Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ETIKA PROFESI

Disusun oleh:

Andi Nurul Fahimah A31116034

DAPERTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh
berkaitan dengan moralitas. Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis
yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia pada
umumnya. Prinsip-prinsip itu juga sangat erat kaitannya dengan system nilai yang dianut oleh
masyarakat. Profesi adalah suatu hal yang harus dibarengi dengan keahlian dan etika. Meskipun
sudah ada aturan yang mengatur tentang kode etik profesi, namun seperti kita lihat saat ini masih
sangat banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran ataupun penyalah gunaan profesi. Untuk itu
penulis akan membahas pengertian dari kode etik profesi dan sanksi atas pelanggaran kode etik
profesi.
Yang sering terjadi di beberapa instansi atau perusahaan atau organisasi ialah seringnya
terjadi pembocoran informasi yang ada di instansi atau perusahaan atau organisasi yang
bersangkutan tersebut yang di lakukan oleh whistleBlower (Pengungkap Aib).
Terkait dengan usaha penerapan Good Corporate Governance terutama penjabaran dari
Bab 1 pasal 2 ayat 2 tentang kewajiban BUMN menerapkan GCG dan termasuk didalamnya
pemberantasan korupsi, gratifikasi, dan praktek kecurangan lainnya, manajemen PTPN II
sepakat bahwa salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah dan memerangi praktek yang
bertentangan dengan praktik tata kelola perusahaan yang baik adalah melalui mekanisme
pelaporan pelanggaran (whistleblowing system).
Untuk itu manajemen perusahaan sepakat untuk menyusun suatu pedoman tentang
tatacara /sistem pelaporan pelanggaran (whistleblowing sistem) yang akan menjadi acuan tentang
bagaimana tatacara pelaporan yang santun dan beretika dan meningkatkan partisipasi karyawan
dalam melaporkan pelanggaran.
Whistleblowing system (WBS) yang efektif akan mendorong partisipasi masyarakat dan
karyawan perusahaan untuk lebih berani bertindak untuk mencegah terjadinya kecurangan dan
korupsi dengan melaporkan kepihak yang berwenang menanganinya diperusahaan. Ini berarti
whistleblowing system mengeliminasi budaya “diam” menuju kearah budaya “kejujuran dan
keterbukaan “, disamping itu manajemen Perusahaan memiliki kesempatan untuk mengatasi
permasalahan secara internal terlebih dahulu, sebelum permasalahan tersebut merebak ke publik
yang dapat mempengaruhi reputasi perusahaan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Whistleblowing
Whistleblowing merupakan salah satu tindakan yang berhubungan dengan sebuah etika
suatu organisasi. Munculnya beberapa kasus whistleblowing yang terjadi baik di organisasi
sektor bisnis maupun publik. Menjadi hal penting untuk dipelajari oleh para akademisi, apa
penyebab munculnya tindakan whisleblowing. Contoh kasus whistleblowing yang terjadi di
organisasi publik di indonesia adalah kasus whistleblowing di Direktorat Jenderal Pajak.
Semejak bergulirnya reformasi birokrasi pada Direktorat Jenderal Pajak tahun 2002, dan mulai
diberlakukan sistem whistleblowing tahun 2012. Terbukti sistem whistleblowing tersebut
berjalan efektif dengan terungkapnya kasus suap yang dilakukan oleh salah satu pimpinan di
Kantor Pelanyanan Pajak Pratama di Bogor dan pegawai pajak di Sidoarjo pada tahun 2012
(Dewi, 2012).
Menurut Perry (1993: 79), meskipun whistleblowing merupakan jenis lain pertikaian
yang terjadi pada suatu organisasi. Ada 3 karakteristik dalam prosedural dan substansi yang
secara kolektif membedakan jenis lain dari pertikaian pada suatu organisasi: (1) terlihat perilaku
kepentingan dari orang lain yang menjadi bagian penggagas pertikaian (2) tidak meratanya
distribusi atau pembagian kekuasaan, dan (3) tidak adanya mekanisme penyelesaian sengketa
yang berkembang dengan baik dan netral. Diasumsikan, bahwa ketiga karakteristik tersebut
merupakan faktor-faktor penyebab munculnya whistleblowing.
Whistleblowing unik karena melibatkan individu memulai perselisihan rupanya atas
nama pihak ketiga yang tidak secara langsung terlibat dalam pekerjaan atau kontrak relationship,
misalnya, pembayar pajak atau stakeholder. Pertikaian merupakan bukti pada sebagaian pihak
ketiga karena motivasi kepentingan pribadi yang merupakan pendorong kekuatan dibalik klaim
whistleblower (Perry, 1993: 79). Atau maksud lain dari pernyataan Perry, bahwa munculya
whistleblower adalah adanya pihak ketiga (orang eksternal dari perusahaan atau organisasi) yang
memiliki rasa dendam terhadap pegawai atau organisasi tersebut yang menjadi pemicu untuk
menuduh atas kesalahan atau kegiatan ilegal dalam organisasi tersebut.
Di sisi lain, whistleblowing biasanya melibatkan konflik antara dua pihak dengan
kekuatan yang tidak seimbang. Weinstein (1979, 2) mengemukakan bahwa whistleblowing
meliputi “upaya merubah sebuah birokrasi oleh orang yang bekerja dalam organisasi tetapi orang
tersebut tidak memiliki kewenangan”. Whistleblowing merupakan istilah pelaporan darri
karyawan terhadap tindakan ilegal, tindakan tidak bermoral, atau tidak legitimasi/tidak sah dalam
praktek pengawasan dari karyawan mereka kepada pihak ketiga yang dapat mengambil tindakan
perbaikan.
Whistleblowong merupakan subuh isu kotroversial dalam organisasi. Di sisi positif,
whistleblowers dapat membantu organisasi memperbaiki kondisi kerja dan mencegah
kecurangan atau pemborosan praktek. Pelapor dapat menyediakan sumber yang sebelumnya
kurang dimanfaatkan dari informasi penting dalam mempertahankan kinerja organisasi yang
kompleks (Ewing 1983, Miceli & Near 1985). Sebaliknya, pelapor dapat mengancam struktur
otoritas organisasi, kekompakan, dan image publik (Weinstein 1979). Hal inilah menjadi sebuah
dilema etika dalam suatu perusahaan atau organisasi publik, yang memunculkan suatu
pertanyaan apakah tindakan whistleblowing termasuk etis atau tidak etis terhadap organisasi?

2.2 Whistleblowing : Sebuah Dilema Etika


Whistle-blowing bagus bila diterapkan di organisasi karena dengan adanya whistle-
blowing dapat mencegah penipuan (fraud) dalam suatu organisasi. Oleh karena itu, suatu
lembaga atau organisasi harusnya menjaga sistem komunikasi internal sehingga dapat
menghindari konflik fungsional maupun disfungsional. Whistleblowing sebaiknya diselesaikan
secara internal agar tidak terjadi perembetan masalah yang dapat menjatuhkan nama instansi,
lembaga atau organisasi tersebut. Sesuai dengan pendapat King (1999), Whistle blowing
dibedakan menjadi 2 yaitu whistle blowing internal dan whistle blowing eksternal.
1. Whistle blowing internal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang
dilakukan karyawan kemudian melaporkan kecurangan tersebut kepada atasannya.
2. Whistle blowing eksternal terjadi ketika seorang karyawan mengetahui kecurangan yang
dilakukan oleh perusahaan lalu membocorkannya kepada masyarakat karena kecurangan itu akan
merugikan masyarakat.
Namun pendapat David Stetler yang percaya bahwa whistle blowing digunakan untuk
memeras keuntungan keuangan yang besar dari perusahaan ada benarnya juga. Karena setiap
manusia mempunyai sifat yang berbeda-beda. Di mana menurut teori Adam Smith yang
mengasumsikan bahwa sifat manusia adalah rasional–ekonomis yang berasal dari falsafah
hedonisme yang berpendapat bahwa orang bertindak untuk memenuhi kesenangan diri mereka
semaksimal mungkin. Dan menurutnya orang yang bertindak dengan perasaan adalah tidak
rasional dan oleh karena itu harus dicegah supaya tidak mengganggu perhitungan-perhitungan
rasional seseorang mengenai kepentingan dirinya. Asumsi ini juga dipertegas oleh Douglas
McGregor (1960) yang dinamakan Teori X :
1. Menurutnya sifatnya orang itu malas, dan oleh karena itu, harus dimotivasi dengan perangsang
dari luar
2. Tujuan alamiah orang bertentangan dengan tujuan organisasi, oleh karena itu harus
dikendalikan dengan kekuatan
3. Karena perasaan-perasaan mereka tidak rasional, maka pada dasarnya orang tidak mendisiplin
dan mengendalikan diri.
4. Tetapi secara kasar orang dapat dibagi dalam dua kelompok mereka yang sesuai dengan
asumsi yang disebutkan di atas dan mereka yang dapat memotivasi diri, mendisiplin diri, dan
tidak terlalu dikuasai oleh perasaan-perasaannya. Kelompok terakhir ini harus memikul tanggung
jawab memanajemeni kelompok-kelompok lainnya.
Akhirnya asumsi-asumsi rasional ekonomis kemudian menggolongkan manusia dalam
dua kelompok yaitu kelompok yang tidak dapat dipercaya, bermotivasi uang, dan bersifat
kalkulatif, dan kelompok yang dapat dipercaya, bermotivasi luas, bermoral, dan yang hars
mengorganisasi dan memanajemeni kelompok yang pertama. Di banyak perusahaan para pekerja
dimasukkan dalam golongan yang sesuai dengan asumsi Teori X.
Sifat manusia atau biasa dikenal dengan personality traits atau ciri kepribadian dibagi
dalam lima domain yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama Five Factor Model atau Big
Five (Goldberg 1990) meliputi extraversion, neuroticism, openness to experience (intellect),
agreebleness, dan conscientiousness. Kelima model ini merupakan ringkasan dari banyak sifat
yang terdapat pada satu hierarki sifat-sifat perbedaan individu dan telah diidentifikasi dalam
berbagai penelitian mengenai karakter antar individu dan dimensi fundamental personaliy.
Self-fulfilling prophecy mempunyai peran dalam whistle-blowing, sehingga mengakibatkan
whistle blower mengetahui adanya tindakan fraud di dalam perusahaan itu. Sesuai dengan teori
yang dkemukakan Robert Merton, sosiolog 1948 bahwa Self-fulfilling prophecy bekerja di otak
kanan yang awalnya prediksi kemudian berubah menjadi nyata. Self-fulfilling prophecy terwujud
karena adanya umpan balik positif antara keyakinan dengan perilaku.
Ketika gugatan sembrono terjadi, masa depan whistleblower dapat berpengaruh positif
maupun negative. Apabila whistle-blower dapat memenangkan kasus pada perusahaan tersebut
mereka akan mendapatkan kompensasi dan penghargaan social. Namun apabila whistle-blower
terbukti salah akan mendapatkan tindakan pembalasan, seperti penghentian, skorsing, penurunan
pangkat, pemotongan upah, dan atau perlakuan kasar oleh karyawan lain, bahkan bisa dikenai
tuntutan pidana dalam balasan untuk pelaporan kesalahan.
Yang harus dilakukan perusahaan agar tidak terjadi gugatan sembrono adalah
menyelenggarakan Whistle Blowing System yang baik. Adapun manfaat dari penyelenggaraan
Whistleblowing System yang baik antara lain adalah (Anonim, 2008):

1. Tersedianya cara penyampaian informasi penting dan kritis bagi perusahaan kepada pihak
yang harus segera menanganinya secara aman
2. Timbulnya keengganan untuk melakukan pelanggaran, dengan semakin meningkatnya
kesediaan untuk melaporkan terjadinya pelanggaran, karena kepercayaan terhadap sistem
pelaporan yang efektif
3. Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning system) atas kemungkinan terjadinya
masalah akibat suatu pelanggaran
4. Tersedianya kesempatan untuk menangani masalah pelanggaran secara internal terlebih
dahulu, sebelum meluas menjadi masalah pelanggaran yang bersifat publik
5. Mengurangi risiko yang dihadapi organisasi, akibat dari pelanggaran baik dari segi
keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja, dan reputasi
6. Mengurangi biaya dalam menangani akibat dari terjadinya pelanggaran
7. Meningkatnya reputasi perusahaan di mata pemangku kepentingan (stakeholders),
regulator, dan masyarakat umum
8. Memberikan masukan kepada organisasi untuk melihat lebih jauh area kritikal dan proses
kerja yang memiliki kelemahan pengendalian internal, serta untuk merancang tindakan
perbaikan yang diperlukan
Bagi organisasi yang menjalankan aktivitas usahanya secara etis, WBS merupakan
bagian dari sistem pengendalian, namun bagi organisasi yang tidak menjalankan aktivitas
usahanya dengan tidak etis, maka WBS dapat menjadi ancaman. Sedangkan yang perlu
dilakukan pemerintah untuk menghindari tuntutan perkara yang sembrono adalah dengan
membuat Sistem Pelaporan Pelanggaran yang baik yang memberikan fasilitas dan perlindungan
(whistleblower protection) sebagai berikut (Anonim, 2008) :
1) Fasilitas saluran pelaporan (telepon, surat, email) atau Ombudsman yang independen, bebas
dan rahasia.
2) Perlindungan kerahasiaan identitas pelapor. Perlindungan ini diberikan bila pelapor
memberikan identitas serta informasi yang dapat digunakan untuk menghubungi pelapor.
Walaupun diperbolehkan, namun penyampaian pelaporan secara anonim, yaitu tanpa identitas,
tidak direkomendasikan. Pelaporan secara anonim menyulitkan dilakukannya komunikasi untuk
tindak lanjut atas pelaporan.
3) Perlindungan atas tindakan balasan dari terlapor atau organisasi. Perlindungan dari tekanan,
dari penundaan kenaikan pangkat, pemecatan, gugatan hukum, harta benda, hingga tindakan
fisik. Perlindungan ini tidak hanya untuk pelapor tetapi juga dapat diperluas hingga ke anggota
keluarga pelapor
4) Informasi pelaksanaan tindak lanjut, berupa kapan dan bagaimana serta kepada institusi
mana tindak lanjut diserahkan. Informasi ini disampaikan secara rahasia kepada pelapor yang
lengkap identitasnya.
Perlindungan di atas tidak diberikan kepada pelapor yang terbukti melakukan pelaporan
palsu dan/atau fitnah. Pelapor yang melakukan laporan palsu dan/atau fitnah dapat dikenai sanksi
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, misalnya KUHP pasal 310 dan 311 atau
peraturan internal organisasi (Pedoman Etika Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama).
Pegawai perusahaan mempunyai sebuah kewajiban etis untuk melaporkan hal yang salah
kepada anggota perusahaan itu sendiri (internal). Dampak positifnya adalah kasus tersebut tidak
menjadi konsumsi publik dan citra perusahaan tidak buruk. Sedangkan dampak negatifnya,
whistle-blower tersebut mendapatkan sanksi dan resiko pemecatan. Namun bila whistle-blower
langsung pergi ke pihak berwenang, keuntungannya mereka akan mendapatkan perlindungan
hukum, sedangkan kerugiannya citra perusahaan akan buruk di mata masyarakat dan orang lain
akan melihatnya sebagai ‘pengadu cerita’ atau “mata-mata” , semata-mata mengejar kemuliaan
dan atau ketenaran pribadi. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pemimpin yang mempunyai
leadership yang baik. Manajer dengan leadership baik dapat mengerti apa yang menjadi
kegundahan bawahannya dan memberikan respon segera sebelum berkembang menjadi masalah
besar. Leadership seperti itu akan memberikan kepuasan karyawan terhadap kepemimpinan dan
memberikan dukungan berupa loyalitas karyawan dan kinerja optimal dari karyawan sehingga
tujuan perusahaan dapat tercapai.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Munculnya whistleblowing dalam suatu organisasi tidak bisa dipungkiri lagi. Hal ini
didasari sifat manusia itu sendiri. Sifat manusia yang memiliki hasrat untuk berbuat baik, berani
mengungkapkan suatu kesalahan atau tindakan yang merugikan yang dilakukan oleh individu
atau kelompok yang akan merugikan perusahaan atau organisasi tersebut. Maka, tindakan orang
tersebut dikategorikan sebagai tidakan etis. Namun, apabila pengungkapan suatu kesalahan
karena didasari oleh sifat manusia yang tidak baik yaitu ingin mendapatkan suatu keuntungan
yang memperkaya diri sendiri (hedon), maka tindakan whistleblowing tersebut dikategorikan
pada tindakan yang tidak etis.
Oleh karena itu, organisasi yang menjalankan aktivitas usahanya secara etis, WBS
merupakan bagian dari sistem pengendalian, namun bagi organisasi yang tidak menjalankan
aktivitas usahanya dengan tidak etis, maka WBS dapat menjadi ancaman. Sedangkan yang perlu
dilakukan pemerintah untuk menghindari tuntutan perkara yang sembrono adalah dengan
membuat Sistem Pelaporan Pelanggaran yang baik yang memberikan fasilitas dan perlindungan
(whistleblower protection)
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti Dewi, 2012. Tertangkapnya AS bukti Efektifitasnya Sistem Whistleblowing di Pajak.


http://www.pajak.go.id (diakses pada tanggal 6 Januari 2013)

Frederickson, George H. 1993. Ethics and Public Administration: Some Assertions. New York: M.E
Sharpe, Inc.

Perry, James L. 1993. Whistleblowing, Organizational Performance, and Organizational Control. New
York: M.E Sharpe, Inc.

Pierson, John K; Forcht, Karen A; Bauman, Ben M. 1993. Whistleblowing: An Etihical Dilema. Information
and Decision Sciences Departement. USA: James Madison University.
http://www.expolink.co.uk/2012/01/ethics-and-whistleblowing/ diakses tanggal 28 Desember 2012

Anda mungkin juga menyukai