengguna kontrasepsi.
Beberapa studi lebih lanjut kemudian memerlukan konfirmasi atau
menyangkal observasi ini mengenai kontrasepsi oral.
2. Diet
Diet rendah karotenoid dan defisiensi asam folat juga dimasukkan dalam
faktor risiko kanker serviks.
3. Etnis dan Faktor Sosial
Wanita di kelas sosioekonomi yang paling rendah memiliki faktor
risiko lima kali lebih besar daripada wanita di kelas yang paling tinggi.
Hubungan ini mungkin dikacaukan oleh hubungan seksual dan akses ke
sistem pelayanan kesehatan.
Di Amerika Serikat, ras negro, hispanik, dan wanita Asia memiliki
insiden kanker serviks yang lebih tinggi daripada wanita ras kulit putih.
Perbedaan ini mungkin mencerminkan pengaruh sosioekonomi.
4. Pekerjaan
Sekarang ini, ketertarikan difokuskan pada pria yang pasangannya
menderita kanker serviks. Diperkirakan bahwa paparan bahan tertentu
dari suatu pekerjaan (debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin)
dapat menjadi faktor risiko kanker serviks.

INFRASTRUKTUR
1. Ketenagaan : dokter , tenaga medis
2. Sarana :
3. Pelayanan : pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan
prasarana teratas dapat dilakukan program skrining atau deteksi dini
dengan tes IVA. Jika ditemukan IVA positif maka selanjutnya dapat
dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum
atau bidan yang sudah terlatih
4. Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan
kolposkopi. Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop
Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the
Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan diagnostik maupun
sekaligus terapeutik.
5. Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa
dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
1

Anda mungkin juga menyukai