Anda di halaman 1dari 4

Hasanudin Abdurakhman Penulis 19 Feb 2016 · 9.

402

Saintek · 4 menit baca

Mendiskusikan Agama dan Sains

Ada satu temuan baru mengenai kejadian alam semesta. Umum diketahui bahwa berdasarkan teori
relativitas Einstein digambarkan bahwa alam semesta ini berasal dari sebuah titik singular. Titik singular
adalah titik yang maha padat. Ia kemudian meledak, kita kenal kejadiannya sebagai sebuah dentuman
besar atau big bang. Dari situ lah alam semesta diduga berasal.

Persoalannya, dengan model ini tak bisa digambarkan apa yang terjadi sebelum dentuman itu. Kata
Steven Hawking, pertayaan tentang itu tak relevan, karena “sebelum” itu adalah soal waktu. Sedangkan
waktu baru tercipta bersama terciptanya ruang, yaitu pada dentuman tadi.

Kini ada teori baru yang mengatakan bahwa telah dilakukan koreksi kuantum terhadap teori Einstein
tadi. Menurut teori ini alam semesta tidak berasal dari sebuah dentuman. Alam semesta ini tiada awal,
pun tiada akhirnya.

Pernyataan di atas tentu akan mengusik kalangan agama, sebagaimana pernyataan Hawking bahwa
Tuhan tidak terlibat dalam penciptaan alam semesta. Sebelumnya teori Darwin tentang evolusi makhluk
hidup juga menyengat. Masih banyak lagi benturan-benturan antara sains dan agama terjadi dalam
sejarah kita.

Sengatan semacam itulah sepertinya yang telah memunculkan gagasan soal islamisasi sains yang sempat
diwacanakan sekitar tahun 90-an. Entah kenapa wacana itu kini sepi. Gagasan ini beranjak dari
kekhawatiran bahwa sians sedang dan akan berkembang menjadi “liar”, cenderung menjauhkan manusia
dari eksistensi Tuhan serta ajaran agama, khususnya Islam. Maka diperlukan islamisasi untuk
mengoreksinya.

Namun, bagaimana caranya? Tiba di pertanyaan ini wacananya menjadi muskil, karena kontribusi
ilmuwan muslim terhadap sains masih sangat minim. Segelintir ilmuwan itu pun belum tentu setuju
dengan gagasan ini. Mungkin inilah sebab utama memudarnya wacana ini.
Seorang teman pernah memberi saya buku berjudul “Atoms and Eden”. Buku ini merupakan kumpulan
wawancara seorang wartawan dengan sejumlah kalangan ilmuwan elit dunia, tentang hubungan agama
dan sains.

Beragam tokoh ada di situ, baik dari kalangan ateis seperti Richard Dawkins dan Sam Harris, maupun
kalangan yang lebih “ramah” terhadap agama seperti Karen Armstrong. Kesimpulannya? Tidak ada.
Setiap orang punya pandangan sendiri dalam melihat hubungan agama dengan sains.

Apa sebenarnya masalah dalam hubungan ini? Dulu ketika manusia belum mengenal sains, agama
(melalui kitab suci dan nabi) mencoba menjelaskan alam semesta. Tujuan sebenarnya bukan untuk
memberi pengetahuan detil. Sekedar memperkenalkan bahwa alam semesta ini ada penciptanya. Ialah
Tuhan. Keberadaan Tuhan dijelaskan melalui dahsyatnya alam, yang tak mungkin bisa diciptakan
manusia.

Perlahan sains berkembang. Banyak hal yang kemudian diketahui manusia. Di antaranya hal-hal yang
berbeda dari yang dibahas di kitab suci. “Berbeda” dalam hal ini menjadi kontroversi sendiri. Benarkah
rumusan sains berbeda dengan rumusan kitab suci?

Berbeda rumusan, atau hanya sekedar tafsir atas kitab suci yang harus dimodifikasi? Sebaliknya,
benarkah rumusan sains itulah yang benar? Bukankah kebenaran sains adalah kebenaran nisbi yang bisa
berubah?

Ilmuwan sendiri beragam sikapnya. Ada yang mengatakan bahwa isi kitab suci telah usang. Ada pula yang
sekedar mengatakan bahwa kitab suci harus ditafsir ulang, bukan usang. Berbagai usaha melakukan tafsir
ulang itu kemudian menimbulkan banyak wacana baru, di antaranya usaha penafsiran yang mencari
keselarasan seperti dilakukan oleh Maurice Bucaille dan Keith Moore terhadap Quran.

Perlu dicatat bahwa keduanya bukan muslim. Gaya ini kemudian diikuti oleh cukup banyak orang seperti
Ahmad Baiquni, dilanjutkan oleh berbagai jenis orang seperti Adnan Oktar (Harun Yahya). Gaya ini pun
menimbulkan perdebatan pula.
Salah satu yang keberatan adalah Ziauddin Sardar, seorang ilmuwan muslim yang tadinya diundang
bergabung bersama Bucaille dan Moore oleh pemerintah Saudi Arabia untuk mencari rumusan tafsir
selaras tadi.

Dalam berbagai perdebatan tadi saya sebenarnya bertanya, perlukah kitab suci dan sains itu
diselaraskan? Kalau ada gagasan untuk menyelaraskannya, asumsinya, keduanya tidak selaras. Faktanya
memang demikian. Kalau mau diselaraskan, dasar berpikirnya adalah keduanya harus selaras. Mengapa
harus?

Oo, tentu harus selaras, kata kalangan agama. Alam ini ciptaan Tuhan. Demikian pula kitab suci, ia adalah
kabar dari Tuhan. Tentu aneh bila dua hal yang sama-sama dari Tuhan tidak selaras. Bila tidak selaras bisa
ada kecurigaan bahwa kitab suci itu bukan berasal dari Tuhan.

Masalah tidak berhenti sampai di situ saja. Beberapa temuan maupun gagasan sains berpotensi
“mengusir” Tuhan. Seperti gagasan di atas, kalau alam semesta tidak berawal dan tidak berakhir,
bagaimana dengan Tuhan? Bukankah sifat itu adalah sifat Tuhan? Apakah dengan demikian Tuhan itu
sebenarnya hanyalah alam semesta ini?

Masalahnya jadi semakin rumit. Namun bagi saya, ada beberapa benang merah penting yang mungkin
bisa menjadi “penengah”. Pertama, sains itu meneliti alam. Tuhan bukanlah objek kajian sains. Jadi,
apapun temuan sains ia tidak bisa digunakan untuk membuktikan atau menegasi keberadaan Tuhan.

Kok begitu? Ya, karena sains tidak membahas Tuhan. Ia tidak membahas wujud Tuhan, juga tidak
membahas hubungan antara Tuhan dengan alam. Kalau ada yang membahasnya, itu adalah bahasan soal
tafsir terhadap sains. Tafsir itu soal preferensi orang, bukan soal fakta sains.

Kedua, seperti saya tulis di atas, meski membahas alam, kitab suci tidak berniat menjelaskan alam secara
rinci. Ia hanya memperkenalkan alam. Lebih tepat lagi, memperkenalkan Tuhan. Lagi pula, kitab suci
sebenarnya bersifat lokal saja. Ia hadir pada suatu masa, berkomunikasi dengan orang pada masa itu.

Meski kemudian ia dipakai hingga kini, statusnya bukan penjelas segala sesuatu yang berfungsi
sepanjang masa. Yang berlaku sepanjang masa hanyalah substansi nilai yang hendak diajarkan. Nilainya
sendiri boleh jadi berubah oleh berubahnya manusia.
Masalah kita adalah adanya sekelompok orang yang menganggap kitab suci itu berlaku dan benar
sepanjang masa hingga ke setiap detilnya. Semangat untuk menyelaraskan tadi sebenarnya dipicu untuk
mempertahankan prinsip bahwa apapun yang berlaku belasan abad yang lalu harus pula berlaku
sekarang. Untuk mendukung itu maka setiap butir yang terkandung dalam kitab suci harus
dipertahankan sebagai kebenaran.

Sebenarnya yang menjadi goyah oleh sains bukan eksistensi Tuhan. Yang goyah adalah keinginan
manusia untuk tetap memberlakukan apa yang berlaku belasan abad yang lalu.

Anda mungkin juga menyukai