Anda di halaman 1dari 15

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Pembahasan

Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan

menggunakan rancangan penelitian cross sectional yang mempunyai tujuan

untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo Kota Kediri. Jumlah sampel penelitian

yang digunakan adalah 450 ibu/pengasuh balita dan pada penelitian ini

menggunakan simple random sampling. Kemudian dianalisis menggunakan

uji statistik univariat, bivariat (Chi- Square), dan multivariat (regresi logistik).

Dalam penelitian ini faktor pendidikan, ASI Eksklusif, status gizi,

sarana air bersih, kepemilikan jamban, sarana SPAL, kepemilikan tempat

sampah serta perilaku ibu/pengasuh balita berpengaruh signifikan terhadap

kejadian diare (p<0.05), sedangkan faktor pekerjaan tidak berpengaruh

signifikan terhadap kejadian diare (p=0,688) di Wilayah Kerja Puskesmas

Campurejo Kota Kediri. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo Kota

Kediri, yaitu:

1. Pendidikan Ibu/Pengasuh Balita

Pada penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo didapatkan

adanya pengaruh antara pendidikan ibu terhadap kejadian diare yang pernah

dialami responden dalam 3 bulan terakhir. Hasil penelitian ini sama dengan

77
78

penelitian yang dilakukan oleh Junita (2014) dengan judul Faktor – Faktor

yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Wilaya Kerja

Puskesmas Bangun Purba dengan hasil p value 0,003 yang berarti ada

hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare

pada balita.

Penelitian di RS dr. Cipto Mangunkusumo juga mengatakan ada

hubungan antara pendidikan dengan kejadian diare. Pada umumnya, tingkat

pendidikan formal seseorang cenderung berhubungan positif dengan tingkat

pengetahuannya. Selain itu, pendidikan juga dapat memengaruhi perilaku dan

pola hidup seseorang (Hapsari, 2018). Penelitian yang dilakukan oleh

Adeyimika (2017) juga sepakat dengan penelitian ini yang menyatakan

tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kejadian diare. Pendidikan tinggi

pada seseorang akan membuat orang tersebut lebih berorientasi pada tindakan

preventif, memiliki status kesehatan yang lebih baik dan mengetahui lebih

banyak tentang masalah kesehatan.

Hasil tersebut juga didukung oleh penelitian Rohmah di Surabaya

yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi morbiditas balita. Pendidikan yang tinggi

cenderung lebih banyak mendapatkan informasi yang didapat dari media cetak

maupun elektronik. Tingkat pendidikan yang rendah menyebabkan sulitnya

penerimaan informasi tentang pentingnya personal hygiene dan sanitasi

lingkungan untuk mencegah terjadinya penyakit diare sehingga mereka

terkesan acuh dan tidak memperhatikan upaya pencegahan penyakit (Rohmah,


79

2017). Penelitian yang dilakukan di Riau dan Pekanbaru juga mengatakan

bahwa pendidikan sangat berpengaruh pada upaya peningkatan kesehatan

anak sehingga ibu akan lebih tanggap akan bahaya pada anak. Semakin tinggi

tingkat pendidikan ibu diharapkan akan semakin baik dalam pengasuhan anak

dan penatalakasanaan awal diare di rumah (Shahzad, 2018).

2. Pekerjaan Ibu/Pengasuh Balita

Pada penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang

bermakna antara pekerjaan ibu terhadap kejadian diare yang dialami oleh

balita di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo dalam 3 bulan terakhir. Hal ini

sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Eva Yanti et al. (2014)

mengenai faktor-faktor yang berpengaruh dengan kejadiian diare pada balita

yang berobat ke badan Rumah Sakit Umum Tabanan, dimana didapatkan hasil

tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare yang dialami

oleh balita. Penelitian lain dilakukan oleh Wijaya (2012) di Universitas Negri

Semarang juga menunjukan hasil yang tidak signifikan (p=0,451) dimana

tidak ada hubungan antara status pekerjaan ibu dengan kejadian diare.

Hal ini disebabkan oleh karena ibu-ibu di wilayah Campurejo lebih

banyak yang tidak bekerja dari pada yang bekerja, sedangkan yang bekerja

telah mempunyai pengasuh yang mampu memberikan perhatian kepada

balitanya. Sebaliknya ibu yang tidak bekerja seharusnya mampu memberikan

perhatian lebih kepada balitanya. Sedangkan, Menurut penelitian yang

dilakukan oleh Dwiriyanti & Savira. (2015) yang dilakukan pada anak usia

dibawah 5 tahun di Puskesmas Rawat Inap Pekanbaru, dikatakan bahwa


80

pekerjaan dapat mempengaruhi intensitas dan kulitas ibu dalam mengasuh

anaknya. Ibu yang tidak bekerja memiliki waktu lebih banyak untuk dapat

mengasuh anaknya dengan maksimal di rumah sehinga dapat lebih tanggap

untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada anaknya. Ibu yang tidak

bekerja juga memiliki waktu untuk rutin membawa anak ke pusat kesehatan,

sehingga meminimalkan angka kematian anak yang menderita diare.

3. Status Gizi Balita

Hasil analisa data didapatkan bahwa nilai p value adalah 0,000 (<0,05)

yang berarti terdapat hubungan antara status gizi balita dengan kejadian diare

pada balita di wilayah kerja puskesmas campurejo kota Kediri tahun 2019.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian herlina (2014) di Puskesmas

Jatidatar Kecamatan Bandar Mataram Kabupaten Lampung Tengah tentang

faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare dengan hasil bahwa

terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian diare pada balita dengan

p value: 0,000 (<0,05).

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa balita

dengan status gizi, memiliki hubungan dengan kejadian diare, dimana hal

tersebut berkaitan dengan daya tahan tubuh balita terhadap kuman penyakit

yang menginfeksinya sehingga pada anak dengan status gizi kurang lebih

rentan terinfeksi kuman/bakteri.

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

Fatmawati (2015) didapatkan bahwa status gizi kurang yang mengalami diare

sebanyak 20 orang (95,2%) dan 9 orang (22%) responden tidak mengalami


81

diare. Sedangkan pada status gizi cukup yang mengalami diare sebanyak 1

orang (4,8%) dan yang tidak mengalami diare sebanyak 32 orang (78%), data

di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden yang memiliki gizi kurang

mengalami diare karena pada balita dengan status gizi kurang daya tahan

terhadap tekanan atau stress menurun, sistem imunitas dan antibody berkurang

sehingga balita mudah terserang infeksi seperti diare.

Menurut penelitian Iskandar W J, et al (2015) mengatakan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian diare pada anak

dibawah usia 5 tahun dimana nilai p value 0,000 (<0,05), ditunjukkan bahwa

sekitar setengah dari subyek penelitiannya yaitu mengalami diare degan gizi

kurang hal ini disebabkan salah satunya oleh daya tahan tubuh anak yang

mengalami gizi kurang lebih rentan dari pada dengan anak dengan gizi cukup.

Diare cair akut dan dehidrasi ringan hingga sedang mendominasi jenis diare

dan dehidrasi dalam penelitian Iskandar W J. Kondisi itu menunjukkan

Rotavirus sebagai penyebab yang paling mungkin karena rotavirus penyebab

utama diare akut dan penyebab kematian pada balita yang menderita diare

akut.

Penelitian lain yang mendukung dilakukan oleh Kurniawati (2016)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi

dengan kejadian diare pada balita yang menyatakan bahwa balita dengan

status gizi kurang mempunyai risiko mengalami diare 1.73 kali lebih tinggi

dari pada balita dengan status gizi normal karena malnutrisi pada balita dapat

mempengaruhi perkembangan thynic yang berpengaruh terhadap penurunan


82

jumlah limfosit peripheral. Kondisi defisiensi imun tersebut menyebabkan

balita rentan terhadap infeksi.

Menurut penelitian Maidarti (2017) bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara faktor gizi dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas

Bbakansari Kota Bandung dimana p value (0,000) < 0,05. Status gizi balita

yang bermasalah akan berakibat menurunnya imunitas penderita terhadap

berbagai infeksi terutama bakteri penyebab diare, karena pada dasarnya tubuh

memiliki 3 macam untuk menolak infeksi yaitu melalui sel (imunitas seluler),

melalui cairan (imunitas humoral), dan aktifitas leukosit polimer fonukleus.

4. Asi eksklusif

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa cakupan pemberian

asi eksklusif yang mengalami diare di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo

sebesar 23,3% dan yang tidak diare sebesar 76,7%, sedangkan yang tidak

mendapatkan asi eksklusif yang mengalami diare sebesar 87,2% dan yang

tidak mengalami diare sebesar 12,8%. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa

adanya hubungan antara pemberian asi eksklusif dengan kejadian diare pada

balita. Hal ini sesuai dengan penelitian Rohma (2015) yang mengatakan

bahwa ada hubungan antara balita yang tidak diberi asi dengan kejadian diare

pada balita karena adanya sIgA (Secretory Immunoglobulin A) dalam asi.

SIgA memiliki peran dalam perlindungan local pada lapisan mukosa dari

saluran pencernaan. Isi pelindung lainnya dalam asi seperti IgG, IgM, IgD,

Bifidobacterium,bifidum, laktoferin, laktoperoksidase, lisozim, makrofag,

neutrofil, limfosit dan lipid.


83

Pada penelitian Pradirga (2014) mengatakan bahwa responden yang

memberikan makanan tambahan pada bayi dibawah umur 6 bulan beresiko

3,267 kali terkena diare dibandingkan dengan responden yang hanya

mendapatkan asi eksklusif.

Menurut penelitian Selviana (2015) mengatakan bahwa ada hubungan

antara pemberian asi eksklusif dengan kejadian diare akut pada balita dengan

Nilai OR sebesar 2,723 artinya, responden yang tidak memberikan asi

eksklusif balitanya berisiko 2,723 kali lebih besar terkena penyakit diare akut

dari pada yang memberikan asi eksklusif. Pada penelitian ini juga

menyebutkan seorang bayi yang diberi air putih atau minuman herbal, lainnya

berisiko terkena dire 2-3 kali lebih banyak dibandingkan bayi yang diberi asi

eksklusif.

5. Sarana Ketersediaan Air Bersih

Pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna

antara faktor sarana air bersih terhadap kejadian diare yang dialami oleh balita

dalam 3 bulan terakhir. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan Afriani (2017) di Kelurahan Talang Jawa Sumatra Selatan dan

Rahman et al (2016) di Desa Solor Kecamatan Cermee Bondowoso bahwa

ketersediaan sarana air bersih mempengaruhi kejadian diare pada balita. Hal

ini menjelaskan bahwa, kurangnya ketersediaan air bersih akan meningkatkan

cakupan kejadian diare, begitu juga sebaliknya ketersediaan air bersih yang

cukup akan menurunkan cakupan kejadian diare.


84

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Damayanti (2017)

dipekanbaru mengenai hubungan antara ketersediaan air bersih terhadap

kejadian diare balita didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan ketersediaan

air bersih dengan kejadian diare pada balita. Dan mendapatkan kesimpulan

bahwa keluarga yang tidak memiliki ketersediaan air bersih 5 kali beresiko

terkena diare pada balita. Permasalahan utama kejadian diare di Indonesia

disebabkan karena pada daerah yang belum memiliki akses air bersih,

didaerah tersebut kebanyakan menggunakan air yang masih banyak

pertumbuhan bakteri E.coli sehingga akan meningkatkan penularan diare

(Komarulzaman, 2016). Namun pada hasil studi sistematic review yang

dilakukan oleh Darveshe et al (2017) menunjukkan kejadian diare tidak

berpengaruh terhadap kualitas air.

6. Ketersediaan Jamban

Jamban merupakan salah satu komponen penting yang harus ada disetiap

rumah. Hasil penelitian di Kelurahan Campurejo menunjukkan bahwa rumah

dengan kepemilikan jamban yang tidak memenuhi syarat signifikan

mempengaruhi kejadian diare pada balita (0.003). Penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Pradirga di Kota Makassar, hasil menunjukkan

bahwa responden yang tidak memiliki jamban atau memiliki jamban tapi tidak

memenuhi syarat berisiko 4.339 kali terkena diare dibanding responden yang

memiliki jamban dan memenuhi syarat (Pradirga, 2014).

Penelitian di Korea tahun 2017 didapatkan bahwa rumah tangga

dengan kepemilikan jamban menunjukkan prevalensi diare yang lebih rendah


85

pada anak-anak di bawah 4 tahun yang mengalami diare daripada rumah

tanpa jamban, terlepas dari jenis jamban yang digunakan. Hal ini

menunjukkan bahwa jamban itu sendiri memberikan manfaat kesehatan,

bahkan jika tidak sepenuhnya dilengkapi dengan unsur-unsur yang dikira

perlu ditingkatkan (Cha et al, 2017).

Penelitian Rohmah (2017) juga mendukung penelitian ini bahwa ada

hubungan yang signifikan antara penggunaan jamban sehat dengan kejadian

diare di Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo. Rumah tangga yang

menggunakan WC yang memenuhi syarat dan sehat untuk buang air kecil dan

besar mempunyai risiko lebih kecil bagi anggota keluarga untuk tertular

penyakit. Pembuangan tinja yang tidak sesuai aturan akan mempermudah

penyebaran penyakit yang dapat menular melalui feses, seperti penyakit diare.

Rumah tangga yang mempunyai kebiasaan membuang tinja yang tidak sesuai

aturan akan meningkatkan risiko diare pada balita sebesar 2 kali lipat

dibandingkan dengan rumah tangga yang mempunyai kebiasaan membuang

tinja sesuai aturan.

7. Sarana Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna

antara ketersediaan saluran pembuangan air limbah terhadap kejadian diare

yang dialami oleh balita dalam 3 bulan terakhir. Hal ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan lintang (2016) di Wilayah Kerja

Puskesmas Rembang 2 Kabupaten Rembang Jawa Tengah, dimana sarana

pembuangan air limbah yang baik dan memenuhi syarat akan mengurangi
86

kejadian diare sedangkan pembuangan air limbah yang tidak sehat atau tidak

memenuhi syarat dapat menyebabkan terjadinya pencemaran pada permukaan

tanah dan sumber air. Dengan demikian sarana saluaran pembuangan limbah

yang memenuhi syarat dapat mencegah atau mengurangi kontaminasi air

limbah terhadap lingkungan. Air limbah harus dikelola dengan baik, sehingga

air limbah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit, tidak

terdapat lalat, tidak mengotori sumber air dan tidak menimbulkan bau

(Norman, 2016).

Pada penelitian systematic review yang dilakukan oleh Wolf (2014)

mengenai pengaruh air minum dan sanitasi lingkungan terhadap kejadian

diare, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi

lingkungan termasuk sarana pembuangan air limbah terhadap kejadian diare.

Penelitian lain yang dilakukan Meliyanti (2018) mengenai faktor yang

berhubungan dengan kepemilikan saluran pembuangan air limbah rumah,

menunjukan bahwa terdapat hubungan antara kepemilikan saluran

pembuangan limbah terhadap timbulnya bibit penyakit salah satunya seperti

diare. Dimana SPAL yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan

penyebaran bibit penyakit seperti diare.

Berdasarkan Permenkes tahun 2014 sarana pembuangan air limbah

yang sesuai adalah tidak terbuka, tidak menggenang, tidak berbau, tidak

menjadi perindukan vector, dan terhubung dengan limbah umum/sumur

serapan. Sehingga mampu mencegah penyebaran vector penyakit seperti diare

dan sebagainya.
87

8. Sarana Pembuangan Sampah

Penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara sarana

pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita. Hal ini sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Dini, Machmud, dan Rasyid pada penelitian

tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

pengelolaan sampah dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Kambang, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan

tahun 2013. Nilai Odds Ratio menunjukkan bahwa responden dengan

pengelolaan sampah buruk mempunyai risiko 3,3 kali menderita diare pada

balita dibandingkan responden dengan pengelolaan sampah baik. Pengelolaan

sampah yang baik penting untuk mencegah penularan penyakit dengan cara

menyediakan tempat sampah. Sampah harus dikumpulkan setiap hari dan

dibuang ke tempat penampungan sementara. Pengelolaan sampah yang buruk

juga dipengaruhi kondisi tempat penampungan sampah sementara, kebiasaan

membuang sampah dan pengelolaan sampah yang sudah terkumpul (Dini,

Machmud, dan Rasyid, 2015).

Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa sebagian besar responden

melakukan pengelolaan sampah dengan baik yaitu dengan cara dibakar dan

sebagian ada juga yang ditimbun. Beberapa responden masih ada yang

membuang sampah sembarangan seperti di belakang maupun di halaman

rumah yang tidak dikelola dengan baik. Kebiasaan membuang sampah tidak

pada tempatnya menjadi faktor risiko untuk timbulnya berbagai vektor bibit

penyakit. Faktor risiko lain penyebab diare pada balita adalah tempat sampah
88

yang digunakan dengan konstruksi yang tidak kuat dan mudah bocor seperti

wadah plastik dan kantong plastik serta beberapa kondisi tempat sampah

terdapat vektor seperti serangga yang dapat menyebabkan diare pada balita

(Dini, Machmud, dan Rasyid, 2015).

Menurut penelitian Oloruntoba, Folarin, and Ayude menunjukkan

adanya peningkatan resiko diare pada balita dengan ibu/pengasuh dengan

tempat pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat. Selama penelitian,

juga ditemukan bahwa beberapa rumah tangga yang membuang sampah di

sekeliling rumah. Sebagian besar tempat sampah tidak tertutup sehingga

menarik lalat. Metode penanganan limbah yang buruk membuat anak-anak

berisiko terkontaminasi makanan oleh lalat. Hal ini dapat meningkatkan

kejadian diare karena jalur penularannya melalui dari rute fekal-oral

(Oloruntoba, Folarin, and Ayude, 2014).

Penelitan lain menunjukkan bahwa sarana pembuangan sampah di

Desa Ngunut, Kecamatan Ngunut, Kabupaten Tulungagung yang tidak

memenuhi syarat sebesar 84,2%. Dari hasil observasi terhadap sarana

pembuangan sampah pada responden di Desa Ngunut sebagian besar

responden membuang sampah dengan cara dipendam dalam lubang dan

dibakar. Sedangkan untuk konstruksi tempat sampah, hampir semua

responden tidak memiliki tempat sampah yang permanen karena kebanyakan

mereka menggunakan tas plastik (tas kresek) untuk tempat sampah sehingga

langsung dibuang. Selain kebiasaan responden membuang sampah di kebun

(lahan kosong) dan dibakar sebagai cara pembuangan akhir, juga masih
89

ditemukan sampah yang dibiarkan begitu saja di belakang rumah mereka. Dari

hasil statistik uji menunjukkan adanya hubungan antara sarana pembuangan

sampah dengan kejadian diare pada balita. Hal ini di tunjukkan dengan angka

kejadian diare pada balita lebih besar pada responden yang memiliki sarana

pembuangan sampah yang tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan

responden yang memiliki sarana pembuangan sampah yang memenuhi syarat.

Pemukiman penduduk merupakan salah satu penghasil sampah terbesar yang

berasal dari hasil kegiatan rumah tangga. Sampah padat yang tidak dikelola

dengan baik dan asal buang saja, akan menjadi masalah bagi kesehatan

masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena sampah tersebut dapat menjadi sarang

vektor penyakit (Azizah, 2014).

Selain itu pada penelitian yang dilakukan Aziz juga menunjukkan

bahwa kejadian diare meningkat pada balita yang memiliki tempat sampah

yang tidak sehat (Aziz et al, 2018).

9. Perilaku Ibu/Pengasuh Balita

Pada penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku

ibu/pengasuh terhadap kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Campurejo. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Evayanti, Purna, dan Aryana menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara

kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada balita di Rumah Sakit

Umum Tabanan. Sebanyak 62,86% mempunyai kebiasaan baik, sedangkan

sebanyak 37,14% memiliki kebiasaan buruk (Evayanti, Purna, dan Aryana,

2014).
90

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Taosu dan Azizah,

menunjukkan bahwa responden yang memiliki kebiasaan mencuci tangan

sebelum makan yang menderita diare lebih rendah (23,6%) dibandingkan

dengan yang kadang-kadang atau tidak pernah mencuci tangan sebelum

makan (74,4%). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang bermakna antara kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dengan

kejadian diare pada balita di desa Bena. Sedangkan responden yang memiliki

kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar (29,4%) kejadian diare

lebih rendah dibandingkan dengan yang kadang-kadang atau tidak pernah

mencuci tangan setelah buang air besar (70,6%). Hasil uji statistik

menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan

mencuci tangan setelah buang air besar dengan kejadian diare pada balita.

Kontak antara agent dan host dapat terjadi melalui air, yang sering terjadi

adalah melalui air minum yang tidak dimasak. Perilaku mencuci tangan

sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar dan kebiasaan minum

air yang telah dimasak merupakan upaya penting dalam mencegah terjadinya

diare (Taosu dan Azizah, 2014).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Diouf et al menunjukkan hasil

yang sama dengan penelitian ini, yaitu mencuci tangan menggunakan sabun

dapat mengurangi diare sebesar 37% dibandingkan hanya mencuci tangan

tanpa sabun. Sedangkan merebus air minum sebelum dikonsumsi dapat

menurunkan kejadian diare sebesar 61%, sehingga memasak air minum


91

sebelum dikonsumsi berpengaruh besar dalam pencegahan diare pada balita

(Diouf et al, 2014).

6.2 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian

dengan pertanyaan tertutup sehingga tidak membuka kesempatan bagi

responden untuk mengemukakan jawaban lain dengan penjelasan yang lebih

mendalam. Kuesioner ini masih menggunakan kolom penilaian yang kurang

dapat dipahami oleh responden sehingga peneliti menjelaskan kembali pada

saat pengisian kuesioner berlangsung sehingga membutuhkan banyak waktu.

Anda mungkin juga menyukai