PEMBAHASAN
6.1 Pembahasan
yang digunakan adalah 450 ibu/pengasuh balita dan pada penelitian ini
uji statistik univariat, bivariat (Chi- Square), dan multivariat (regresi logistik).
Kediri, yaitu:
adanya pengaruh antara pendidikan ibu terhadap kejadian diare yang pernah
dialami responden dalam 3 bulan terakhir. Hasil penelitian ini sama dengan
77
78
penelitian yang dilakukan oleh Junita (2014) dengan judul Faktor – Faktor
Puskesmas Bangun Purba dengan hasil p value 0,003 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian diare
pada balita.
pada seseorang akan membuat orang tersebut lebih berorientasi pada tindakan
preventif, memiliki status kesehatan yang lebih baik dan mengetahui lebih
yang menyebutkan bahwa tingkat pendidikan ibu merupakan salah satu faktor
cenderung lebih banyak mendapatkan informasi yang didapat dari media cetak
anak sehingga ibu akan lebih tanggap akan bahaya pada anak. Semakin tinggi
tingkat pendidikan ibu diharapkan akan semakin baik dalam pengasuhan anak
bermakna antara pekerjaan ibu terhadap kejadian diare yang dialami oleh
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Campurejo dalam 3 bulan terakhir. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Eva Yanti et al. (2014)
yang berobat ke badan Rumah Sakit Umum Tabanan, dimana didapatkan hasil
tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian diare yang dialami
oleh balita. Penelitian lain dilakukan oleh Wijaya (2012) di Universitas Negri
tidak ada hubungan antara status pekerjaan ibu dengan kejadian diare.
banyak yang tidak bekerja dari pada yang bekerja, sedangkan yang bekerja
dilakukan oleh Dwiriyanti & Savira. (2015) yang dilakukan pada anak usia
anaknya. Ibu yang tidak bekerja memiliki waktu lebih banyak untuk dapat
untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada anaknya. Ibu yang tidak
bekerja juga memiliki waktu untuk rutin membawa anak ke pusat kesehatan,
Hasil analisa data didapatkan bahwa nilai p value adalah 0,000 (<0,05)
yang berarti terdapat hubungan antara status gizi balita dengan kejadian diare
pada balita di wilayah kerja puskesmas campurejo kota Kediri tahun 2019.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian herlina (2014) di Puskesmas
terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian diare pada balita dengan
dengan status gizi, memiliki hubungan dengan kejadian diare, dimana hal
tersebut berkaitan dengan daya tahan tubuh balita terhadap kuman penyakit
yang menginfeksinya sehingga pada anak dengan status gizi kurang lebih
Fatmawati (2015) didapatkan bahwa status gizi kurang yang mengalami diare
diare. Sedangkan pada status gizi cukup yang mengalami diare sebanyak 1
orang (4,8%) dan yang tidak mengalami diare sebanyak 32 orang (78%), data
mengalami diare karena pada balita dengan status gizi kurang daya tahan
terhadap tekanan atau stress menurun, sistem imunitas dan antibody berkurang
hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian diare pada anak
dibawah usia 5 tahun dimana nilai p value 0,000 (<0,05), ditunjukkan bahwa
sekitar setengah dari subyek penelitiannya yaitu mengalami diare degan gizi
kurang hal ini disebabkan salah satunya oleh daya tahan tubuh anak yang
mengalami gizi kurang lebih rentan dari pada dengan anak dengan gizi cukup.
Diare cair akut dan dehidrasi ringan hingga sedang mendominasi jenis diare
utama diare akut dan penyebab kematian pada balita yang menderita diare
akut.
dengan kejadian diare pada balita yang menyatakan bahwa balita dengan
status gizi kurang mempunyai risiko mengalami diare 1.73 kali lebih tinggi
dari pada balita dengan status gizi normal karena malnutrisi pada balita dapat
signifikan antara faktor gizi dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas
Bbakansari Kota Bandung dimana p value (0,000) < 0,05. Status gizi balita
berbagai infeksi terutama bakteri penyebab diare, karena pada dasarnya tubuh
memiliki 3 macam untuk menolak infeksi yaitu melalui sel (imunitas seluler),
4. Asi eksklusif
sebesar 23,3% dan yang tidak diare sebesar 76,7%, sedangkan yang tidak
mendapatkan asi eksklusif yang mengalami diare sebesar 87,2% dan yang
tidak mengalami diare sebesar 12,8%. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa
adanya hubungan antara pemberian asi eksklusif dengan kejadian diare pada
balita. Hal ini sesuai dengan penelitian Rohma (2015) yang mengatakan
bahwa ada hubungan antara balita yang tidak diberi asi dengan kejadian diare
SIgA memiliki peran dalam perlindungan local pada lapisan mukosa dari
saluran pencernaan. Isi pelindung lainnya dalam asi seperti IgG, IgM, IgD,
antara pemberian asi eksklusif dengan kejadian diare akut pada balita dengan
eksklusif balitanya berisiko 2,723 kali lebih besar terkena penyakit diare akut
dari pada yang memberikan asi eksklusif. Pada penelitian ini juga
menyebutkan seorang bayi yang diberi air putih atau minuman herbal, lainnya
berisiko terkena dire 2-3 kali lebih banyak dibandingkan bayi yang diberi asi
eksklusif.
antara faktor sarana air bersih terhadap kejadian diare yang dialami oleh balita
dalam 3 bulan terakhir. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
ketersediaan sarana air bersih mempengaruhi kejadian diare pada balita. Hal
cakupan kejadian diare, begitu juga sebaliknya ketersediaan air bersih yang
air bersih dengan kejadian diare pada balita. Dan mendapatkan kesimpulan
bahwa keluarga yang tidak memiliki ketersediaan air bersih 5 kali beresiko
disebabkan karena pada daerah yang belum memiliki akses air bersih,
6. Ketersediaan Jamban
Jamban merupakan salah satu komponen penting yang harus ada disetiap
mempengaruhi kejadian diare pada balita (0.003). Penelitian ini sejalan dengan
bahwa responden yang tidak memiliki jamban atau memiliki jamban tapi tidak
memenuhi syarat berisiko 4.339 kali terkena diare dibanding responden yang
tanpa jamban, terlepas dari jenis jamban yang digunakan. Hal ini
menggunakan WC yang memenuhi syarat dan sehat untuk buang air kecil dan
besar mempunyai risiko lebih kecil bagi anggota keluarga untuk tertular
penyebaran penyakit yang dapat menular melalui feses, seperti penyakit diare.
Rumah tangga yang mempunyai kebiasaan membuang tinja yang tidak sesuai
aturan akan meningkatkan risiko diare pada balita sebesar 2 kali lipat
yang dialami oleh balita dalam 3 bulan terakhir. Hal ini sesuai dengan
pembuangan air limbah yang baik dan memenuhi syarat akan mengurangi
86
kejadian diare sedangkan pembuangan air limbah yang tidak sehat atau tidak
tanah dan sumber air. Dengan demikian sarana saluaran pembuangan limbah
limbah terhadap lingkungan. Air limbah harus dikelola dengan baik, sehingga
air limbah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit, tidak
terdapat lalat, tidak mengotori sumber air dan tidak menimbulkan bau
(Norman, 2016).
yang sesuai adalah tidak terbuka, tidak menggenang, tidak berbau, tidak
dan sebagainya.
87
pembuangan sampah dengan kejadian diare pada balita. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Dini, Machmud, dan Rasyid pada penelitian
pengelolaan sampah buruk mempunyai risiko 3,3 kali menderita diare pada
sampah yang baik penting untuk mencegah penularan penyakit dengan cara
melakukan pengelolaan sampah dengan baik yaitu dengan cara dibakar dan
sebagian ada juga yang ditimbun. Beberapa responden masih ada yang
rumah yang tidak dikelola dengan baik. Kebiasaan membuang sampah tidak
pada tempatnya menjadi faktor risiko untuk timbulnya berbagai vektor bibit
penyakit. Faktor risiko lain penyebab diare pada balita adalah tempat sampah
88
yang digunakan dengan konstruksi yang tidak kuat dan mudah bocor seperti
wadah plastik dan kantong plastik serta beberapa kondisi tempat sampah
terdapat vektor seperti serangga yang dapat menyebabkan diare pada balita
mereka menggunakan tas plastik (tas kresek) untuk tempat sampah sehingga
(lahan kosong) dan dibakar sebagai cara pembuangan akhir, juga masih
89
ditemukan sampah yang dibiarkan begitu saja di belakang rumah mereka. Dari
sampah dengan kejadian diare pada balita. Hal ini di tunjukkan dengan angka
kejadian diare pada balita lebih besar pada responden yang memiliki sarana
berasal dari hasil kegiatan rumah tangga. Sampah padat yang tidak dikelola
dengan baik dan asal buang saja, akan menjadi masalah bagi kesehatan
masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena sampah tersebut dapat menjadi sarang
bahwa kejadian diare meningkat pada balita yang memiliki tempat sampah
kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada balita di Rumah Sakit
2014).
90
kejadian diare pada balita di desa Bena. Sedangkan responden yang memiliki
kebiasaan mencuci tangan setelah buang air besar (29,4%) kejadian diare
mencuci tangan setelah buang air besar (70,6%). Hasil uji statistik
mencuci tangan setelah buang air besar dengan kejadian diare pada balita.
Kontak antara agent dan host dapat terjadi melalui air, yang sering terjadi
adalah melalui air minum yang tidak dimasak. Perilaku mencuci tangan
sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar dan kebiasaan minum
air yang telah dimasak merupakan upaya penting dalam mencegah terjadinya
yang sama dengan penelitian ini, yaitu mencuci tangan menggunakan sabun