Ilmu pengetahuan merupakan anugerah yang Allah berikan kepada umat manusia
untuk dapat hidup dengan kondisi yang baik di setiap zamannya. Ilmu pengetahuan juga
dapat menjadi alat penunjuk arah dan tujuan bagi seseorang ketika ia telah sempurna
akalnya. Namun, ilmu pengetahuan juga dapat menjadi bencana manakala digunakan tidak
pada tempatnya.
Hal ini terjadi pada peradaban umat manusia di masa lampau pada era romawi kuno.
Sebuah peradaban besar dilahirkan namun tidak menjadikan manusia semakin bermartabat,
tetapi hanya menjadikan manusia sebagai wujud kebendaan semata, bahkan lebih hina
nilainya dibandingkan hewan.
Peradaban yag sakit itu bermula dari hadirnya ide pembangunan stadion raksasa
yang bernama koloseum di Itali. Bangunan yang didirikan dengan tinggi 48 meter, panjang
188 meter dan lebar 156 meter dengan luas seluruh bangunan sebesar 2,5 hektar itu
menyimpan kisah kelam bagi sejarah umat manusia. Ia menjadi mimpi buruk bagi para
tahanan ataupun budak yang berada di arena stadion tersebut.
Pada awalnya, Koloseum didirikan oleh raja romawi sebagai tempat eksekusi
tahanan. Di stadion itu, penonton dihadirkan dengan mengisi tempat duduk yang bertingkat
sesuai strata karirnya di masyarakat. Mereka melihat tahanan yang dieksekusi oleh
pemerintah romawi dengan tujuan memberikan efek jera. Namun, seiring berjalannya
waktu pola dan bentuk hukumannya mengalami perubahan. Bukan hanya dieksekusi,
pemerintah romawi menghadirkan binatang buas untuk memangsa sang tahanan. Di sana,
penonton melihat tragedi berdarah ini sebagai bentuk hiburan yang menyenangkan. Mereka
bersorak-sorai manakala sang tahanan dikejar ataupun dimangsa oleh hewan buas.
Tidak hanya itu, arena koloseum kerap kali dijadikan tempat pertarungan antar para
budak yang kehilangan identitas dengan garansi status kebebasan manakala mereka
berhasil menjadi pemenang. Di sini, para budak ataupun gladiator saling bertarung hingga
mati. Mereka saling berjibaku dengan senjata tajam yang mematikan. Darah mengalir
dimana-mana. Sementara yang lain menikmati pertarungan yang dilakukan oleh orang yang
tengah mempertaruhkan hidup dan matinya itu.
Sungguh, ini merupakan suatu bentuk penghinaan kepada umat manusia. Dimana
ilmu pengetahuan yang mereka miliki untuk membangun stadion koloseum yang begitu
megah ini, tak diiringi dengan meningkatnya akhlak mereka terhadap sesama manusia.
Manusia tak lagi memiliki arti yang penting sebagai subjek dalam suatu peradaban. Ia telah
bergeser menjadi objek yang sama nilainya dengan benda yang lain. Mereka dipertontokan
dengan cara saling baku hantam ataupun dimangsa hewan buas hingga mati.
Inilah potret masyarakat yang sakit. Masyarakat yang jenuh dengan kehidupannya
oleh pemerintah dihibur dengan peristiwa berdarah. Semakin berdarah semakin menarik
bagi mereka. Orangtua, anak-anak, laki-laki ataupun wanita hadir berbaur menyaksikan
fenomena yang mengikis rasa simpati dan empati mereka terhadap orang lain. Dan hal ini
legal. Dibiayai oleh pemerintah dengan segala fasilitasnya agar semakin menarik untuk
ditonton.
Maka lihatlah tragedi ini dengan cermat. Bahwa ilmu pengetahuan saja ternyata
belumlah cukup untuk menjamin lahirnya akhlak yang baik. Ia perlu dipandu dengan
keimanan. Agar kehadirannya memberikan manfaat bukan mudharat (kerusakan). Sebab
dengan keimanan, ilmu pengetahuan dapat menjadikan seseorang memiliki adab. Karena,
bagaimana mungkin ia dapat menjadi sombong jika yang memberikan seluruh anugerah ini
adalah dzat Yang Maha Menciptakan ; Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dikatakan pula ia merupakan orang yang senang menjamu dan menghibur orang-
orang fakir miskin. Pada tahun 479 H (1086-1087 M) ia menghapuskan khumus (pajak yang
tidak dikenai sanksi syariat), dan meningkatkan sarana dan prasarana bagi mereka yang
menunaikan ibadah haji. Setelah Hijaz kembali kepada kekuasaan Abbasyiah dari kekuasaan
Fatimiyah pada tahun 468 H/1076 M, ia mengamankan jalur perjalanan haji dari Irak ke
Tanah Suci dengan memberantas perampok-perampok yang mengancam jama’ah haji.
Selain itu, ia juga memprakarsai perluasan Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di
Madinah, serta pendirian tempat-tempat khusus bagi para abid, zahid dan faqih, serta
pendirian rumah sakit di Naisabur (khurasan).
Madrasah Nizamiyah sendiri adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan pada
tahun 1065-1067 oleh Nizam al-Mulk. Madrasah Nizamiyah ini pada mulanya hanya ada di
kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Madrasah Nizamiyah
ini didirikan dekat pinggir sungai Dijlah, di tengah-tengah pasar selasah di Baghdad. Mulai
dibangun pada tahun 457 H/1065 M) dan selesai dibangun pada tahun 459 H (dua tahun
lamanya baru selesai).[4] Pada masa itu, madrasah tersebut dicatat sebagai tempat
pendidikan yang paling masyhur. Kemudian Nizam al-Mulk mengembangkan madrasah
tersebut dengan membuka dan mendirikan madrasah serupa di berbagai kota, baik di
wilayah barat maupun timur dari daerah kekuasaan Islam. Diantaranya didirikan di kota-
kota Balkh, Naisabur, Isfahan, Mosul, Basra dan Tibristan.
Oleh karena itu, kota-kota tersebut kemudian menjadi pusat-pusat studi keilmuan
dan menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu. Para pelajar berdatangan dari berbagai
daerah untuk mencari ilmu di madrasah-madrasah Nizamiyah tersebut. Kesungguhan Nizam
al-Mulk dalam membina madrasah-madrasah yang didirikannya itu tercermin pada
kesediaannya menyisihkan waktunya untuk melakukan kunjungan ke madrasah-madrasah
Nizamiyah di berbagai kota tersebut. Disebutkan, bahwa dalam kesempatan kunjungannya
tersebut, ia dengan penuh perhatian ikut menyimak dan mendengarkan kuliah-kuliah yang
diberikan, sebagaimana ia juga kadang ikut mengemukakan pikiran-pikirannya di depan para
pelajar di madrasah itu.
Referensi :
Badri Yatim, Dr, M.A, 2000, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.