Anda di halaman 1dari 6

1.

5 Solusi Penanganan Eksploitasi Hutan Hujan Tropis

Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan.
Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000 -
11.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25°C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang
tahun, dan rata-rata kelembapan udara 80 %. Dari ciri khas tersebut membuat hutan tropis di Indonesia
sangat rentan terhadap kerusakan hutan. Kerusakan hutan tropis di Indonesia diperkirakan mencapai 2
juta hektar per tahun. Kerusakan hutan tropis di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor baik dari
pihak yang hanya mencari keuntungan semata atau pun dari cara pengelolaan hutan tropis yang salah,
karena tidak mengerti tentang karakteristik hutan tropis itu sendiri. Usaha penanggulangan dan
pencegahan kerusakan hutan tropis di Indonesia merupakan hal yang mendesak dilakukan. Jika tidak
hutan tropis ini akan hilang akibat kegiatan-kegiatan penebangan hutan, pertambangan, pemukiman
penduduk, pembukaan lahan pertanian, kebakaran hutan dan konversi dalam bentuk lain.

 Tindakan Pelestarian Eksploitasi hutan

Melalui pendidikan formal Menanamkan kejujuran dan kedisplinan manusia sejak dini, menanamkan
cinta dan rasa kesadaran akan lingkungan. ( UU No 5 Tahun 1990, penjelasan pasal 37 ayat 2).

Penyebarluasan informasi Menyebarluaskan informasi tentang informasi UU konservasi SDA dengan


ekosistemnya ke pelosok masyarakat, terutama daerah2 yang rawan eksploitasi

Peningkatan pengawasan Meningkatkan mutu dan intensif yang di berikan harus di tingkatkan atau
memadai, fasilitas dan peralatan harus canggih.

Peningkatan kerja sama antara institusional Peran serta masyarakat.

2.2 Taman Nasional

Taman nasional dapat dikatakan tempat pelestarian alam secara alami,

letaknya di laut maupun di darat, terdapat berbagai jenis ekosistem didalamnya,

serta dapat dimanfaatkan dan bernilai untuk pendidikan, kepentingan ilmu

pengetahuan, panorama alam yang menonjol, pariwisata maupun sebagai tempat

untuk rekreasi. Menurut UU No.5 tahun (1990) Taman nasional adalah kawasan

pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi

dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Selanjutnya menurut pasal 31 angka

1 PP No. 68 tahun (1998) tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

alam, dikatakan bahwa kriteria penunjukan taman nasional harus terdapat kawasan

yang luas untuk kelangsungan proses ekologis, memiliki sumber daya alam dan

ekosistem, memiliki keadaan alam yang asli dan merupakan kawasan yang dapat
dikelola.

Terjadinya pengurangan tutupan hutan hujan tropis telah memberikan

dampak negatif terhadap menurunnya fungsi hutan. Hal ini dibuktikan dengan

meningkatnya permasalahan terkait bencana alam seperti banjir dan kekeringan

selama dua dekade terakhir (Nawir et al., 2008). Dengan demikian, dibutuhkan

suatu upaya untuk dapat menjaga dan melestarikan ekosistem hutan hujan tropis,

tanpa mengabaikan aspek pemanfaatannya secara optimal. Salah satu alternatif

yang dapat dilakukan adalah dengan menetapkan suatu area hutan hujan tropis yang

masih relatif baik menjadi kawasan “Taman Nasional”.

Menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional merupakan kawasan

pelestarian alam yang mempunyai kondisi ekosistem asli dan dikelola dengan

sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan,

pendidikan, menunjang budaya, pariwisata, dan rekreasi. Pembentukan taman

nasional sebagai kawasan pelestarian alam merupakan suatu solusi yang realistis

dalam menghadapi tantangan pengelolaan hutan hujan tropis saat ini. Tingginya

laju deforestasi telah memberikan tekanan yang besar terhadap eksistensi kawasan

hutan hujan tropis sebagai suatu ekosistem, baik dari segi penutupan lahan maupun

status kawasannya. Penerapan sistem pengelolaan taman nasional berbasis zonasi

merupakan suatu skema efektif untuk menjaga kelestarian ekosistem, sekaligus

terintegrasi dengan upaya pemanfaatan hutan secara lestari.

Aktivitas pengelolaan taman nasional sebagai kawasan pelestarian alam

memiliki posisi strategis dalam mendukung kegiatan pengelolaan hutan. Ditinjau

dari sudut pandang ekologi, mayoritas kawasan taman nasional di Indonesia berada

di daerah pegunungan dengan dominasi tutupan lahan berupa hutan hujan tropis.

Hal ini mengindikasikan bahwa keberadaan taman nasional memiliki peranan

penting dalam menjaga fungsi hidro-orologis. Dilihat dari segi ekonomi, eksistensi

kawasan taman nasional juga memberikan peluang yang tinggi untuk

mengoptimalkan fungsi jasa lingkungan, seperti tata air dan wisata. Selain itu,
potensi keanekaragaman hayati di dalam kawasan taman nasional masih

membutuhkan berbagai kajian ilmiah untuk dapat dimanfaatkan. Salah satu dari

potensi keanekaragaman hayati tersebut adalah adanya jenis tumbuhan bawah yang

berpotensi sitotoksik sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan obat.

1. Lahan yang Terdegradasi

Salah satu isu yang paling mendesak di Indonesia adalah pembukaan hutan primer dan lahan
gambut untuk mengembangkan pertanian. Analisis yang dilakukan oleh WRI menemukan bahwa
terdapat peluang yang besar untuk memindahkan pengembangan agrobisnis ke lahan-lahan yang
telah terdegradasi yang telah terbuka, dan memiliki keanekaragaman hayati dan cadangan karbon
yang rendah. Konsep ini telah mendapatkan perhatian, namun pertanyaan tetap muncul mengenai
bagaimana mendefinisikan lahan yang terdegradasi, demikian pula tantangan dan peluang dalam
mengembangkan lahan tersebut.

WRI dan mitra kerjanya telah bekerja untuk mengidentifikasi lahan yang terdegradasi yang
cocok untuk produksi kelapa sawit, menggunakan kriteria biofisika, ekonomi, sosial, dan hukum.
Kami telah mengembangkan metodologi riset di Pulau Kalimantan, Indonesia. Hasil yang kami
peroleh mengindikasikan bahwa secara potensial terdapat 14 juta hektar lahan terdegradasi di
Kalimantan yang cocok digunakan untuk mengembangkan kelapa sawit. Ini merupakan
kesempatan yang sangat luar biasa untuk memenuhi target produksi komoditas sekaligus
menghormati komitmen CGF untuk mengatasi deforestasi.

Sejak 2010, mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan
komitmennya untuk memanfaatkan lahan yang telah terdegradasi untuk pengembangan
komoditas, yang telah memunculkan ketertarikan awal dari industri kelapa sawit dan membantu
menyebarluaskan kebijakan-kebijakan pemerintah seputar isu tersebut. Wadah multi-stakeholder
seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) turut mengeluarkan pedoman mengenai
bagaimana mengembangkan kelapa sawit tanpa mengkonversi hutan lebih lanjut.

2. Pengawasan Hutan

Produsen komoditas yang memiliki komitmen untuk mengatasi deforestasi dapat turut
memanfaatkan perkembangan teknologi terbaru dalam pengawasan hutan dan teknologi satelit.
Teknologi tersebut dapat meningkatkan transparansi di dalam rantai pasokan perusahaan.
Program seperti Forest Cover Analyzer, Eyes on the Forest, dan Global Forest Watch 2.0 yang
akan segera diluncurkan, memungkinkan setiap orang dengan koneksi internet untuk melihat di
mana dan kapan perubahan tutupan hutan terjadi di suatu wilayah tertentu. Pemerintah Indonesia
juga memiliki berbagai inisiatif pengawasan hutan di dalam badan-badan pemerintah yang
berbeda.

Selama kabut asap minggu lalu, sebagai contohnya, WRI mempublikasikan data yang
menunjukkan bahwa kebakaran di Indonesia kemungkinan berhubungan dengan pembukaan
lahan yang dilakukan oleh komoditas terbesar di Indonesia, kayu pulp dan kelapa sawit. Ini
bukanlah tren yang baru – terdapat peningkatan permintaan secara global terhadap kedua
komoditas tersebut, dan di masa lalu, produksi seringkali mengorbankan hutan. Perkiraan
menunjukkan bahwa 57 persen deforestasi di Indonesia disebabkan oleh perkebunan kelapa
sawit, dengan 20 persen berasal dari pulp dan kertas. Kemampuan untuk menunjukkan secara
cepat di mana dan kapan kebakaran hutan terjadi dan menentukan siapa yang bertanggung jawab,
belum pernah terjadi sebelumnya. Inovasi-inovasi tersebut dapat membantu pemerintah,
perusahaan, dan masyarakat dalam mengawasi dan mengurangi deforestasi secara cepat dan
efektif.

3. Sertifikasi Hukum dan Sukarela

Usaha penting lainnya dalam mencapai tingkat deforestasi nol persen adalah memanfaatkan
secara efektif berbagai mekanisme sertifikasi dan persyaratan hukum yang mewajibkan praktik-
praktik yang berkelanjutan. Standar-standar tersebut meliputi kriteria dan prinsip-prinsip yang
disusun secara seksama yang menjadi pedoman dalam mengolah dan memproduksi komoditas
dan dituangkan ke dalam seperangkat best practices, seperti melarang pembakaran dan
deforestasi di hutan primer dan lahan gambut. Sebagai imbalan dari mematuhi persyaratan
tersebut, sebuah produk dapat ditandai sebagai produk yang berkelanjutan (sustainable).
Perusahaan menggunakan skema-skema sertifikasi tersebut untuk memastikan bahwa sebuah
produk dibuat dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Banyak perusahaan yang tergabung ke
dalam CGF telah berkomitmen untuk memenuhi larangan deforestasi yang mereka janjikan
dengan menggunakan hanya produk-produk yang bersertifikat.

Di sisi produksi komoditas, terdapat beberapa standar seperti sertifikasi RSPO yang dilakukan
secara sukarela atau versi Indonesia (ISPO) yang serupa namun diwajibkan secara hukum. Untuk
pulp dan kertas, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia menjadi sistem verifikasi
hukum kayu secara nasional. Di tingkat internasional, Forest Stewardship Council (FSC) dan
Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC) merupakan standar sertifikasi
yang cukup dikenal dan dilakukan secara sukarela yang menjadi pedoman perusahaan untuk
mencapai best practices.

Pertemuan TFA 2020 merupakan peluang yang sangat menarik. Perusahaan-perusahaan


komoditas terbesar di dunia akan bergabung bersama para pembuat kebijakan untuk
mendiskusikan cara-cara praktis dan terjangkau untuk mencapai tingkat deforestasi nol persen
pada tahun 2020. Mengumpulkan mereka bersama-sama dapat membantu mengidentifikasi
solusi-solusi yang telah berhasil dijalankan dan mengembangkannya untuk menghasilkan
perubahan global yang lebih berarti.

Supardi,Hukum Lingkungan di Indonesia,(Jakarta:Sinar Grafika, 2006), hlm.59-


606Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan
Pembangunan,(Jakarta:Djambatan, 2004), hlm. 158

Permintaan informasi kehutanan sepenuhnya dilakukan untuk kepentingan umum, kepentingan


masyarakat Indonesia dan ikut membantu pelaksanaan program pemerintah di bidang lingkungan
hidup. Sedangkan tujuan penggunaan informasi kehutanan ini antara lain untuk a) Melakukan
pemantauan perubahan tutupan hutan, titik api dan kebakaran hutan termasuk mengidentifikasi
wilayah-wilayah yang potensial untuk dikonservasi sebagai usulan kepada pemerintah; b) Melakukan
analisis atas izin-izin dalam sector lingkungan hidup dan kehutanan untuk memberikan rekomendasi
kepada Tim Evaluasi dan Pengendalian Perizinan Lingkungan Hidup dan Kehutanan; c) Melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaan INPRES No.8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru
dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut; d) Melakukan pemantauan
komitmen sukarela perusahaan dalam menerapkan kebijakan nol deforestasi, agar bisa dilaksanakan
dengan tepat; e) Melakukan analisis sebagai masukan dan bahan evaluasi pelaksanaan GNSDA-KPK di 24
Provinsi ( Rencana aksi dll. Bisa dilihat di http://acch.kpk.go.id/gn-psda ), dan f) Memberikan saran dan
solusi untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam penyelesaian konflik pengusahaan hutan dan
lahan yang terkait dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan;

Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mengatur tentang
kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestaran lingkungan hidup serta mencegah dan
menangulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Dengan sanksi pidana penjara paling lama
10 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta selain itu juga bisa dikenakan tindakan tata tertib berupa
perampasan keuntungan, penutupan perusahaan, perbaikan kerusakan.

UU No 41 1999 tentang Kehutanan Pasal 50 ayat 3, pembakaran hutan dikenakan hukuman kurungan
maksimal 15 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 15 miliar. Pasal78 ayat 4 dikenakan denda
maksimal penjara 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1,5 miliar. 3.

Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan
Hidup. Dalam PP tersebut, terdapat larangan terhadap pembakaran hutan dan lahan, hanya saja
larangan tersebut hanya dikenakan sanksi administrasi. 4.

Pasal 10 ayat (2) huruf b, Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan diatur
bahwa kegiatan perlindungan hutan meliputi pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak
kebakaran. Hanya saja didalam pasal 42 dan 43 PP tersebut dinyatakan bahwa mengenai tindakan
pidana dampak kebakaran hutan hanya diberlakukan bagi pihak yang tidak memiliki surat-surat dan izin
atas hasil hutan. 5.

Undang-undang No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan kewajiban untuk melestarikan fungsi


hingkungan hidup. Dengan sanksi penjara maksimal 3 tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar atau
keduanya. Alat-alat yang dipergunakan. 6.

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Menjelaskan prisnip pembakaran hutan
dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi
yang tidak dapat dielakkan, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit,
serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Sanksi berupa ancaman paling lama 15 tahun dan denda
paling banyak Rp 5 miliar dan kelalaian di ancam kurungan maksimal 5 tahun dan denda Rp 1,5 miliar
atau sanksi kumulatif. 7.

Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang Pengolahan Lingkungan Hidup. Pasal 69 dengan jelas
mengatur terkait dengan perbuatan melawan hukum melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau pengerusakan lingkungan hidup, selain itu, UU ini juga mengatur tentang
ketentuan pidana bagi orang yang melakukan pembakaran lahan Ketentuan

Sosialisasi bahaya kebakaran hutan, lahan dan kebun bagi kesehatan khususnya bagi kelompok
perempuan, anak-anak dan lanjut usia dan meberikan pembinaan serta pembekalan secara langsung ke
warga desa. 3.

Penyebaran pesan-pesan publik melalui iklan masyarakat di daerah.

Pelatihan warga desa dengan mengambil 15 orang di setiap desa yang dipilih untuk menjadi relawan.
Seluruh sukarelawan ini dilatih dan didukung dalam melakukan pemantauan titik api secara efektif, serta
menyampaikan informasi secara cepat ke tim penanggulangan, baik melalui surat elektronik, pesan
pendek (sms), telepon, maupun cara-cara komunikasi lainnya. 5.

Bantuan prasarana pemadaman api 6.

Pemberian insentif (reward) kepada desa terbaik yang berhasil mencegah dan menangani potensi
kebakaran, berupa bantuan pembangunan infrastruktur social tambahan atau bantuan pendampingan
teknis 7.

Pemantauan lokasi dan titik api juga dilakukan dengan menggunakan teknologi drone, pesawat tanpa
awak, juga system monitoring hot spot berbasis satelit yang hasil pengolahan datanya akan diteruskan
ke posko satgas desa di wilayah operasinya. 8.

Mendorong partisipasi masyarakat untuk memetakan batas-batas desa dan lahan di wilayah mereka
sebagai bagian dari strategi pencegahan dan penanganan kebakaran. 9.

Pelatihan pertanian di tanah demplot (demonstration plot) yang disepakati warga, penggunaan pupuk
ramah lingkungan, perbaikan tata kelola air dan sebagainya sebagai solusi alternative praktek pertanian
tanpa membakar 10.

Penyedian lebih dari 10 ribu personil tanggap darurat, lebih dari 20 jenis peralatan pemadam kebakaran
kartu dan sejumlah tenaga medis

Anda mungkin juga menyukai