Anda di halaman 1dari 150

Pengertian Konsep Nilai dan Sistem Nilai Budaya

KONSEP NILAI
Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai
merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta
prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku.
Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut
Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional.
Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan
manusia itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri
sduah dirmuskan oleh beberapa ahli seperti :
 Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat (1987:85) lain adalah nilai budaya
terdiri dari konsepsi – konsepsi yang hidup dalam alam
fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal –
hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada
dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam
bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang
mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara – cara,
alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang tersedia.
 Clyde Kluckhohn dlam Pelly
Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994) mendefinisikan nilai budaya
sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang
mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam,
kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang
dan tentang hal – hal yang diingini dan tidak diingini yang
mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan
dan sesama manusia.
 Sumaatmadja dalam Marpaung
Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000)
mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan,
penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai –
nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian,
keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan
sebagai nilai budaya.
Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat
dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas
vsosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai –
nilai atau system nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu
sendiri. Artinya nilai – nilai itu sangat banyak mempengaruhi
tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok
atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar
salah, patut atau tidak patut
Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang,
maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di
dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan
sehari – hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas,
dan lain – lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan
pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk
konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam
bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau
masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah,
patut atau tidak patut.

Sistem Nilai
Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting,
maka pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai
budaya sangat penting dalam konteks pemahaman perilaku
suatu masyarakat dan sistem pendidikan yang digunakan untuk
menyampaikan sisitem perilaku dan produk budaya yang dijiwai
oleh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan.
Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai ………. sebuah
konsepsi, eksplisit atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang
atau sekelompok orang, mengenai hal-hal yang diinginkan yang
mempengaruhi pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat,
tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia. Orientasi nilai budaya
adalah ……. Konsepsi umum yang terorganisasi, yang
mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam,
kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang
dan tentang hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin
bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan
sesama manusia.
Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-
konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa
yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa
yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem
nilai budaya ini menjado pedoman dan pendorong perilaku
manusia dalam hidup yang memanifestasi kongkritnya terlihat
dalam tata kelakuan. Dari sistem nilai budaya termasuk norma
dan sikap yang dalam bentuk abstrak tercermin dalam cara
berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam bentuk pola
perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.
Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang
mencakup pilihan nilai yang dominan yang mungkin dipakai oleh
anggota-anggota suatu masyarakat dalam memecahkan 6
masalah pokok kehidupan.

Ada beberapa pengertian tentang nilai, yaitu sebagai berikut:


 Nilai adalah sesuatu yang berharga, keyakinan yang
dipegang sedemikian rupa oleh seseorang sesuai denagn
tututan hati nuraninya (pengertian secara umum)
 Nilai adalah seperangkat keyakinan dan sikap-sikap
pribadi seseorang tentang kebenaran, keindahan, dan
penghargaan dari suatu pemikiran, objek atau prilaku yang
berorientasi pada tindakan dan pemberian arah serta makna
pada kehidupan seseorang (simon,1973).
 Nilai adalah keyakinan seseorang tentang sesuatu yang
berharga, kebenaran atau keinginan mengenai ide-ide, objek,
atau prilaku khusu (Znowski, 1974)

pancasila merupakan sumber utama nilai – nilai di Indonesia.


Adapun nilai nilai yang terkandung pada pancasila antara lain:

a. Nilai Ketuhanan

Nilai ketuhanan Yang Maha Esa artinya aanya pengakuan


terhadap adanya tuhan sebagai pencipta alam semesta. Dengan
adanya ini bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religious
bukan Negara Atheis . nilai ketuhanan juga memiliki arti adanya
pengakuan dan kebebasan memilih dan memeluk agama sesuai
dengan keyakinannya masing masing serta tidak berlaku
diskriminatif terhadap kepercayaaan agama lain.
Namun pada faktanya , saat Pemilihan umum di Jakarta banyak
sekali dijumpai ketidak pahaman akan nilai ketuhanan.
Mmisalnya adanya penyebaran isu SARA yang menyerang
salah satu calon pasangan gubernur. Mereka beranggapan
pemimpin yang tidak seiman akan memberikan mudharat
daripada manfaat.Dengan cara tersebut pasangan cagub yang
menyerang tersebut agar mampu memenangkan pilkada Jakarta
tersebut. Cara yang demikian ini sangat bertentengan dengan
nilai ketuhanan pancasila yang sangat menghargai
keberagaman agama. Semoga kita tidak seperti contoh diatas.

b. Nilai Kemanusiaan

Nilai kemanusiaan yang adill dan beradap memiliki arti bahwa


setiap manusia meiliki kelebihan dan kekuangan dari orang lain.
Nilai ini mengajjarkan bagaimana kita bersikap dengan orang
lain, menjaga perasaan orang lain, dll.
Berbicara tentang nilai kemanusiaaan tentu tak lepas dari HAM
atau hak asasi manusia yang insyaAllah Akan Kami posting
pada kesempatan berikutnya.

c. Nilai Persatuan

Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha kearah


bersatu dan kebullatan rakyat membina rasa nasionalisme
dalam Negara kesatuan republic Indonesia . persatuan juga
merupakan penghargaan terhadap keberagaman kebudayaan ,
sesuai semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.
Namun saat ini , nilai persatuan tersebut semakin berkurang.
Yang paling teranyar adalah bentrokan mahasiswa satu kampus
di Makassar beberapa waktu lalu. Hanya karena masalah
sepele namun menggunakan otot bukan otak. Bahkan ada yang
tak segan membunuh temannya sendiri. Miris jika kita
melihatnya. Seharusnya sebagai generasi muda kita bersatu
untuk berkarya dan menciptakan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat inndonesia, bukan malah tawuran dan saling
memmbunuh.

d. Nilai kerakyatan

Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


permusyawaratan perrwakilan mengandung makna suatu
pemerintahan dari,,oleh dan untuk rakyat. Nilai kerakyatan ini
sangat erat dengan proses demokrasi yang ada di Indonesia
yang insyaAllah Akan Kami terbitkan pada kesempatan yang
akan datang.
e. Nilai Keadilan

Nilai keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung


makna sebagai dasar sekaligus tujuan yaitu tercapainya
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur secara lahiriyah
dan batiniyah.
Namun kenyataannya di Indonesia sangat sulit sekali dijumpai
sebuah keadilan. Misanya pembangunan. Nampak jelas
pembangunan hanya dipusatkan pada pulau jawa saja, namun
untuk daerah atau pulau lainnya jaarang sekali terjamah, lihat
saja di Kalimantan. Jarag sekali dijumpai jalan beraspal
sehingga transportasi disana sangat sulit. Bandingkan dengan di
jawa yang sangat mudah untuk transportasi.
Nilai nilai tersebut bersifat abstrak dan normative , karena
sifatnya itu maka isinya belum bias dioperasionalkan. Agar
mampu mengoperasionalkan nilai tersebut dijabarkan dalam
suatu undang undang dasar (UUD 1945) dan peraturan
perundang undangan lainnya.

.Nilai merupakan suatu ciri, yaitu sebagai berikut:


 Nilai-nilai membentuk dasar prilaku seseorang
 Nilai-nilai nyata dari seseorang diperlihatkan melalui pola
prilaku yang konsisten.
 Nilai-nilai menjadi kontrol internal bagi prilaku seseorang.
 Nilai-nilai merupakan komponen intelektual dan
emosional dari seseorang yang secara intelektual diyakinkan
tentang sutu nilai serta memegang teguh dan mempertahan
kannya.

.Metode Mempelajari Nilai-Nilai


 Menurut teori klasifikasai nilai-nilai, keyakinan atau sikap
dapat menjadi suatu nilai apabila keyakinan tersebut memenuhi
tujuh kriteria sebagai berikut:
 Menjunjung dan menghargai keyakkina dan rilaku
seseorang
 Menegaskan didepan umum , apabila cocok
 Memilih dari berbagai alyernatif
 Memilih setelah mempertimbangkan konsekuensinya
 Memilih secara bebas
 Bertindak
 bertindak denngan pola konsisten

.Keyakinan
 Ada beberapa pengertian tentang keyakinan, yaitu sebagi
berikut:
 Keyakinan adalah sesuatu yang diterima sebagai
kebenaran melalui pertimbangan dan kemungkinan, tidak
berdasarkan kenyataan
 Keyakinan merupakan pengorganisasian konsep kogniti,
misalnya individu memegang keyakinan yang dapat dibuktikan
melalui kejadian yang dapat dipercaya
 tradisi rakyat atau keluarga merupakan keyakinan yng
berjalan dari satu generasi ke generasi yang lain

.Sikap
Sikap adalh suasana perasaan atau sifat, dimana prilaku yang
ditujukan kepada orang, objek, kondisi atau situasi, baik secaa
tradisional maupun nulai atau keyakinan. Sikap dapat diajarkan
melalui cara:
Memberi contoh, teladan atau model peran. Setiap individu
belajar dari seperangkat contoh melaui prilaku orang lain yang
diterimanya,
Membujuk atau meyakinkan .Membujuk atau meyakinkan
seseorang mempunyi dasar kognitf. Hal ini tidak terkait dengan
aspek emosional dari prilaku seseorang.
Mengajarkan melalui budaya. Budaya dan agama
mempengaruhi prilaku seseorang tanpa pilihan. Setiap individu
dapat menerima keyakinan tersebut
pilihan terbatas. Prilaku seseorang dikontrol dengan membatasi
pilihan seseorang dengan tidak mempunyai pilihan secara bebas
Menetapkan melalui peraturan-peraturan. Ketentuan dan
peraturan yang digunakan untuk mengontrol prilaku seseorang
adalah sebagai berikut:
 Perilaku yang dipelajari biasanya dapat diterima secara
sosial dan diterapkan dalam situasi yang sama dengan waktu
yang akan dating
 Berprilaku dalam cara tertentu karena takut diberi sanksi,
sehingga tidak mempertimbangkan nilai benar atau salah
 Menggunakan nilai untuk mengarahkan prilakunya, berarti
dapat membedakan baik dan buru, benar atau salah

.Mempertimbangkan dengan hati nurani


Orang sering mempelajari seperangkat norma prilaku yang
dianggap benar. Kegagalan untuk Mengikuti norma ( hati
nurani ) dapat mengakibatkan perasaan bersalah

SISTEM NILAI BUDAYA

A. SISTEM
Sistem merupakan istilah dari bahasa yunani “system” yang
artinya adalah himpunan bagian atau unsur yang saling
berhubungan secara teratur untuk mencapai tujuan bersama.
Pengertian sistem menurut sejumlah para ahli :
1. L. James Havery
Menurutnya sistem adalah prosedur logis dan rasional untuk
merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu
dengan yang lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai
suatu kesatuan dalam usaha mencapai suatu tujuan yang telah
ditentukan.
2. John Mc Manama
Menurutnya sistem adalah sebuah struktur konseptual yang
tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang
bekerja sebagai suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu
hasil yang diinginkan secara efektif dan efesien.
3. C.W. Churchman.
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang
dikoordinasikan untuk melaksanakan seperangkat tujuan.
4. J.C. Hinggins
Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang
saling berhubungan.
5. Edgar F Huse dan James L. Bowdict
Menurutnya sistem adalah suatu seri atau rangkaian bagian-
bagian yang saling berhubungan dan bergantung sedemikian
rupa sehingga interaksi dan saling pengaruh dari satu bagian
akan mempengaruhi keseluruhan.

B. NILAI
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan
kualitas, dan berguna
bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga
atau berguna
C. NILAI BUDAYA
Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan
tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi,
lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan,
kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik
tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan
prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang
terjadi.
Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan,
moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok
moto suatu lingkungan atau organisasi.
Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu :
Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat
mata (jelas)
Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto
tersebut
Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar
dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku
(tidak terlihat).
D. SISTEM NILAI BUDAYA
Sistem Nilai Budaya, Pandangan Hidup, dan Ideologi. Sistem
budaya merupakan tingkatan tingkat yang paling tinggi dan
abstrak dalam adat istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai –
nilai budaya itu merupakan konsep – konsep mngenai apa yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari dari warga suatu
masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai ,
berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi
sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi
kepada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri.
Nilai – nilai budaya ini bersifat umum , luas dan tak konkret
maka nilai – nilai budaya dalam suatu kebudayaan tidak dapat
diganti dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang
singkat.
Dalam masyarakat ada sejumlah nilai budaya yang satu dan
yang lain berkaitan satu sama lain sehingga merupakan suatu
sistem, dan sistem itu sebagai suatu pedoman dari konsep –
konsep ideal dalam kebudayaan memberi pendorong yang kuat
terhadap arah kehidupan masyarakat.
Menurut ahli antropologi terkenal C.Kluckhohn , tiap sistem
nilai budaya dalam tiap kebudayaan itu mengenai lima masalah
dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi
kerangka variasi system nilai budaya adalah :
Masalah mengenai hakekat dari hidup manusia (disingkat MH)
Ada kebudayaan yang memandang hidup manusia itu pada
hakekatnya suatu hal yang buruk dan menyedihkan .Pada
agama Budha misalnya,pola – pola tindakan manusia akan
mementingkan segala usaha untuk menuju arah tujuan bersama
dan memadamkan hidup baru. Adapun kebudayaan –
kebudayaan lain memandang hidup manusia dapat
mengusahakan untk menjadikannya suatu hal yang indah dan
menggembirakan.
Masalah mengenai hakekat dari karya manusia ( disingkat MK)
Kebudayaan memandang bahwa karya manusia bertujuan untuk
memungkinkan hidup,kebudayaan lain menganggap hakekat
karya manusia itu untuk memberikannya kehormatan,ada juga
kebudayaan lain yang menganggap karya manusia sebagai
suatu gerak hidup yang harus menghasilkan lebih banyak karya
lagi.
Masalah mengenai hakekat dari kedudukan manusia dalam
ruang dan waktu (disingkat MW)
Kebudayaan memandang penting dalam kehidupan manusia
pada masa lampau, keadaan serupa ini orang akan mengambil
pedoman dalam tindakannya contoh – contoh dan kejadian-
kejadaian dalam masa lampau. Sebaliknya ada kebudayaan
dimana orang hanya mempunyai suatu pandangan waktu yang
sempit. Dalam kebudayaan ini perencanaan hidup menjadi suatu
hal yang sangat amat penting.
Masalah mengenai hakekat hubungan manusia dengan alam
sekitarnya (disingkat MA)
Kebudayaan yangh memandang alam sebagai suatu hal yang
begitu dahsyat sehingga manusia hanya dapat bersifat
menyerah tanpa dapat berusaha banyak. Sebaliknya ,banyak
pula kebudayaan lain yang memandang alam sebagai lawan
manusia dan mewajibkan manusia untuk selalu berusaha
menaklukan alam. Kebudayaan lain masih ad yang menganggap
bahwa manusia dapat berusaha mencari keselarasan dengan
alam.
Masalah mengenai hakekat hubungan manusia dengan
sesamanya (disingkat MM)
Ada kebudayaan yang memntingkan hubungan vertical antara
manusia dengan sesmanya. Tingkah lakunya akan berpedoman
pada tokoh – tokoh pemimpin. Kebudayaan lain mementingkan
hubungan horizontal antara manusia dan sesamanya. Dan
berusaha menjaga hubungan baik dengan tetangga dan
sesamanya merupakan suatu hal yang penting dalam hidup.
Kecuali pada kebudayaan lain yang tidak menganggap manusia
tergantung pada manusia lain, sifat ini akan menimbulkan
individualisme.
Sumber :
http://www.majalahpendidikan.com/2011/04/pengertian-dan-
konsep-nilai-dalam-islam.html

Kebidanan
Kamis, 14 Mei 2015

Konsep Nilai, Sistem Nilai, dan Nilai Sosial


KONSEP NILAI, SISTEM NILAI, dan NILAI SOSIAL

A. Konsep Nilai
Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai
merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta
prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan
orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat
kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat
sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri.

Sedangkan yang dimaksud dengan nilai budaya itu sendiri sudah


dirumuskan oleh beberapa ahli seperti:
1. Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi-
konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga
masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem
nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan
dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang
mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara-cara, alat-alat,
dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia.
2. Clyde Kluckhohn dan Pelly
Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994) mendefinisikan nilai budaya
sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi
perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam
alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal–hal yang diingini
dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang
dengan lingkungan dan sesama manusia.
3. Sumaatmadja dalam Marpaung
Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan
bahwa pada perkembangan, pengembangan, penerapan budaya
dalam kehidupan, berkembang pula nilai – nilai yang melekat di
masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta
keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.

B. Sistem Nilai
Tylor dalam Imran Manan (1989;19) mengemukakan moral termasuk
bagian dari kebudayaan, yaitu standar tentang baik dan buruk, benar
dan salah, yang kesemuanya dalam konsep yang lebih besar termasuk
ke dalam ‘nilai’. Hal ini di lihat dari aspek penyampaian pendidikan
yang dikatakan bahwa pendidikan mencakup penyampaian
pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai.

Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka


pemahaman tentang sistem nilai budaya dan orientasi nilai budaya
sangat penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat
dan sistem pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sisitem
perilaku dan produk budaya yang dijiwai oleh sistem nilai masyarakat
yang bersangkutan.

Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai sebuah konsepsi,


eksplisit atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang atau sekelompok
orang, mengenai hal-hal yang diinginkan yang mempengaruhi
pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan perbuatan
yang tersedia. Orientasi nilai budaya adalah konsepsi umum yang
terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan
alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang
dan tentang hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin
bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan sesama
manusia.

Sistem nilai budaya ini merupakan rangkaian dari konsep-konsep


abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap
penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh
dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjado
pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang
memanifestasi kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan. Dari sistem
nilai budaya termasuk norma dan sikap yang dalam bentuk abstrak
tercermin dalam cara berfikir dan dalam bentuk konkrit terlihat dalam
bentuk pola perilaku anggota-anggota suatu masyarakat.

Kluckhohn mengemukakan kerangka teori nilai nilai yang mencakup


pilihan nilai yang dominan yang mungkin dipakai oleh anggota-
anggota suatu masyarakat dalam memecahkan 6 masalah pokok
kehidupan.
Ada beberapa pengertian tentang nilai, yaitu sebagai berikut:
1. Nilai adalah sesuatu yang berharga, keyakinan yang dipegang
sedemikian rupa oleh seseorang sesuai denagn tututan hati nuraninya
(pengertian secara umum).
2. Nilai adalah seperangkat keyakinan dan sikap-sikap pribadi seseorang
tentang kebenaran, keindahan, dan penghargaan dari suatu pemikiran,
objek atau prilaku yang berorientasi pada tindakan dan pemberian arah
serta makna pada kehidupan seseorang (simon,1973).
3. Nilai adalah keyakinan seseorang tentang sesuatu yang berharga,
kebenaran atau keinginan mengenai ide-ide, objek, atau prilaku khusus
(Znowski, 1974).

Pancasila merupakan sumber utama nilai-nilai di Indonesia. Adapun


nilai nilai yang terkandung pada pancasila antara lain:
a. Nilai ketuhanan
Nilai ketuhanan Yang Maha Esa artinya aanya pengakuan terhadap
adanya tuhan sebagai pencipta alam semesta. Dengan adanya ini
bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religious bukan Negara
Atheis . nilai ketuhanan juga memiliki arti adanya pengakuan dan
kebebasan memilih dan memeluk agama sesuai dengan keyakinannya
masing masing serta tidak berlaku diskriminatif terhadap kepercayaaan
agama lain. Namun pada faktanya , saat Pemilihan umum di Jakarta
banyak sekali dijumpai ketidak pahaman akan nilai ketuhanan.
Mmisalnya adanya penyebaran isu SARA yang menyerang salah satu
calon pasangan gubernur. Mereka beranggapan pemimpin yang tidak
seiman akan memberikan mudharat daripada manfaat.Dengan cara
tersebut pasangan cagub yang menyerang tersebut agar mampu
memenangkan pilkada Jakarta tersebut. Cara yang demikian ini sangat
bertentengan dengan nilai ketuhanan pancasila yang sangat menghargai
keberagaman agama. Semoga kita tidak seperti contoh diatas.
b. Nilai kemanusiaan
Nilai kemanusiaan yang adil dan beradap memiliki arti bahwa setiap
manusia memiliki kelebihan dan kekuangan dari orang lain. Nilai ini
mengajarkan bagaimana kita bersikap dengan orang lain, menjaga
perasaan orang lain, dll
c. Nilai persatuan
Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha kearah bersatu
dan kebullatan rakyat membina rasa nasionalisme dalam Negara
kesatuan republic Indonesia . persatuan juga merupakan penghargaan
terhadap keberagaman kebudayaan , sesuai semboyan “Bhineka
Tunggal Ika”. Namun saat ini , nilai persatuan tersebut semakin
berkurang. Yang paling teranyar adalah bentrokan mahasiswa satu
kampus di Makassar beberapa waktu lalu. Hanya karena masalah
sepele namun menggunakan otot bukan otak. Bahkan ada yang tak
segan membunuh temannya sendiri. Miris jika kita melihatnya.
Seharusnya sebagai generasi muda kita bersatu untuk berkarya dan
menciptakan sesuatu yang berguna bagi masyarakat inndonesia, bukan
malah tawuran dan saling membunuh.
d. Nilai kerakyatan
Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perrwakilan mengandung makna suatu pemerintahan
dari,,oleh dan untuk rakyat. Nilai kerakyatan ini sangat erat dengan
proses demokrasi yang ada di Indonesia yang insyaAllah Akan Kami
terbitkan pada kesempatan yang akan datang.
e. Nilai keadilan
Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna
sebagai dasar sekaligus tujuan yaitu tercapainya masyarakat Indonesia
yang adil dan makmur secara lahiriyah dan batiniyah. Namun
kenyataannya di Indonesia sangat sulit sekali dijumpai sebuah keadilan.
Misanya pembangunan. Nampak jelas pembangunan hanya dipusatkan
pada pulau jawa saja, namun untuk daerah atau pulau lainnya jaarang
sekali terjamah, lihat saja di Kalimantan. Jarag sekali dijumpai jalan
beraspal sehingga transportasi disana sangat sulit. Bandingkan dengan
di jawa yang sangat mudah untuk transportasi. Nilai nilai tersebut
bersifat abstrak dan normatif , karena sifatnya itu maka isinya belum
bias dioperasionalkan. Agar mampu mengoperasionalkan nilai tersebut
dijabarkan dalam suatu undang undang dasar (UUD 1945) dan
peraturan perundang undangan lainnya.

Nilai merupakan suatu ciri, yaitu sebagai berikut:


1. Nilai-nilai membentuk dasar prilaku seseorang.
2. Nilai-nilai nyata dari seseorang diperlihatkan melalui pola prilaku yang
konsisten.
3. Nilai-nilai menjadi kontrol internal bagi prilaku seseorang.
4. Nilai-nilai merupakan komponen intelektual dan emosional dari
seseorang yang secara intelektual diyakinkan tentang sutu nilai serta
memegang teguh dan mempertahan kannya.

Metode mempelajari nilai-nilai: Menurut teori klasifikasai nilai-nilai,


keyakinan atau sikap dapat menjadi suatu nilai apabila keyakinan
tersebut memenuhi tujuh kriteria sebagai berikut:
1. Menjunjung dan menghargai keyakkina dan rilaku seseorang.
2. Menegaskan didepan umum , apabila cocok.
3. Memilih dari berbagai alyernatif.
4. Memilih setelah mempertimbangkan konsekuensinya.
5. Memilih secara bebas.
6. Bertindak.
7. Bertindak denngan pola konsisten.

C. Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai
apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat.
Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik,
sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan nilai sosial
sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang
mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.

Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi


umum dalam masyarakat:
1. Dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan
masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku.
2. Sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-
peranan social.
3. Dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan
peranannya Contoh: ketika menghadapi konflik, biasanya keputusan
akan diambil berdasarkan pertimbangan nilai sosial yang lebih tinggi.
4. Sebagai alat solidaritas di kalangan anggota kelompok masyarakat.
Dengan nilai tertentu anggota kelompok akan merasa sebagai satu
kesatuan.
5. Sebagai alat pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan
dan daya mengikat tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai
yang dianutnya.

Nilai merupakan suatu ciri, yaitu sebagai berikut:


a. Nilai-nilai membentuk dasar prilaku seseorang.
b. Nilai-nilai nyata dari seseorang diperlihatkan melalui pola prilaku yang
konsisten.
c. Nilai-nilai menjadi kontrol internal bagi prilaku seseorang.

d. Nilai-nilai merupakan komponen intelektual dan emosional dari


seseorang yang secara intelektual diyakinkan tentang sutu nilai serta
memegang teguh dan mempertahankannya.
Diposting oleh Zulia Jayanty di 07

Pengertian Konsep Nilai


Penulis : Podani Natoras on Sunday, October 6, 2013 | 1:03 AM
Konsep Nilai
Batasan nilai bisa mengacu pada berbagai hal seperti minat, kesukaan,
pilihan, tugas, kewajiban agama, kebutuhan, keamanan, hasrat,
keengganan, daya tarik, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
perasaan dari orientasi seleksinya (Pepper, dalam Sulaeman, 1998).
Rumusan di atas apabila diperluas meliputi seluruh perkem-bangan dan
kemungkinan unsur-unsur nilai, perilaku yang sempit diperoleh dari
bidang keahlian tertentu, seperti dari satu disiplin kajian ilmu. Di bagian
lain, Pepper mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu tentang yang
baik atau yang buruk. Sementara itu, Perry (dalam Sulaeman, 1998)
mengatakan bahwa nilai adalah segala sesuatu yang menarik bagi
manusia sebagai subjek.
Ketiga rumusan nilai di atas, dapat diringkas menjadi segala sesuatu yang
dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang
baik atau yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari
berbagai pengalaman dengan seleksi perilaku yang ketat.

Seseorang dalam melakukan sesuatu terlebih dahulu mempertimbangkan


nilai. Dengan kata lain, mempertimbangkan untuk melakukan pilihan
tentang nilai baik dan buruk adalah suatu keabsahan. Jika seseorang
tidak melakukan pilihannya tentang nilai, maka orang lain atau kekuatan
luar akan menetapkan pilihan nilai nnluk dirinya.

Seseorang dalam melakukan pertimbangan nilai bisa bersifat subyektif


dan bisa juga bersifat objektif. Pertimbangan nilai subjektif tcnlapat dalam
alam pikiran manusia dan bergantung pada orang yang memberi
pertimbangan itu. Sedangkan pertimbangan objektif beranggapan bahwa
nilai-nilai itu terdapat tingkatan-tingkatan sampai pada tingkat tertinggi,
yaitu pada nilai fundamental yang mencerminkan universalitas kondisi
fisik, psikologi sosial, menyangkut keperluan setiap manusia di mana
saja.

Dalam kajian filsafat, terdapat prinsip-prinsip untuk pemilihan nilai,


yaitu sebagai berikut.

1. nilai instrinsik harus mendapat prioritas pertama daripada


nilai ekstrinsik. Sesuatu yang berharga instrinsik, yaitu yang baik
dari dalam dirinya sendiri dan bukan karena menghasilkan
sesuatu yang lain. Sesuatu yang berharga secara ekstrinsik, yaitu
sesuatu yang bernilai baik karena sesuatu hal dari luar. Jika
sesuatu itu merupakan sarana untuk mendapat sesuatu yang lain.
Semua benda yang bisa digunakan untuk aktivitas mem-punyai
nilai ekstrinsik.

2. nilai ini tidak harus terpisah. Suatu benda dapat bernilai


instrinsik dan ekstrinsik. Contoh pengetahuan, mempunyai nilai
instrinsik baik dari dirinya sendiri dan mempunyai nilai ekstrinsik
apabila digunakan untuk kepentingan pembangunan baik di
bidang ekonomi, politik, hukum, maupun bidang-bidang yang
lainnya.

3. nilai yang produktif secara permanen didahulukan


daripada nilai yang produktif kurang permanen. Beberapa nilai,
seperti nilai ekonomi akan habis dalam aktivitas kehidupan.
Sedangkan nilai persahabatan akan bertambah jika dipergunakan
untuk membagi nilai akal dan jiwa bersama orang lain. Oleh
karena itu, nilai persahabatan harus didahulukan daripada nilai
ekonomi.

Sistem Nilai
Sistem nilai adalah nilai inti (core value) dari masyarakat. Nilai inti ini
diakui dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia di dunia untuk berperilaku.
Sistem nilai ini menunjukkan tata-tertib hubungan timbal balik yang ada di
dalam masyarakat. Sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia (Koentjaraningrat, 1981). Sistem nilai
budaya ini telah melekat dengan kuatnya dalam jiwa setiap anggota
masyarakat sehingga sulit diganti atau diubah dalam waktu yang singkat.
Sistem budaya ini menyangkut masalah-masalah pokok bagi kehidupan
manusia.

Sistem nilai budaya ini berupa abstraksi yang tidak mungkin sama persis
untuk setiap kelompok masyarakat. Mungkin saja nilai-nilai itu dapat
berbeda atau bahkan bertentangan, hanya saja orien-tasi nilai budayanya
akan bersifat universal, sebagaimana Kluckhohn (1950) sebutkan.

Menurut Kluckhohn, sistem nilai budaya dalam masyarakat di mana pun


di dunia ini, secara universal menyangkut lima masalah pokok kehidupan
manusia, yaitu:

4. Hakikat hidup manusia. Hakikat hidup untuk setiap kebudayaan


berbeda secara ekstrim. Ada yang berusaha untuk memadamkam hidup
(nirvana = meniup habis). Ada pula yang dengan pola-pola kelakuan
tertentu menganggap hidup sebagai sesuatu hal yang baik (mengisi
hidup).

5. Hakikat karya manusia. Setiap manusia pada hakikatnya berbeda-


beda, di antaranya ada yang beranggapan bahwa karya bertujuan untuk
hidup, karya memberikan kedudukan atau kehormatan, karya merupakan
gerak hidup untuk menambah karya lagi.

6. Hakikat waktu untuk setiap kebudayaan berbeda. Ada yang


berpandangan mementingkan orientasi masa lampau, ada pula yang
berpandangan untuk masa kini atau yang akan datang.

7. Hakikat alam manusia. Ada kebudayaan yang menganggap manusia


harus mengeksploitasi alam atau memanfaatkan alam semaksimal
mungkin, ada pula kebudayaan yang beranggapan bahwa manusia harus
harmonis dengan alam dan manusia harus menyerah kepada alam.

8. Hakikat hubungan manusia. Dalam hal ini ada yang mementingkan


hubungan manusia dengan manusia, baik secara horisontal maupun
secara vertikal kepada tokoh-tokoh. Ada pula yang berpandangan
individualist’s (menilai tinggi kekuatan sendiri).

Berdasarkan hasil suatu penelitian, ada tiga pandangan dasar tentang


makna hidup, yaitu:
(1) hidup untuk bekerja,
(2) hidup untuk beramal, berbakti, dan
(3) hidup untuk bersenang-senang.

Sedangkan makna kerja, yaitu:


(1) untuk mencari nafkah,
(2) untuk memper-tahankan hidup,
(3) untuk kehormatan,
(4) untuk kepuasan dan kesenangan, dan
(5) untuk amal ibadah.
Perubahan Kebudayaan
Masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah,
ada dua sebab perubahan

1. Sebab yang berasal dari masyarakat dan lingkungannya


sendiri,misalnya perubahan jumlah dan komposisi

2. sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat


mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada
dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan
lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.

3. adanya difusi kebudayaan, penemuan-penemuan baru,


khususnya teknologi dan inovasi.

Dalam masyarakat maju, perubahan kebudayaan biasanya terjadi melalui


penemuan (discovery) dalam bentuk ciptaan baru (inovatiori) dan melalui
proses difusi. Discovery merupakan jenis penemuan baru yang
mengubah persepsi mengenai hakikat suatu gejala mengenai hubungan
dua gejala atau lebih. Invention adalah suatu penciptaan bentuk baru
yang berupa benda (pengetahuan) yang dilakukan melalui penciptaan
dan didasarkan atas pengkom-binasian pengetahuan-pengetahuan yang
sudah ada mengenai benda dan gejala yang dimaksud.

Ada empat bentuk peristiwa perubahan kebudayaan. Pertama, cultural


lag, yaitu perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam
kebudayaan suatu masyarakat. Dengan kata lain, cultural lag dapat
diartikan sebagai bentuk ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu
antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu
diterima secara umum sampai masyarakat menyesuaikan diri terhadap
benda tersebut.

Kedua, cultural survival, yaitu suatu konsep untuk meng-gambarkan suatu


praktik yang telah kehilangan fungsi pentingnya seratus persen, yang
tetap hidup, dan berlaku semata-mata hanya di atas landasan adat-
istiadat semata-mata. Jadi, cultural survival adalah pengertian adanya
suatu cara tradisional yang tak mengalami perubahan sejak dahulu
hingga sekarang.

Ketiga, pertentangan kebudayaan (cultural conflict), yaitu proses


pertentangan antara budaya yang satu dengan budaya yang lain.

Konflik budaya terjadi akibat terjadinya perbedaan kepercayaan atau


keyakinan antara anggota kebudayaan yang satu dengan yang lainnya.

Keempat, guncangan kebudayaan (cultural shock), yaitu proses


guncangan kebudayaan sebagai akibat terjadinya perpindahan secara
tiba-tiba dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Ada empat tahap
yang membentuk siklus cultural shock, yaitu: (1) tahap inkubasi, yaitu
tahap pengenalan terhadap budaya baru, (2) tahap kritis, ditandai dengan
suatu perasaan dendam; pada saat ini terjadi korban cultural shock, (3)
tahap kesembuhan, yaitu proses melampaui tahap kedua, hidup dengan
damai, dan (4) tahap penyesuaian diri; pada saat ini orang sudah
membanggakan sesuatu yang dilihat dan dirasakan dalam kondisi yang
baru itu; sementara itu rasa cemas dalam dirinya sudah berlalu.

Konsep Nilai dalam Islam a. Pengertian Nilai Nilai dalam bahasa


lnggris “value”, dalam bahasa latin “velere”, atau bahasa Prancis kuno
“valoir” atau nilai dapat diartikan berguna, mampu akan, berdaya, berlaku,
bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok
orang”.1 Dalam kamus besar bahasa Indonesia nilai diartikan sebagai sifat-
sifat (hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan atau sesuatu yang
menyempurnaka manusia. 2 Sehingga nilai merupakan kualitas suatu hal yang
menjadikan hal yang disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan suatu
yang terpenting atau berharga bagi manusia sekaligus inti dari kehidupan.
Sejalan dengan pendapat Raths dan Kelven, sebagaimana yang dikutip oleh
Sutarjo Adisusilo sebagai berikut: 1 Sutarjo Adisusilo, JR. Pembelajaran Nilai
Karakter, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), hlm.56. 2 Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm.
963. 10 “values play a key role in guiding action, resolving conflicts, giving
direction and coherence to live.3 Artiannya nilai mempunyai peranan yang
begitu penting dan banyak di dalam hidup manusia, sebab nilai dapat menjadi
pegangan hidup, pedoman penyelesaian konflik, memotivasi dan
mengarahkan pandangan hidup. Menurut Milton Rokeach dan James Bank
mengungkapkan sebagaimana yang dikutip dalam bukunya M. Chabib Thoha
bahwa nilai: Nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang
lingkup sistem kepercayaan, dimana seseorang harus bertindak atau
menghindari suatu tindakan mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas
untuk dikerjakan”.4 Dengan demikian nilai dapat diartikan sebagai suatu tipe
kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang maupun sekelompok
masyarakat, dijadikan pijakan dalam tindakannya, dan sudah melekat pada
suatu sistem kepercayaan yang berhubungan dengan manusia yang
meyakininnya. Nilai merupakan sesuatu realitas yang abstrak, nilai mungkin
dapat dirasakan dalam diri seseorang masing-masing sebagai daya pendorong
atau prinsip- 3 Sutarjo Adisusilo, JR. Pembelajaran Nilai Karakter,...., hlm.
59. 4 M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 1996), hlm. 60. 11 prinsip yang menjadi pedoman dalam
kehidupan. Nilai juga dapat terwujud keluar dalam pola-pola tingkah laku,
sikap dan pola pikir. Nilai dalam diri seseorang dapat ditanamkan melalui
suatu proses sosialisasi, serta melalui sumber dan metode yang berbeda-beda,
misalkan melalui keluarga, lingkungan, pendidikan, dan agama. Jika dikaitkan
dengan pendidikan disuatu lembaga pendidikan nilai yang dimaksudkan disini
adalah nilai yang bermanfaat serta berharga dalam praktek kehidupan sehari-
hari menurut tinjauan keagamaan atau dengan kata lain sejalan dengan
pandangan ajaran agama Islam. b. Sumber Nilai 1. Nilai Ilahi Nilai Ilahi
adalah nilai yang difitrathkan Tuhan melalui para rasul-Nya yang berbentuk
iman, takwa, adil, yang diabadikan dalam wahyu Illahi.5 Nilai Illahi ini
merupakan sumber utama bagi para penganutnnya. Dari agama, mereka
menyebarkan nilai-nilai kebajikan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Seperti yang dijelaskan dalam Q.S. al-An’am/6: 115 5 Muhaimain
dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya,
1993), hlm. 111. 12 Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-
Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil. tidak ada yang dapat merobah
robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia lah yang Maha Mendenyar lagi Maha
mengetahui. (Q.S. al-An’am/6: 115). 6 Nilai-nilai Illahi selamanya tidak akan
mengalami perubahan. Nilai-nilai Illahi yang fundamental mengandung
kemutlakan bagi kehidupan manusia selaku sebagai pribadi maupun anggota
masyarakat, serta tidak berkecenderungan untuk berubah mengikuti selera
hawa nafsu manusia. Pada nilai Illahi ini, tugas dari manusia adalah
menginterpretasikan serta mengplikasikan nilai-nilai itu dalam kehidupannya.
Dengan interpretasi itu manusia akan mengetahui dan melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya. 2. Nilai Insani Nilai insani ialah nilai yang tumbuh
atas dasar kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dari peradaban
manusia, nilai ini bersifat dinamis. Seperti dalam firman Allah dalam Q.S. Al-
Anfal/8:53 6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan dan Terjemahnya
(Jakarta: Bumi Aksara, 2009) hlm. 142. 13 Yang demikian itu
karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah
diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa yang ada
pada diri mereka sendiri dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui. (Q.S. Al-Anfal/8:53). 7 Nilai-nilai insani yang kemudian
melembaga menjadi tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya.8 Nilai Illahi mempunyai
relasi dengan nilai insani. Namun nilai Illahi (hidup etis religius) memiliki
kedudukan vertikal yang lebih tinggi daripada nilai hidup lainya. Di samping
hirarkinya lebih tinggi, nilai keagamaan mempunyai konsekuensi pada nilai
lainya, dan sebaliknya nilai lainnya itu memerlukan nilai pijakan yang berupa
nilai etis religius. c. Fungsi Nilai Nilai mempunyai fungsi sebagai standar dan
dasar pembentukan konflik dan pembuat keputusan, motivasi dasar
penyesuaian diri dan dasar perwujudan diri. Nilai 7 Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahanya,....., hlm. 57. 8Muhaimain dan Abdul Mujib,
Pemikiran Pendidikan Islam,....,hlm.112 14 sebagai sesuatu yang abstrak yang
mempunyai sejumlah fungsi yang dapat kita cermati, antara lain: 1) Nilai
memberi tujuan atau arah (goals of purpose) kemana kehidupan harus
menuju, harus dikembangkan atau harus diarahkan. 2) Nilai memeberi
aspirasi (aspirations) atau inspirasi kepada seseorang untuk hal yang berguna,
baik, dan positif bagi kehidupan. 3) Nilai mengarahkan seseorang untuk
bertingkah laku (attitudes), atau bersikap sesuai dengan moralitas masyarakat,
jadi nilai itu memberi acuan atau pedoman bagaimana seharusnya seseorang
harus bertingkah laku. 4) Nilai itu menarik (interests), memikat hati seseorang
untuk dipikirkan, direnungkan, dimiliki, diperjuangkan, dan diahayati. 5)
Nilai itu mengusik perasaan (feelings), hati nurani seseorang ketika sedang
mengalami berbagai perasaan, atau suasana hati, seperti senang, sedih,
tertekan, bergembira, bersemangat, dll. 6) Nilai terkait dengan keyakinan atau
kepercayaan (beliefs and convictions) seseorang, terkait dengan nilai-nilai
tertentu. 7) Suatu nilai menuntut adanya aktivitas (activities) perbuatan atau
tingkah laku tertentu sesuai dengan 15 nilai tersebut, jadi nilai tidak berhenti
pada pemikiran, tetapi mendorong atau menimbulkan niat untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan nilai tersebut. 8) Nilai biasanya muncul dalam
kesadaran, hati nurani atau pikiran seseorang ketika yang bersangkutan dalam
situasi kebingungan, mengalami dilema atau mengahadapi berbagai persoalan
hidup (worries, problems, obstacles)9 . Dengan mengetahui sumber, fungsi
dan sarana dan prasarana menanamkan nilai-nilai, orang dapat memahami
kekuatan nilai-nilai tersebut bertahan pada seorang pribadi dan juga cara-cara
yang kiranya dapat direncanakan untuk mengubah nilai yang kurang baik
kearah nilai yang baik. Nilai-nilai adalah dasar atau landasan bagi
perubahan.10 Oleh karena itu fungsi nilai berperan penting dalam proses
perubahan sosial, karena nilai berperan sebagai daya pendorong dalam hidup
untuk mengubah diri sendiri atau masyarakat sekitarnya. Lebih lanjut Hill
dalam Sutarjo Adisusilo berpendapat bahwa nilai berfungsi sebagai acuan
tingkah 9 Sutarjo Adisusilo, JR. Pembelajaran Nilai Karakter,.....hlm 58 10 M.
Sastrapratedja, Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: PT.
Grasindo, 1993), hlm. 25. 16 laku dalam kehidupan, yang mempunyai tiga
tahapan, yaitu: 1) Values Thinking, yaitu nilai-nilai pada tahapan dipikirkan
atau values cognitive; 2) Values affective, yaitu nilai-nilai yang menjadi
keyakinan atau niat pada diri seseorang untuk melakukan sesuatu. 3) Values
actions, yaitu tahap dimana nilai yang menjadi keyakinan dan menjadi niat
(komitmen kuat) diwujudkan menjadi suatu tindakan nyata atau perbuatan
kongkret.11 Dalam pandangan Hill seseorang hanya berhenti pada tahap
pertama, yaitu tahap tahu atau paham tentang nilai-nilai kehidupan, tetapi
tidak sampai pada perwujudan tingkah laku. Secara kognitif sesorang
memang sudah mengetahui banyak tentang nilai, tetapi tidak sampai
melangkah pada values affective, apalagi sampai values action Selanjutnya,
dalam kaitannya dengan nilai pada bahasan ini akan ditelaah mengenai nilai-
nilai tentang penghayatan terhadap agama yang dianutnya, baik nilai yang
bersifat vertikal yakni kepada Allah SWT yang berbentuk rituis, maupun nilai
horisontal yakni nilai yang diterapkan kepada sesama mahkluk hidup. 11
Sutarjo Adisusilo, JR. Pembelajaran Nilai Karakter,.....hlm. 60. 17 2. Islam
Sebagai Ajaran Agama Islam a. Pengertian agama Kata “Agama” menurut
istilah Al-Qur’an disebut Al-Din. Sedangkan secara bahasa, kata “Agama” ini
diambil dari bahasa Sansekerta, sebagai pecahan dari kata”A” yang artinya
“tidak” dan “gama” yang artinya “kacau” Agama berarti “tidak kacau”.12
Agama dalam kehidupan berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat
norma-norma tertentu. Secara umum norma tersebut akan menjadi kerangka
acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan
agama yang dianutnya. Berbicara tentang agama merupakan bagian hubungan
dengan agama dalam kehidupan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata
religius berarti hal yang bersifat religi, bersifat keagamaan.13 Kepercayaan
akan adanya kekuatan adikodrati didalam kepercayaan agama. Dalam kamus
ilmiah religius diartikan sebagai “taat kepada agama”. 14 Istilah keagamaan
muncul dari istilah agama. Meski berakar kata sama, namun dalam 12Rois
Mahfud, Al-Islam (Pendidikan Agama Islam), (Palangka Raya: Penerbit
Erlangga, 2011), hlm. 2. 13 Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat,...., hlm.
1159. 14 Happy El Rais, Kamus Ilmiah Populer. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), hlm. 536. 18 penggunaannya istilah religius mempunyai makna yang
berbeda dengan religi atau agama. Kalau agama (religi) menunjuk pada aspek
formal yang berkaitan dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban,
sedangkan keagamaan menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh
individu di dalam hati. Agama jika diikuti dan dilaksanakan segala doktrin
ajarannya menjadikan mudah dan kebahagiaan dalam hal apapun baik di
dunia maupun di akhirat. Ini senada dengan yang diungkapkan oleh William
James, Religion thus make easy and felicitous what any case is necessary. 15
Pengertian diatas memandang bahwa agama bisa menjadikan mudah dalam
berbagai aspek kehidupan dan memberikan kebahagiaan di dalam hal
apapaun. Ini menegaskan bahwa dengan beragama, dan orang tersebut
mengimani, melaksanakan ajaran-ajaranya, serta menjauhi segala larangan-
Nya, akan memberikan ketenangan, kemudahan dan juga kebahagiaan.
keagamaan diartikan sebagai seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh
keyakinan, serta bagaimana pelaksanaan ibadah, atau seberapa dalam
penghayatan atas agama yang dianutnya. Bagi seorang Muslim, keagamaan
dapat diketahui dari seberapa jauh 15 William James, The Varieties of
Religious Experience : a study in human nature, (New York: Promotheus
Books, 2002), hlm. 51 19 pengetahuan, keyakinan, pelaksanaan dan
penghayatan atas ajaran agama Islam. Keagamaan selanjutnya disebut sebagai
rasa agama. Yakni pengalaman batin dari seseorang ketika dia mengenal
adanya Tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk
perilaku, yaitu ketika dia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya
selaras dengan aturan Tuhan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa keagamaan adalah sikap keagamaan dalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan ketaatanya pada agama
yang dianutnya. Diwujudkan dengan mematuhi semua perintah dan menjauhi
segala larangan-Nya, serta partisipasi secara berkelanjutan terhadap agama
yang dianutnya dengan keikhlasan hati dan dengan seluruh jiwa dan raga.
sikap keagamaan merupakan suatu yang ada dalam diri seseorang. Sikap
tersebut muncul karena adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap
agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsur afektif,
dan perilaku keagamaan sebagai sebagai unsur konatif. 16 Dalam hal ini
Islam mengajak manusia supaya kental dengan nuansa religius, tidak hanya
sekedar 16 Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 7. 20 menargetkan supaya bisa selamat dari siksa neraka saja.
Tetapi lebih dari itu, juga menargetkan pahala yang agung dan melimpah dari
Allah yang berupa surga Allah di akhirat kelak. Sebagaimana dalam firman
Allah: Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka
Sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya. (QS. An Nazi’at/79: 40-41)17
Apabila seorang pemuda semenjak kecil membiasakan dirinya senantiasa
diawasi oleh Allah dalam setiap gerak-gerik dan perbuatan yang ia lakukan
seraya yakin bahwa Allah akan membalas meridhoi kepada yang mau taat
kepada-Nya. dan memurkai orang-orang yang berbuat durhaka kepada-Nya,
hal ini akan memudahkan untuk melakukan apa yang diperintahkan Allah
serta menjauhi apa yang dilarang. Apabila ia digoda nafsu dalam dirinya
untuk berbuat maksiat, ia menolak dan berpaling darinya. Ia mengingat akan
kebesaran dan kekuasaan Allah dan ia yakin bahwa Allah kuasa untuk
menyiksanya. 17 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahanya,.....,
hlm. 584. 21 b. Dimensi keagamaan Mengenai rasa agama, Djamaludin
Ancok dan Fuat Nashori Suroso menyatakan bahwa aktivitas beragama bukan
hanya terjadi ketika seorang melakukan aktivitas yang tampak, tetapi juga
aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.18 Dengan
demikian keagamaan dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan
manusia, aktifitas beragama seseorang tidak hanya terjadi ketika seseorang
melakukan ibadah (ritual, kultus) tetapi juga melakukan aktifitas lain yang
didorong oleh kekuatan diluar dirinnya yang tampak maupun yang tidak
tampak oleh mata. Keagamaan yang dimanifestasikan dalam budaya di
sekolah, tidak hanya dipandang dari satu sisi dimensi saja, namun meliputi
berbagai macam sisi atau dimensi. Glock dan Stark dalam Robetson
menjelaskan ada lima macam dimensi keagamaan, yaitu: 1) Dimensi
keyakinan (ideologis). Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana
orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan
mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. 2) Dimensi praktik agama
(ritualistik). Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal
18 Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.76. 22 yang dilakukan orang untuk
menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. 3) Dimensi
pengalaman (experensial). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman
keagamaan, perasaanperasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang
dialami seseorang atau diidentifikasikan oleh suatu kelompok keagamaan
(masyarakat), yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi
ketuhanan, yaitu dengan Tuhan. 4) Dimensi pengetahuan agama (intelektual).
Dimensi ini berkaitan dengan sejauh mana individu mengetahui, memahami
tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada dalam kitab suci dan
sumber lainnya. 5) Dimensi pengamalan (konsekuensi). Dimensi ini berkaitan
dengan identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman
dan pengetahuan. Lebih mudahnya sejauh mana perilaku individu seseorang
dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial.19 Alasan
digunakannya kelima dimensi tersebut karena cukup relevan dan mewakili
keterlibatan 19 Ahmad Fedyani Syaiuddin, Agama: Dalam Analisa dan
Interpretasi Sosiologis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 295-
297 23 keagamaan pada setiap orang dan bisa diterapkan dalam sistem agama
Islam untuk diujicobakan dalam rangka menyoroti lebih jauh kondisi
keagamaan siswa muslim. Kelima dimensi ini merupakan satu kesatuan yang
saling terkait satu sama lain dalam memahami religiusitas atau keagamaan
dan mengandung unsur aqidah (keyakinan), spiritual (praktek keagamaan),
ihsan (pengalaman), ilmu (pengetahuan), dan amal (pengamalan). Dimensi
keyakinan (aqidah) dalam Islam menunjukkan kepada tingkat keimanan
seorang muslim terhadap kebenaran Islam, terutama mengenai pokokpokok
keimanan dalam Islam yang menyangkut keyakinan terhadap Allah SWT,
para malaikat, kitabkitab, Nabi dan Rosul Allah, hari Kiamat serta Qadla dan
Qadar. Dalam Islam, dimensi praktek agama biasa disebut dengan Syari’ah
yang di dalamnya meliputi pengamalan ajaran agama dalam hubungannya
dengan Allah secara langsung dan hubungan sesama manusia. Dimensi ini
lebih dikenal dengan ibadah sebagaimana yang disebut dalam kegiatan rukun
Islam seperti shalat, zakat dan sebagainya serta ritual lainnya yang merupakan
ibadah yang dilakukan setiap personal dan mengandung unsur transendental
kepada Allah. 24 Dimensi pengalaman agama berhubungan dengan perasaan-
perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang, atau
pengalaman religius (dalam hal ini agama Islam) sebagai suatu komunikasi
dengan Tuhan, dengan realitas paling sejati (ultimate realty) atau dengan
otoritas transendental. Dimensi pengamalan adalah ukuran sejauh mana
perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan.
Misalnya menyedekahkan hartanya, membantu orang yang kesulitan, dan
sebagainya. Setiap kegiatan ritual mempunyai konsekuensi logis berupa
pahala dan dosa bagi yang melakukannya. Kaitannya dengan hal ini, Islam
mengenal konsep amar ma’ruf nahi munkar. Amar ma’ruf diaplikasikan
berbuat kebaikan pada sesama manusia, saling menghargai dan membantu
sesama. Sedangkan Nahi munkar diaplikasikan dengan menjauhi
kemaksiatan, pergaulan bebas, tawuran, minumminuman keras, penggunaan
obat terlarang, memba

Judulnya : Plicy Analysis For Public Decisions

CRITERIA FOR CHOICE

KRITERIA PILIHAN

In order to choose the best policy from among a set of


alternatives, we need to be clear about the meaning of
"best." You will have to choose this meaning for yourself, just
as you chose the definition of the problem. Choosing a clear
meaning for "best" will enable you to gather relevant data
and compare the expected results of policies to see which is
best.
Untuk memilih kebijakan terbaik dari sekumpulan alternatif, kita
harus jelas tentang arti "terbaik." Anda harus memilih makna ini
untuk diri sendiri, sama seperti Anda memilih definisi masalahnya.
Memilih makna yang jelas untuk "terbaik" akan memungkinkan
Anda untuk mengumpulkan data yang relevan dan membandingkan
hasil kebijakan yang diharapkan untuk melihat mana yang terbaik

In this chapter we suggest guidelines you can use for


stating and systemizing your criteria for policy choice—the
principles in terms of which you choose the best policy. You
can try to organize these principles and express them in a
way that is clear, consistent, and general. You can distinguish
the desirability of a policy from its political feasibility, while
taking both into account. You can also distinguish between
ethical criteria that apply to consequences of policies and
criteria that apply directly to policy alternatives themselves.
Dalam bab ini kami menyarankan pedoman yang dapat Anda
gunakan untuk menyatakan dan menyusun kriteria Anda untuk
pilihan kebijakan - prinsip-prinsip dalam hal Anda memilih kebijakan
terbaik. Anda dapat mencoba mengatur prinsip-prinsip ini dan
mengungkapkannya dengan cara yang jelas, konsisten, dan umum.
Anda dapat membedakan keinginan suatu kebijakan dari kelayakan
politiknya, sambil mempertimbangkan keduanya. Anda juga dapat
membedakan antara kriteria etis yang berlaku untuk konsekuensi
kebijakan dan kriteria yang berlaku langsung untuk alternatif
kebijakan itu sendiri.

Although value criteria derive from many sources, one


important source of the criteria used in policy analysis is the
discipline of economics. Economics begins with the
preferences of consumers and others and seeks means for
satisfying them. Criteria resulting from this approach, which
we shall discuss later in the chapter, include the Pareto
criterion and cost-benefit analysis. But, in addition, equity or
fairness and various other criteria can be important for
policy analysis.

Meskipun kriteria nilai berasal dari banyak sumber, satu sumber penting
dari kriteria yang digunakan dalam analisis kebijakan adalah disiplin
ekonomi. Ekonomi dimulai dengan preferensi konsumen dan orang lain
dan mencari cara untuk memuaskan mereka. Kriteria yang dihasilkan dari
pendekatan ini, yang akan kita bahas nanti dalam bab ini, termasuk
kriteria Pareto dan analisis biaya-manfaat. Namun, selain itu, keadilan
atau keadilan dan berbagai kriteria lainnya dapat menjadi penting untuk
analisis kebijakan.

Untuk memilih kebijakan terbaik dari sekumpulan alternatif, kita harus


jelas tentang arti "terbaik." Anda harus memilih makna ini untuk diri
sendiri, sama seperti Anda memilih definisi masalahnya. Memilih
makna yang jelas untuk "terbaik" akan memungkinkan Anda untuk
mengumpulkan data yang relevan dan membandingkan hasil kebijakan
yang diharapkan untuk melihat mana yang terbaik.
Dalam bab ini kami menyarankan pedoman yang dapat Anda gunakan
untuk menyatakan dan menyesuaikan kriteria Anda untuk pilihan
kebijakan-prinsip-prinsip yang dengannya Anda memilih kebijakan
terbaik. Anda dapat mencoba mengatur prinsip-prinsip ini dan
mengungkapkannya dengan cara yang jelas, konsisten, dan umum.
Anda dapat membedakan keinginan suatu kebijakan dari kelayakan
politiknya, sambil mempertimbangkan keduanya. Anda juga dapat
membedakan antara kriteria etis yang berlaku untuk konsekuensi
kebijakan dan kriteria yang berlaku langsung untuk alternatif kebijakan
itu sendiri.
Meskipun kriteria nilai berasal dari banyak sumber, satu sumber
penting dari kriteria yang digunakan dalam analisis kebijakan adalah
disiplin ekonomi. Ekonomi dimulai dengan preferensi konsumen dan
orang lain dan mencari cara untuk memuaskan mereka. Kriteria yang
dihasilkan dari pendekatan ini, yang akan kita bahas nanti dalam bab
ini, termasuk kriteria Pareto dan analisis biaya-manfaat. Namun, selain
itu, keadilan atau keadilan dan berbagai kriteria lainnya dapat menjadi
penting untuk analisis kebijakan.

Different people are likely to choose somewhat different


meanings of "best," even if they are all seeking the public
interest or the general welfare. Some may wish to maximize
the gross national product (GNP), judging one policy to be
better than another if it leads to a larger GNP. For these
people, we say that the criterion for choice is maximization of
the GNP. Others may wish to minimize poverty, to maximize
happiness, or to develop human potentialities fully. Criteria of
this sort can be used in policy analysis if they can be
measured quantitatively. Some people may wish to apply
several criteria at the same time. Usually we qualify our choice
of policies by requiring that the chosen policy be morally
permissible (e.g., that it not involve assassination). We do not,
however, include purely selfish criteria, such as maximization
of one's own income or maximization of the welfare of one
racial group regardless of others. We are seeking ethical
criteria.
Orang yang berbeda cenderung memilih makna "terbaik" yang agak
berbeda, bahkan jika mereka semua mencari kepentingan umum
atau kesejahteraan umum. Beberapa mungkin ingin
memaksimalkan produk nasional bruto (GNP= Gross National
Poduct), menilai satu kebijakan lebih baik dari yang lain jika
mengarah ke GNP yang lebih besar. Untuk orang-orang ini, kami
mengatakan bahwa kriteria untuk pilihan adalah maksimalisasi GNP.
Orang lain mungkin ingin meminimalkan kemiskinan,
memaksimalkan kebahagiaan, atau mengembangkan potensi
manusia sepenuhnya. Kriteria semacam ini dapat digunakan dalam
analisis kebijakan jika dapat diukur secara kuantitatif. Beberapa
orang mungkin ingin menerapkan beberapa kriteria secara
bersamaan. Biasanya kami memenuhi syarat pilihan kebijakan kami
dengan mensyaratkan bahwa kebijakan yang dipilih diizinkan secara
moral (mis., Bahwa itu tidak melibatkan pembunuhan). Kami tidak,
bagaimanapun, memasukkan kriteria murni egois, seperti
maksimalisasi pendapatan sendiri atau maksimalisasi kesejahteraan
satu kelompok ras terlepas dari yang lain. Kami mencari kriteria
etis.

Orang yang berbeda cenderung memilih makna "terbaik" yang agak


berbeda, bahkan jika mereka semua mencari kepentingan umum atau
kesejahteraan umum. Beberapa mungkin ingin memaksimalkan produk
nasional bruto (GNP), menilai satu kebijakan lebih baik dari yang lain
jika mengarah ke GNP yang lebih besar. Untuk orang-orang ini, kami
mengatakan bahwa kriteria untuk pilihan adalah maksimalisasi GNP.
Orang lain mungkin ingin meminimalkan kemiskinan, memaksimalkan
kebahagiaan, atau mengembangkan potensi manusia sepenuhnya.
Kriteria semacam ini dapat digunakan dalam analisis kebijakan jika
dapat diukur secara kuantitatif. Beberapa orang mungkin ingin
menerapkan beberapa kriteria secara bersamaan. Biasanya kami
memenuhi syarat pilihan kebijakan kami dengan mensyaratkan bahwa
kebijakan yang dipilih diizinkan secara moral (mis., Itu tidak
melibatkan pembunuhan). Kami bagaimanapun, tidak, memasukkan
kriteria murni egois, seperti maksimalisasi pendapatan sendiri atau
maksimalisasi kesejahteraan satu kelompok ras terlepas dari yang lain.
Kami mencari kriteria etis.

THE FORM OF ETHICAL CRITERIA

Formulating our criteria, as in redefining a problem,


we often begin with a collection of specific values and
disvalues, which we then try to systematize. They constitute a
first approximation to the criteria that we will later use. In
the deposit-bottles case (case 5—A) for example, the initial
values included those of clean streets, employment for workers
in the container and beverage industries (who would be
threatened by regulation), and the convenience of
purchasers of beverages who wished to discard containers
rather than return them. In analyzing this case you may wish
to add other values to the list or to omit some. If we consider
the values listed, we then may ask whether we can formulate
any overarching value criterion that includes them all and
allows us to make tradeoffs among them. In chapter 5 we
suggest that one such criterion is efficiency, though we shall
have to define "efficiency" more precisely in order to use the
term in our analysis.
In chapter 4 we consider the question whether a
medical screening test should be performed on an entire
population. The initial values include that of health and
prolonged life (as contrasted with the suffering and mortality
from colon cancer), the cost (a negative value) of the
screening test, the cost of a later confirmatory test, and the
cost of surgery. We try to combine these in the overarching
criterion of cost-benefit analysis, including the controversial
question whether we can properly place a monetary value on
human life.
In case 4—A we ask what the optimum speed limit on
American highways should be. The initial values considered
include those of energy economy and reduction of traffic
accidents. We later add the value of arriving at one's
destination quickly. Again, to make tradeoffs among these
values, we use cost-benefit analysis.

BENTUK KRITERIA ETIS


Kita merumuskan kriteria, seperti dalam mendefinisikan kembali
masalah, kita sering mulai dengan koleksi nilai-nilai dan
ketidaksetaraan tertentu, yang kemudian kita coba sistematiskan.
Mereka merupakan perkiraan pertama terhadap kriteria yang akan kita
gunakan nanti. Dalam kasing botol (kasus 5-A) misalnya, nilai awal
termasuk jalan-jalan bersih, pekerjaan untuk pekerja di industri wadah
dan minuman (yang akan terancam oleh peraturan), dan kenyamanan
pembeli minuman yang ingin membuang wadah daripada
mengembalikannya. Dalam menganalisis kasus ini, Anda mungkin
ingin menambahkan nilai lain ke daftar atau menghilangkan beberapa.
Jika kita mempertimbangkan nilai-nilai yang tercantum, kita kemudian
dapat bertanya apakah kita dapat merumuskan kriteria nilai menyeluruh
yang mencakup semuanya dan memungkinkan kita untuk membuat
tradeoff di antara mereka.

Dalam Bab 5 kami menyarankan bahwa salah satu kriteria tersebut


adalah efisiensi, meskipun kami harus mendefinisikan "efisiensi" lebih
tepat untuk menggunakan istilah dalam analisis kami.
Dalam bab 4 kami mempertimbangkan pertanyaan apakah tes skrining
medis harus dilakukan pada seluruh populasi. Nilai-nilai awal termasuk
kesehatan dan kehidupan yang berkepanjangan (berbeda dengan
penderitaan dan kematian akibat kanker usus besar), biaya (nilai
negatif) dari tes skrining, biaya tes konfirmasi kemudian, dan biaya
operasi. Kami mencoba untuk menggabungkan ini dalam kriteria
menyeluruh dari analisis biaya-manfaat, termasuk pertanyaan
kontroversial apakah kita dapat dengan tepat menempatkan nilai
moneter pada kehidupan manusia.
Dalam kasus 4 — A kita bertanya apa batas kecepatan optimal pada
jalan raya Amerika seharusnya. Nilai awal yang dipertimbangkan
meliputi nilai ekonomi energi dan pengurangan kecelakaan lalu lintas.
Kami kemudian menambahkan nilai tiba di tujuan seseorang dengan
cepat. Sekali lagi, untuk membuat pertukaran antara nilai-nilai ini, kami
menggunakan analisis biaya-manfaat.

In chapter 7 we consider the values involved in


evaluation of public programs. The principal question that
people raise in such evaluation is whether a program is
accomplishing its stated goals. Is it delivering a sufficient
volume of health services, providing day care for children,
getting money to the poor? Yet further consideration of a
program may reveal that it is producing other, perhaps
unplanned, values or disvalues. We need to include these in
the balance of assessment as well. Equally important is the
question whether the resources we use on this program
might be spent better on something else. For this reason
we should ideally know whether the services provided are
worth, for example, the money spent, or whether a certain
amount of health services is worth a corresponding amount
of day care. These sorts of comparisons are not always easy to
make; but if we can make them, we will broaden the range of
alternatives that we can compare.
You should thus try to make your ethical criteria clear,
so that they can be used in quantitative analysis; consistent, so
that you can reconcile various values and disvalues with
one another; and general, so that they will allow you to
compare a wide range of policy alternatives.' These are
requirements about the form of your criteria. They do not tell
you what your criteria should be, but they may help you to
develop a set of criteria that can be used over and over in a
series of analyses that you can then relate to one another.

Dalam bab 7 kami mempertimbangkan nilai-nilai yang terlibat dalam


evaluasi program publik. Pertanyaan utama yang diajukan orang dalam
evaluasi tersebut adalah apakah suatu program mencapai tujuan yang
dinyatakannya. Apakah memberikan layanan kesehatan dalam jumlah
yang cukup, menyediakan penitipan anak, memberikan uang kepada
orang miskin? Namun pertimbangan lebih lanjut dari suatu program
dapat mengungkapkan bahwa program tersebut menghasilkan nilai atau
ketidaksetujuan lainnya, yang mungkin tidak direncanakan. Kita perlu
memasukkan ini dalam neraca penilaian juga. Yang tidak kalah penting
adalah pertanyaan apakah sumber daya yang kita gunakan pada
program ini mungkin dihabiskan lebih baik untuk hal lain. Untuk
alasan ini kita harus tahu secara ideal apakah layanan yang diberikan
bernilai, misalnya, uang yang dihabiskan, atau apakah sejumlah
layanan kesehatan bernilai jumlah penitipan anak yang sesuai.
Perbandingan semacam ini tidak selalu mudah dibuat; tetapi jika kita
bisa membuatnya, kita akan memperluas berbagai alternatif yang bisa
kita bandingkan.
Karena itu Anda harus berusaha membuat kriteria etis Anda jelas,
sehingga mereka dapat digunakan dalam analisis kuantitatif; konsisten,
sehingga Anda dapat merekonsiliasi berbagai nilai dan tidak
menghargai satu sama lain; dan umum, sehingga mereka akan
memungkinkan Anda untuk membandingkan berbagai alternatif
kebijakan. ' Ini adalah persyaratan tentang bentuk kriteria Anda.
Mereka tidak memberi tahu Anda apa kriteria Anda seharusnya, tetapi
mereka mungkin membantu Anda untuk mengembangkan serangkaian
kriteria yang dapat digunakan berulang kali dalam serangkaian analisis
yang kemudian dapat Anda hubungkan satu sama lain.

The problem of making your criteria clear can be illustrated with


some examples of unclear criteria. We have mentioned the "general
welfare" and the "public interest" as terms that refer to types of
criteria that are ethical in meaning. But neither of these terms by
itself has the clarity necessary for analysis. Each actually can be
given a multiplicity of meanings such as we listed at the beginning
of this chapter. A similar problem exists for the term the greatest
good." To say without further detail that this was your criterion would
not enable you to carry out an analysis because the term is vague. To
clarify this criterion, you would probably have to specify its meaning
not only in words but in terms of a procedure for assigning quantitative
values to "good," a problem that we consider later.
Another example of an unclear set of criteria is what David
Braybrooke and Charles E. Lindblom call the "naive priorities
method." This method in volves listing in order of priority a set of terms
that apply to abstract values, but providing insufficient detail to tell just
when to turn from one value to the next. As they point out,
It may put "freedom" ahead of "economic growth" and
"economic growth" ahead of "equality"; or
"combatting unemployment" ahead of "combatting
inflation" and both of them ahead of "restoring
competition."
Declarations of this kind no doubt supply some
information about the evaluator's general attitudes—
but how much use are they in settling on specific
policies?

Masalah memperjelas kriteria Anda dapat diilustrasikan dengan


beberapa contoh kriteria yang tidak jelas. Kami telah menyebutkan
"kesejahteraan umum" dan "kepentingan publik" sebagai istilah yang
merujuk pada jenis kriteria yang memiliki arti etis. Tetapi tidak satu
pun dari istilah-istilah ini dengan sendirinya memiliki kejelasan yang
diperlukan untuk analisis. Masing-masing sebenarnya dapat diberikan
banyak arti seperti yang kami sebutkan di awal bab ini. Masalah serupa
ada untuk istilah kebaikan terbesar. "Untuk mengatakan tanpa perincian
lebih lanjut bahwa ini adalah kriteria Anda tidak akan memungkinkan
Anda untuk melakukan analisis karena istilah tersebut tidak jelas.
Untuk memperjelas kriteria ini, Anda mungkin harus menentukan
maknanya tidak hanya dalam kata-kata tetapi dalam hal prosedur untuk
menetapkan nilai kuantitatif ke "baik," masalah yang kita
pertimbangkan nanti.
Contoh lain dari serangkaian kriteria yang tidak jelas adalah apa
yang David Braybrooke dan Charles E. Lindblom sebut sebagai
"metode prioritas naif." Metode ini melibatkan daftar dalam urutan
prioritas serangkaian istilah yang berlaku untuk nilai-nilai abstrak,
tetapi memberikan detail tidak cukup untuk mengatakan kapan harus
beralih dari satu nilai ke yang berikutnya. Saat mereka menunjukkan,
Ini mungkin menempatkan "kebebasan" di depan "pertumbuhan
ekonomi" dan "pertumbuhan ekonomi" di depan "kesetaraan"; atau
"memerangi pengangguran" di depan "memerangi inflasi" dan
keduanya di depan "memulihkan kompetisi."
Deklarasi semacam ini tidak diragukan lagi memberikan
sejumlah informasi tentang sikap umum evaluator - tetapi seberapa
banyak gunanya mereka dalam menentukan kebijakan tertentu?
Such a list of words in order of priority is unclear both
because the individual words need to be defined precisely
and because we need also to tell exactly what "ahead of"
means. At what level of "freedom" do we stop working on
freedom and start working on "economic growth"? These
matters can be made clear, but to do so requires much work,
and the process may also reveal disagreements among
persons who had initially agreed on the vague verbal
formulation.
The test of consistency in your criteria can be
illustrated by a criterion attributed to Jeremy Bentham: "That
policy is best which produces the greatest good for the
greatest number." Let us assume at this point that we have
defined "good" precisely and thus satisfied the condition of
clarity. Assume further that "good" is an aggregate quantity,
summed over the entire population being considered. Given
these meanings, a problem of consistency remains: We cannot
always both provide the greatest total good and distribute
that good among the greatest number of people. Gne possible
policy might produce a large total of "good" but provide it
only to a few, and another might produce small increments
of "good" for a much greater number. The two words
"greatest" in the criterion are thus inconsistent with one
another for some possible sets of alternatives.
The test of generality is illustrated by criteria that are
not general, but apply only to a particular limited set of
alternatives. An example is the criterion "For policy choices
involving air pollution, that policy is best that produces the
least concentration of sulfur dioxide in the air." This
criterion is less general than some others because it does
not help in policy choices that do not involve air pollution.
Similarly, the criterion "Educational institutions should not
spend their resources on care for their students' health" does
not help in choices that do not involve such expenditures.
Daftar kata-kata seperti itu dalam urutan prioritas tidak jelas
baik karena kata-kata individual perlu didefinisikan secara tepat dan
karena kita juga perlu mengatakan dengan tepat apa arti "di depan".
Pada tingkat "kebebasan" apa kita berhenti bekerja pada kebebasan dan
mulai bekerja pada "pertumbuhan ekonomi"? Hal-hal ini dapat dibuat
jelas, tetapi untuk melakukannya membutuhkan banyak pekerjaan, dan
proses tersebut juga dapat mengungkapkan ketidaksepakatan di antara
orang-orang yang pada awalnya menyetujui rumusan verbal yang tidak
jelas.
Tes konsistensi dalam kriteria Anda dapat diilustrasikan dengan
kriteria yang dikaitkan dengan Jeremy Bentham: "Kebijakan itu adalah
yang terbaik yang menghasilkan barang terbaik untuk jumlah terbesar."
Mari kita asumsikan pada titik ini bahwa kita telah mendefinisikan
"baik" secara tepat dan dengan demikian memuaskan kondisi kejelasan.
Asumsikan lebih lanjut bahwa "baik" adalah jumlah agregat,
dijumlahkan atas seluruh populasi yang dipertimbangkan. Dengan
adanya makna-makna ini, masalah konsistensi tetap ada: Kita tidak
selalu bisa memberikan barang total terbesar dan mendistribusikan
barang itu di antara jumlah terbesar orang. Kebijakan yang mungkin
mungkin menghasilkan total besar "baik" tetapi menyediakannya hanya
untuk beberapa, dan yang lain mungkin menghasilkan sedikit
peningkatan "baik" untuk jumlah yang jauh lebih besar. Dengan
demikian, dua kata "terhebat" dalam kriteria tidak konsisten satu sama
lain untuk beberapa set alternatif yang memungkinkan.
Tes generalitas diilustrasikan oleh kriteria yang tidak umum,
tetapi hanya berlaku untuk serangkaian alternatif tertentu yang terbatas.
Contohnya adalah kriteria "Untuk pilihan kebijakan yang melibatkan
polusi udara, kebijakan itu yang terbaik yang menghasilkan konsentrasi
sulfur dioksida di udara paling sedikit." Kriteria ini kurang umum
daripada yang lain karena tidak membantu dalam pilihan kebijakan
yang tidak melibatkan polusi udara. Demikian pula, kriteria "institusi
pendidikan tidak boleh menghabiskan sumber dayanya untuk merawat
kesehatan siswa mereka" tidak membantu dalam pilihan yang tidak
melibatkan pengeluaran semacam itu.

The criterion we shall consider that comes nearest to


being clear, consistent, and general is that of net benefit, in
cost-benefit analysis. A substantial literature exists specifying
procedures for estimating costs and benefits, even though
some ambiguities remain. The use of one single overarching
criterion (net benefit and nothing else) makes the system
consistent. The criterion is applicable to all policy choices
that permit monetary estimates of benefits and costs and is
therefore quite general. It may not, however, agree with all
our particular moral values; a challenge thus remains to
formulate other criteria that rival that of cost-benefit analysis
in its attractive formal properties but conform better to our
substantive moral judgments.
Although general criteria have the advantage of
permitting comparison of wide ranges of alternatives,
analysts do sometimes make use of criteria that apply only to
the limited set of alternatives in which they are
interested. These specific criteria are sometimes easier to
construct and use than general ethical principles. One way to
compare a specific set of alternatives for policy choice is to
list their possible consequences and ask a decision-making
group to assign quantitative weights to them as from 1 to 10.
A procedure of this kind has been used to rate the degrees of
adverse environmental impact of various aspects of possible
highway locations.' Such ratings can be used to compare
various highway plans, all of which have the same cost.
They cannot be used to tell whether any one of the plans is
worth the cost or to compare spending on highways with
spending on social services, police protection, or public tele-
vision, for example.
It is desirable to begin with criteria of choice and
then make use of them (together with relevant facts) to seek
out the best policies. Unfortunately, much actual argument in
support of policies goes in the opposite direction: People
choose their policies first and then find arguments to support
them. Such arguments may occasionally be correct and well
reasoned, but more often they risk being merely an
embellishment of choices that have been made on other
grounds. To make correct decisions we must be prepared to
admit that our convictions in favor of certain policies may be
in error, if evidence shows that these policies do not in fact
do what they were intended to do. We may also have to admit
that these policies violate values to which we subscribe.

Kriteria yang akan kami pertimbangkan yang paling mendekati jelas,


konsisten, dan umum adalah manfaat bersih, dalam analisis biaya-
manfaat. Ada literatur substansial yang menetapkan prosedur untuk
memperkirakan biaya dan manfaat, meskipun beberapa ambiguitas
masih ada. Penggunaan satu kriteria menyeluruh tunggal (keuntungan
bersih dan tidak ada yang lain) membuat sistem ini konsisten. Kriteria
ini berlaku untuk semua pilihan kebijakan yang memungkinkan
estimasi moneter atas manfaat dan biaya dan karenanya cukup umum.
Namun, mungkin tidak setuju dengan semua nilai moral khusus kita;
dengan demikian tantangan tetap merumuskan kriteria lain yang
menyaingi analisis biaya-manfaat dalam sifat formal yang menarik
tetapi lebih sesuai dengan penilaian moral substantif kita.
Meskipun kriteria umum memiliki keunggulan untuk memungkinkan
perbandingan rentang alternatif yang luas, analis terkadang
menggunakan kriteria yang hanya berlaku untuk serangkaian alternatif
yang terbatas di mana mereka tertarik. Kriteria spesifik ini kadang-
kadang lebih mudah dibangun dan digunakan daripada prinsip-prinsip
etika umum. Salah satu cara untuk membandingkan serangkaian
alternatif pilihan kebijakan tertentu adalah dengan membuat
daftar kemungkinan konsekuensinya dan meminta kelompok
pembuat keputusan untuk memberikan bobot kuantitatif kepada
mereka mulai dari 1 hingga 10. Prosedur semacam ini telah
digunakan untuk menilai tingkat dampak lingkungan yang merugikan
dari berbagai aspek kemungkinan lokasi jalan raya. ' Peringkat tersebut
dapat digunakan untuk membandingkan berbagai rencana jalan raya,
yang semuanya memiliki biaya yang sama. Mereka tidak dapat
digunakan untuk mengatakan apakah salah satu dari rencana itu
sepadan dengan biayanya atau untuk membandingkan pengeluaran di
jalan raya dengan pengeluaran untuk layanan sosial, perlindungan
polisi, atau televisi publik, misalnya.
Diinginkan untuk memulai dengan kriteria pilihan dan kemudian
menggunakannya (bersama dengan fakta-fakta yang relevan) untuk
mencari kebijakan terbaik. Sayangnya, banyak argumen aktual yang
mendukung kebijakan berjalan ke arah yang berlawanan: Orang
memilih kebijakan mereka terlebih dahulu dan kemudian menemukan
argumen untuk mendukungnya. Argumen-argumen semacam itu
kadang-kadang bisa benar dan beralasan, tetapi lebih sering mereka
mengambil risiko semata-mata sebagai hiasan pilihan yang telah dibuat
dengan alasan lain. Untuk membuat keputusan yang benar, kita harus
siap untuk mengakui bahwa keyakinan kita yang mendukung kebijakan
tertentu mungkin salah, jika bukti menunjukkan bahwa kebijakan ini
sebenarnya tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Kami mungkin juga harus mengakui bahwa kebijakan ini melanggar
nilai-nilai tempat kami berlangganan.

People often come to favor or oppose policies because


their friends favor the policies, because they dislike the
proponents of the policies, or because the policies have
attractive-sounding titles. But policy analysts should be pre -
pared to devote time and effort to seeing for themselves
whether a policy will really promote the general values they
hold, even if it is sponsored by a stranger or an opponent.
When President Nixon proposed the Family Assistance Plan, a
welfare reform bill that would have helped many poor
Southern families, many liberal Democrats could not bring
themselves to believe that a president whom they had long
known as "tricky Dick" could propose a policy having such
benefits. Their opposition contributed to the failure of the
bill. Similarly, the policy of court-ordered busing for school
desegregation came to be supported by black groups pressing
for equal education and opposed by groups favoring inequality
and privilege to such an extent that some of the unintended
consequences of this policy were deliberately ignored. The
observation by some social scientists of a connection between
desegregation orders and "white flight" from the
desegregated schools was seen by others as a manifestation
of racism, not as a genuine result of policy analysis.' It is
sometimes said that it is a misfortune not to be granted our
wishes, but an even greater misfortune to be granted them and
to discover that the results are not what we wanted. The
chances of this latter misfortune may perhaps be reduced if
we carry out analysis based on general goals and values.
Orang-orang sering datang untuk mendukung atau menentang
kebijakan karena teman-teman mereka mendukung kebijakan tersebut,
karena mereka tidak menyukai para pendukung kebijakan tersebut, atau
karena kebijakan tersebut memiliki judul yang menarik. Tetapi analis
kebijakan harus siap untuk mencurahkan waktu dan upaya untuk
melihat sendiri apakah suatu kebijakan akan benar-benar
mempromosikan nilai-nilai umum yang mereka pegang, bahkan jika itu
disponsori oleh orang asing atau lawan. Ketika Presiden Nixon
mengusulkan Rencana Bantuan Keluarga, sebuah undang-undang
reformasi kesejahteraan yang akan membantu banyak keluarga miskin
di Selatan, banyak Demokrat liberal tidak dapat membuat diri mereka
percaya bahwa seorang presiden yang telah lama mereka kenal sebagai
"penipu yang licik" dapat mengusulkan kebijakan yang memiliki
kebijakan semacam itu. manfaat. Oposisi mereka berkontribusi pada
kegagalan RUU tersebut. Demikian pula, kebijakan bus-
memerintahkan bus untuk desegregasi sekolah datang untuk didukung
oleh kelompok-kelompok hitam yang mendesak untuk pendidikan yang
sama dan ditentang oleh kelompok-kelompok yang mendukung
ketidaksetaraan dan hak istimewa sedemikian rupa sehingga beberapa
konsekuensi yang tidak diinginkan dari kebijakan ini sengaja
diabaikan. Pengamatan oleh beberapa ilmuwan sosial tentang hubungan
antara perintah desegregasi dan "penerbangan putih" dari sekolah-
sekolah yang disegregasi dilihat oleh orang lain sebagai manifestasi
rasisme, bukan sebagai hasil asli dari analisis kebijakan. ' Terkadang
dikatakan bahwa ini adalah kemalangan untuk tidak mengabulkan
harapan kita, tetapi kemalangan yang lebih besar untuk diberikan
kepada mereka dan untuk menemukan bahwa hasilnya bukanlah yang
kita inginkan. Peluang kemalangan yang terakhir ini mungkin dapat
dikurangi jika kita melakukan analisis berdasarkan tujuan dan nilai
umum.

DESIRABILITY AND POLITICAL FEASIBILITY


The meaning of "best" that we ask you to choose has to do
with the desirability of policies—whether they relate to the general
welfare or to general standards of morality. We ask you to
distinguish desirability from political feasibility—the degree of
possibility that a policy can be enacted and carried out. The two
concepts are closely related, and we need to understand these
relations as well as the distinction between them.
DESIRABILITAS DAN KELAYAKAN POLITIK
Arti "terbaik" yang kami minta Anda pilih berkaitan dengan
keinginan kebijakan — apakah itu terkait dengan kesejahteraan
umum atau dengan standar umum moralitas. Kami meminta Anda
untuk membedakan keinginan dari kelayakan politik — tingkat
kemungkinan bahwa suatu kebijakan dapat diberlakukan dan
dijalankan. Kedua konsep ini saling terkait erat, dan kita perlu
memahami hubungan-hubungan ini serta perbedaan di antara
mereka.

The eventual value that is produced by a policy depends


both on how beneficial it would be if carried out—its
desirability—and whether it is actually carried out. Thus, we
might be tempted to say that its expected value is the
product of its desirability and the probability that it will be
carried out. We cannot make use of such a probability,
however, if we are trying to persuade a decision maker
whose own actions are part of that probability. We cannot go
to the decision maker and say that the value of a policy must be
modified by the probability that he himself will favor it. We
want to tell him what its value will be if he favors it, in order
for our persuasion to be effective.
The value that a policy produces also depends on how
much of your own effort and resources you use in support of
it. In this respect you are like the decision maker in the
preceding paragraph. You would like to estimate how much
value the policy would provide if you worked hard for it and
if it were put into effect. You do not want to consider your own
activities as governed by given "probabilities" as your own
activities involve choice and effort. However, you may be
willing to regard other people's activities as characterized by
probabilities. In that case you might estimate the probability
that the policy would be implemented without any effort on
your part, with moderate effort, and with maximum effort.
Nilai akhirnya yang dihasilkan oleh suatu kebijakan bergantung
pada seberapa menguntungkannya jika dilakukan — keinginannya
— dan apakah itu benar-benar dilaksanakan. Dengan demikian, kita
mungkin tergoda untuk mengatakan bahwa nilai yang diharapkan
adalah produk dari keinginannya dan probabilitas bahwa itu akan
dilakukan. Namun, kita tidak dapat memanfaatkan probabilitas
semacam itu, jika kita mencoba membujuk seorang pembuat
keputusan yang tindakannya sendiri merupakan bagian dari
probabilitas itu. Kita tidak bisa pergi ke pembuat keputusan dan
mengatakan bahwa nilai suatu kebijakan harus diubah oleh
probabilitas bahwa dia sendiri akan mendukungnya. Kami ingin
memberi tahu dia berapa nilainya jika dia mendukungnya, agar
persuasi kami efektif.
Nilai yang dihasilkan oleh suatu kebijakan juga tergantung pada
seberapa besar upaya dan sumber daya Anda sendiri yang Anda
gunakan untuk mendukungnya. Dalam hal ini Anda seperti pembuat
keputusan dalam paragraf sebelumnya. Anda ingin memperkirakan
berapa nilai yang akan diberikan kebijakan jika Anda bekerja keras
untuk itu dan jika diberlakukan. Anda tidak ingin
mempertimbangkan aktivitas Anda sendiri sebagaimana diatur oleh
"probabilitas" yang diberikan karena aktivitas Anda sendiri
melibatkan pilihan dan upaya. Namun, Anda mungkin bersedia
menganggap kegiatan orang lain ditandai dengan kemungkinan.
Jika demikian, Anda dapat memperkirakan probabilitas bahwa
kebijakan tersebut akan diterapkan tanpa upaya apa pun dari Anda,
dengan upaya moderat, dan dengan upaya maksimal.

In these terms you might make your own personal


analysis of benefits and costs (not the same as cost-benefit
analysis) to see whether the social value produced would be
worth the cost to you personally. Such systematic analyse s can
indeed be used to guide personal decisions.' They cannot,
however, be used in public forums to guide informed decision
by the citizenry because your pe rsonal costs are of less
concern to others than they are to you. Your loss of sleep, of
leisure, and of career possibilities and your promises and
commitments made to persuade others to favor the policy are
of less public concern than personal concern. Public officials
do often balance public gains against personal costs. But
these are private decisions, not the ethical decisions necessary
for informed public debate.

Political feasibility is not, therefore, an objective


number that can be discovered by research. It involves your
own. efforts and those of the people whom you wish to
persuade. When we engage in this persuasion, we tell people
how desirable a policy would be if it were implemented. They
may respond that others are unlikely to implement the policy.
We may later wish to go to those others and persuade them.
Our assessments of feasibility thus relate to the actions of the
persons with whom we are talking and are not easily made
the subject of quantitative analysis. For these reasons we
separate our relatively precise analyses of desirability from
our less precise analyses of feasibility, which vary with our
conversation partners.
If we engage in public discussion of analyses based on
desirability of policies, we set aside temporarily some of the
subjectivity, or interindividual variation, in arguments about
feasibility. There may still remain differences among citizens
in their basic ethical criteria. Even these differences may be
the subject of public debate. And although basic values are
difficult to change, the process of systematizing them may
increase somewhat the long-run possibility of agreement on
the resulting value systems.'

Dalam istilah-istilah ini Anda dapat membuat analisis keuntungan dan


biaya pribadi Anda sendiri (tidak sama dengan analisis biaya-manfaat)
untuk melihat apakah nilai sosial yang dihasilkan akan sebanding
dengan biaya untuk Anda secara pribadi. Analisis sistematis semacam
itu memang dapat digunakan untuk memandu keputusan pribadi. '
Namun, mereka tidak dapat digunakan di forum publik untuk memandu
keputusan yang diinformasikan oleh warga karena biaya pribadi Anda
kurang menjadi perhatian orang lain daripada bagi Anda. Kehilangan
waktu tidur, waktu luang, dan kemungkinan karier Anda, serta janji dan
komitmen Anda yang dibuat untuk membujuk orang lain agar
mendukung kebijakan tersebut tidak terlalu menjadi perhatian publik
daripada masalah pribadi. Pejabat publik sering menyeimbangkan
keuntungan publik dengan biaya pribadi. Tetapi ini adalah keputusan
pribadi, bukan keputusan etis yang diperlukan untuk debat publik yang
terinformasi.

Oleh karena itu, kelayakan politik bukanlah angka objektif yang dapat
ditemukan oleh penelitian. Ini melibatkan Anda sendiri. upaya dan
orang-orang yang ingin Anda bujuk. Ketika kita terlibat dalam persuasi
ini, kita memberi tahu orang-orang betapa diinginkannya sebuah
kebijakan jika kebijakan itu diterapkan. Mereka mungkin menjawab
bahwa orang lain tidak mungkin menerapkan kebijakan tersebut. Kita
nanti mungkin ingin pergi ke yang lain dan membujuk mereka.
Penilaian kelayakan kami dengan demikian berhubungan dengan
tindakan orang-orang yang berbicara dengan kami dan tidak mudah
dijadikan subjek analisis kuantitatif. Untuk alasan ini kami
memisahkan analisis keinginan yang relatif tepat dari analisis
kelayakan yang kurang tepat, yang berbeda dengan mitra percakapan
kami.
Jika kami terlibat dalam diskusi publik mengenai analisis berdasarkan
keinginan kebijakan, kami menyisihkan sementara beberapa
subjektivitas, atau variasi antarindividu, dalam argumen tentang
kelayakan. Mungkin masih ada perbedaan di antara warga negara
dalam kriteria etika dasar mereka. Bahkan perbedaan-perbedaan ini
dapat menjadi bahan perdebatan publik. Dan meskipun nilai-nilai dasar
sulit untuk diubah, proses mensistematisasinya mungkin agak
meningkatkan kemungkinan kesepakatan jangka panjang tentang
sistem nilai yang dihasilkan. '

Any systematic analysis of policy choices must of


course be concerned with what is feasible as well as with
what would be desirable. A totally infeasible policy is not a
good one. But even though policy analysis, like diplomacy, is
"the art of the possible," we shall first consider the relative
worth of policies and only afterward ask what is possible. We
ignore from the start those alternatives that are totally
infeasible, such as those that demand resources totally
beyond our control or those that would threaten the existence
of organizations through which we must work. Only later,
however, do we consider the detailed conditions and chances
for enactment and implementation of policies. Thus, we do
not begin by asking who will support each alternative
policy, whose career it threatens, or whether it can be carried
out. Nor in a democracy do we begin by asking whether public
opinion favors one policy or another. Our aim as citizens is to
decide on what grounds the other members of the relevant
public should chocse and to try to persuade them on those
grounds.
An important condition for feasibility of policies is
usually the agreement of various people to support the
policies. The form in which we ask you to express your criteria
—including clarity, consistency, and generality—may never-
theless interfere with getting agreement on particular policies
that you advocate. People can often agree on specific
policies even when they favor them for different reasons.
If you ask them to agree first on a clear, consistent, and
general ethical system, you may postpone agreement.
Braybrooke and Lindblom point out that such an approach
requires not only agreement on policies but also "a more
ambitious agreement . . . on the deductive system in which
these agreements would be incorporated."

Setiap analisis sistematis dari pilihan-pilihan kebijakan tentu saja harus


memperhatikan apa yang layak serta dengan apa yang diinginkan.
Kebijakan yang sama sekali tidak layak bukanlah kebijakan yang baik.
Tetapi meskipun analisis kebijakan, seperti diplomasi, adalah "seni
kemungkinan", pertama-tama kita harus mempertimbangkan nilai
relatif kebijakan dan hanya setelah itu bertanya apa yang mungkin.
Sejak awal kami mengabaikan alternatif-alternatif yang sama sekali
tidak layak, seperti yang menuntut sumber daya yang sepenuhnya di
luar kendali kami atau yang akan mengancam keberadaan organisasi
yang harus kami jalani. Namun, baru kemudian kami
mempertimbangkan kondisi terperinci dan peluang untuk
diberlakukannya dan implementasi kebijakan. Jadi, kita tidak memulai
dengan bertanya siapa yang akan mendukung setiap kebijakan
alternatif, karier siapa yang diancamnya, atau apakah kebijakan itu
dapat dijalankan. Kita juga tidak memulai dengan menanyakan apakah
opini publik mendukung satu kebijakan atau lainnya. Tujuan kami
sebagai warga negara adalah untuk memutuskan alasan apa yang harus
dipilih oleh anggota masyarakat yang relevan dan mencoba membujuk
mereka dengan alasan tersebut.
Suatu kondisi penting untuk kelayakan kebijakan biasanya adalah
persetujuan berbagai orang untuk mendukung kebijakan tersebut.
Formulir di mana kami meminta Anda untuk mengekspresikan kriteria
Anda - termasuk kejelasan, konsistensi, dan generalitas - mungkin tidak
pernah mengganggu untuk mendapatkan persetujuan tentang kebijakan
tertentu yang Anda dukung. Orang sering dapat menyetujui kebijakan
tertentu bahkan ketika mereka mendukungnya karena alasan yang
berbeda. Jika Anda meminta mereka untuk menyetujui terlebih dahulu
tentang sistem etika yang jelas, konsisten, dan umum, Anda dapat
menunda perjanjian. Braybrooke dan Lindblom menunjukkan bahwa
pendekatan semacam itu tidak hanya membutuhkan kesepakatan
tentang kebijakan tetapi juga "kesepakatan yang lebih ambisius ...
tentang sistem deduktif di mana perjanjian ini akan dimasukkan."

Such a deductive system is cost-benefit analysis, which


tries to compare diverse consequences of policies in
monetary terms. If we wanted to obtain agreement on cost-
benefit analysis as an ethical criterion, we would have to
spend much time and effort specifying how the costs of
cancer could be compared with those of inadequate
education or estimating in monetary terms the benefits from
"self-reliance. freedom from fear, the joys of outdoor
recreation, the pleasures of clean air, and so forth." 8 Such
estimates are not out of the question, but if we want to agree
on particular policies, it is easier to use more specific criteria
that do not extend to all possible policy choices.
We nevertheless ask that you learn to analyze policy
choices in terms of general ethical criteria. We do so
because clarity of thought is an important aspect of general
education about public problems. We hope that in the long
run more of the people you encounter in working on policy
problems will think in these terms. Many professional
analysts already use cost-benefit analysis. You will therefore
find it useful to understand reasoning based on this value
system, even if you choose to disagree with some of its
assumptions. In addition, the analysis of public problems in
terms of general ethical systems can give rise to a research
literature with well-defined standards of excellence, which
can serve as a useful resource for citizen-analysts.
We next outline some of the criteria that are commonly
used in policy analysis. In choosing your own criteria, you
may wish to select one of these types or to tell how it differs from
yours.
Sistem deduktif semacam itu adalah analisis biaya-manfaat, yang
mencoba membandingkan beragam konsekuensi kebijakan dalam
hal moneter. Jika kita ingin memperoleh persetujuan tentang
analisis biaya-manfaat sebagai kriteria etis, kita harus
menghabiskan banyak waktu dan upaya untuk menentukan
bagaimana biaya kanker dapat dibandingkan dengan biaya
pendidikan yang tidak memadai atau memperkirakan dalam
manfaat moneter dari " kemandirian. kebebasan dari rasa takut,
kegembiraan rekreasi di luar ruangan, kesenangan dari udara
bersih, dan sebagainya. " 8 Perkiraan seperti itu tidak keluar dari
pertanyaan, tetapi jika kita ingin menyetujui kebijakan tertentu,
lebih mudah untuk menggunakan kriteria yang lebih spesifik yang
tidak mencakup semua pilihan kebijakan yang mungkin.
Namun demikian, kami meminta Anda belajar untuk menganalisis
pilihan kebijakan dalam hal kriteria etika umum. Kami
melakukannya karena kejelasan pemikiran merupakan aspek
penting dari pendidikan umum tentang masalah publik. Kami
berharap bahwa dalam jangka panjang lebih banyak orang yang
Anda temui dalam mengerjakan masalah kebijakan akan berpikir
dalam istilah ini. Banyak analis profesional sudah menggunakan
analisis biaya-manfaat. Karena itu Anda akan merasa berguna untuk
memahami penalaran berdasarkan sistem nilai ini, bahkan jika Anda
memilih untuk tidak setuju dengan beberapa asumsinya. Selain itu,
analisis masalah publik dalam hal sistem etika umum dapat
memunculkan literatur penelitian dengan standar keunggulan yang
terdefinisi dengan baik, yang dapat berfungsi sebagai sumber daya
yang bermanfaat bagi analis warga negara.
Kami selanjutnya menjabarkan beberapa kriteria yang biasa
digunakan dalam analisis kebijakan. Dalam memilih kriteria Anda
sendiri, Anda mungkin ingin memilih salah satu dari jenis ini atau
untuk mengetahui perbedaannya dari Anda.

ETHICS: GOALS AND IMPERATIVES

Analysts ordinarily use two different types of ethical


criteria for choosing policies. One type, known as teleological
(from the Greek telos or "end"), is concerned with ends or
goals beyond the act itself—consequences of an act or policy
in terms of which we judge its rightness. These are the
criteria for which science is more relevant, as they require
knowledge of causes and effects for our estimation of
consequences. Examples of teleological criteria are the
survival of a group or species, the satisfaction of preferences,
the maximization of the gross national product, happiness,
and self-realization, all of which are ends to which our
policies may be causally connected.
We also make many choices in terms of criteria that are
independent of :onsequences, or nonteleological.9 Examples of
nonteleological criteria are the prohibitions from breaking
one's promise or committing murder, no matter how
beneficial the consequences might be. Nonteleological
criteria are typically imperative in nature, as they tell us not
to adopt a certain type of policy, "no matter what."
Nonteleological criteria, although used by analysts, do not
play a great part in policy analysis itself because they apply
directly to the policy alternative and do not require detailed
analysis of its consequences
Many of the nonteleological criteria that we use derive
from political obligations. An example is the elimination of an
alternative on the ground that it is illegal or unconstitutional.
In the long run laws and constitutions may be changed. But in
the short run they often cannot, and we feel obligated, to
obey them.
In the city-growth case (case 3—B) the second section,
"Conflicting Court Actions," indicates the way in which court
interpretations of the law provide the limits within which
policies are considered. Communities that are considering new
regulations watch court decisions with care. They are con-
cerned, of course, with what will be feasible in view of the
actions of courts that follow the precedents of earlier cases. But
when a firm interpretation has been established, people may
come to regard it as an obligation, not merely as a limitation
on what is feasible. Similarly, the decisions of the Supreme
Court on school desegregation and busing have come to be
regarded as the law of the land, even though a different
interpretation prevailed several decades earlier.
ETIKA: TUJUAN DAN IMPERASI
Analis biasanya menggunakan dua jenis kriteria etika untuk memilih
kebijakan. Satu tipe, yang dikenal sebagai teleologis (dari bahasa
Yunani atau "akhir"), berkaitan dengan tujuan atau tujuan di luar
tindakan itu sendiri — konsekuensi dari suatu tindakan atau kebijakan
dalam hal kita menilai kebenarannya. Ini adalah kriteria di mana sains
lebih relevan, karena mereka membutuhkan pengetahuan tentang
sebab dan akibat untuk estimasi konsekuensi kita. Contoh kriteria
teleologis adalah keberlangsungan hidup suatu kelompok atau spesies,
kepuasan preferensi, maksimalisasi produk nasional bruto,
kebahagiaan, dan realisasi diri, yang kesemuanya berakhir di mana
kebijakan kita dapat dihubungkan secara kausal.
Kami juga membuat banyak pilihan dalam hal kriteria yang independen
dari: tindakan selanjutnya, atau nonteleologis. Contoh kriteria
nonteleologis adalah larangan melanggar janji atau melakukan
pembunuhan, tidak peduli seberapa menguntungkan konsekuensinya.
Kriteria nonteleologis biasanya sangat penting, karena mereka
mengatakan kepada kita untuk tidak mengadopsi jenis kebijakan
tertentu, "tidak peduli apa." Kriteria nonteleologis, meskipun
digunakan oleh analis, tidak memainkan peran besar dalam analisis
kebijakan itu sendiri karena mereka langsung diterapkan pada alternatif
kebijakan dan tidak memerlukan analisis rinci tentang konsekuensinya.
Banyak kriteria nonteleologis yang kami gunakan berasal dari
kewajiban politik. Contohnya adalah penghapusan alternatif dengan
alasan bahwa itu ilegal atau tidak konstitusional. Dalam jangka
panjang, undang-undang dan konstitusi dapat diubah. Tetapi dalam
jangka pendek mereka sering tidak bisa, dan kami merasa
berkewajiban, untuk menaatinya.
Dalam kasus pertumbuhan kota (kasus 3 — B) bagian kedua,
"Tindakan Pengadilan yang Berkonflik," menunjukkan cara interpretasi
pengadilan atas undang-undang memberikan batas-batas di mana
kebijakan dipertimbangkan. Masyarakat yang mempertimbangkan
peraturan baru memperhatikan keputusan pengadilan dengan hati-hati.
Mereka prihatin, tentu saja, dengan apa yang akan layak mengingat
tindakan pengadilan yang mengikuti preseden dari kasus-kasus
sebelumnya. Tetapi ketika interpretasi yang tegas telah dibuat, orang
mungkin menganggapnya sebagai kewajiban, bukan hanya sebagai
batasan pada apa yang layak. Demikian pula, keputusan Mahkamah
Agung tentang desegregasi dan busing sekolah telah dianggap sebagai
hukum negara, meskipun interpretasi yang berbeda berlaku beberapa
dekade sebelumnya.

In a democratic society, if we participate in an


election and our side loses, we generally feel obligated to
acknowledge the winners' occupancy of their offices, at least
until the next election. Analogously, we sometimes feel that if
we enter a preexisting group, we are obligated to respect its
values and its definition of its problems. In this connection
some policy analysts judge their first task to be to discover
the values of the group that they enter so as to formulate
policy proposals in terms of the group's values. But it seems
an excessive limitation to accept the group's values without
qualification. Analysts, especially if they are citizens, can
sometimes choose whether to enter a group. They can also
try to persuade the group that it is concerned with the wrong
problem or using the wrong values. Such a possibility can be
difficult, but we must not ignore it.
The promises and contracts we enter into in social roles
other than that of citizen can also lead to obligations that
impose nonteleological criteria on our choices as citizens.
Once we have entered an agreement, we feel an obligation
not to break it, even if we could accomplish a greater public
benefit by breaking it. Similarly, if an organization is created
with a given purpose, both those who work in it and
outsiders may feel that it should not be used for other
purposes. Thus, parents as well as teachers may
acknowledge that preventive dental care could be included
among a school's activities; yet this activity may be defined as
outside the school's function.1°
The teleological and nonteleological criteria we have
discussed differ in an important way. A teleological criterion
ordinarily compares alternative policies with respect to whether
they produce some specified result or whether oe produces
more of some value than another." Thus, a revolutionary's
crierion might be to judge all policies relative to whether or
not they bring about he downfall of a regime. A more common
teleological criterion in our discussion gill be whether one
policy produces a greater net benefit in monetary terms han
another.
Dalam masyarakat demokratis, jika kita berpartisipasi dalam pemilu
dan pihak kita kalah, kita biasanya merasa berkewajiban untuk
mengakui hunian pemenang dari kantor mereka, setidaknya sampai
pemilihan berikutnya. Secara analog, kadang-kadang kita merasa
bahwa jika kita memasuki kelompok yang sudah ada sebelumnya, kita
wajib menghargai nilai-nilainya dan definisi masalahnya. Dalam
hubungan ini beberapa analis kebijakan menilai tugas pertama mereka
adalah menemukan nilai-nilai kelompok yang mereka masukkan untuk
merumuskan proposal kebijakan dalam hal nilai-nilai kelompok. Tetapi
tampaknya ada batasan yang berlebihan untuk menerima nilai-nilai
kelompok tanpa kualifikasi. Analis, terutama jika mereka warga negara,
kadang-kadang dapat memilih apakah akan masuk grup. Mereka juga
dapat mencoba meyakinkan kelompok bahwa itu berkaitan dengan
masalah yang salah atau menggunakan nilai-nilai yang salah.
Kemungkinan seperti itu bisa sulit, tetapi kita tidak boleh
mengabaikannya.
Janji dan kontrak yang kita masukkan ke dalam peran sosial selain dari
warga negara juga dapat mengarah pada kewajiban yang memaksakan
kriteria nonteleologis pada pilihan kita sebagai warga negara. Begitu
kita telah menandatangani perjanjian, kita merasa berkewajiban untuk
tidak melanggarnya, bahkan jika kita dapat mencapai manfaat publik
yang lebih besar dengan melanggarnya. Demikian pula, jika suatu
organisasi diciptakan dengan tujuan tertentu, baik mereka yang bekerja
di dalamnya maupun orang luar mungkin merasa bahwa itu tidak boleh
digunakan untuk tujuan lain. Dengan demikian, orang tua dan guru
dapat mengakui bahwa perawatan gigi preventif dapat dimasukkan
dalam kegiatan sekolah; namun kegiatan ini dapat didefinisikan sebagai
di luar fungsi sekolah.1 °
Kriteria teleologis dan nonteleologis yang telah kita diskusikan berbeda
dalam cara yang penting. Kriteria teleologis biasanya membandingkan
kebijakan alternatif sehubungan dengan apakah mereka menghasilkan
beberapa hasil tertentu atau apakah kita menghasilkan lebih dari
beberapa nilai daripada yang lain. "Dengan demikian, batasan
revolusioner mungkin untuk menilai semua kebijakan relatif terhadap
apakah kebijakan tersebut membawa atau tidak. Kriteria teleologis
yang lebih umum dalam diskusi kita adalah apakah suatu
kebijakan menghasilkan keuntungan bersih yang lebih besar
dalam hal moneter daripada yang lain.

A nonteleological criterion ordinarily asks whether a


given policy is ight or wrong in absolute rather than
comparative terms: Does an act involve ireaking a promise,
breaking the law, or departing from the given purposes of n
organization? Such a criterion can thus be applied to a single
policy under onsideration without comparing that policy with
alternatives. Our stress on omparing alternatives, or on
"best" policies, suggests that policy analysis is at ?ast to
some degree concerned with teleological criteria.
The nonteleological commitments that we make are
sometimes chosen nd at other times taken for granted.
Policy choices often consist of a sequence f decisions in
which we alternate between the small and the large view,
between beying laws and remaking them, and between
factoring problems into manageble parts and reconsidering
the larger perspective that relates the parts to one nother.
Etzioni's mixed-scanning approach is a way of carrying out
this alteration." Thus, in taking jobs and entering into social
contracts we restrict our ,ter alternatives. But we can at
least try to be aware of that restriction when te make a
choice. The consultant in systems analysis or operations
research ften takes as a given constraint the "charter" of the
organization for which he orks. For a consultant to the
,

Department of Defense, "Defense of the nation, :onomical use


of resources, destruction of the enemy, safety to friendly
operting personnel, and desirability of heroism are typical
matters that the charter takes statements about." 13 A
distinctive feature of our particular approach to olicy
analysis is that it includes systematic reflection on the
desirability of !rving the goals of an organization or system
prior to agreeing or contracting ) do so.
The employer is of course also a party to the
agreement. If policy lalysts carry through their
recommendations to the point of creating or ranging an
organization, they may themselves become employers or
administors. They are then under obligation to honor
employment contracts and to eat employees fairly. Such
agreements may limit their opportunities to reshape Le
organization later in view of new information.

Kriteria nonteleologis biasanya bertanya apakah kebijakan yang


diberikan itu benar atau salah secara absolut daripada perbandingan:
Apakah suatu tindakan melibatkan pengingkaran janji, melanggar
hukum, atau menyimpang dari tujuan yang ditentukan dalam
organisasi? Kriteria seperti itu dengan demikian dapat diterapkan
pada kebijakan tunggal di bawah pertimbangan tanpa
membandingkan kebijakan itu dengan alternatif. Penekanan kami
pada membandingkan alternatif, atau pada kebijakan "terbaik",
menunjukkan bahwa analisis kebijakan pada tingkat tertentu berkaitan
dengan kriteria teleologis. Komitmen nonteleologis yang kita buat
kadang-kadang dipilih dan di waktu lain diterima begitu saja. Pilihan
kebijakan sering kali terdiri dari urutan keputusan di mana kami
berganti-ganti antara pandangan kecil dan besar, antara menaati
undang-undang dan memperbaikinya, dan antara memasukkan faktor
masalah menjadi bagian-bagian yang dikelola dan
mempertimbangkan kembali perspektif yang lebih besar yang
menghubungkan bagian-bagian itu dengan yang lain. Pendekatan
beragam-pemindaian Etzioni adalah cara untuk melakukan perubahan
ini. "Jadi, dalam mengambil pekerjaan dan masuk ke dalam kontrak
sosial kita membatasi alternatif kita, tetapi kita setidaknya bisa
mencoba untuk menyadari pembatasan itu ketika kita membuat
pilihan. Konsultan dalam analisis sistem atau riset operasi sering
menganggap sebagai batasan yang diberikan "piagam" organisasi
tempat dia, orks. Untuk seorang konsultan untuk Departemen
Pertahanan, "Pertahanan negara,: penggunaan sumber daya secara
anonim, penghancuran musuh, keselamatan personel operting yang
bersahabat, dan keinginan akan kepahlawanan adalah hal-hal khas
yang dicantumkan dalam piagam tersebut. Ciri khas dari pendekatan
khusus kami terhadap analisis policy adalah bahwa hal itu mencakup
refleksi sistematis tentang keinginan! tujuan organisasi atau sistem
sebelum menyetujui atau membuat kontrak) melakukannya. Majikan
tentu saja juga merupakan pihak dalam perjanjian. Jika lalyst
kebijakan membawa melalui rekomendasinya hingga membuat atau
memulai organisasi, mereka sendiri dapat menjadi pemberi kerja atau
administrator. Mereka kemudian berkewajiban untuk menghormati
kontrak kerja dan makan karyawan secara adil. Perjanjian semacam
itu dapat membatasi peluang mereka untuk membentuk kembali Le
organisasi nanti dengan mempertimbangkan informasi baru.
For any policy choice we ordinarily act within certain
defined social )1es (citizen, official, employer, etc.), and it
makes a great deal of difference hat role we occupy. We
might regard all roles related to a problem as facing
common set of right and wrong choices but each role as
ruling out certain toices in terms of its associated
conditions of political feasibility. But if we ere to look only
at political feasibility, we would be considering our roles only
practical conditions of action and ignoring the binding
obligations they in-Ave. For both these reasons it may be
proper for a legislator to make choices at a judge or an
administrator cannot, or for a citizen of one country to
consider alternatives that a citizen of another cannot
easily contemplate. W e can consider changing norms and
rules, but only at personal cost and at costs to society in
predictability and precedents.

We may also feel certain means to be morally


prohibited, even if the ends they serve seem desirable. The
use of falsehood in persuasion, the corruption or bribery of
officials, the imprisonment of the innocent, or the deliberate
fostering of distrust between groups may seem undesirable
in themselves. But the norms that we would violate if we
did these things may also be teen as having value in terms
of their consequences. If the norms of a society allow its
members to expect honesty in private and official
transactions, the existence of such norms may affect other
values. In that case what appeared to be a non-teleological
criterion would be justifiable in teleological terms. A policy
furthered by dishonest means may thus have costs—difficult
though they are to estimate—deriving from its effects on the
normative arrangements of society.

One way to combine teleological and nonteleological


criteria into a single decision criterion relates to the form that
they usually assume. When teleological criteria are made
clear and operational, they are often quantitative and vary
continuously with the alternatives. Therefore, we may
consider maximizing them through quantitative tradeoffs
between alternatives. Welfare, preference satisfaction, net
monetary benefit, and degrees of equality have this feature.
In contrast, nonteleological criteria are usually discrete. They
simply specify one class of acts that are forbidden and
another class that are not. One way to consider the two types
of principles together in a consistent system of calculation is
to maximize the teleological criterion only within the range
allowed by the nonteleological constraint." We can stay within
that range by eliminating from our analysis all alternatives
that are prohibited by that constraint, just as we do for
totally infeasible alternatives. For moral prohibitions we
often do this automatically.

Untuk setiap pilihan kebijakan, kami biasanya bertindak dalam


lingkungan sosial tertentu (warga negara, pejabat, majikan, dll.), Dan
itu membuat banyak perbedaan dalam peran yang kami tempati. Kita
mungkin menganggap semua peran yang terkait dengan masalah
sebagai menghadapi serangkaian pilihan benar dan salah yang sama,
tetapi masing-masing peran mengesampingkan desas-desus tertentu
dalam hal kondisi terkait kelayakan politik. Tetapi jika kita hanya
melihat kelayakan politik, kita akan mempertimbangkan peran kita
hanya kondisi praktis dari tindakan dan mengabaikan kewajiban
mengikat mereka di-Ave. Untuk kedua alasan ini, mungkin pantas bagi
legislator untuk membuat pilihan pada hakim atau administrator tidak
dapat, atau bagi warga negara dari satu negara untuk
mempertimbangkan alternatif yang tidak dapat direnungkan dengan
mudah oleh warga negara lain. Kita dapat mempertimbangkan
perubahan norma dan aturan, tetapi hanya dengan biaya pribadi dan
biaya untuk masyarakat dalam hal prediktabilitas dan preseden. Kita
mungkin juga merasa sarana tertentu untuk secara moral dilarang,
bahkan jika tujuan yang mereka layani tampaknya diinginkan.
Penggunaan kepalsuan dalam persuasi, korupsi atau penyuapan pejabat,
pemenjaraan orang yang tidak bersalah, atau pembinaan
ketidakpercayaan antar kelompok secara sengaja mungkin tampak tidak
diinginkan dalam diri mereka sendiri. Tetapi norma-norma yang akan
kita langgar jika kita melakukan hal-hal ini mungkin juga remaja
memiliki nilai dalam hal konsekuensi mereka. Jika norma-norma
masyarakat memungkinkan anggotanya untuk mengharapkan kejujuran
dalam transaksi pribadi dan resmi, keberadaan norma tersebut dapat
mempengaruhi nilai-nilai lain. Dalam hal itu apa yang tampak sebagai
kriteria non-teleologis akan dapat dibenarkan dalam istilah teleologis.
Kebijakan yang ditindaklanjuti dengan cara-cara yang tidak jujur
dengan demikian dapat menimbulkan biaya — sulit meskipun
diperkirakan — berasal dari pengaruhnya terhadap pengaturan normatif
masyarakat. Salah satu cara untuk menggabungkan kriteria teleologis
dan nonteleologis menjadi kriteria keputusan tunggal berkaitan dengan
bentuk yang biasanya mereka asumsikan. Ketika kriteria teleologis
dibuat jelas dan operasional, mereka sering bersifat kuantitatif dan
bervariasi terus menerus dengan alternatif. Oleh karena itu, kami dapat
mempertimbangkan untuk memaksimalkannya melalui pertukaran
kuantitatif antar alternatif. Kesejahteraan, kepuasan preferensi, manfaat
moneter bersih, dan derajat kesetaraan memiliki fitur ini. Sebaliknya,
kriteria nonteleologis biasanya diskrit. Mereka hanya menentukan satu
kelas tindakan yang dilarang dan kelas lain yang tidak. Salah satu cara
untuk mempertimbangkan dua jenis prinsip bersama dalam sistem
perhitungan yang konsisten adalah dengan memaksimalkan kriteria
teleologis hanya dalam rentang yang diizinkan oleh batasan
nonteleologis. "Kita dapat tetap dalam kisaran itu dengan
menghilangkan dari analisis kita semua alternatif yang dilarang oleh
kendala itu, sama seperti yang kita lakukan untuk alternatif yang benar-
benar tidak mungkin untuk larangan moral kita sering melakukan ini
secara otomatis.
An example of maximization within such a constraint is
the choice of the policy alternative having the best
consequences in view of a legal restriction. The law may have
specified, for example, that the racial composition of schools
in a city not vary by more than a specified amount. We may
then specify other educational goals such as amount learned,
degree of social equality, and the relations of these variables
to costs. Conceivably, our optimum policy in view of these
other variables will fall within the requirement of racial
composition. But if it does not, then our choice of alternatives
will be constrained by the law and will lie somewhere on the
boundary of the region of permissible policies as set by the
law. Another example is the problem of maximizing the
nutritive value of a diet within the constraint that the budget
not exceed a given amount.'e The setting of a budget is, in a
sense, an example of a moral rule established by legislative
or administrative action. A program or policy might well yield
much more in benefits if it could be allowed to exceed the
budgetary limit. Nevertheless, budgetary procedures do not
usually permit such arguments to be used for overrunning
the amount allowed.

Contoh maksimalisasi dalam batasan tersebut adalah pilihan alternatif


kebijakan yang memiliki konsekuensi terbaik mengingat pembatasan
hukum. Undang-undang mungkin telah menetapkan, misalnya, bahwa
komposisi rasial sekolah di kota tidak berbeda lebih dari jumlah yang
ditentukan. Kami kemudian dapat menentukan tujuan pendidikan lainnya
seperti jumlah yang dipelajari, tingkat kesetaraan sosial, dan hubungan
variabel-variabel ini dengan biaya. Dapat dibayangkan, kebijakan optimal
kami dalam melihat variabel-variabel lain ini akan berada dalam
persyaratan komposisi ras. Tetapi jika tidak, maka pilihan kita akan
dibatasi oleh hukum dan akan berada di suatu tempat di perbatasan
wilayah kebijakan yang diizinkan sebagaimana diatur oleh hukum. Contoh
lain adalah masalah memaksimalkan nilai gizi dari makanan dalam
batasan bahwa anggaran tidak melebihi jumlah yang diberikan.
”Pengaturan anggaran, dalam arti tertentu, adalah contoh dari aturan
moral yang ditetapkan oleh tindakan legislatif atau administratif . Suatu
program atau kebijakan mungkin akan menghasilkan jauh lebih banyak
manfaat jika dapat melebihi batas anggaran. Meskipun demikian,
prosedur anggaran biasanya tidak mengizinkan argumen seperti itu
digunakan untuk melampaui jumlah yang diizinkan

There are, however, criteria that take the form of


discrete limits or constraints but do not arise from moral or
social rules. In discussion of environmental policy we often
set forth specific limits of concentrations of substances in air
or water. From an economic point of view we should regard
these threshold concentrations as possibly alterable as the
prices of resources change and the value-tradeoffs between
production and environmental harm are altered. As energy
becomes scarce, for example, we reconsider the use of coal in
spite of the environmental hazards associated with its use.
But in the short run, as long as such an environmental
limitation is in effect, we may have to consider it as a
nonteleological constraint when we formulate other policies.
Another type of criterion that appears to be discrete
and nonteleological is the guarantee of a minimum level of
education or health care for all citizens. In the discussion of
such guarantees we often refer to them as "rights," implying
that they are to be granted regardless of their
consequences. But from time to time we may also reconsider
such a rule in terms of its costs or benefits. An increase or
decrease in available resources might increase or decrease
the minimum level that is considered a "right."

Namun, ada kriteria yang mengambil bentuk batasan atau


hambatan tersendiri tetapi tidak muncul dari aturan moral atau
sosial. Dalam diskusi tentang kebijakan lingkungan kami sering
menetapkan batasan konsentrasi zat dalam udara atau air. Dari
sudut pandang ekonomi, kita harus menganggap konsentrasi
ambang ini sebagai kemungkinan dapat berubah karena harga
sumber daya berubah dan pertukaran nilai antara produksi dan
kerusakan lingkungan berubah. Ketika energi menjadi langka,
misalnya, kami mempertimbangkan kembali penggunaan batu bara
terlepas dari bahaya lingkungan yang terkait dengan
penggunaannya. Tetapi dalam jangka pendek, selama pembatasan
lingkungan seperti itu berlaku, kita mungkin harus menganggapnya
sebagai kendala nonteleologis ketika kita merumuskan kebijakan
lain.
Jenis kriteria lain yang tampaknya diskrit dan nonteleologis adalah
jaminan tingkat pendidikan minimum atau perawatan kesehatan
untuk semua warga negara. Dalam pembahasan jaminan semacam
itu, kita sering menyebutnya sebagai "hak", yang menyiratkan
bahwa mereka harus diberikan terlepas dari konsekuensinya. Tetapi
dari waktu ke waktu kami juga dapat mempertimbangkan kembali
peraturan semacam itu dalam hal biaya atau manfaatnya.
Peningkatan atau penurunan sumber daya yang tersedia dapat
meningkatkan atau menurunkan tingkat mini yang dianggap
sebagai "benar."
When we consider policies toward crime, we encounter
both teleological and nonteleological criteria. Many citizens
regard punishment for criminal acts as appropriate
regardless of its consequences. But Gary S. Becker, following
an economic approach, proposes to analyze policies toward
crime simply by maximizing welfare or minimizing loss to
society." In these terms incarceration not only removes
possible sources of crime but also prevents people from pro -
ducing and earning. Incarceration of the very productive
(those who earn high salaries) detracts considerably from the
GNP. Becker thus proposes fines as a type of penalty that
would allow convicted persons to return to productive ac-
tivity, assuming that their production would benefit the rest
of society. This approach treats crime from a purely
teleological point of view. It ignores, for example, any
principle that retribution is proper regardless of its
consequences.
Finally, the distinction between teleological and
nonteleological criteria may sometimes be a matter of degree.
Some consequences of a policy may flow from it so simply and
directly that they are nearly synonymous with the policy
itself. The two cases presented at the end of this chapter are
borderline cases of this kind.
The laetrile case (case 3—A) involves the choice
between continuing to ban the sale of laetrile, a substance
believed by some to cure cancer, and legalizing its sale. To
simplify the case, we assume that laetrile has no ascertain -
able effects on health. The criterion that James J. Kilpatrick
uses in the case in support of legalizing laetrile is the
satisfaction of preferences. The criteria advanced by Daniel
S. Martin include health (as determined by medical scien -
tists), possible costs to patients, and the desirability of
truthful presentation of facts. There is a direct relationship
between each policy alternative and the corresponding
criteria. Each of these criteria can be involved in more
complex models connecting it with other policies, but no
elaborate models are needed here.
Ketika kita mempertimbangkan kebijakan terhadap kejahatan, kita
menemui kriteria teleologis dan nonteleologis. Banyak warga
negara menganggap hukuman untuk tindakan kriminal sebagai
tepat terlepas dari konsekuensinya. Tetapi Gary S. Becker,
mengikuti pendekatan ekonomi, mengusulkan untuk menganalisis
kebijakan terhadap kejahatan hanya dengan memaksimalkan
kesejahteraan atau meminimalkan kerugian bagi masyarakat.
"Dalam istilah ini penahanan tidak hanya menghilangkan sumber-
sumber kejahatan yang mungkin terjadi, tetapi juga mencegah
orang dari menghasilkan dan menghasilkan. Penahanan yang
sangat produktif (mereka yang mendapat gaji tinggi) sangat
mengurangi GNP. Becker dengan demikian mengusulkan denda
sebagai jenis hukuman yang akan memungkinkan orang terpidana
kembali ke kegiatan produktif, dengan asumsi bahwa produksi
mereka akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat. Pendekatan ini
memperlakukan kejahatan dari sudut pandang teleologis murni. Ia
mengabaikan, misalnya, prinsip apa pun bahwa pembalasan itu
pantas terlepas dari konsekuensinya.
Akhirnya, perbedaan antara kriteria teleologis dan nonteleologis
kadang-kadang mungkin masalah derajat. Beberapa konsekuensi
dari suatu kebijakan dapat mengalir begitu sederhana dan langsung
sehingga hampir identik dengan kebijakan itu sendiri. Dua kasus
yang disajikan pada akhir bab ini adalah kasus batas jenis ini.
Kasus laetrile (kasus 3 — A) melibatkan pilihan antara terus
melarang penjualan laetrile, suatu zat yang diyakini oleh beberapa
orang untuk menyembuhkan kanker, dan melegalkan penjualannya.
Untuk menyederhanakan kasus ini, kami berasumsi bahwa laetrile
tidak memiliki efek yang pasti pada kesehatan. Kriteria yang
digunakan James J. Kilpatrick dalam kasus ini dalam mendukung
legalisasi laetrile adalah kepuasan preferensi. Kriteria yang
dikembangkan oleh Daniel S. Martin meliputi kesehatan
(sebagaimana ditentukan oleh para ilmuwan medis), kemungkinan
biaya bagi pasien, dan keinginan untuk menyajikan fakta secara
jujur. Ada hubungan langsung antara setiap alternatif kebijakan dan
kriteria yang sesuai. Masing-masing kriteria ini dapat dilibatkan
dalam model yang lebih kompleks yang menghubungkannya
dengan kebijakan lain, tetapi tidak diperlukan model yang rumit di
sini.

The city-growth case (case 3–B) was also chosen as


involving a difference between possible criteria but requiring
no elaborate models to connect policies with criteria. The
two policies in question are, first, to limit migration into
several (mostly suburban) cities and, second, to allow freer in-
migration. The first policy is favored by residents who define
the "general welfare" in terms of "the people who are already
there—not those who may want to come there." The second
policy would be more likely to be favored by a definition of
the general welfare that included outsiders. Although the
general welfare is a teleological criterion, each policy is so
directly related to one definition of the general welfare that no
elaborate models connecting policies to their consequences
are needed.
A similar situation can also arise if we choose as
criteria not the ultimate human values that philosophers
would consider, but short-run or intermediate goals such as
increasing the budget of an organization, delivering a
certain amount of a service, or obtaining a certain racial
mixture in a city school-system. The policies that lead to
goals of this sort are connected relatively simply and
directly with the short-run goals themselves.
Kasus pertumbuhan kota (kasus 3-B) juga dipilih karena melibatkan
perbedaan antara kriteria yang mungkin tetapi tidak memerlukan
model yang rumit untuk menghubungkan kebijakan dengan kriteria.
Dua kebijakan yang dimaksud adalah, pertama, membatasi migrasi
ke beberapa kota (kebanyakan pinggiran kota) dan, kedua, untuk
memungkinkan migrasi yang lebih bebas. Kebijakan pertama
disukai oleh penduduk yang mendefinisikan "kesejahteraan umum"
dalam hal "orang-orang yang sudah ada — bukan mereka yang
mungkin ingin datang ke sana." Kebijakan kedua akan lebih disukai
dengan definisi kesejahteraan umum yang mencakup orang luar.
Meskipun kesejahteraan umum adalah kriteria teleologis, setiap
kebijakan secara langsung terkait dengan satu definisi
kesejahteraan umum sehingga tidak ada model rumit yang
menghubungkan kebijakan dengan konsekuensinya.
Situasi serupa juga dapat muncul jika kita memilih sebagai kriteria
bukan nilai-nilai kemanusiaan utama yang akan dipertimbangkan
oleh para filsuf, tetapi tujuan jangka pendek atau menengah seperti
meningkatkan anggaran suatu organisasi, memberikan sejumlah
layanan tertentu, atau memperoleh ras tertentu campuran dalam
sistem sekolah kota. Kebijakan yang mengarah pada tujuan
semacam ini terhubung secara relatif sederhana dan langsung
dengan tujuan jangka pendek itu sendiri.

SOURCES OF ETHICAL CRITERIA

Ethics in Licensing Practice


So what are ethical standards based on if they aren’t
based on feelings, religion, law, accepted social practice,
or science? And how do you apply these standards to
the specific licensing situations you face?
Over time, ethicists and philosophers have suggested at
least five sources of ethical standards that could be
used:

1. The Utilitarian Approach

2. The Rights Approach

3. The Fairness or Justice Approach

4. The Common Good Approach

5. The Virtue Approach

We will briefly discuss each of these five sources of


ethical standards next.

Ethical guidelines for


academia
Academic integrity involves following the ethical
principles and standards adopted by higher-education
institutions. Benum (2003) demonstrates, among other
things, that academic integrity at universities is
associated with some specific values:

 Academic freedom is linked to freedom of


research. A university should promote research and
the pursuit of knowledge without regard to market
forces.
 Everyone should be able to seek knowledge, and
knowledge should be available to all. Accordingly
universities should be of general benefit to society.
 Universities are fundamental for democracy
because they encourage members of society to form
their own opinions regarding societal problems and
challenges.
The credibility of research at higher-education
institutions depends on reflective attitudes to research
ethics and formal requirements for papers and theses.
Following principles of academic integrity requires
knowledge of research ethics, citation ethics,
and copyright, as well as correct research methodology
and scholarly writing practices.

Research ethics
Research ethics comprises:

 Internal ethical standards developed and upheld


by the researchers themselves
 External ethical standards supervised by, among
others, the Research Council of Norway
According to the internal ethical:

 Knowledge is common property


 Knowledge is to be sought independently of
political and ideological issues
 All findings will be submitted to critical
examination by peers.
 Anyone becoming ethically worried about a project
she or he is working on has the right to have these
worries heard by an independent committee.
External standards exist to protect individuals and
society. Projects should through their purpose or
methodology comply with socially accepted values.
These demands must be met:

 Projects cannot break Norwegian law


 They must not create problems of military or
defence character
 Sufficient attention must be paid to protection of
environment and animals.
The following requirements apply if your research
involves human participants:
 Researchers are held responsible to each and
every one.
 All personal data must be adequately anonymised.
 Human participation in an experiment is only
permissible if any risk involved is reasonably
balanced by the prospective benefit.
 Research should first be done on such persons as
are best suited (healthy adults), progressing from
there to more vulnerable groups, if this will benefit
them.
 Proper consent must be obtained from
participants. The granting of consent must not in any
way be influenced by any direct or indirect coercion.
 Research projects must not control or manipulate
persons
 Researchers and students who are intending to
carry out a project involving the processing of
personal data must complete a notification form and
send it to the Data Protection Official for Research.
Research committees are responsible for ensuring that
projects comply with the above requirements before
research commences. You must also ensure that your
thesis complies with the above requirements.

The following commitees on ethical guidelines can be


found in Norway:

 The National Committee for Medical and Health


Research Ethics (NEM)
with references to the Helsinki Declaration, the
Vancouver Convention and guidelines of the inclusion
of women in medical research
 Guidelines for research ethics in the social
sciences, law, the humanities and theology
 Guidelines for research ethics in science and
technology
Source: www.etikkom.no/en/In-English/

Last updated: October 12, 2018


As a citizen you are free to choose you own values or
criteria in terms of which to compare prospective policies. At
the same time, however, you are engaging in a collective
choice with fellow members of a political community, and if
you want to have your policy choices enacted you may wish
either to draw values from that community or to persuade
your fellow citizens to choose in terms of values that you
propose. You are therefore making your choice of values not
in isolation from your fellow citizens, but in interaction with
them.
A society contains numerous groups that stand for
values or value systems. Religious bodies and the legal
system assert some of these values—for example, the values
implied in the Judeo-Christian ethic or the Bill of Rights. The
political culture of a nation also embodies informal
understandings about what acts or values are proper. We
learn from our families and communities about such values
as political and economic freedom, material welfare, human
equality, and human excellence. The values that different
groups learn in a pluralistic society are not all alike, but
they contain many common ingredients. A major task in
formulating values for policy analysis is to understand and,
where possible, synthesize values shared by participants, and
to translate these values into precise and measurable form.
Sebagai warga negara, Anda bebas memilih nilai atau kriteria Anda
sendiri untuk membandingkan kebijakan prospektif. Namun, pada
saat yang sama, Anda terlibat dalam pilihan bersama dengan
sesama anggota komunitas politik, dan jika Anda ingin menerapkan
pilihan kebijakan Anda, Anda mungkin ingin mengambil nilai dari
komunitas itu atau untuk membujuk sesama warga negara Anda
untuk memilih dalam hal nilai yang Anda usulkan. Karena itu, Anda
membuat pilihan nilai-nilai Anda bukan terpisah dari sesama warga
negara Anda, tetapi dalam interaksi dengan mereka.
Suatu masyarakat mengandung banyak kelompok yang mendukung
nilai atau sistem nilai. Badan keagamaan dan sistem hukum
menyatakan beberapa nilai ini — misalnya, nilai-nilai yang tersirat
dalam etika Yahudi-Kristen atau Bill of Rights. Budaya politik suatu
negara juga mewujudkan pemahaman informal tentang tindakan
atau nilai-nilai yang pantas. Kami belajar dari keluarga dan
komunitas kami tentang nilai-nilai seperti kebebasan politik dan
ekonomi, kesejahteraan materi, kesetaraan manusia, dan
keunggulan manusia. Nilai-nilai yang dipelajari oleh berbagai
kelompok dalam masyarakat majemuk tidak semuanya sama, tetapi
mereka mengandung banyak unsur umum. Tugas utama dalam
merumuskan nilai-nilai untuk analisis kebijakan adalah memahami
dan, jika memungkinkan, mensintesis nilai-nilai yang dibagikan oleh
peserta, dan menerjemahkan nilai-nilai ini ke dalam bentuk yang
tepat dan terukur.

There are also more specific institutions and groups


that assert values or stand for them. Various professions,
such as medicine, law, and social work, may stand for values
such as the furtherance of health, justice, and well-being.
These values may be expressed in particular terms as a
result of discussion in the profession. For example, the
measurement of delivery of health services, uch as the
number of patients seen by doctors, may be a presumed
substitute or the measurement of improvement in health
itself.
Members of academic disciplines also sometimes
advocate values that ,re related to the concepts of their
disciplines. Biologists and ecologists have eferred to
survival as a criterion for public policy. Physicists and
engineers lave been concerned with the conservation of
scarce energy resources. Social ,cientists also more often
express concern for values related to the concepts of heir
fields: Psychologists sometimes mention personality
development as a Titerion for public policy, and economists
often use the satisfaction of consumer Ind producer
preferences as a criterion.
When social scientists and professionals try to assess
the merits of :ompeting policies, they proceed most often by
asking whether the consequences )f these policies make
individuals better or worse off. In doing so they tacitly N.
explicitly develop teleological ethical criteria that supply
definitions of the :erms "better off" and "worse off." They may,
for example, ask whether people ire more or less satisfied
with their jobs, their communities, or their family life. They
may ask whether people are healthier or whether disease
rates are likely to increase as a result of one policy or
another. They may ask whether people ire richer or poorer.
Or they may try to ascertain whether people's preferences
ire likely to be more or less satisfied as a result of various
policies. It is sometimes considered that citizens'
preferences will be better satisfied if there is greater public
access to policymaking." Similar reasoning has been used to
support the decentralization of decisions through revenue
sharing.
Ada juga institusi dan kelompok yang lebih spesifik yang
menegaskan nilai-nilai atau mendukungnya. Berbagai profesi,
seperti kedokteran, hukum, dan pekerjaan sosial, dapat berarti nilai-
nilai seperti peningkatan kesehatan, keadilan, dan kesejahteraan.
Nilai-nilai ini dapat dinyatakan dalam istilah tertentu sebagai hasil
diskusi dalam profesi. Misalnya, pengukuran pemberian layanan
kesehatan, seperti jumlah pasien yang dilihat oleh dokter, dapat
menjadi pengganti atau pengukuran peningkatan kesehatan itu
sendiri.
Anggota disiplin akademis juga terkadang mengadvokasi nilai-nilai
yang terkait dengan konsep disiplin mereka. Ahli biologi dan ahli
ekologi telah berusaha bertahan hidup sebagai kriteria kebijakan
publik. Fisikawan dan insinyur sudah khawatir dengan konservasi
sumber daya energi yang langka. Sosial, ilmuwan juga lebih sering
mengungkapkan kepedulian terhadap nilai-nilai yang terkait dengan
konsep bidang pewaris: Psikolog kadang-kadang menyebut
pengembangan kepribadian sebagai Titerion untuk kebijakan publik,
dan ekonom sering menggunakan kepuasan preferensi produsen Ind
konsumen sebagai kriteria.
Ketika para ilmuwan sosial dan profesional mencoba menilai
manfaat dari: kebijakan yang bersaing, mereka paling sering
melanjutkan dengan menanyakan apakah konsekuensinya) jika
kebijakan ini membuat individu menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Dengan melakukan itu mereka diam-diam N. secara eksplisit
mengembangkan kriteria etis teleologis yang memberikan definisi
tentang: erm "lebih baik" dan "lebih buruk." Mereka mungkin,
misalnya, bertanya apakah orang-orang marah atau kurang puas
dengan pekerjaan mereka, komunitas mereka, atau kehidupan
keluarga mereka. Mereka mungkin bertanya apakah orang lebih
sehat atau apakah tingkat penyakit cenderung meningkat sebagai
akibat dari satu kebijakan atau lainnya. Mereka mungkin bertanya
apakah orang menjadi lebih kaya atau lebih miskin. Atau mereka
dapat mencoba memastikan apakah preferensi orang-orang yang
marah cenderung lebih atau kurang puas sebagai akibat dari
berbagai kebijakan. Kadang-kadang dianggap bahwa preferensi
warga akan lebih baik jika ada akses publik yang lebih besar untuk
pembuatan kebijakan. "Alasan serupa telah digunakan untuk
mendukung desentralisasi keputusan melalui pembagian
pendapatan.

The criteria that are used in the assessment of policies


or programs are Dften specific indicators rather than general
valuative variables because specific indicators can be
measured more easily. Thus, we sometimes measure
passenger-miles of transportation rather than the values that
are realized by transportation, access to educational
institutions rather than learning, test scores at graduation
from school rather than the capacity to produce and earn or to
be an informed citizen, or the delivery of health services
rather than health. Even if we have to use indicators of this
kind as substitutes for general values, we should keep in
mind the fact that changes in such indicators are not
necessarily good or bad in themselves.
In judging whether a policy makes people better off
social scientists in different disciplines tend to take different
approaches. These approaches relate both to the
characteristic methods of the disciplines and to the valuative
notions implicit in these disciplines of what it means to be
"better off" or to enjoy greater welfare or well-being. The
most systematic comparison of policies has been carried out
by economists, who use abstract models of the market
economy or estimate benefits and costs in monetary terms.
Researchers in sociology and other social sciences, relying on
sample surveys, have more often asked people questions
intended to measure the effects of past policies on them and
have not put these questions in monetary terms. Political
scientists have more often asked questions about
respondents' opinions concerning the desirability of alternative
policies. But questions of this kind call for respondents'
judgments about other people's welfare as well as their own.
The basic criterion of economics relative to whether
people are better off is the satisfaction of the preferences of
the relevant participants, be they consumers, workers, or
investors. If a person prefers one bundle of goods to another,
he is deemed to be better off if he has the one he prefers
rather than the other. If an investor prefers one portfolio of
assets to another, once again, his own system of values is
accepted in ascertaining the portfolio with which he is better
off. Similar statements can be made about a person making
choices between work and leisure. If two persons engage in a
voluntary exchange of goods, bonds, or labor services, then
presumably both prefer the situation after exchange, and
therefore both are better off as a result.' The underlying
ethic is that of maximizing preference satisfaction.

Kriteria yang digunakan dalam penilaian kebijakan atau program


adalah Dften indikator spesifik daripada variabel penilaian umum
karena indikator spesifik dapat diukur lebih mudah. Dengan
demikian, kita kadang-kadang mengukur mil-mil transportasi
daripada nilai-nilai yang diwujudkan oleh transportasi, akses ke
lembaga pendidikan daripada belajar, nilai ujian pada kelulusan dari
sekolah daripada kapasitas untuk menghasilkan dan mendapatkan
atau menjadi warga negara yang terinformasi, atau pemberian
layanan kesehatan daripada kesehatan. Sekalipun kita harus
menggunakan indikator semacam ini sebagai pengganti nilai-nilai
umum, kita harus ingat fakta bahwa perubahan indikator semacam
itu tidak harus baik atau buruk dalam diri mereka sendiri.
Dalam menilai apakah suatu kebijakan membuat orang menjadi
lebih baik, ilmuwan sosial dalam berbagai disiplin ilmu cenderung
mengambil pendekatan yang berbeda. Pendekatan-pendekatan ini
berhubungan baik dengan metode karakteristik dari disiplin ilmu
maupun dengan gagasan penilaian yang tersirat dalam disiplin ilmu
ini tentang apa artinya menjadi "lebih baik" atau untuk menikmati
kesejahteraan atau kesejahteraan yang lebih besar. Perbandingan
kebijakan yang paling sistematis telah dilakukan oleh para ekonom,
yang menggunakan model abstrak ekonomi pasar atau
memperkirakan manfaat dan biaya dalam bentuk moneter. Para
peneliti dalam sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, mengandalkan
sampel survei, lebih sering mengajukan pertanyaan kepada orang-
orang yang dimaksudkan untuk mengukur dampak kebijakan masa
lalu terhadap mereka dan belum memasukkan pertanyaan-
pertanyaan ini dalam istilah moneter. Ilmuwan politik lebih sering
mengajukan pertanyaan tentang pendapat responden tentang
keinginan kebijakan alternatif. Tetapi pertanyaan-pertanyaan
semacam ini membutuhkan penilaian responden tentang
kesejahteraan orang lain dan juga kesejahteraan mereka sendiri.
Kriteria dasar ekonomi relatif terhadap apakah orang lebih baik
adalah kepuasan preferensi peserta yang relevan, baik itu
konsumen, pekerja, atau investor. Jika seseorang lebih suka satu
bundel barang ke yang lain, dia dianggap lebih baik jika dia memiliki
yang dia sukai daripada yang lain. Jika seorang investor lebih suka
satu portofolio aset daripada yang lain, sekali lagi, sistem nilainya
sendiri diterima dalam memastikan portofolio yang dengannya ia
lebih baik. Pernyataan serupa dapat dibuat tentang seseorang yang
membuat pilihan antara bekerja dan bersantai. Jika dua orang
terlibat dalam pertukaran barang, obligasi, atau layanan tenaga
kerja sukarela, maka mungkin keduanya lebih menyukai situasi
setelah pertukaran, dan oleh karena itu keduanya lebih baik sebagai
hasilnya. ' Etika yang mendasarinya adalah memaksimalkan
kepuasan preferensi.

We speak of an "ethic of preference satisfaction"


because the satisfaction of a person's preferences
corresponds to one notion, but not the only possible notion,
of what is good for humanity. An observer may judge that
what a person prefers is not good for him, as when he
smokes cigarettes, eats tasty but unhealthful food, or buys
laetrile (case 3—A). The observer may also judge that a
person prefers lower forms of entertainment or culture when
he might learn to appreciate higher forms. There are thus
other notions of the good life than that of preference
satisfaction, and these other notions correspond to other ethics
that you may choose for policy analysis.
The ethic of preference satisfaction is also only one
among various ethics because it recognizes that in actual
markets an individual's opportunities to have his preferences
expressed are usually limited by his economic resources.
Rather than being allowed to express abstract wants or
desires, the person indicates his willingness to engage in
exchange (to part with his income or past savings) and thus
shows what economists often call an "effective demand" for
bread, leisure, or shares of IBM stock. For example, although
most of us might admire the Rolls Royce as a means of
transportation, we would no doubt believe that the economic
system was probably following consumers' preferences in
producing few of this automobile because few drivers are
willing to give up sufficient resources to meet the high Rolls
price-tag. Thus, the opportunity to express our preferences
in an economic system is limited by our share of tire total
available resources or purchasing power. In this way the ethic of
preference satisfaction in economics must be related to the
ethical aspects of the distribution of economic power. We
shall turn to these distributional aspects in greater detail
later.

Kita berbicara tentang "etika kepuasan preferensi" karena kepuasan


preferensi seseorang sesuai dengan satu gagasan, tetapi bukan
satu-satunya gagasan yang mungkin, tentang apa yang baik untuk
kemanusiaan. Seorang pengamat dapat menilai bahwa apa yang
disukai seseorang tidak baik untuknya, seperti ketika ia merokok,
makan makanan lezat tetapi tidak sehat, atau membeli laetrile
(kasus 3 — A). Pengamat juga dapat menilai bahwa seseorang lebih
suka bentuk hiburan atau budaya yang lebih rendah ketika ia
mungkin belajar untuk menghargai bentuk yang lebih tinggi.
Dengan demikian ada gagasan lain tentang kehidupan yang baik
daripada kepuasan preferensi, dan gagasan lain ini sesuai dengan
etika lain yang dapat Anda pilih untuk analisis kebijakan.
Etika kepuasan preferensi juga hanya satu di antara berbagai etika
karena ia mengakui bahwa di pasar aktual peluang individu untuk
mengekspresikan preferensi biasanya dibatasi oleh sumber daya
ekonominya. Alih-alih diizinkan untuk mengungkapkan keinginan
atau keinginan abstrak, orang tersebut menunjukkan kesediaannya
untuk terlibat dalam pertukaran (untuk berpisah dengan
pendapatan atau tabungannya di masa lalu) dan dengan demikian
menunjukkan apa yang sering disebut oleh para ekonom sebagai
"permintaan efektif" untuk roti, waktu luang, atau saham dari
Saham IBM. Sebagai contoh, walaupun kebanyakan dari kita
mungkin mengagumi Rolls Royce sebagai alat transportasi, kita
tidak akan ragu percaya bahwa sistem ekonomi mungkin mengikuti
preferensi konsumen dalam memproduksi beberapa mobil ini
karena hanya sedikit pengemudi yang mau menyerahkan sumber
daya yang cukup untuk memenuhi label harga Rolls tinggi. Dengan
demikian, peluang untuk menyatakan preferensi kami dalam sistem
ekonomi dibatasi oleh bagian kami dari total sumber daya ban yang
tersedia atau daya beli. Dengan cara ini etika kepuasan preferensi
dalam ekonomi harus terkait dengan aspek etika distribusi kekuatan
ekonomi. Kami akan beralih ke aspek distribusi ini secara lebih rinci
nanti.

It should be clear that in relying on individuals to


decide what is best for themselves rather than to have others
choose for them, the ethic of preference satisfaction involves
an esteem for decentralized decision making. A pricing
system that transmits information back and forth among
exchange participants to facilitate the production and
distribution of goods and services is the explicit indication
of that respect for individual choice. However, this very
respect for individual choice creates complications in the
search for criteria or judging public policies. In order to
establish methods for selecting the best policy, an approach
must be found that can take account of the preferences of
large number of individuals. Utilitarian approaches that use
phrases such as `the greatest good for the greatest number"
have been advanced for this purpose. But as we have seen,
such criteria need to be made clear and consistent.
fell to an area of inquiry called "welfare economics" to
establish a consistent uld closely reasoned set of criteria to
account for the preferences of a large lumber of individuals.
The basic standard of welfare economics takes its
name from its :ormulator, Vilfredo Pareto, who searched for
a rule to establish the circumstances under which one
situation could be unambiguously judged to be superior :o
another. According to the Pareto criterion situation A is better
than situation 3 if at least one person prefers A to B and no
one prefers B to A. This criterion relies on individuals to
utilize their own preference orderings in determining
,vhether or not they are better off. It is more specific than the
utilitarian notion mentioned earlier in that "the greatest
number" is identified to be everyone in he sense that no one
can be harmed if the Pareto criterion is used. When this
:riterion is extended to encompass all possible changes from
some given starting point, we describe a situation as being
"Pareto optimal" if it is impossible to rake any change
without harming at least one person.
Harus jelas bahwa dalam mengandalkan individu untuk
memutuskan apa yang terbaik untuk diri mereka sendiri daripada
memilih orang lain untuk mereka, etika kepuasan preferensi
melibatkan penghargaan untuk pengambilan keputusan yang
terdesentralisasi. Sistem penetapan harga yang mentransmisikan
informasi bolak-balik di antara peserta pertukaran untuk
memfasilitasi produksi dan distribusi barang dan jasa adalah
indikasi eksplisit dari penghormatan terhadap pilihan individu.
Namun, penghormatan terhadap pilihan individu ini menciptakan
komplikasi dalam mencari kriteria atau menilai kebijakan publik.
Untuk menetapkan metode untuk memilih kebijakan terbaik, suatu
pendekatan harus ditemukan yang dapat mempertimbangkan
preferensi sejumlah besar individu. Pendekatan utilitarian yang
menggunakan frasa seperti `kebaikan terbesar untuk jumlah
terbesar" telah diajukan untuk tujuan ini. Tetapi seperti yang telah
kita lihat, kriteria seperti itu harus dibuat jelas dan konsisten.
jatuh ke bidang penyelidikan yang disebut "ekonomi kesejahteraan"
untuk menetapkan serangkaian kriteria yang konsisten untuk
mempertimbangkan preferensi dari sejumlah besar individu.
Standar dasar ekonomi kesejahteraan mengambil namanya dari:
ormulatornya, Vilfredo Pareto, yang mencari aturan untuk
menetapkan situasi di mana satu situasi dapat secara tidak ambigu
dinilai lebih unggul: dari yang lain. Menurut situasi kriteria Pareto A
lebih baik daripada situasi 3 jika setidaknya satu orang lebih suka A
ke B dan tidak ada yang lebih suka B ke A. Kriteria ini bergantung
pada individu untuk menggunakan urutan preferensi mereka sendiri
dalam menentukan, apakah mereka lebih baik atau tidak . Ini lebih
spesifik daripada gagasan utilitarian yang disebutkan sebelumnya
bahwa "jumlah terbesar" diidentifikasi sebagai setiap orang dalam
pengertian bahwa tidak ada yang dapat dirugikan jika kriteria Pareto
digunakan. Ketika ini: riterion diperluas untuk mencakup semua
kemungkinan perubahan dari titik awal tertentu, kami
menggambarkan situasi sebagai "Pareto optimal" jika tidak mungkin
untuk melakukan perubahan apa pun tanpa merugikan setidaknya
satu orang.

To see how the Pareto criterion operates, consider a


hypothetical cornnunity including three members faced
with four policy choices: do nothing, ,wild a new park,
create a new day-care center, or pave one of the streets.
assume that the three persons in question will bear all the
burdens (such as :axes) and reap all the benefits of the
policy choice, that is, only they are affected. We begin with
their rank-order preferences among the four policies, as
;hown in table 3-1. Person 1 prefers the park to the three
other alternatives and has (cast preference for inaction
(doing nothing). Person 2 prefers to do tothing rather than
enact any of the other policies, and his or her lowest
preference is for paving the street. Person 3 most prefers
the day-care center end has least preference for the park.
The table says nothing about how in:ensely people prefer
one alternative to another but limits our information to
rank orders of preference, which is all the information
needed to apply th e Pareto criterion.
Untuk melihat bagaimana kriteria Pareto beroperasi, pertimbangkan
sebuah komunitas hipotetis termasuk tiga anggota yang
dihadapkan dengan empat pilihan kebijakan: tidak melakukan apa-
apa,, membuat taman baru, membuat pusat penitipan anak baru,
atau membuka salah satu jalan. berasumsi bahwa ketiga orang
tersebut akan menanggung semua beban (seperti: sumbu) dan
menuai semua manfaat dari pilihan kebijakan, yaitu, hanya mereka
yang terpengaruh. Kita mulai dengan preferensi urutan-peringkat
mereka di antara empat kebijakan, seperti yang ditunjukkan pada
tabel 3-1. Orang 1 lebih memilih taman daripada tiga alternatif lain
dan memiliki (memilih preferensi untuk tidak melakukan apa-apa).
Orang 2 lebih suka melakukan pengaturan daripada membuat
kebijakan lain, dan preferensi terendahnya adalah untuk membuka
jalan. 3 paling suka ujung pusat penitipan anak paling tidak memiliki
preferensi untuk taman.Tabel ini tidak mengatakan apa-apa tentang
bagaimana orang-orang lebih suka satu alternatif ke yang lain tetapi
membatasi informasi kami untuk menentukan urutan preferensi,
yang merupakan semua informasi yang diperlukan untuk
menerapkan kriteria Pareto.

Table 3 1.
-

Preference Rankings of Four Policies by Three Persons


Person
1 2 3
Most preferred Park Nothing Day care
Day care Day care Nothing
Street Park Street
Least preferred Nothing Street Park

Criteria for Choice 59

Let us first ask whether any of the policy alternatives


is preferred to doing nothing by the Pareto criterion. Since
person 2 most prefers to do nothing, any other policy will
make him worse off in terms of his preference ranking.
Therefore, regardless of the preferences of persons 1 and 3,
there is no policy better than doing nothing according to the
Pareto criterion. Since no change can be made from the do-
nothing policy without harming person 2, the do-nothing policy
is Pareto optimal. For similar reasons the park and day-care
policies are also Pareto optimal if taken as starting points. If
the group enacted them and then moved away from them,
these moves would harm persons 1 and 3 respectively.
The only policy that is not Pareto optimal as a
starting point in table 3-1 is that of paving the street. A
change from the street policy to the day-care policy would
lead all three persons to be better off in the sense of moving
to a more preferred policy. We cannot, however, say that a
change from paving the street to building a park would be a
Paretc improvement, as it would leave person 3 lower on his
or her preference ranking.
The Pareto criterion is difficult to dispute; yet it has
struck many analysts as overly conservative and status quo
oriented. Many (if not most) situations on which public policy
attention has been focused cannot be changed without
imposing harm on at least one person. It is precisely the
difficulty of comparing one person's loss (based on the
individual's evaluation) with another person's gain (based on
the individual's own preferences) that prompted Pareto to set
up his criterion as he did. How can we say whether the rain
that washed out your tennis match but also watered my crops
was on balance beneficial or harmful to the two of us taken
together? If we cannot therefore judge whether cloud seeding
would be a good policy, the Pareto criterion reveals itself as
lacking in generality. There are many policy choices for
which it is not helpful.

Mari kita pertama-tama bertanya apakah ada alternatif kebijakan yang


lebih disukai daripada tidak melakukan apa-apa dengan kriteria Pareto.
Karena orang 2 paling memilih untuk tidak melakukan apa pun,
kebijakan lain apa pun akan membuatnya lebih buruk dalam hal
peringkat kesukaannya. Oleh karena itu, terlepas dari preferensi orang
1 dan 3, tidak ada kebijakan yang lebih baik daripada tidak melakukan
apa-apa sesuai dengan kriteria Pareto. Karena tidak ada perubahan yang
dapat dilakukan dari kebijakan do-nothing tanpa merugikan orang 2,
kebijakan do-nothing adalah Pareto optimal. Untuk alasan yang sama,
kebijakan taman dan penitipan anak juga Pareto optimal jika diambil
sebagai titik awal. Jika kelompok memberlakukannya dan kemudian
pindah dari mereka, gerakan ini akan membahayakan orang 1 dan 3
masing-masing.
Satu-satunya kebijakan yang tidak optimal Pareto sebagai titik awal
dalam tabel 3-1 adalah kebijakan membuka jalan. Perubahan dari
kebijakan jalanan ke kebijakan penitipan anak akan membuat ketiga
orang menjadi lebih baik dalam arti beralih ke kebijakan yang lebih
disukai. Kita tidak bisa, bagaimanapun, mengatakan bahwa perubahan
dari membuka jalan ke membangun taman akan menjadi perbaikan
Paretc, karena itu akan membuat orang 3 lebih rendah pada peringkat
pilihannya.
Kriteria Pareto sulit untuk diperdebatkan; namun hal itu telah
mengejutkan banyak analis karena terlalu konservatif dan berorientasi
pada status quo. Banyak (jika tidak sebagian besar) situasi di mana
perhatian kebijakan publik telah difokuskan tidak dapat diubah tanpa
memaksakan kerugian pada setidaknya satu orang. Justru kesulitan
membandingkan kehilangan satu orang (berdasarkan evaluasi individu)
dengan keuntungan orang lain (berdasarkan preferensi individu itu
sendiri) yang mendorong Pareto untuk menetapkan kriterianya seperti
yang dilakukannya. Bagaimana kita dapat mengatakan apakah hujan
yang membasahi pertandingan tenis Anda tetapi juga menyirami
tanaman saya seimbang atau berbahaya bagi kita berdua secara
bersama-sama? Jika karena itu kita tidak dapat menilai apakah
penyemaian awan akan menjadi kebijakan yang baik, kriteria Pareto
menyatakan dirinya kurang umum. Ada banyak pilihan kebijakan yang
tidak membantu.

The very prevalence of cases in which policies would be


simultaneously beneficial to some and harmful to others led
welfare economists to try to develop a framework for
extending the Pareto criterion. This extension involves com-
paring the gains and losses of different individuals. One result
was the "Kaldor criterion," according to which a given change
would be considered an improvement if those who are better
off calculate their gain to be large enough to compensate the
losers for their loss. Such a compensation scheme is most
workable if the participants accept a common standard of
value. This most often involves the use—as a measurement of
preference satisfaction—of a monetary unit that is already
accepted as the means of exchange in market transactions.
Under the Kaidor criterion it is not necessary for actual
compensation of losers to be made, only that the total gains
exceed total losses so that compensation is possible. This
new standard allows policy makers to consider a wider range
of policies for improving the welfare of the society, as defined
by the preferences of each of its members. But only if the
ethic of preference satisfaction is joined by a further ethic
that objects to the existence of losers would actual compen -
sation of losers be required. In such a case we would
essentially be back with the Pareto criterion.
Sangat lazimnya kasus-kasus di mana kebijakan akan secara simultan
bermanfaat bagi sebagian dan merugikan bagi yang lain mendorong
para ekonom kesejahteraan mencoba mengembangkan kerangka kerja
untuk memperluas kriteria Pareto. Perpanjangan ini melibatkan
membandingkan keuntungan dan kerugian dari individu yang berbeda.
Salah satu hasilnya adalah "kriteria Kaldor," dimana perubahan yang
diberikan akan dianggap sebagai perbaikan jika mereka yang lebih baik
menghitung keuntungan mereka menjadi cukup besar untuk
mengkompensasi yang kalah atas kerugian mereka. Skema kompensasi
seperti itu paling bisa diterapkan jika para peserta menerima standar
nilai yang sama. Hal ini paling sering melibatkan penggunaan —
sebagai ukuran kepuasan preferensi — unit moneter yang telah
diterima sebagai alat pertukaran dalam transaksi pasar. Menurut kriteria
Kaidor, kompensasi aktual bagi yang kalah tidak perlu dibuat, hanya
saja total keuntungan melebihi kerugian total sehingga kompensasi
dimungkinkan. Standar baru ini memungkinkan para pembuat
kebijakan untuk mempertimbangkan serangkaian kebijakan yang lebih
luas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana
ditentukan oleh preferensi masing-masing anggotanya. Tetapi hanya
jika etika kepuasan preferensi digabungkan dengan etika lebih lanjut
yang keberatan dengan keberadaan pecundang, kompensasi aktual bagi
pecundang diperlukan. Dalam kasus seperti itu kita pada dasarnya akan
kembali dengan kriteria Pareto.

ANALYSIS OF BENEFITS AND COSTS


The Kaldor criterion begins with a ranking of each
person's preferences and then asks that the losers' losses be
comparable in monetary terms with the gains of at least some
of the gainers. It is only a. short step from the somewhat
abstract Kaldor criterion to the practical real-world criterion
of cost-benefit analysis, which requires that we measure all
gains and losses in monetary terms. Cost-benefit analysis also
attempts to outline when society is better off as a result of a
particular policy or change. The gains involved in the
construction of a new dam would be counted as benefits in the
form of increased irrigation opportunities and the
accompanying agricultural opportunities, reduction in ex-
pected flood damage, and potential for expanded sailing and
swimming activities. On the other hand, losses would appear
as costs in the form of reduced wildlife and agricultural
acreage or of fewer opportunities for hiking and white-
water canoeing. A policy is considered an improvement in
cost-benefit analysis if the benefits exceed the costs.
Construction of lodging and eating facilities around the
lake associated with the dam, however, might not be a net
social benefit if it took resources from elsewhere." A basic
assumption of cost-benefit analysis is that two equilibrium
states of a market are being compared. The overall social
benefit of a policy must then be calculated as the difference
between the gains in earnings and production where they
increase, and the losses in earnings and production where
they decrease. If lodging or eating facilities were only moved
from elsewhere to the lake, these gains and losses would tend
to cancel out.
A similar problem of counting costs and benefits arises
in the deposit-bottles case (case 5—A). A major complaint of
managers and workers in the disposable container and
beverage industries was that if deposit bottles were required,
jobs would be lost in their industries. A cost-benefit analyst
would ask, however, whether there would be offsetting gains
of jobs elsewhere. If so, the loss of jobs in these industries
would not be counted as a net cost. If the economy were in a
state of full employment and the workers laid off were
needed for equally well paying jobs, a cost-benefit analyst
might not count the loss of jobs as a cost at all. By calculating
in this way, however, he or she would be considering only the
long-run or equilibrium effects of the policy of requiring
deposit bottles and might be ignoring the inconvenience and
costs of retraining for the displaced workers."
The costs and benefits of a proposed policy are usually
assessed relative to the alternative policy of taking no action.
We thus define the net benefit or the net cost of doing nothing as
zero. This reference to the status quo does not mean that no
changes will occur in the future. The policy of not building a
new dam, for example, would entail continued expectation of
possible future flooding, even though no clouds are presently
in the sky. Thus, the continuation of existing trends
constitutes the zero or reference point from which to
estimate the costs and benefits of proposed changes or
policies. Future trends may indeed leave people worse off
than at present and increase their sense that a problem
exists. But in cost-benefit analysis changes that result from
following a policy of doing nothing are not referred to as
costs.
When a proposed policy entails the expenditure of
funds, the associated cost clearly must be included in cost-
benefit analysis. The similarity of this calculation to the gain-
loss analysis of the Kaldor criterion is apparent if we include
in our analysis the concept of "opportunity cost." To the
economist opportunity cost is the value forgone by the
selection of an alternative. The opportunity cost of putting
money in the cookie jar is the interest earnings that could have
been made by depositing the same funds in a savings account.
An opportunity cost of attending college is the income that
could have been earned if the student had instead taken a job
during those four years. The opportunity cost of an afternoon
on the golf course could be the commissions that might
otherwise have been earned as an insurance agent. The
construction of a new dam entails the use of concrete, labor
services, and machinery, all of which could have been used in
alternative projects. It is usually presumed that in obtaining
the use of these resources the project director of the dam must
bid them away from other uses, thus making the price paid
for them (costs) a reflection of their value elsewhere. By
including in costs the market price of resources, we are
acknowledging our loss in the form of the value of projects
forgone due to the dam construction. The opportunity cost
includes the value of projects that could have been
undertaken in the private sector of the economy—values that
would have been realized by a do-nothing public policy. But
they do not (conventionally) include the values of other
possible public policies.
Cost-benefit analysis has been used extensively in
government decision making. Although the ability to employ
a common monetary standard of measurement is one of the
prime attributes of this analytic technique, attempts at
application frequently encounter types of costs and benefits
that clearly are poorly suited to monetary evaluation. One of
the alleged costs of building a dam on the New River in
North Carolina and Virginia is the destruction of possible
archeological treasures. Although we might be able to make
estimates of the value of artifacts that have already been
discovered since there is a type of market for them among
museums and other collectors, the uncertainty as to what
might yet be discovered if the dam is not built makes the
estimation of this opportunity cost very difficult. Moreover the
evaluation of the benefits of waterskiing in the lake behind
the new dam is likely to be haphazard since there usually is
no price charged for such recreational activity. Furthermore,
when projects are expected to have an extended life, the
extent of future costs and benefits becomes less certain and
it is necessary to adjust for the time element in making
overall cost-benefit calculations. Economists have devised a
technique called "discounting," which adjusts costs or
benefits for the time in which they occur (under the
rationale that you will have to promise me more than one
dollar twelve months from now to make it the equivalent of
one dollar now). But there is little present agreement about
what the appropriate discount rate should be."
We have thus far indicated that an improvement over
the status quo has taken place if the net benefits of an
action (or total benefits minus total costs) are positive. But,
just as in the case of the Pareto criterion, policy analysis
goes beyond the mere identification of good policies (those
with net benefits) and searches for best policies. This entails
the acknowledgment of possible constraints on decision
making such as a limited amount of funds available. Where
such constraints exist, they may prevent decision makers
from adopting some good policies during a given period. Two
possible reactions to such constraints would be making
programs smaller than optimal or phasing in new programs
gradually.
It is also important to take account of the scale of a
project, thus placing the net-benefits data in a proper
perspective. Suppose project A had expected costs of $2
million and benefits of $2.3 million and project B entailed
costs of $100,000 and benefits of $125,000. On the basis of
the size of net benefits alone, A would be the clear
preference. However, if there were twenty projects that had
the same costs and benefits as B, those twenty taken as a
group would provide greater net benefits than A. Policy
analysts will often adjust for these scale situations by
ranking all possible actions according to the ratio of total
benefits to total costs, thus computing a type of rate of
return for the various alternatives. If we have a fixed
budget or if projects can be varied in scale, the ranking of
projects based on their benefit-cost ratios can permit us to
choose the best projects more accurately than rankings
based solely on the size of net benefits.
The benefit-cost ratio has an analogue in cases in
which we cannot measure benefits in monetary terms, but
can provide some other quantitative measure of them. If our
outcome or benefit measure is expressed in terms of the
number of persons employed, reduction in cases of illness, or
number of new therapeutic drugs found by a testing
procedure, we can compute a cost effectiveness ratio the number of
- —

beneficial outcomes per dollar spent. Such a ratio can be


used to compare several policies that can be varied in
scale but that all produce the same type of result, as
measured by the same indicator of effectiveness. Such ratios
are useful, but as ethical criteria they are lacking in
generality. They are not helpful in comparing projects of
fixed scale because the amounts of effect and of cost are not
commensurable. Nor are they helpful for comparing projects
that produce types of outputs that are not measurable by
the same effectiveness index (e.g., persons employed and
drugs found).
A benefit-cost ratio or a cost-effectiveness ratio can
serve as a test of efficiency, a criterion that is sometimes used
in policy choice. Efficiency, in this sense, means getting the
greatest amount of desirable results per unit cost or getting
a given amount of results at the least cost ("productive
efficiency"), either of which would be consistent with
maximizing one of the above ratios. In our further discussion
of efficiency in chapter 5 we shall judge efficiency i n terms of
preference satisfaction and then make use of the related test
of net benefit—the excess of benefits over costs. We shall treat
the perfect market as efficient in this sense and, in some
examples, as efficient in the sense of producing Pareto
optimal results.
Cost-benefit analysis shares with the Pareto criterion a
blindness to the identity of gainers or losers and to the
distribution of costs and benefits among individuals. All costs
and benefits, as measured by the monetary preferences of the
people involved, are typically given equal weight in the
calculations, in spite of the possibility that such estimates may
be affected by the economic circumstances of the people in
question. For instance, a poor person might be willing to pay
a smaller amount (his or her estimated benefits) for access to
a kidney dialysis machine than a wealthy individual receiving
the same treatment. Attempts have been made to adjust for
these circumstances by the application of different weighting
factors for the cost and benefit estimates of different seg -
ments of the population. Analyses of this type have become
controversial because they involve a more obvious ethical
criterion—equity, or fairness—as to whose interests are to be
of more and less concern to society in choices of public
policy. This is not to imply that the cost-benefit analyses based
on equal weightings are devoid of ethical assumptions, but
only that those judgments are hidden behind the mask of
uniform weights. In either case the ethic of preference
satisfaction once again is linked to considerations of
fairness. We shall now turn our attention to equity as an
important public policy criterion.'
THE CRITERION OF EQUITY

The criteria of Pareto optimality and cost-benefit


analysis have customarily emphasized what economists refer
to as "efficiency," through minimizing costs, or maximizing
net benefits, in terms of preference satisfaction. It is
important to recognize, however, that concerns for justice
may often play a major role in public policy studies. This is
extensively discussed in Arthur Okun's Equality and Efficiency: The
Big Tradeoff. The title itself emphasizes the critical dilemma that
analysis often reveals, namely, that equity and efficiency are
frequently inconsistent criteria that lead to incompatible
optimal solutions.
Okun provides an imaginary experiment by which you
can estimate how important equity in income is to you.

A proposal is made to levy an added tax averaging $4,000 . . . on


the income of the affluent families [the top five percent] in an
effort to aid the low-income families. Since the low-income group

64 Policy Analysis for Public Decisions


.. has four times as many families as the affluent group, that
should, in principle, finance a $1,000 grant for the average low-
income family. However, . . . the money must be carried from the
rich to the poor in a leaky bucket. Some of it will simply disappear
in transit, so that the poor will not receive all the money that is
taken from the rich.24

Okun then asks the reader to decide how much leakage he or


she would accept and still support such a transfer. Your
answer is an indication of the importance you attach to equity
between income groups.
The term "equity," though widely used by economists,
does not have nearly the clarity of "efficiency" as an ethical
criterion. There is nevertheless some value in trying to set
up a framework in which different views of equity, or
fairness, can be compared. One such attempt is the drawing of
a distinction between "horizontal equity" and "vertical equity."
Horizontal equity has been defined as "the equal treatment
of equals." Although this may seem to be a rather
indisputable concept, it has little meaning until the
circumstances under which people are considered equals, as
well as what constitutes equal treatment, can be specified. In
the realm of politics horizontal equity could mean granting
one vote to each person over the age of eighteen. In the labor
market it might mean equal pay for equal work. In education
it might entail equal education for all children, though the
phrase "equal education" may receive various interpretations—
for example, equality of facilities or of outcomes and equality
within communities or among them. If there is to be busing to
achieve racial integration, horizontal equity might call for
whites and blacks to do an equal amount of bus riding.
Horizontal equity as applied to public finance can be
interpreted as calling for equal taxation of all those with the
same income levels, although this is frequently qualified
further by reference to age, size of family, and other
characteristics.
In contrast, vertical equity has been defined as "the
unequal treatment of people in unequal circumstances"—
usually to make them more nearly equal. Some of the more
frequent applications of vertical equity standards are to mat -
ters of income distribution and taxation. Legislatures are
continuously faced with the opportunity of applying vertical
equity standards in decisions concerning the relative
burdens of taxes. Lyndon Johnson's War on Poverty was
waged (at least partially) in accordance with the rationale
that the market's distribution of income was unjust.
There may also be situations in which the notion of vertical
equity be-
comes irrelevant. Such would be the case if we were to argue
that there should
be no such thing as unequals where opportunities to vote are
concerned. The
judicial system in this country has devoted considerable
attention in recent years
to the "equal protection of the laws" provision of the
Fourteenth Amendment
and to identifying situations or characteristics that warrant
differential treatment.
We shall often find that standards of vertical equity are more
difficult
Criteria for Choice 65

to apply than those of horizontal equity. Not only do we


have to identify reasons for treating people unequally, but
we must also decide how unequally they should be treated.
a

I.
r

p
t
i

were not "equal" to others and were thus being treated


unfairly. When the sale of laetrile was prohibited, some
potential purchasers might have complained that they
were being singled out for control, that they were being
prevented from purchasing a harmless product while
cigarette smokers were not being so controlled. They
would thus have been redefining the category of "equals"
to include cigarette purchasers as well as themselves.
When a city considered the fluoridation of its water
supply, those citizens who required kidney dialysis
treatment might have claimed that the policy imposed an
unfair hardship on them because the fluorides had to be
removed from the water used in their treatment. They
would thus have been claiming that they were not simply
"equals" as residents of the city but should be treated as
"unequals." The criterion of horizontal equity therefore
requires considerable clarification if it is to be used as a
precise guide to policy. Some of this clarification is
carried out by the courts.
In the city-growth case it was claimed that zoning
regulations aimed at slowing growth were economically
discriminatory—that they excluded housing for middle-
and low-income people. Literally, this was a claim that
the policy treated unequals unequally. But the claim was
that it made unequals more unequal rather than less. In
legal terms the claim implied that people of different
income groups should be treated as equals for purposes of
moving into a community. The concept of "discrimination"
here implies unequal treatment of persons who should
be treated equally.
A small degree of vertical equity is involved in the
equal provision of medical screening tests or fluoridation
because the costs of these policies are probably not
equally apportioned over the population. Insofar as the
rich pay more taxes for these services than the poor, the
provision of these services involves a transfer of resources
from the rich to the poor and thus an element of vertical
equity. In the case of fluoridation the poor tend to have
more tooth decay and thus to benefit more from the
policy in terms of reduction of children's tooth decay.
An element of horizontal inequity also arises from
taxing all citizens for a good or service from which only
certain citizens benefit. Since fluoridation is primarily
beneficial to children with developing teeth, there is an
inequity in taxing elderly childless couples for this
purpose. For some policies this inequity can be alleviated
by charging users for the good or service, but the cost of
fluoridation is so small and the administrative cost of
charging for it would be so great that this small inequity
is ignored by policy analysts.
Transitional equity is involved in the deposit-
bottles case (case 5–A) if a policy is adopted of banning
or taxing discardable beverage containers. The need for
workers to change jobs and for management to reallocate
resources may lead policy makers to phase in the new
policy gradually or to provide for retraining of workers.
These modifications of the policy may be motivated by
concern for transitional equity, that is, concern for
making amends for depriving people of conditions to
which they claimed a right. But these modifications
might also be justified by the possibly greater hardship
that workers
Criteria for Choice 67

would experience from rapid than from slower adjustment; or


they might be motivated by concern for political feasibility and
for lessening the opposition of managers and workers to the
enactment of the policy.
All these aspects of equity relate to the systems of
norms, or of legitimate expectations, that exist in a given
society. The rights and duties associated with particular
social roles, such as that of property ownership, lead to the
expectation that when laws are changed, people will be
compensated for resulting damages. The social and legal
definition of people as equal in a given respect leads to the
expectation that they will be treated equally. People who
are socially defined as in different situations may be treated
differently according to norms such as those of merit or
deservingness.
Our possible policy choices may, however, extend to
the change of these norms themselves. We may argue, as
John Rawls has done, that to reward persons in terms of their
merits is inconsistent with principles of justice." The women's
liberation movement has argued that some of the social
categories according to which women have been regarded as
different from men should be altered so that the sexes are
treated alike. The Equal Rights Amendment expresses this
argument. Thus, the social categories defining similarity and
difference cannot always be taken as given, but themselves
are sometimes subjects for policy analysis.
One conceivable way to make the criterion of
vertical equity more clear would be to define some new
measure of welfare for individuals that would in effect
treat them more equally than do costs and benefits. If we
wished to include equity or distributional features in cost-
benefit analysis, we might consider weighting the costs and
benefits to individuals by some function of their income by
assuming that the welfare value of income increased at a
decreasing rate as income increased. For a given change in
income, the presumed welfare change would then be greater
for the poor than for the rich. Progressive taxation is
sometimes justified on this basis. One such function is the
logarithm of income. An analyst could also repeat his
analyses for several such functions and present the results to
others to judge which they considered most equitable. V

The judgment among alternative policies in terms of a


weighted costs and benefits, like judgment in terms of costs ii
and benefits themselves, is an example of using as a
criterion a "social welfare function." Such a function is a
number that corresponds to the expected results of each policy
parisons of happiness. These comparisons cannot be made
on scientific grounds alone but require agreement on
"yardsticks," or presumed bases of comparison ....-goods,
circumstances, or reported situations—that might be
supposed to correspond to equal happiness (satisfaction,
utility) for various persons." An extensive body of research
using interview surveys has been developed for the
m easurement of happiness and satisfaction, but these
measurements may not yet have the precision desirable
for measurement of a criterion in policy analysis 28
In the absence of quantitative information,
classification of those affected into categories is also often
used. Even when a quantitative measure is available (such
as scores on a test of educational achievement), it may be
transformed into categories such as "high," "medium,"
and -"low." Income is also often transformed in this way
(in terms of a poverty line), and health status can be
treated in categories." If the category that is stressed
consists of a small part of the population that is worst off—
the poor, the least educated, or the sick—then the use of
such a classification will tend to stress vertical equity.
The criteria we have considered have been
described in terms of individuals and relations among
them. They may thus appear to deal with relatively minor
changes in policies within a given system such as that of
representative government or a capitalistic free
economy. But the logic of policy analysis also extends to
major alternatives such as the choices among forms of
government or among economic systems. A basic "policy"
alternative that logically precedes others is the choice of
systems of law and government. The framers of the United
States Constitution, for example, were guided by the
experience of other regimes as well as by considerations of
feasibility of ratification. The ethical criteria invoked in the
Declaration of Independence included aonteleological
notions of rights, and the Preamble to the Constitution
specified several teleological criteria including the
promotion of the general welfare.

SUMMARY

To choose the best policy among alternatives, you


need to formulate a :lear criterion, or principle of choice,
which specifies the meaning of "best" that iou wish to use.
This criterion should express ethical values rather than
selfish )r private values. Ideally, it should be not only clear
but also self-consistent and ;eneral in application. It
should express the desirability of various policy al-
ernatives, as distinguished from their political feasibility.
Two major types of ethical criteria are commonly
used: teleological :riteria, such as satisfaction, survival, or
material welfare, which are attained in 'arious degrees as
consequences of policies; and nonteleological criteria, such
is the prohibition from committing murder, which are
features of the policy tself. These can be used in
combination with one another.
Criteria for Choice 69

:0st-benefit analysis: a criterion for policy choice that


judges policies better nd worse in terms of their net
monetary benefits to the economy.
:ost-effectiveness ratio: the ratio of a measure of
effectiveness of a program in nonmonetary terms) to its
monetary cost.
:riterion (pl., criteria): a principle or standard against
which policies may he udged (see also value criterion in
Glossary to chapter 1).
)eservingness: an aspect of equity according to which
persons are favored or lisfavored by policies according to
positive or negative qualities they are judged o have
shown in the past. Examples of frequently considered
favorable qualities ire previous military service, previous
contribution to Social Security funds, and vidowhood; of
negative qualities, alleged immorality.
:fficiency: the state of making the best use of resources.
Productive efficiency s achieved when least-cost methods
or combinations of inputs are used in pro(uction;
allocative efficiency is achieved when resources are
divided among ndustries so as to reflect all relevant costs
and benefits.
iquity: fairness or justice (see also horizontal equity;
vertical equity).
ithic of preference satisfaction: the criterion according
to which policies are udged better or worse according to
the extent to which they satisfy people's xpressed
preferences.
:thical: concerned with the general welfare, the public
interest, or general noral principles or rules, as
distinguished from the interests of particular indiicluals,
groups, or organizations.
:thical system: an interrelated set of ethical criteria.
generality: the property of a criterion that makes it
applicable to a wide ange of policy alternatives.
forizontal equity: the equal treatment of equals.
Caldor criterion: a criterion according to which a change
from one situation to
mother is desirable if, after the change, those who are better
off can compensate
dl losers for their losses. Actual compensation of losers does
not have to be made.
Jet benefit: benefit minus cost.
Ionteleological criterion: a criterion that judges a policy
right or wrong withlut considering its consequences.
)pportunity cost: that cost of a policy alternative which
is incurred by the use if resources that could otherwise
have been put to other use.
'areto criterion: a criterion for choice between situations
or states of affairs, 'aged on individuals' preferences
among them. According to this criterion ituation A is
better than situation B if at least one person prefers A to
B and io one prefers B to A.
Criteria for Choice 71

Role: one of a set of positions defined by a society, with a


correstmocrmag set
of rights and duties—for example, citizen, employee, student,
husband, mother_
Social welfare function: a numerical function of policy
alternatives that i s claimed to represent, as an ethical
criterion, the total welfare of society.
Teleological criterion: a criterion that judges policies better
and worse according to their consequences.
Transitional equity: a criterion used to justify compensating
people for changes in their situations, especially losses they
have incurred due to governmental action.
Vertical equity: the unequal treatment of persons unequally
situated, so as to make their situations more nearly equal.
Welfare economics: the branch of economics that is concerned
with criteria for policy choice and their application. Includes
development of the Pareto criterion, the Kaldor criterion, and
the basis of cost-benefit analysis.
EXERCISES
1.An analyst proposed as a criterion "the greatest benefit
at the least cost." Criticize this criterion from the
standpoint of its consistency.
2.Show that there is an extensive class of policy
choices for which the Pareto criterion does not say
which alternative is better. Then show that if we regard
the Pareto criterion as indifferent between two such
choices (A = B), we can have A = B and B = C, but A
C.
3.A number of American communities have considered
policies that would restrict the amount of migration into
them (see case 3–B). What criteria can be used for
evaluating these policies from the standpoints of (a) the
welfare of present residents versus the welfare of
outsiders? (b) legality? (c) equity as regards the right to
realize the benefits of one's plans and investments! (d)
vertical equity? Would our criteria be different if we
were considering migration between nations rather than
communities?
4.In the city-growth and Texas cases (cases 3–B and 5–B)
a governmental unit was making policy decisions that
affected not only citizens of the unit itself but also
outsiders who were not represented in those decisions.
What possible remedies exist for this lack of
representation?
5.In international policy a criterion frequently used is
that of maximizing

72 Policy Analysis for Public Decisions

Political feasibility analysis


From Wikipedia, the free encyclopedia
Jump to navigationJump to search
Political feasibility analysis is used to predict the probable outcome of a
proposed solution to a policy problem through examining the actors,
events and environment involved in all stages of the policy-making
process. It is one frequently used component of a policy analysis and can
serve as an evaluative criterion in choosing between policy alternatives.
[1]
Feasible policies must be politically acceptable or at least not
unacceptable. Political unacceptability is a combination of two conditions
too much opposition or too little support. One common mistake is
widespread in practice that feasibility becomes a dominant criterion of
preferable alternative.[2][3]
Feasibility is “the state or degree of being easily or conveniently done”.
[4]
More plainly, one might ask “can we get this done?” Feasibility, as it
pertains to the political arena, speaks to the political climate. The question
then becomes: “In this political climate, can we get this done?”
Political feasibility is a measure of how well a solution to a policy problem,
will be accepted by a set of decision makers and the general public. For a
policy to be enacted and implemented, it must be politically acceptable, or
feasible. A policy alternative's lack of political feasibility can often be
attributed to its lack of political support or the result of controversy that
may surround the issue the policy seeks to address. [5] Alternatively, a
politically feasible alternative is one that has the greatest probability of
"receiv[ing] sufficient political push and support to be implemented" given
any specific constraints.[6]
When policy analysis generates policy alternatives, the political risks and
costs associated with each can be important criteria for deciding between
alternatives. A good policy alternative requires a certain amount of political
feasibility, or implementation of the policy will be impossible. It is important
to keep in mind, however, that feasibility alone does not make a policy
"good." Examining all criteria is necessary for the implementation of
socially responsible policy.
Politics are difficult to predict but it has been said that "no decision is ever
made in complex systems without political feasibility having played some
role."[7]

Contents

 1Steps in a political feasibility analysis

o 1.1Identify the policy's environment

o 1.2Assemble information and organize it

o 1.3Analyze the data

 2Computer-assisted political analysis


 3Further reading

 4References

Analisis kelayakan politik dari Wikipedia, ensiklopedia gratis Lompat


ke navigationJump untuk mencari

Analisis kelayakan politik digunakan untuk memprediksi kemungkinan


hasil dari solusi yang diusulkan untuk masalah kebijakan dengan
memeriksa para aktor, peristiwa dan lingkungan yang terlibat dalam
semua tahap proses pembuatan kebijakan. Ini adalah salah satu
komponen analisis kebijakan yang sering digunakan dan dapat
berfungsi sebagai kriteria evaluatif dalam memilih di antara alternatif
kebijakan. [1] Kebijakan yang layak harus dapat diterima secara politik
atau setidaknya tidak dapat diterima. Politik yang tidak dapat diterima
adalah kombinasi dari dua kondisi yang terlalu banyak oposisi atau
terlalu sedikit dukungan. Satu kesalahan umum tersebar luas dalam
praktiknya bahwa kelayakan menjadi kriteria dominan dari alternatif
yang lebih disukai. [2] [3] Kelayakan adalah "keadaan atau tingkat
yang mudah atau mudah dilakukan". [4] Lebih jelasnya, orang mungkin
bertanya "bisakah kita menyelesaikan ini?" Kelayakan, seperti yang
berkaitan dengan arena politik, berbicara kepada iklim politik.
Pertanyaannya kemudian menjadi: "Dalam iklim politik ini, dapatkah
kita menyelesaikan ini?" Kelayakan politik adalah ukuran seberapa
baik solusi untuk masalah kebijakan, akan diterima oleh seperangkat
pembuat keputusan dan masyarakat umum. Agar suatu kebijakan
diberlakukan dan diimplementasikan, kebijakan tersebut harus dapat
diterima secara politis, atau layak. Kurangnya alternatif kebijakan dari
suatu kebijakan seringkali dapat dikaitkan dengan kurangnya dukungan
politik atau hasil dari kontroversi yang mungkin seputar masalah yang
ingin ditangani oleh kebijakan tersebut. [5] Sebagai alternatif, alternatif
yang layak secara politis adalah alternatif yang memiliki kemungkinan
terbesar "menerima dorongan politik yang cukup dan dukungan untuk
diimplementasikan" dengan adanya kendala spesifik. [6] Ketika
analisis kebijakan menghasilkan alternatif kebijakan, risiko dan biaya
politik yang terkait dengan masing-masing dapat menjadi kriteria
penting untuk memutuskan di antara alternatif. Alternatif kebijakan
yang baik membutuhkan kelayakan politik dalam jumlah tertentu, atau
implementasi kebijakan tidak mungkin dilakukan. Penting untuk
diingat, bahwa kelayakan saja tidak membuat kebijakan "baik."
Memeriksa semua kriteria diperlukan untuk implementasi kebijakan
yang bertanggung jawab secara sosial. Politik sulit diprediksi tetapi
telah dikatakan bahwa "tidak ada keputusan yang pernah dibuat dalam
sistem yang kompleks tanpa kelayakan politik yang memainkan peran."
[7] Isi • 1Langkah dalam analisis kelayakan politik o 1.1
Mengidentifikasi lingkungan kebijakan o 1.2Mengumpulkan informasi
dan mengaturnya o 1.3Menganalisis data • 2 Analisis politik
berbantuan komputer • 3Pembacaan lebih lanjut • 4 Referens

Steps in a political feasibility analysis[edit]


As every policy problem differs from the next, so do the elements involved
in a political feasibility analysis. But in order to get started, the analyst
works within a basic framework for his/her investigation. These basic
steps, as identified by Arnold Meltsner[8] are outlined in the following
sections. David Weimer and Aidan Vining argue that in practice analysts
should answer the questions iteratively, “moving among them as (the
analyst) learn(s) more about the political environment,[9]” meaning that
what happens at one stage of the process of identifying political feasibility
can affect earlier stages.
Identify the policy's environment[edit]
The first step for the policy analyst is to identify the space in which the
policy problem exists. This is generally a broad policy space, such
as health policy or environmental policy. Next the analyst defines the
specific policy issue area. In keeping with the example, the narrower
policy issue area is renewable energy. Once this is done, the analyst can
begin to identify the players involved in the policy. Within this step there
are other considerations to include, such as the level of public awareness
of the proposed policy, the dynamics created by the timing of the policy
proposal, and the concerns and voting patterns of different demographics.
For an example, see the political feasibility analysis commissioned by
the SF Bay Restoration Authority to assess support for a parcel tax that
would raise funds for its efforts to restore the area's depleted wetlands.

Langkah-langkah dalam analisis kelayakan politik [sunting]


Karena setiap masalah kebijakan berbeda dari yang berikutnya,
demikian juga elemen-elemen yang terlibat dalam analisis
kelayakan politik. Tetapi untuk memulai, analis bekerja dalam
kerangka dasar untuk penyelidikannya. Langkah-langkah dasar
ini, sebagaimana diidentifikasi oleh Arnold Meltsner [8] diuraikan
dalam bagian berikut. David Weimer dan Aidan Vining
berpendapat bahwa dalam praktiknya analis harus menjawab
pertanyaan secara iteratif, "bergerak di antara mereka sebagai
(analis) belajar lebih banyak tentang lingkungan politik, [9]" yang
berarti bahwa apa yang terjadi pada satu tahap proses
mengidentifikasi kelayakan politik dapat mempengaruhi tahap-
tahap sebelumnya. Identifikasi lingkungan kebijakan [edit]
Langkah pertama untuk analis kebijakan adalah mengidentifikasi
ruang di mana masalah kebijakan ada. Ini umumnya merupakan
ruang kebijakan yang luas, seperti kebijakan kesehatan atau
kebijakan lingkungan. Selanjutnya analis menentukan area isu
kebijakan spesifik. Sesuai dengan contoh ini, bidang isu
kebijakan yang lebih sempit adalah energi yang dapat
diperbarui. Setelah ini selesai, analis dapat mulai
mengidentifikasi pemain yang terlibat dalam kebijakan. Dalam
langkah ini ada pertimbangan lain untuk dimasukkan, seperti
tingkat kesadaran publik tentang kebijakan yang diusulkan,
dinamika yang diciptakan oleh waktu usulan kebijakan, dan
keprihatinan dan pola pemilihan demografi yang berbeda.
Sebagai contoh, lihat analisis kelayakan politik yang ditugaskan
oleh SF Bay Restoration Authority untuk menilai dukungan untuk
pajak parcel yang akan mengumpulkan dana untuk upayanya
untuk mengembalikan lahan basah yang sudah habis.
Merakit informasi dan mengaturnya [edit]
Assemble information and organize it[edit]
In this step, the analyst outlines political scenarios surrounding the
proposed policy. The following factors should be identified with some
detail.[8] Further elements of the list can be tailored to fit the specific policy
and its environment, if needed. Identifying key stakeholders is a crucial
step forward on your way to putting a policy into action. Another important
reason to identify actors is so the analyst can also identify the resources
that actor has available to them. The list of resources identified by political
scientists (material, symbolic, physical, position, information, and skills)
satisfy motivations.[10]

1. Key Players- One needs information about who might


promote, oppose, or remain neutral about the proposed policy.
Key players may also be organizations or alliances.[8]Actors are
differentiated by their policy positions. The degree of polarization
is a function of the particular issue area and context of decision-
making.[8]

2. Motivations- Determine the motives behind key players


behavior toward the policy issue. Are they part of a coalition or a
voting block? Are there political trade-offs involved? Monetary
gain?

3. Belief Systems- A key player's underlying belief system


may be grounded in political ideology, religious beliefs, or
professional experience. Understanding the underlying belief
systems of key players may give insight into whether or not a
particular policy alternative will be supported.
4. Resources- Key players use resources to gather support
for their view and assemble coalitions. Resources are things like
money, power, access to powerful individuals, or skillful lobbyists.

5. Site of Action- Fixing the site of action—or arena—


provides a reference point when discussing the actors, their
motives and resources.[8] The site of action may occur in a sub-
committee, in a meeting with departmental heads, or at a meeting
of a citizen’s action group.
Analyze the data[edit]
Once the necessary information has been collected and an adequate
description of the political climate has been provided, the analyst can
offer an estimation of levels of support/opposition for the proposed
policy. This includes identification of possible areas of political
consensus and conflict, essentially determining what is necessary for
the policy to gain the support for enactment and implementation.[8]

Dalam langkah ini, analis menguraikan skenario politik seputar


kebijakan yang diusulkan. Faktor-faktor berikut harus diidentifikasi
dengan beberapa detail. [8] Elemen-elemen selanjutnya dari daftar
dapat dirancang agar sesuai dengan kebijakan spesifik dan
lingkungannya, jika diperlukan. Mengidentifikasi pemangku
kepentingan utama adalah langkah penting ke depan dalam cara Anda
menerapkan kebijakan. Alasan penting lainnya untuk mengidentifikasi
aktor adalah agar analis juga dapat mengidentifikasi sumber daya yang
tersedia bagi aktor tersebut. Daftar sumber daya yang diidentifikasi
oleh para ilmuwan politik (material, simbolik, fisik, posisi, informasi,
dan keterampilan) memuaskan motivasi. [10]
1. Pemain Kunci - Seseorang membutuhkan informasi tentang siapa
yang mungkin mempromosikan, menentang, atau tetap netral tentang
kebijakan yang diusulkan. Pemain kunci juga dapat berupa organisasi
atau aliansi. [8] Aktor dibedakan berdasarkan posisi kebijakan mereka.
Tingkat polarisasi adalah fungsi dari area isu tertentu dan konteks
pengambilan keputusan. [8]
2. Motivasi - Menentukan motif di balik perilaku pemain kunci
terhadap masalah kebijakan. Apakah mereka bagian dari koalisi atau
blok suara? Apakah ada trade-off politik yang terlibat? Keuntungan
moneter?
3. Sistem Kepercayaan - Sistem kepercayaan yang mendasari pemain
kunci dapat didasarkan pada ideologi politik, kepercayaan agama, atau
pengalaman profesional. Memahami sistem kepercayaan yang
mendasari pemain kunci dapat memberikan wawasan tentang apakah
suatu alternatif kebijakan tertentu akan didukung atau tidak.
4. Sumber Daya- Pemain kunci menggunakan sumber daya untuk
mengumpulkan dukungan untuk pandangan mereka dan
mengumpulkan koalisi. Sumber daya adalah hal-hal seperti uang,
kekuasaan, akses ke individu yang kuat, atau pelobi yang terampil.
5. Situs Aksi- Memperbaiki situs aksi — atau arena — memberikan
titik rujukan ketika mendiskusikan para aktor, motif dan sumber daya
mereka. [8] Situs aksi dapat terjadi dalam sub-komite, dalam
pertemuan dengan kepala departemen, atau pada pertemuan kelompok
aksi warga.
Analisis data [sunting]
Setelah informasi yang diperlukan telah dikumpulkan dan deskripsi
yang memadai tentang iklim politik telah diberikan, analis dapat
menawarkan estimasi tingkat dukungan / oposisi untuk kebijakan yang
diusulkan. Ini termasuk identifikasi kemungkinan wilayah konsensus
dan konflik politik, yang pada dasarnya menentukan apa yang perlu
bagi kebijakan untuk mendapatkan dukungan bagi berlakunya dan
implementasi. [8]

There are three key steps to achieving this. First, the analyst may have
to make a series of judgment calls. Within this stage of judgment comes
the challenge of policy design and the issue of compromise. When
drafting policy alternatives the analyst must consider what kind of
exchanges among actors will be necessary to garner the required
political support to pass a policy.[8] The most desirable form of
compromise is one that does not greatly change the intended impact of
the proposal, and is sometimes possible depending on the details of the
proposal.[9] Second, it is important to have the specifications of the
current political environment for a specific policy area, and what
alternative proposals may be currently considered. One must also know
who the political actors are and how they may be likely to support a
proposed policy.[8] Lastly, it is important to consider policy and political
alternatives to protect against political error. In shaping a proposed
policy alternative, one must remain focused on the intended purpose of
the policy, and be aware of the real political climate for which it is to be
proposed. Political feasibility is often an essential criterion for ensuring
the adoption of a policy proposal, however depending on the nature of
the policy and the environment, alternative components of thorough
policy analysis and decision-making processes are necessary to come to
this stage of the policy making process.[8]

Computer-assisted political analysis[edit]

In 1998, Harvard University professor Michael Reich introduced a


prototype Windows-based software program for "computer-assisted
political analysis" (CAPA) called PolicyMaker. [11] PolicyMaker is
designed to walk users through defining their desired policy,
identifying the key actors, and determining the obstacles and
opportunities in the policy environment. PolicyMaker then suggests
strategies for making the policy more politically feasible and assesses
the strategies' impacts on stakeholders.[12] Harvard School of Public
Health faculty, including Reich himself, have used PolicyMaker to
teach a World Bank flagship health care course for policy analysts, as
well as to train managers in health ministries and donor agencies.
[13]
PolicyMaker 4 is available for free online [1].

Ada tiga langkah kunci untuk mencapai ini. Pertama, analis mungkin
harus melakukan serangkaian panggilan penilaian. Dalam tahap
penilaian ini muncul tantangan desain kebijakan dan masalah
kompromi. Ketika menyusun alternatif kebijakan, analis harus
mempertimbangkan pertukaran seperti apa di antara para aktor yang
diperlukan untuk mendapatkan dukungan politik yang diperlukan untuk
mengesahkan kebijakan. [8] Bentuk kompromi yang paling diinginkan
adalah yang tidak banyak mengubah dampak yang dituju dari proposal,
dan kadang-kadang mungkin tergantung pada rincian proposal. [9]
Kedua, penting untuk memiliki spesifikasi lingkungan politik saat ini
untuk bidang kebijakan tertentu, dan proposal alternatif apa yang saat
ini dipertimbangkan. Orang juga harus tahu siapa aktor politiknya dan
bagaimana mereka mungkin mendukung kebijakan yang diusulkan. [8]
Terakhir, penting untuk mempertimbangkan kebijakan dan alternatif
politik untuk melindungi dari kesalahan politik. Dalam membentuk
alternatif kebijakan yang diusulkan, seseorang harus tetap fokus pada
tujuan kebijakan yang dimaksudkan, dan menyadari iklim politik yang
sesungguhnya yang akan diusulkan. Kelayakan politik seringkali
merupakan kriteria penting untuk memastikan adopsi proposal
kebijakan, namun tergantung pada sifat kebijakan dan lingkungan,
komponen alternatif dari analisis kebijakan yang menyeluruh dan
proses pengambilan keputusan diperlukan untuk sampai pada tahap
pembuatan kebijakan ini. proses. [8]
Analisis politik berbantuan komputer [sunting]
Pada tahun 1998, profesor Universitas Harvard Michael Reich
memperkenalkan prototipe program perangkat lunak berbasis Windows
untuk "analisis politik berbantuan komputer" (CAPA) yang disebut
PolicyMaker. [11] Pembuat Kebijakan dirancang untuk memandu
pengguna melalui menentukan kebijakan yang diinginkan,
mengidentifikasi aktor utama, dan menentukan hambatan dan peluang
di lingkungan kebijakan. Pembuat Kebijakan kemudian menyarankan
strategi untuk membuat kebijakan tersebut lebih layak secara politik
dan menilai dampak strategi terhadap pemangku kepentingan. [12]
Fakultas Kesehatan Masyarakat Harvard, termasuk Reich sendiri, telah
menggunakan Pembuat Kebijakan untuk mengajar kursus perawatan
kesehatan unggulan Bank Dunia untuk analis kebijakan, serta untuk
melatih para manajer di kementerian kesehatan dan lembaga donor.
[13] PolicyMaker 4 tersedia gratis secara online [1].

Further reading[edit]
 Bosetti, Valentina; Jeffrey Frankel (September 2009). "Global
Climate Policy Architecture and Political Feasibility" (PDF).
Retrieved 20 September 2011.
 Hahn, EJ; Rayens, MK (Summer 1999). "Consensus for tobacco
policy among former state legislators using the policy Delphi
method". Tobacco control. 8 (2): 137–
40. doi:10.1136/tc.8.2.137. PMC 1759714. PMID 10478396.

 John W. Kingdon Agendas, Alternatives, and Public Policies

 Weimer, David L. and Aiden R. Vining, 2010. Policy Analysis

 William N. Dunn, Public Policy Analysis. 5th ed. Pearson, 2012

References[edit]
1. ^ Webber, D. J. (1986), ANALYZING POLITICAL FEASIBILITY:
POLITICAL SCIENTISTS1 UNIQUE CONTRIBUTION TO POLICY
ANALYSIS. Policy Studies Journal, 14: 545–553. doi: 10.1111/j.1541-
0072.1986.tb00360.x

2. ^ Bardach, Eugene (2005). A practical guide for policy analysis :


the eightfold path to more effective problem solving (2nd ed.).
Washington, D.C.: CQ Press. ISBN 1-56802-923-3.

3. ^ batdach. ISBN 1-56802-923-3. Missing or empty |


title= (help)

4. ^ Merriam Webster

5. ^ Bardach, Eugene (2005). A practical guide for policy analysis :


the eightfold path to more effective problem solving (2nd ed.).
Washington, D.C.: CQ Press. p. 32. ISBN 1-56802-923-3.

6. ^ Dror, Yehezkel (1971). Design for Policy Sciences. New York:


American Elsevier. pp. 59–60.

7. ^ Krone, Robert M. (Spring 1981). "Political Feasibility and


Military Decisionmaking". Journal of Political and Military
Sociology. 9 (1): 50.

8. ^ Jump up to:a b c d e f g h i Meltsner, Arnold J. (November 1972).


"Political Feasibility and Policy Analysis". Public Administration
Review. 32 (6): 859–867. doi:10.2307/974646.

9. ^ Jump up to:a b Weimer, David L.; Vining, Aidan R. (2011). Policy


Analysis: Concepts and Practices(5th ed.). Boston: Longman.
p. 274. ISBN 978-0-205-78130-0.
10. ^ Meltsner, Arnold J. "Political Feasibility and Policy
Analysis". Public Administration Review. 32 (6):
859. doi:10.2307/974646.

11. ^ Seeman, Neil (28 August 2000). "Software for Tyrants". The
Weekly Standard. Retrieved 13 September 2011.

12. ^ Reich, Michael R. (1996). "Applied Political Analysis for Health


Policy Reform" (PDF). Current Issues in Public Health. 2 (4): 186–191.

13. ^ Kiewra, Karin (Spring 2005). "Quarterbacking Health Policy:


Software to advance your political agenda". Harvard Public Health
Review. Retrieved 13 September 2011.

desirability + feasibility
+ viability ≠ sustainable
innovation. What do
we miss?
The five Ws of sustainable
innovation — 5 questions a
company should ask and answer
for every new product or service

Raz GodelnikFollow
Sep 27, 2017
In his book ‘The Way to Design,” Steve Vassalo
quotes John Arnold, who taught a course at
Stanford in the early ’60s called ‘How to Ask a
Question’: “Each of man’s advances was started
by a question….Knowing what questions to ask
and how to ask them is sometimes more
important than the eventual answers.”

When it comes to new products and services, this


design-based approach is reflected in the search
for the intersection of desirability (do people
want it?), feasibility (is it technologically and
organizationally possible?) and viability (is it
financially viable?). Tim Brown of IDEO called
the process required to reach this sweet
spot design thinking: “A human-centered
approach to innovation that draws from the
designer’s toolkit to integrate the needs of
people, the possibilities of technology, and the
requirements for business success.”
Source: IDEO

The problem is that when it comes to


sustainability these questions are not enough.
While questions on desirability, viability and
feasibility can help products like the new
iPhone hit the jackpot, they give flawed direction
at best on how to make them more sustainable,
as they are still a manifestation of a ‘business as
usual’ mindset, where sustainability play a very
small role. As a result, while each phone may
show improvement in some green aspects (for
example in terms of GHG emission reductions
per phone — from 67 kg in iPhone 7 Plus to 57 kg
in the iPhone 8), there is no consideration
whatsoever of the systematic planned
obsolescence embedded in its design and what it
means for society and the environment.

Let’s face it — when it comes to


sustainability the Venn diagram above
just falls short. To achieve sustainable
innovation we need a new set of
questions, which will go hand in hand
with the old ones.

You may think there’s a bit of naiveté in


assuming that a couple of questions can help
companies come up with products and services
that are more sustainable. You may be right, but
at the same time asking the right questions can
make a whole lot of a difference, as they force us
to consider issues that we may have not pay
attention to otherwise. As Steve Vassalo puts it:
“Asking the right question is half the answer.”

In this case, since the goal is to generate a


sustainable innovation framework that could be
applied to any new product or service, we need to
think on a relatively simple framework that
won’t require generating a long CSR report for
every new product or service. We also want to
enable stakeholders to evaluate the answers in a
relatively simple way to make the whole process
valuable and not just another pointless exercise
in corporate social responsibility.

My inspiration comes from Harold Pollack who


wrote simple personal finance advice on an index
card, showing that guidelines for responsible
financial behavior can be simple and
straightforward. I believe that so can be the
guidelines regarding sustainability companies
should consider when they work on new
products and services. If a complex issue like
personal finance can be simplified into ten rules
that can be scribbled on a small index card, why
not sustainable innovation?
In this case though I am going to frame the
guidelines as questions to enable companies to
answer YES or NO for each one of them. The
idea is to add accountability to the guidance by
forcing companies to provide a clear and simple
answer on where the new product/service
stands. To choose the ‘right questions,’ I follow
the lead of Meerow and Newell’s holistic
approach to urban resilience by considering the
five Ws of urban resilience: resilience of what, to
what, and for whom?

Meerow and Newell’s five Ws of urban


resilience:
According to the Meerow and Newell, the five Ws
questions “bring the politics of resilience to the
forefront by encouraging the explicit recognition
of politicized decisions, scalar dimensions, and
trade-offs inherent to applying resilience
empirically.” Thus, using the five Ws framework
as a starting point can bring both the necessary
gravity and a more systemic context to avoid the
‘change as usual’ discourse, which is so common
in sustainable innovation.

So, why sustainable innovation and ‘of


what, for where, for when, and for
whom?’

For whom? This is simply about who is going


to benefit from the new product/service. A more
holistic and stakeholder-centered approach to
innovation requires companies to consider all
their key stakeholders, including society and the
environment and what the net impact its new
product/service has on them. Bocken, Rana and
Short’s value mapping toolcan be used to
evaluate the value created and destroyed for each
one of the key stakeholders.

While determining whether the net impact on


each stakeholder is positive or negative can be a
messy process, it is essential in order to give
companies a way to truly understand and
evaluate their impacts on stakeholders. I also
believe it is essential to make it clear that
companies cannot claim for positive stakeholder
impact, unless all of their stakeholders are
indeed positively affected by the new
product/service. Otherwise, we’ll keep having
new phones that have lower carbon footprint,
but at the same time help make planned
obsolescence the norm.

Question: Does the new product/service have a


net positive impact on the wellbeing of all the
company’s key stakeholders?

Of what? The What question will be used to


focus on the different types of capital used to
produce a new product or service — what are
they, how they are used and whether we can
consider this use responsible? The Cradle to
Cradle (C2C) design process (inventory,
assessment, and optimization) and principles
(material health and reutilization, renewable
energy, water stewardship and social fairness)
can provide some guidance on what responsible
use of various forms of capital mean (another
resource is Forum for the Future’s Five Capitals
Model). Given the growing use of technology and
data, it is important to acknowledge the need to
force ethical and responsible use of these forms
of capital as well.

Question: Does the new product/service use all


types of capital responsibly?
For when? Are companies innovating for here
and now or do they have also any consideration
of future generations? I believe they need to
move to a more balanced approach, based on the
understanding that “sustainability is actually not
just meeting our needs and others needs. It’s
actually about growth. It’s about inter-
generational value creation,” as Bill McDonough
suggests. His approach of “having
intergenerational assets instead of
intergenerational liabilities”, which is manifested
in principle #5 of the Hannover
Principles (create safe objects of long-term
value) he wrote with Michael Braungart 25 years
ago, should guide every new innovation.

Question: Does the new product/service create


inter-generational value?

For where? Are companies considering the


places where their innovations are used and the
impacts of these new products/services on these
places? Probably not, as innovations are almost
never conceptualized in spatial terms. In other
words, there is no real consideration of the
impact of the innovation on neighborhoods,
cities, regions, etc. This question aims to change
it by considering the impact of the new product
or service on cities’ resilience. Why cities? They,
as Michael Berkowitz, President, 100 Resilient
Citiesexplain “are at the forefront of local
solutions to the global problems of climate
change and inequality.” For companies, it is
therefore crucial to ensure cities are becoming
more resilient as cities’ wellbeing goes hand in
hand with business’ wellbeing: You can’t have an
healthy business in an unhealthy environment.

The Rockefeller Foundation’s 100 Resilient


Cities defines urban resilience as “the capacity of
individuals, communities, institutions,
businesses, and systems within a city to survive,
adapt, and grow no matter what kinds of chronic
stresses and acute shocks they experience.”
Companies can look at The Rockefeller
Foundation & Arup’s City Resilience
Framework as guidance to figure out how their
new products/services can have a positive
impact on cities’ resilience.

Question: Does the new product/service make


cities more resilient?

Why? As part of the effort to transform the way


companies approach innovation, we need to
contextualize it within a broader system and
make a clear case that a sustainable innovation is
one that improves a dysfunctional system. The
reason is very simple — we can’t talk about
urgency without acknowledging the systems that
shape our lives are in urgent need of change. The
‘why we do it’ question or the purpose that
(hopefully) drives the work on new
products/services needs to be reframed and
focus on the real needs of one of the so many
dysfunctional systems that shape our lives.
Otherwise, what’s the point in innovation? To
make it feasible a Yes answer doesn’t require (for
now) a radical improvement of a dysfunctional
system, but it is certainly more preferable than
an incremental change.

Question: Does the new product/service


improve* a dysfunctional system (i.e. education,
healthcare, housing, food, etc.)?

*preferably a radical change, not an incremental


one.

Et voilà, here is my index card of the five Ws of


sustainable innovation — 5 questions a company
should ask and answer for every new product or
service:
Now, answering these questions will require
some effort, but they are not and should not be
impossible to answer. In my vision, companies
would add this index card to each new product or
service they launch. They will be required to
provide a more detailed PDF on their website, in
which they explain what their replies are based
on. Based on the number of Yes answers, we
could then rate each new product/service — 5 Yes
answers will equal five stars, 4 Yes answers will
equal four stars, etc. You got the idea. The next
step would be to require every new
product/service to have a minimum of 3 stars.
While companies will be responsible for
providing the answers, it will be the
responsibility of its stakeholders to keep it
accountable and to look for any misleading
replies. The result would be hopefully a virtuous
cycle of greater transparency, responsibility and
sustainability.

This may all sounds like a utopian dream or


hallucination given the current dominating
paradigm in business, in which innovation
usually has almost nothing to do with
sustainability, and when sustainability is
considered quite narrowly. However, it doesn’t
mean change is not possible. I do not think
companies can make the shift on their own as
they are invested too much in the current
paradigm, but if stakeholders demand
companies ask and answer these questions and
work together to make it happen, it will happen!
Cost–benefit analysis

Cost–benefit analysis (CBA), sometimes called benefit costs


analysis (BCA), is a systematic approach to estimating the strengths
and weaknesses of alternatives (for example, in transactions, activities,
and functional business requirements). It is used to determine options
which provide the best approach to achieving benefits while preserving
savings.[1] A CBA may be used to compare potential (or completed)
courses of actions, or to estimate (or evaluate) the value against
the cost of a decision, project, or policy. It is commonly used in
commercial transactions, business or policy decisions
(particularly public policy), and project investments.

CBA has two main applications:

1. To determine if an investment (or decision) is sound,


ascertaining if – and by how much – its benefits outweigh its
costs

2. To provide a basis for comparing investments (or


decisions), comparing the total expected cost of each option
with its total expected benefits.[2]

Analisis biaya-manfaat
Analisis biaya-manfaat (CBA), kadang-kadang disebut analisis
biaya manfaat (BCA), adalah pendekatan sistematis untuk
memperkirakan kekuatan dan kelemahan alternatif (misalnya,
dalam transaksi, kegiatan, dan persyaratan bisnis fungsional).
Ini digunakan untuk menentukan opsi yang memberikan
pendekatan terbaik untuk mencapai manfaat sambil
mempertahankan tabungan. [1] CBA dapat digunakan untuk
membandingkan tindakan potensial (atau selesai) tindakan, atau
untuk memperkirakan (atau mengevaluasi) nilai terhadap biaya
keputusan, proyek, atau kebijakan. Ini biasanya digunakan
dalam transaksi komersial, keputusan bisnis atau kebijakan
(khususnya kebijakan publik), dan investasi proyek.
3.CBA memiliki dua aplikasi utama:
4.1. Untuk menentukan apakah investasi (atau keputusan) baik,
pastikan apakah - dan seberapa banyak - manfaatnya lebih besar
daripada biayanya
5.2. Untuk memberikan dasar untuk membandingkan investasi
(atau keputusan), membandingkan total biaya yang diharapkan
dari setiap opsi dengan total manfaat yang diharapkan. [2]

CBA is related to cost-effectiveness analysis. Benefits and costs in


CBA are expressed in monetary terms and are adjusted for the time
value of money; all flows of benefits and costs over time are expressed
on a common basis in terms of their net present value, regardless of
whether they are incurred at different times. Other related techniques
include cost–utility analysis, risk–benefit analysis, economic impact
analysis, fiscal impact analysis, and social return on investment (SROI)
analysis.

CBA terkait dengan analisis efektivitas biaya. Manfaat dan biaya dalam
CBA dinyatakan dalam istilah moneter dan disesuaikan dengan nilai
waktu uang; semua aliran manfaat dan biaya dari waktu ke waktu
dinyatakan dengan dasar yang sama dalam hal nilai sekarang bersihnya,
terlepas dari apakah itu terjadi pada waktu yang berbeda. Teknik terkait
lainnya termasuk analisis biaya utilitas, analisis risiko-manfaat, analisis
dampak ekonomi, analisis dampak fiskal, dan analisis pengembalian
sosial atas investasi (SROI).

French engineer and economist Jules Dupuit, credited with the creation
of cost–benefit analysis

The concept of CBA dates back to an 1848 article by Jules Dupuit, and
was formalized in subsequent works by Alfred Marshall.[3] The Corps
of Engineersinitiated the use of CBA in the US, after the Federal
Navigation Act of 1936 mandated cost–benefit analysis for proposed
federal-waterway infrastructure.[4]The Flood Control Act of 1939 was
instrumental in establishing CBA as federal policy, requiring that "the
benefits to whomever they accrue [be] in excess of the estimated
costs."[5]

Public policy[edit]

CBA's application to broader public policy began with the work of Otto
Eckstein,[6] who laid out a welfare economics foundation for CBA and
its application to water-resource development in 1958. It was applied in
the US to water quality,[7] recreational travel,[8] and land conservation
during the 1960s,[9] and the concept of option value was developed to
represent the non-tangible value of resources such as national parks.[10]

CBA was expanded to address the intangible and tangible benefits of


public policies relating to mental illness,[11] substance abuse,[12] college
education,[13]and chemical waste.[14] In the US, the National
Environmental Policy Act of 1969 required CBA for regulatory
programs; since then, other governments have enacted similar rules.
Government guidebooks for the application of CBA to public policies
include the Canadian guide for regulatory analysis, [15] the Australian
guide for regulation and finance,[16] and the US guides for health-
care[17] and emergency-management programs.[18]

Transportation investment[edit]

CBA for transport investment began in the UK with the M1


motorway project and was later used for many projects, including
the London Underground's Victoria line.[19] The New Approach to
Appraisal (NATA) was later introduced by the Department for
Transport, Environment and the Regions. This presented balanced cost–
benefit results and detailed environmental impact assessments. NATA
was first applied to national road schemes in the 1998 Roads Review,
and was subsequently rolled out to all transport modes. Maintained and
developed by the Department for Transport, it was a cornerstone of UK
transport appraisal in 2011.

Konsep CBA berasal dari artikel tahun 1848 oleh Jules Dupuit, dan
diresmikan dalam karya-karya berikutnya oleh Alfred Marshall. [3]
Korps Insinyur merintis penggunaan CBA di AS, setelah Undang-
Undang Navigasi Federal tahun 1936 mengamanatkan analisis biaya-
manfaat untuk infrastruktur federal-waterway yang diusulkan. [4]
Undang-Undang Pengendalian Banjir tahun 1939 berperan penting
dalam menetapkan CBA sebagai kebijakan federal, yang mensyaratkan
bahwa "manfaat bagi siapa saja mereka dapatkan [melebihi] dari
perkiraan biaya." [5]
Kebijakan publik
Aplikasi CBA untuk kebijakan publik yang lebih luas dimulai dengan
karya Otto Eckstein, [6] yang meletakkan dasar ekonomi kesejahteraan
untuk CBA dan aplikasinya untuk pengembangan sumber daya air pada
tahun 1958. Ini diterapkan di AS untuk kualitas air, [7] perjalanan
rekreasi, [8] dan konservasi tanah selama 1960-an, [9] dan konsep nilai
opsi dikembangkan untuk mewakili nilai sumber daya yang tidak
berwujud seperti taman nasional. [10]
CBA diperluas untuk mengatasi manfaat tak berwujud dan nyata dari
kebijakan publik yang berkaitan dengan penyakit mental, [11]
penyalahgunaan zat, [12] pendidikan tinggi, [13] dan limbah kimia.
[14] Di AS, Undang-Undang Kebijakan Lingkungan Nasional tahun
1969 mensyaratkan CBA untuk program pengaturan; sejak itu,
pemerintah lain telah memberlakukan aturan serupa. Buku pedoman
pemerintah untuk penerapan CBA pada kebijakan publik termasuk
panduan Kanada untuk analisis peraturan, [15] panduan Australia untuk
regulasi dan keuangan, [16] dan panduan AS untuk layanan kesehatan
[17] dan program manajemen darurat. [ 18]
Investasi transportasi [sunting]
CBA untuk investasi transportasi dimulai di Inggris dengan proyek
jalan tol M1 dan kemudian digunakan untuk banyak proyek, termasuk
jalur Victoria Underground London. [19] Pendekatan Baru untuk
Penilaian (NATA) kemudian diperkenalkan oleh Departemen
Transportasi, Lingkungan dan Daerah. Ini menyajikan hasil biaya-
manfaat yang seimbang dan penilaian dampak lingkungan yang
terperinci. NATA pertama kali diterapkan pada skema jalan nasional
dalam Tinjauan Jalan 1998, dan kemudian diluncurkan ke semua moda
transportasi. Dipertahankan dan dikembangkan oleh Departemen
Transportasi, itu adalah landasan penilaian transportasi Inggris pada
tahun 2011.

The European Union's Developing Harmonised European Approaches


for Transport Costing and Project Assessment (HEATCO) project, part
of the EU's Sixth Framework Programme, reviewed transport appraisal
guidance of EU member states and found significant national
differences.[20] HEATCO aimed to develop guidelines to harmonise
transport appraisal practice across the EU.[21]

Transport Canada promoted CBA for major transport investments with


the 1994 publication of its guidebook.[22] US federal and state transport
departments commonly apply CBA with a variety of software tools,
including HERS, BCA.Net, StatBenCost, Cal-BC, and TREDIS.
Guides are available from the Federal Highway Administration,[23]
[24]
Federal Aviation Administration,[25] Minnesota Department of
Transportation,[26] California Department of Transportation (Caltrans),
[27]
and the Transportation Research Board's Transportation Economics
Committee.[28]
Theory[edit]

Cost–benefit analysis is often used by organizations to appraise the


desirability of a given policy. It is an analysis of the expected balance
of benefits and costs, including an account of any alternatives and
the status quo. CBA helps predict whether the benefits of a policy
outweigh its costs (and by how much), relative to other alternatives.
This allows the ranking of alternative policies in terms of a cost–benefit
ratio.[29] Generally, accurate cost–benefit analysis identifies choices
which increase welfare from a utilitarian perspective. Assuming an
accurate CBA, changing the status quo by implementing the alternative
with the lowest cost–benefit ratio can improve Pareto efficiency.
[30]
Although CBA can offer an informed estimate of the best
alternative, a perfect appraisal of all present and future costs and
benefits is difficult; perfection, in economic efficiency and social
welfare, is not guaranteed.[31]

Pengembangan Pendekatan Eropa Harmonisasi Uni Eropa untuk Biaya


Transportasi dan Proyek Penilaian (HEATCO) proyek, bagian dari
Program Kerangka Keenam UE, mengkaji panduan penilaian
transportasi negara-negara anggota Uni Eropa dan menemukan
perbedaan nasional yang signifikan. [20] HEATCO bertujuan untuk
mengembangkan pedoman untuk menyelaraskan praktik penilaian
transportasi di seluruh UE. [21]
Transport Canada mempromosikan CBA untuk investasi transportasi
besar dengan penerbitan buku panduannya pada tahun 1994. [22]
Departemen transportasi federal dan negara bagian AS biasanya
menerapkan CBA dengan berbagai alat perangkat lunak, termasuk
HERS, BCA.Net, StatBenCost, Cal-BC, dan TREDIS. Panduan
tersedia dari Administrasi Jalan Raya Federal, [23] [24] Administrasi
Penerbangan Federal, [25] Departemen Transportasi Minnesota, [26]
Departemen Transportasi California (Caltrans), [27] dan Komite
Ekonomi Transportasi Dewan Transportasi. [28]
Teori [sunting]
Analisis biaya-manfaat sering digunakan oleh organisasi untuk menilai
keinginan suatu kebijakan. Ini adalah analisis keseimbangan yang
diharapkan dari manfaat dan biaya, termasuk akun dari segala alternatif
dan status quo. CBA membantu memprediksi apakah manfaat suatu
kebijakan lebih besar daripada biayanya (dan seberapa banyak), relatif
terhadap alternatif lain. Ini memungkinkan pemeringkatan kebijakan
alternatif dalam hal rasio biaya-manfaat. [29] Secara umum, analisis
biaya-manfaat yang akurat mengidentifikasi pilihan yang meningkatkan
kesejahteraan dari perspektif utilitarian. Dengan asumsi CBA yang
akurat, mengubah status quo dengan menerapkan alternatif dengan
rasio biaya-manfaat terendah dapat meningkatkan efisiensi Pareto. [30]
Meskipun CBA dapat menawarkan estimasi informasi tentang alternatif
terbaik, penilaian sempurna dari semua biaya dan manfaat saat ini dan
masa depan sulit; kesempurnaan, dalam efisiensi ekonomi dan
kesejahteraan sosial, tidak dijamin. [31]

Accuracy[edit]

The value of a cost–benefit analysis depends on the accuracy of the


individual cost and benefit estimates. Comparative studies indicate that
such estimates are often flawed, preventing improvements
in Pareto and Kaldor-Hicks efficiency. [32] Interest groups may attempt
to include (or exclude) significant costs in an analysis to influence its
outcome.[33]

In the case of the Ford Pinto (where, because of design flaws, the Pinto
was liable to burst into flames in a rear-impact collision), the company
decided not to issue a recall. Ford's cost–benefit analysis had estimated
that based on the number of cars in use and the probable accident rate,
deaths due to the design flaw would cost it about $49.5 million
in wrongful death lawsuits; a recall would cost $137.5 million. The
company failed to consider the costs of negative publicity, which
forced a recall and reduced Ford sales.[34]

In health economics, CBA may be an inadequate measure because


willingness-to-pay methods of determining the value of human life can
be influenced by income level. Variants, such as cost–utility
analysis, QALY and DALY to analyze the effects of health policies,
may be more suitable.[35] [36]

For some environmental effects, cost-benefit analysis can be replaced


by cost-effectiveness analysis. This is especially true when one type of
physical outcome is sought, such as a reduction in energy use by an
increase in energy efficiency. Using cost-effectiveness analysis is less
laborious and time-consuming, since it does not involve the
monetization of outcomes (which can be difficult in some cases).[37]

It has been argued that if modern cost–benefit analyses had been


applied to decisions such as whether to mandate the removal
of lead from gasoline, block the construction of two proposed dams just
above and below the Grand Canyon on the Colorado River, and
regulate workers' exposure to vinyl chloride, the measures would not
have been implemented (although all are considered highly successful).
[38]
The US Clean Air Act has been cited in retrospective studies as a
case in which benefits exceeded costs, but knowledge of the benefits
(attributable largely to the benefits of reducing particulate pollution)
was not available until many years later.[38]

Process[edit]

A generic cost–benefit analysis has the following steps:[39]

1. Define the goals and objectives of the action.

2. List alternative actions.

3. List stakeholders.

4. Select measurement(s) and measure all cost and benefit


elements.

5. Predict outcome of costs and benefits over the relevant


time period.

6. Convert all costs and benefits into a common currency.

7. Apply discount rate.

8. Calculate the net present value of actions under


consideration.
9. Perform sensitivity analysis.

10. Adopt the recommended course of action.

Akurasi [sunting]
Nilai analisis biaya-manfaat tergantung pada keakuratan estimasi biaya
dan manfaat individu. Studi banding menunjukkan bahwa perkiraan
seperti itu sering cacat, mencegah peningkatan efisiensi Pareto dan
Kaldor-Hicks. [32] Kelompok kepentingan dapat berupaya
memasukkan (atau mengecualikan) biaya yang signifikan dalam
analisis untuk memengaruhi hasilnya. [33]
Dalam kasus Ford Pinto (di mana, karena cacat desain, Pinto
bertanggung jawab untuk terbakar dalam tabrakan benturan di
belakang), perusahaan memutuskan untuk tidak mengeluarkan
penarikan. Analisis biaya-manfaat Ford memperkirakan bahwa
berdasarkan jumlah mobil yang digunakan dan kemungkinan tingkat
kecelakaan, kematian akibat cacat desain akan menelan biaya sekitar $
49,5 juta dalam tuntutan hukum kematian yang salah; penarikan akan
menelan biaya $ 137,5 juta. Perusahaan gagal untuk
mempertimbangkan biaya publisitas negatif, yang memaksa penarikan
dan mengurangi penjualan Ford. [34]
Dalam ekonomi kesehatan, CBA mungkin merupakan ukuran yang
tidak memadai karena metode kesediaan membayar untuk menentukan
nilai kehidupan manusia dapat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan.
Varian, seperti analisis biaya utilitas, QALY dan DALY untuk
menganalisis dampak kebijakan kesehatan, mungkin lebih cocok. [35]
[36]
Untuk beberapa efek lingkungan, analisis biaya-manfaat dapat diganti
dengan analisis efektivitas biaya. Ini terutama benar ketika satu jenis
hasil fisik dicari, seperti pengurangan penggunaan energi dengan
peningkatan efisiensi energi. Menggunakan analisis efektivitas biaya
kurang melelahkan dan menghabiskan waktu, karena tidak melibatkan
monetisasi hasil (yang mungkin sulit dalam beberapa kasus). [37]
Telah diperdebatkan bahwa jika analisis biaya-manfaat modern telah
diterapkan pada keputusan seperti apakah mengamanatkan
penghapusan timbal dari bensin, memblokir pembangunan dua
bendungan yang diusulkan tepat di atas dan di bawah Grand Canyon di
Sungai Colorado, dan mengatur pekerja 'Paparan vinil klorida, langkah-
langkah tidak akan dilaksanakan (meskipun semua dianggap sangat
sukses). [38] Undang-undang Udara Bersih AS telah dikutip dalam
studi retrospektif sebagai kasus di mana manfaat melebihi biaya, tetapi
pengetahuan tentang manfaat (sebagian besar disebabkan oleh manfaat
mengurangi polusi partikulat) tidak tersedia sampai bertahun-tahun
kemudian. [38]
Proses [edit]
Analisis biaya-manfaat umum memiliki langkah-langkah berikut: [39]
1. Tetapkan tujuan dan sasaran tindakan.
2. Sebutkan tindakan alternatif.
3. Sebutkan pemangku kepentingan.
4. Pilih pengukuran dan ukur semua elemen biaya dan manfaat.
5. Memprediksi hasil biaya dan manfaat selama periode waktu yang
relevan.
6. Konversikan semua biaya dan manfaat menjadi mata uang umum.
7. Terapkan tingkat diskonto.
8. Hitung nilai sekarang dari tindakan yang sedang dipertimbangkan.
9. Lakukan analisis sensitivitas.
10. Adopsi tindakan yang direkomendasikan.

Evaluation[edit]

CBA attempts to measure the positive or negative consequences of a


project. A similar approach is used in the environmental analysis
of total economic value. Both costs and benefits can be diverse. Costs
tend to be most thoroughly represented in cost-benefit analyses due to
relatively-abundant market data. The net benefits of a project may
incorporate cost savings, public willingness to pay (implying that the
public has no legal right to the benefits of the policy), or willingness to
accept compensation (implying that the public has a right to the
benefits of the policy) for the policy's welfare change. The guiding
principle of evaluating benefits is to list all parties affected by an
intervention and add the positive or negative value (usually monetary)
that they ascribe to its effect on their welfare.

The actual compensation an individual would require to have their


welfare unchanged by a policy is inexact at best. Surveys (stated
preferences) or market behavior (revealed preferences) are often used
to estimate compensation associated with a policy. Stated preferences
are a direct way of assessing willingness to pay for an environmental
feature, for example.[40] Survey respondents often misreport their true
preferences, however, and market behavior does not provide
information about important non-market welfare impacts. Revealed
preference is an indirect approach to individual willingness to pay.
People make market choices of items with different environmental
characteristics, for example, revealing the value placed on
environmental factors. [41]

The value of human life is controversial when assessing road-safety


measures or life-saving medicines. Controversy can sometimes be
avoided by using the related technique of cost-utility analysis, in which
benefits are expressed in non-monetary units such as quality-adjusted
life years. Road safety can be measured in cost per life saved, without
assigning a financial value to the life. However, non-monetary metrics
have limited usefulness for evaluating policies with substantially
different outcomes. Other benefits may also accrue from a policy, and
metrics such as cost per life saved may lead to a substantially-different
ranking of alternatives than CBA.

Another metric is valuing the environment, which in the 21st century is


typically assessed by valuing ecosystem services to humans (such as air
and water quality and pollution).[42]Monetary values may also be
assigned to other intangible effects such as business reputation, market
penetration, or long-term enterprise strategy alignment.

Evaluasi [sunting]
CBA berupaya mengukur konsekuensi positif atau negatif dari suatu
proyek. Pendekatan serupa digunakan dalam analisis lingkungan dari
nilai ekonomi total. Baik biaya maupun manfaatnya bisa beragam.
Biaya cenderung terwakili secara menyeluruh dalam analisis biaya-
manfaat karena data pasar yang relatif berlimpah. Manfaat bersih dari
suatu proyek dapat mencakup penghematan biaya, kesediaan publik
untuk membayar (menyiratkan bahwa publik tidak memiliki hak
hukum atas manfaat kebijakan), atau kesediaan untuk menerima
kompensasi (menyiratkan bahwa publik memiliki hak atas manfaat dari
proyek tersebut). kebijakan) untuk perubahan kesejahteraan kebijakan.
Prinsip panduan dalam mengevaluasi manfaat adalah untuk membuat
daftar semua pihak yang terkena intervensi dan menambahkan nilai
positif atau negatif (biasanya moneter) yang mereka anggap
pengaruhnya terhadap kesejahteraan mereka.
Kompensasi aktual yang diperlukan seorang individu agar
kesejahteraan mereka tidak berubah oleh suatu kebijakan tidak
maksimal. Survei (preferensi yang dinyatakan) atau perilaku pasar
(preferensi yang diungkapkan) sering digunakan untuk memperkirakan
kompensasi yang terkait dengan suatu kebijakan. Preferensi lain adalah
cara langsung untuk menilai kesediaan untuk membayar fitur
lingkungan, misalnya. [40] Responden survei sering salah
melaporkan preferensi mereka yang sebenarnya, dan perilaku pasar

tidak memberikan informasi tentang dampak kesejahteraan non-


pasar yang penting. Preferensi terungkap adalah pendekatan tidak
langsung terhadap kesediaan individu untuk membayar. Orang-orang
membuat pilihan pasar barang-barang dengan karakteristik lingkungan
yang berbeda, misalnya, mengungkapkan nilai yang ditempatkan pada
faktor-faktor lingkungan. [41]
Nilai hidup manusia kontroversial ketika menilai tindakan keselamatan
jalan atau obat yang menyelamatkan jiwa. Kontroversi kadang-kadang
dapat dihindari dengan menggunakan teknik terkait analisis biaya-
utilitas, di mana manfaat dinyatakan dalam unit non-moneter seperti
tahun kehidupan yang disesuaikan dengan kualitas. Keselamatan jalan
dapat diukur dalam biaya per nyawa yang diselamatkan, tanpa
menetapkan nilai finansial bagi kehidupan tersebut. Namun, metrik
non-moneter memiliki kegunaan terbatas untuk mengevaluasi
kebijakan dengan hasil yang jauh berbeda. Manfaat lain juga dapat
diperoleh dari suatu kebijakan, dan metrik seperti biaya per kehidupan
yang diselamatkan dapat menyebabkan peringkat alternatif yang jauh
berbeda dari CBA.
Metrik lain menilai lingkungan, yang pada abad ke-21 biasanya dinilai
dengan menilai jasa ekosistem untuk manusia (seperti kualitas udara
dan air dan polusi). [42] Nilai moneter juga dapat ditetapkan untuk efek
tidak berwujud lainnya seperti reputasi bisnis, penetrasi pasar, atau
penyelarasan strategi perusahaan jangka panjang.

Time and discounting[edit]

CBA generally attempts to put all relevant costs and benefits on a


common temporal footing, using time value of money calculations.
This is often done by converting the future expected streams of costs
and benefits into a present value amount with a discount rate.

The selection of a discount rate for this calculation is subjective. A


smaller rate values the current generation and future generations
equally. Larger rates (a market rate of return, for example) reflects
human present bias or hyperbolic discounting: valuing money which
they will receive in the near future more than money they will receive
in the distant future. Empirical studies suggest that people discount
future benefits in a way similar to these calculations.[43] The choice
makes a large difference in assessing interventions with long-term
effects. An example is the equity premium puzzle, which suggests that
long-term returns on equities may be higher than they should be after
controlling for risk and uncertainty. If so, market rates of return should
not be used to determine the discount rate because they would
undervalue the distant future.[44]

Risk and uncertainty[edit]

Risk associated with project outcomes is usually handled


with probability theory. Although it can be factored into the discount
rate (to have uncertainty increasing over time), it is usually considered
separately. Particular consideration is often given to agent risk
aversion: preferring a situation with less uncertainty to one with greater
uncertainty, even if the latter has a higher expected return.

Uncertainty in CBA parameters can be evaluated with a sensitivity


analysis, which indicates how results respond to parameter changes. A
more formal risk analysis may also be undertaken with the Monte Carlo
method.[45] However, even a low parameter of uncertainty does not
guarantee the success of a project.

Waktu dan potongan harga


CBA umumnya berupaya menempatkan semua biaya dan manfaat yang
relevan pada pijakan temporal yang sama, menggunakan nilai waktu
dari perhitungan uang. Hal ini sering dilakukan dengan mengubah
aliran biaya dan manfaat yang diharapkan di masa mendatang menjadi
jumlah nilai sekarang dengan tingkat diskonto.
Pemilihan tingkat diskonto untuk perhitungan ini bersifat subyektif.
Tingkat yang lebih kecil menghargai generasi sekarang dan generasi
yang akan datang secara setara. Tingkat yang lebih besar (tingkat
pengembalian pasar, misalnya) mencerminkan bias manusia saat ini
atau diskon hiperbolik: menilai uang yang akan mereka terima dalam
waktu dekat lebih banyak daripada uang yang akan mereka terima di
masa depan yang jauh. Studi empiris menunjukkan bahwa orang
mendiskon manfaat masa depan dengan cara yang mirip dengan
perhitungan ini. [43] Pilihan membuat perbedaan besar dalam menilai
intervensi dengan efek jangka panjang. Contohnya adalah puzzle
premium ekuitas, yang menunjukkan bahwa pengembalian jangka
panjang atas ekuitas mungkin lebih tinggi dari yang seharusnya setelah
mengendalikan risiko dan ketidakpastian. Jika demikian, tingkat
pengembalian pasar tidak boleh digunakan untuk menentukan tingkat
diskonto karena mereka akan meremehkan masa depan yang jauh. [44]
Risiko dan ketidakpastian [sunting]
Risiko yang terkait dengan hasil proyek biasanya ditangani dengan
teori probabilitas. Meskipun dapat diperhitungkan dalam tingkat
diskonto (memiliki ketidakpastian meningkat dari waktu ke waktu),
biasanya dipertimbangkan secara terpisah. Pertimbangan khusus sering
diberikan kepada penghindaran risiko agen: lebih memilih situasi
dengan ketidakpastian yang lebih sedikit daripada situasi dengan
ketidakpastian yang lebih besar, bahkan jika yang terakhir memiliki
pengembalian yang diharapkan lebih tinggi.
Ketidakpastian dalam parameter CBA dapat dievaluasi dengan analisis
sensitivitas, yang menunjukkan bagaimana hasil menanggapi
perubahan parameter. Analisis risiko yang lebih formal juga dapat
dilakukan dengan metode Monte Carlo. [45] Namun, bahkan parameter
ketidakpastian yang rendah tidak menjamin keberhasilan suatu proyek.

CBA under US administrations[edit]

The increased use of CBA in the US regulatory process is often


associated with President Ronald Reagan's administration. Although
CBA in US policy-making dates back several decades, Reagan's
Executive Order 12291 mandated its use in the regulatory process.
After campaigning on a deregulation platform, he issued the 1981 EO
authorizing the Office of Information and Regulatory Affairs (OIRA) to
review agency regulations and requiring federal agencies to produce
regulatory impact analyses when the estimated annual impact exceeded
$100 million. During the 1980s, academic and institutional critiques of
CBA emerged. The three main criticisms were:[46]

1. That CBA could be used for political goals. Debates on


the merits of cost and benefit comparisons can be used to
sidestep political or philosophical goals, rules and regulations.

2. That CBA is inherently anti-regulatory, and therefore a


biased tool. The monetization of policy impacts is an
inappropriate tool for assessing mortality risks and
distributional impacts.
3. That the length of time necessary to complete CBA can
create significant delays, which can impede policy regulation.

These criticisms continued under the Clinton administration during the


1990s. Clinton furthered the anti-regulatory environment with his
Executive Order 12866.[47] The order changed some of Reagan's
language, requiring benefits to justify (rather than exceeding) costs and
adding "reduction of discrimination or bias" as a benefit to be analyzed.
Criticisms of CBA (including uncertainty valuations, discounting future
values, and the calculation of risk) were used to argue that it should
play no part in the regulatory process.[48] The use of CBA in the
regulatory process continued under the Obama administration, along
with the debate about its practical and objective value. Some analysts
oppose the use of CBA in policy-making, and those in favor of it
support improvements in analysis and calculations.

CBA di bawah administrasi AS [sunting]


Meningkatnya penggunaan CBA dalam proses regulasi AS sering
dikaitkan dengan pemerintahan Presiden Ronald Reagan. Meskipun
CBA dalam pembuatan kebijakan AS berasal dari beberapa dekade,
Perintah Eksekutif Reagan 12291 mengamanatkan penggunaannya
dalam proses regulasi. Setelah berkampanye pada platform deregulasi,
ia mengeluarkan EO 1981 yang mengesahkan Kantor Informasi dan
Urusan Regulasi (OIRA) untuk meninjau peraturan agensi dan
mewajibkan agensi federal untuk menghasilkan analisis dampak
regulasi ketika perkiraan dampak tahunan melebihi $ 100 juta. Selama
1980-an, kritik akademis dan institusional CBA muncul. Tiga kritik
utama adalah: [46]
1. Bahwa CBA dapat digunakan untuk tujuan politik. Debat tentang
manfaat perbandingan biaya dan manfaat dapat digunakan untuk
menghindari tujuan, aturan dan peraturan politik atau filosofis.
2. Bahwa CBA secara inheren anti-regulasi, dan karenanya merupakan
alat yang bias. Monetisasi dampak kebijakan adalah alat yang tidak
tepat untuk menilai risiko kematian dan dampak distribusi.
3. Bahwa lamanya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan CBA
dapat menciptakan penundaan yang signifikan, yang dapat
menghambat regulasi kebijakan.
Kritik-kritik ini berlanjut di bawah pemerintahan Clinton selama 1990-
an. Clinton melanjutkan lingkungan anti-regulasi dengan Perintah
Eksekutifnya 12866. [47] Perintah itu mengubah beberapa bahasa
Reagan, membutuhkan tunjangan untuk membenarkan (daripada
melebihi) biaya dan menambahkan "pengurangan diskriminasi atau
bias" sebagai manfaat untuk dianalisis. Kritik terhadap CBA (termasuk
penilaian ketidakpastian, mendiskontokan nilai masa depan, dan
perhitungan risiko) digunakan untuk menyatakan bahwa CBA
seharusnya tidak berperan dalam proses pengaturan. [48] Penggunaan
CBA dalam proses pengaturan berlanjut di bawah pemerintahan
Obama, bersamaan dengan perdebatan tentang nilai praktis dan
objektifnya. Beberapa analis menentang penggunaan CBA dalam
pembuatan kebijakan, dan mereka yang mendukungnya mendukung
peningkatan dalam analisis dan perhitungan.

References[edit]
1. ^ David, Rodreck; Ngulube, Patrick; Dube, Adock (16
July 2013). "A cost-benefit analysis of document management
strategies used at a financial institution in Zimbabwe: A case
study". SA Journal of Information
Management. 15 (2). doi:10.4102/sajim.v15i2.540.

2. ^ [1] Archived October 16, 2008, at the Wayback


Machine

3. ^ Wiener, Jonathan B. (2013). "The Diffusion of


Regulatory Oversight". In Livermore, Michael A.; Revesz,
Richard L. The Globalization of Cost-Benefit Analysis in
Environmental Policy. New York: Oxford University
Press. ISBN 978-0-199-93438-6.

4. ^ "History of Benefit-Cost
Analysis" (PDF). Proceedings of the 2006 Cost Benefit
Conference. Archived from the original (PDF) on 2006-06-16.

5. ^ Guess, George M.; Farnham, Paul G. (2000). Cases


in Public Policy Analysis. Washington, DC: Georgetown
University Press. pp. 304–308. ISBN 978-0-87840-768-2.

6. ^ Eckstein, Otto (1958). Water Resource Development:


The Economics of Project Evaluation. Cambridge: Harvard
University Press.

7. ^ Kneese, A. V. (1964). The Economics of Regional


Water Quality Management. Baltimore: Johns Hopkins Press.
8. ^ Clawson, M.; Knetsch, J. L. (1966). Economics of
Outdoor Recreation. Baltimore: Johns Hopkins Press.

9. ^ Krutilla, J. V. (1967). "Conservation


Reconsidered". American Economic Review. 57 (4): 777–
786. JSTOR 1815368.

10. ^ Weisbrod, Burton A. (1964). "Collective-Consumption


Services of Individual-Consumption Goods". Quarterly Journal
of Economics. 78 (3): 471–
477. doi:10.2307/1879478. JSTOR 1879478.

11. ^ Weisbrod, Burton A. (1981). "Benefit-Cost Analysis of


a Controlled Experiment: Treating the Mentally Ill". Journal of
Human Resources. 16 (4): 523–
548. doi:10.2307/145235. JSTOR 145235.

12. ^ Plotnick, Robert D. (1994). "Applying Benefit-Cost


Analysis to Substance Abuse Prevention
Programs". International Journal of the Addictions. 29 (3):
339–359. doi:10.3109/10826089409047385.

13. ^ Weisbrod, Burton A.; Hansen, W. Lee (1969). Benefits,


Costs, and Finance of Public Higher Education. Markham.

14. ^ Moll, K. S.; et al. (1975). Hazardous wastes: A Risk-


Benefit Framework Applied to Cadmium and Asbestos. Menlo
Park, CA: Stanford Research Institute.
15. ^ Canadian Cost–Benefit Guide: Regulatory Proposals,
Treasury Canada, 2007. [2]

16. ^ Australian Government, 2006. Introduction to Cost–


Benefit Analysis and Alternative Evaluation Methodologies and
Handbook of Cost–Benefit Analysis, Finance Circular
2006/01. http://www.finance.gov.au/publications/finance-
circulars/2006/01.html

17. ^ US Department of Health and Human Services, 1993.


Feasibility, Alternatives, And Cost/Benefit Analysis Guide,
Administration for Children and Families, and Health Care
Finance
Administration.http://www.acf.hhs.gov/programs/cb/systems/sa
cwis/cbaguide/index.htm

18. ^ Federal Emergency Management Administration,


1022. Guide to Benefit Cost
Analysis. http://www.fema.gov/government/grant/bca.shtm

19. ^ Hugh Coombs; Ellis Jenkins; David Hobbs (18 April


2005). Management Accounting: Principles and Applications.
SAGE Publications. pp. 278–. ISBN 978-1-84787-711-6.

20. ^ "HEATCO project site". Heatco.ier.uni-stuttgart.de.


Retrieved 2013-04-21.
21. ^ [3] Guide to Cost-Benefit Analysis of Major Projects.
Evaluation Unit, DG Regional Policy, European Commission,
2008.

22. ^ Guide to Benefit-Cost Analysis in Transport Canada.


Transport Canada. Economic Evaluation Branch, Transport
Canada, Ottawa, 1994 [4]

23. ^ US Federal Highway Administration: Economic


Analysis Primer: Benefit-Cost Analysis 2003 [5]

24. ^ US Federal Highway Administration: Cost-Benefit


Forecasting Toolbox for Highways, Circa 2001 [6]

25. ^ US Federal Aviation Administration: Airport Benefit-


Cost Analysis Guidance, 1999 [7][8]

26. ^ Minnesota Department of Transportation: Benefit Cost


Analysis. MN DOT Office of Investment Management [9]

27. ^ California Department of Transportation: Benefit-Cost


Analysis Guide for Transportation Planning [10]

28. ^ Transportation Research Board, Transportation


Economics Committee: Transportation Benefit-Cost
Analysis [11]

29. ^ Cellini, Stephanie Riegg; Kee, James Edwin. "Cost-


Effectiveness and Cost-Benefit Analysis" (PDF).
30. ^ http://www.finance.gov.au/obpr/docs/Decision-
Rules.pdf

31. ^ Weimer, D.; Vining, A. (2005). Policy Analysis:


Concepts and Practice (Fourth ed.). Upper Saddle River, NJ:
Pearson Prentice Hall. ISBN 978-0-13-183001-1.

32. ^ Pamela, Misuraca (2014). "The Effectiveness of a


Costs and Benefits Analysis in Making Federal Government
Decisions: A Literature Review" (PDF). Center for National
Security. The MITRE Corporation.

33. ^ Huesemann, Michael H., and Joyce A. Huesemann


(2011). Technofix: Why Technology Won’t Save Us or the
Environment, Chapter 8, “The Positive Biases of Technology
Assessments and Cost Benefit Analyses”, New Society
Publishers, Gabriola Island, British Columbia,
Canada, ISBN 0865717044, 464 pp.

34. ^ "Ford Fuel Fires". Archived from the original on July


15, 2011. Retrieved 29 December 2011.

35. ^ Phelps, Charles (2009). Health Economics (4th ed.).


New York: Pearson/Addison-Wesley. ISBN 978-0-321-59457-0.

36. ^ Buekers, J (2015). "Health impact model for modal


shift from car use to cycling or walking in Flanders:
application to two bicycle highways". Journal of Transport and
Health. 2 (4): 549–562. doi:10.1016/j.jth.2015.08.003.
37. ^ Tuominen, Pekka; Reda, Francesco; Dawoud, Waled;
Elboshy, Bahaa; Elshafei, Ghada; Negm, Abdelazim (2015).
"Economic Appraisal of Energy Efficiency in Buildings Using
Cost-effectiveness Assessment". Procedia Economics and
Finance. 21: 422–430. doi:10.1016/S2212-5671(15)00195-1.

38. ^ Jump up to:a b Ackerman; et al. (2005). "Applying


Cost-Benefit to Past Decisions: Was Environmental
Protection Ever a Good Idea?". Administrative Law
Review. 57: 155.

39. ^ Boardman, N. E. (2006). Cost-benefit Analysis:


Concepts and Practice (3rd ed.). Upper Saddle River, NJ:
Prentice Hall. ISBN 978-0-13-143583-4.

40. ^ Field, Barry C; Field, Martha K


(2016). ENVIRONMENTAL ECONOMICS: AN
INTRODUCTION, SEVENTH EDITION. America: McGraw-
Hill. p. 144. ISBN 978-0-07-802189-3.

41. ^ Field, Barry C; Field, Martha K


(2016). ENVIRONMENTAL ECONOMICS: AN
INTRODUCTION, SEVENTH EDITION. America: McGraw-
Hill. p. 138. ISBN 978-0-07-802189-3.

42. ^ Campbell, Harry F.; Brown, Richard (2003). "Valuing


Traded and Non-Traded Commodities in Benefit-Cost
Analysis". Benefit-Cost Analysis: Financial and Economic
Appraisal using Spreadsheets. Cambridge: Cambridge
University Press. ISBN 978-0-521-52898-6. Ch. 8 provides a
useful discussion of non-market valuation methods for CBA.

43. ^ Dunn, William N. (2009). Public Policy Analysis: An


Introduction. New York: Longman. ISBN 978-0-13-615554-6.

44. ^ Newell, R. G. (2003). "Discounting the Distant


Future: How Much Do Uncertain Rates Increase
Valuations?". Journal of Environmental Economics and
Management. 46 (1): 52–71. doi:10.1016/S0095-
0696(02)00031-1.

45. ^ Campbell, Harry F.; Brown, Richard (2003).


"Incorporating Risk in Benefit-Cost Analysis". Benefit-Cost
Analysis: Financial and Economic Appraisal using
Spreadsheets. Cambridge: Cambridge University
Press. ISBN 978-0-521-52898-6. Ch. 9 provides a useful
discussion of sensitivity analysis and risk modelling in cost
benefits analysis. CBA.

46. ^ http://regulation.huji.ac.il/papers/jp5.pdf

47. ^ "Executive Order 12866: Regulatory Planning and


Review". govinfo.library.unt.edu.

48. ^ Heinzerling, L. (2000), "The Rights of Statistical


People", Harvard Environmental Law Review 24, 189-208.
Further reading[edit]

 Campbell, Harry; Brown, Richard (2003). Benefit-Cost


Analysis: Financial and Economic Appraisal Using Spreadsheets.
Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-82146-9.

 Chakravarty, Sukhamoy (1987). "Cost-benefit analysis". The


New Palgrave: A Dictionary of Economics. 1. London: Macmillan.
pp. 687–690. ISBN 978-0-333-37235-7.

 David, R., Ngulube, P. & Dube, A., 2013, ‘A cost-benefit


analysis of document management strategies used at a financial
institution in Zimbabwe: A case study’, SA Journal of Information
Management 15(2), Art. #540, 10
pages. http://www.sajim.co.za/index.php/SAJIM/article/view/540/6
40

 Dupuit, Jules (1969). "On the Measurement of the Utility of


Public Works". In Arrow, Kenneth J.; Scitovsky, Tibor. Readings in
Welfare Economics. London: Allen and Unwin. ISBN 978-0-04-
338038-3.

 Eckstein, Otto (1958). Water-resource Development: The


Economics of Project Evaluation. Cambridge: Harvard University
Press.

 Folland, Sherman; Goodman, Allen C.; Stano, Miron


(2007). The Economics of Health and Health Care (Fifth ed.). New
Jersey: Pearson Prentice Hall. pp. 83–84. ISBN 978-0-13-227942-
0.

 Ferrara, A. (2010). Cost-Benefit Analysis of Multi-Level


Government: The Case of EU Cohesion Policy and US Federal
Investment Policies. London and New York: Routledge. ISBN 978-
0-415-56821-0.

 Frank, Robert H. (2000). "Why is Cost-Benefit Analysis so


Controversial?". Journal of Legal Studies. 29 (S2): 913–
930. doi:10.1086/468099.

 Hirshleifer, Jack (1960). Water Supply: Economics, Technology,


and Policy. Chicago: University of Chicago Press.

 Huesemann, Michael H., and Joyce A. Huesemann


(2011). Technofix: Why Technology Won’t Save Us or the
Environment, Chapter 8, “The Positive Biases of Technology
Assessments and Cost Benefit Analyses”, New Society Publishers,
Gabriola Island, British Columbia, Canada, ISBN 0865717044, 464
pp.

 Maass, Arthur, ed. (1962). Design of Water-resource Systems:


New Techniques for Relating Economic Objectives, Engineering
Analysis, and Governmental Planning. Cambridge: Harvard
University Press.
 McKean, Roland N. (1958). Efficiency in Government through
Systems Analysis: With Emphasis on Water Resources
Development. New York: Wiley.

 Nas, Tevfik F. (1996). Cost-Benefit Analysis: Theory and


Application. Thousand Oaks, CA: Sage. ISBN 978-0-8039-7133-2.

 Richardson, Henry S. (2000). "The Stupidity of the Cost-Benefit


Analysis". Journal of Legal Studies. 29 (S2): 971–
1003. doi:10.1086/468102.

 Quigley, John; Walls, Lesley (2003). "Cost-Benefit Modelling


for Reliability Growth". Journal of the Operational Research
Society. 54 (12): 1234–1241. doi:10.1057/palgrave.jors.2601633.

 Sen, Amartya (2000). "The Discipline of Cost-Benefit


Analysis". Journal of Legal Studies. 29 (S2): 931–
952. doi:10.1086/468100.

External links

Anda mungkin juga menyukai