Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM ANALISIS FITOKIMIA


SEMESTER V TAHUN AKADEMIK 2016/2017

ISOLASI SENYAWA PIPERIN DARI EKSTRAK ETANOL CABE JAWA (Piper retrofractum
Vahl.)

Oleh :
Ketua :
Adil Prawira Budiman (NPM.260110140127)
Anggota :
Bela Anisa Fitriani (NPM.260110140092)
Annisa Ridla Saraswati (NPM.260110140125)
Aisyah Nadila (NPM.260110140126)
Fitriani Jati Rahmania (NPM.260110140128)
Aulia Alfiana (NPM.260110140129)
Ike Susanti (NPM.260110140130)
Nadzir Luqmantoro (NPM.260110140139)
Hamid Saeful Kirom (NPM.260110140154)

LABORATORIUM FITOKIMIA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016
ABSTRAK
Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang
sering digunakan sebagai obat tradisional, campuran pada jamu, dan merupakan bumbu
masak. Cabe Jawa memiliki beberapa kandungan seperti, piperin, minyak atsiri, polifenol,
saponin dan lainnya. Pada percobaan ini, kandungan cabe jawa yang diisolasi adalah piperin.
Cabe jawa diekstraksi terlebih dahulu dengan menggunakan metode maserasi dengan etanol
96% . Ekstrak kental diuji penapisan fitokimia. Dimana ekstrak mengandung alkaloid,
monoterpen, sesquiterpen, triterpenoid dan steroid. Setelah itu dilakukan fraksinasi
menggunakan metode ekstraksi cair-cair dan kromatografi kolom. Pelarut polar yang
digunakan adalah air, pelarut non polar yang digunakan adalah n-heksan dan pelarut
semipolar yang digunakan adalah etil asetat. Pada KLT ditemukan senyawa piperin pada fase
etil asetat. Hasil fraksi etil asetat tersebut difraksinasi menggunakan metode kromatografi
kolom. Fase diam yang digunakan adalah silika gel no. 33 sedangkan fase gerak yang
digunakan adalah n-heksan : etil asetat. Elusi yang digunakan adalah elusi gradien dimana
komposisi fase gerak berubah. Dengan komposisi 10:0, 9:1, 8:2, 7:3, 6:4 sampai 5:5. Pada
komposisi fase 6:4 senyawa piperin berada. Senyawa piperin diisolasi dengan KLT preparatif
.KLT preparatif dilakukan dengan pengembang etil asetat : n-heksan (5:5). Kristal senyawa
piperin yang didapatkan pada percobaan ini sebanyak 50 mg.
Kata Kunci : Cabe Jawa, Piperin, Isolasi

i
ABSTRACT
Java chili (Piper retrofractum Vahl.) is a plant native to Indonesia which is often used as a
traditional medicine, mix the herbs, and the spices. Java chili has some content such as
piperine, essential oils, polyphenols, saponins and others. In this experiment, the content of
Java chili isolated is piperine. Java chili extracted in advance using maceration method with
96% ethanol. Condensed extract tested phytochemical screening. Wherein the extract
contains alkaloids, monoterpenes, sesquiterpenes, triterpenoids and steroids. Once it is done
fractionation using liquid-liquid extraction methods and column chromatography. Polar
solvent used is water, non-polar solvent used is n-hexane and semipolar solvent used is ethyl
acetate. Piperine on the KLT compounds found in the phase of ethyl acetate. The stationary
phase used was silica gel no. 33 while the mobile phase used is n-hexane: ethyl acetate.
Elution used was a gradient elution in which the mobile phase composition changed. With
the composition of 10: 0, 9: 1, 8: 2, 7: 3, 6: 4 to 5: 5. Results The ethyl acetate fraction was
isolated using preparative TLC. In the phase composition 6: 4 piperine compound is located.
Then taking piperine compound obtained obtained by preparative TLC with developers ethyl
acetate: n-hexane (5: 5). Piperine compound crystals obtained in this experiment as much as
50 mg.
Keywords : Java Chili, Piperine, Isolated

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan baik jasmani dan rohani
sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun
untuk laporan akhir pada praktikum Fitokimia semester 5 tahun ajaran 2016/2017. Makalah
ini dibuat untuk menjelaskan segala sesuatu yang dikerjakan oleh kami di laboratorium
fitokimia selama satu semester.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan karena terbatasnya
referensi yang kami miliki serta kurangnya wawasan yang kami miliki, oleh karena itu kami
ucapkan terimakasih kepada :
1. Ferry Ferdiansyah, S.Si , Apt. selaku dosen pengampu Fitokimia.
2. Naeli Farhaty dan Uly Aulia Ulfah selaku asisten Laboratorium Fitokimia.
3. Teman-teman angkatan 2014.
Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Kami terbuka
dengan lapang dada menerima segala kritikan, tanggapan, dan saran-saran yang bersifat
membangun dari pembaca dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Jatinangor, 30 Desember 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK (Indonesia dan Inggris) I
KATA PENGANTAR III
DAFTAR ISI IV
DAFTAR TABEL VI
DAFTAR GAMBAR VII
DAFTAR LAMPIRAN IX
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Praktikum 2
1.4 Manfaat Praktikum 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Botani Tanaman 3
2.1.1 Klasifikasi Tanaman 3
2.1.2 Nama Daerah 3
2.1.3 Habitat 3
2.1.4 Morfologi 3
2.1.5 Makroskopik 4
2.1.6 Mikroskopik 5
2.2 Tinjauan Kimia Tanaman 6
2.2.1 Kandungan Kimia 6
2.3 Tinjauan Farmakologi Tanaman 7
2.3.1 Empiris 7
2.3.2 Uji Pra-Klinik 8
2.3.3 Uji Klinik 9
2.4 Tinjauan Farmakognosi Tumbuhan 9
2.3.1 Parameter Non-Spesifik 9
2.3.1 Parameter Spesifik 9
2.5 Tinjauan Metode 10
2.5.1 Ekstraksi 10
2.5.2 Pemeriksaan Parameter Standar Simplisia 11

iv
2.5.3 Skrinning Fitokimia Cabe Jawa 12
2.5.4 Pemeriksaan Parameter Standar Ekstrak 12
2.5.5 Ekstraksi Cair-Cair 16
2.5.6 Kromatografi Kolom 17
2.5.7 KLT Preparatif 18
III. METODE PRAKTIKUM
3.1 Alat 20
3.2 Bahan 20
3.3 Tahapan Praktikum 20
3.3.1 Penyiapan Simplisia 20
3.3.2 Skrinning Fitokimia Simplisia 20
3.3.3 Ekstraksi 22
3.3.4 Fraksinasi 23
3.3.5 Kromatografi Lapis Tipis 23
3.3.6 Isolasi 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Pembahasan Praktikum 26
4.1.1 Hasil Skrinning Fitokimia Simplisia 26
4.1.2 Ekstraksi 29
4.1.3 Fraksinasi 30
4.1.4 Isolasi 32
4.1.5 KLT Preparatif 34
4.1.6 KLT Dua Dimensi 35
4.1.7 Kristalisasi 36
4.2 Faktor Pendukung dan Penghambat Praktikum 37
4.2.1 Faktor Pendukung 37
4.2.2 Faktor Penghambat 37
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 38
5.2 Saran 38
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 42

v
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Parameter Non-Spesifik Ekstrak Piperis retrofracti Fructus 9

Tabel 2. Parameter Spesifik Ekstrak Piperis retrofracti Fructus 10

Tabel 3. Skrinning Fitokimia Cabe Jawa 12

Tabel 4. Skrinning Fitokimia Simplisia Piper retrofractum Vahl. 28

Tabel 5. Hasil KLT Fraksi 32

Tabel 6. Hasil Pemantauan Kolom 34

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Makroskopik Piperis retrofracti Vahl. 4

Gambar 2. Mikroskopik Piperis retrofracti 6

Gambar 3. Struktur Senyawa Piperin 7

Gambar 4. Hasil Skrining Fitokimia Alkaloid 26

Gambar 5. Hasil Skrining Fitokimia Flavanoid 27

Gambar 6. Hasil Skrining Fitokimia Tanin 27

Gambar 7. Hasil Skrining Fitokimia Saponin 27

Gambar 8. Hasil Skrining Fitokimia Polifenol 27

Gambar 9. Hasil Skrining Fitokimia Monoterpen dan Sesquiterpen 28

Gambar 10. Hasil Skrining Fitokimia Steroid dan Triterpenoid 28

Gambar 11. Hasil Skrining Fitokimia Kuinon 28

Gambar 12. Hasil KLT Fraksi n-heksan pada 254 nm 32

Gambar 13. Hasil KLT Fraksi n-heksan pada 366 nm 32

Gambar 14. Hasil KLT Fraksi Etil Asetat pada 254 nm 32

Gambar 15. Pemantauan Kromatografi Kolom 34

Gambar 16. Pemantauan Kromatografi Kolom 34

Gambar 17. Pemantauan Kromatografi Kolom 34

Gambar 18. Hasil KLT Preparatif 254 nm 35

Gambar 19. Hasil KLT Preparatif 366 nm 35

Gambar 20. Isolat 35

vii
Gambar 21. Pemantauan Hasil Isolasi 36

Gambar 22. Hasil KLT Dua Dimensi 37

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Foto Simplisia, Ekstrak Kental, dan Isolat Murni Piperin 42

Lampiran 2. Susunan Kerja Kelompok 44

Lampiran 3. Pertanyaan dan Jawaban Hasil Presentasi Praktikum 47

ix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.) banyak digunakan untuk bahan baku
pembuatan obat tradisional, obat modern dan untuk campuran minuman. Rasa pedas
yang dikeluarkan buahnya berasal dari senyawa piperine. Bagian yang dapat
dimanfaatkan adalah buah yang sudah tua tetapi belum masak, akar, dan daun yang
dikeringkan (Winarto, 2003).
Buah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.) mengandung piperin, kavisin, piperidin,
piperitin, piperanin, piperilin, asarinin, pellitorin, isobutildeka-trans-2-trans-4-
dienamida, saponin, polifenol, minyak atsiri, asam palmitat, asam tetrahidropiperat
(Mun'im, 2011). Senyawa identitas yang terkandung dalam buah cabe jawa adalah
senyawa piperin (Depkes RI, 2009).
Piperin adalah senyawa alkaloid (Evan, 1997) yang paling banyak terkandung dalam
lada hitam dan semua tanaman yang termasuk dalam famili Piperaceae. Senyawa amida
(piperin) berupa kristal berbentuk jarum, berwarna kuning, tidak berbau, tidak berasa,
lama-kelamaan pedas, larut dalam etanol, asam cuka, benzena, dan kloroform
(Amaliana, 2008). Piperin memiliki manfaat sebagai anti-inflamasi, antiarthritik,
analgesik (Sudjarwo, 2005), depresan sistem safaf pusat dan anticonvulsan (Deepthi et
al., 2012).
Cabe jawa (Piper Retrofractum Vahl.) sangat bermanfaat dalam pengobatan
penyakit. Buah cabe jawa dapat digunakan untuk mengatasi: kejang perut, muntah-
muntah, mulas, disentri, diare, sakit kepala, sakit gigi, batuk, demam, hidung berlendir,
lemah syahwat, sukar melahirkan, neurastenia, dan tekanan darah rendah (Wahyuni
dkk, 2016).
Pada praktikum ini cabe jawa diisolasi senyawa piperin yang dikandungnya. Cabe
jawa diekstraksi dengan metode maserasi kemudian di fraksinasi dengan metode
ekstraksi cair-cair dan kromatografi kolom. Kemudian isolasi menggunakan KLT
preparatif. Senyawa piperin yang didapatkan kemudian dikristalkan.

1
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu :
1. Bagaimanakah cara pembuatan ekstrak etanol buah cabe jawa (Piper retrofractum
Vahl.)?
2. Bagaimana tahapan isolasi senyawa piperin dari ekstrak etanol buah cabe jawa
(Piper retrofractum Vahl.) tersebut?

1.3 Maksud dan Tujuan


Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan, dapat diketahui maksud dan
tujuan yang akan dihasilkan sesuai dengan rencana kegiatan praktikum, yaitu:
1. Mahasiswa(i) dapat mengetahui cara pembuatan ekstrak etanol dari buah cabe jawa
(Piper retrofractum Vahl.).
2. Mahasiswa(i) dapat mengetahui berbagai tahapan dalam mengisolasi senyawa piperin
dari ekstrak etanol dari buah cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.).

1.4 Manfaat
Manfaat yang akan diperoleh berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan praktikum
yang dilakukan, yaitu mahasiswa dapat mengetahui tahapan dalam mengisolasi suatu
senyawa dari suatu ekstrak cabe jawa. Dimulai dari pembuatan ekstrak etanol cabe
jawa, fraksinasi , hingga isolasi senyawa piperin yang ada pada buah cabe jawa (Piper
retrofractum Vahl.).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Botani Tanaman


2.1.1 Klasifikasi Tumbuhan
Piper retrofractum Vahl. merupakan tanaman yang termasuk kingdom
plantae, divisi spermatophyta, subdivisi angiospermae, kelas dicotyledonae,
bangsa piperales, suku piperaceae, dan marga piper (Backer, 1962).

2.1.2 Nama Daerah


Piper retrofractum Vahl. memiliki nama daerah sesuai yakni di daerah
Sumatra dikenal sebagai lada panjang dan cabai jawa. Di daerah Melayu dikenal
sebagai cabai panjang. Di daerah Jawa dikenal sebagai cabean, cabe alas, cabe
jawa, cabe sula, cabi jamo, cabi onggu. Di daerah Madura dikenal sebagai cabi
solah. Di daerah Sulawesi dikenal sebagai Cabia (Depkes RI, 1977).

2.1.3 Habitat
Tumbuh di Jawa, Bali dan Maluku, pada ketinggian 0 m sampai 600 m di
atas permukaan laut (Depkes RI, 1977).

2.1.4 Morfologi
Tumbuhan dengan batang memanjat, melilit atau melata. Daun berbentuk
bundar telur sampai lonjong, pangkal daun berbentuk jantung atau
membundar, ujung daun runcing, bintik-bintik kelenjar terdapat tenggelam di
permukaan bawah; panjang helai daun 8,5 cm sampai 30 cm, lebar helai daun 3
cm sampai 13 cm, panjang tangkai daun 0,5 cm sampai 3 cm. Perbungaan
berupa bulir yang tegak atau sedikit merunduk, bergagang 0,5 cm sampai 2 cm,
daun gagang (bractea) berbentuk bundar telur, panjang 1,5 mm sampai 2 mm,
berwarna kuning waktu antesis, melekat pada gagang hanya pada satu titik saja;
bulir jantan, panjang 2,5 cm sampai 8,5 cm; benangsari 2 kadang-kadang 3,
pendek; bulir betina, panjang 1,5 cm sampai 3 cm; putik sejumlah 2 sampai 3
buah. Buah berbentuk bulat, berwarna merah cerah, biji berukuran 2 mm
sampai 2,5 mm (Depkes RI, 1977). Buah bergaris tengah 4-8 mm; bergagang

3
panjang atau tanpa gagang. Permukaan luar tidak rata, bertonjolan teratur;
warna kelabu sampai cokelat kelabu atau berwarna hitam kelabu sampai hitam;
bau khas; rasa pedas (Depkes RI, 2008).

2.1.5 Makroskopik
Buah merupakan buah majemuk berupa bulir; warna kelabu sampai coklat
kelabu atau berwarna hitam kelabu sampai hitam; bentuk bulat panjang sampai
silindris, bagian ujung agak mengecil; panjang 2 cm sampai 7 cm, garis tengah 4
mm sampai 8 mm; bergagang panjang atau tanpa gagang. Permukaan luar :
tidak rata, bertonjolan teratur. Pada irisan melintang bulir : tampak buah-buah
batu, masing-masing dengan daun pelindung yang tersusun dalam spiral pada
poros bulir; kadang-kadang bagian tengah bulir berongga. Kulit buah : berwarna
coklat tua sampai hitam, kadang-kadang berwarna lebih muda. Kulit biji : warna
coklat; hampir seluruh inti biji terdiri dari perisperm berwarna putih. Buah batu
berbentuk bulat telur, berukuran lebih kurang 2 mm. Daun pelindung :
berbentuk perisai (Depkes RI, 1977).

4
Gambar 1. Makroskopik Piperis retrofracti Vahl. (Depkes RI, 1977).

2.1.6 Mikroskopik
Fragmen pengenal adalah jaringan epikarp, endokarp, endosperm, sel batu,
perisperm dengan butir amilum dan jaringan mesokarp (Depkes RI, 2008).
Perikarp : epikarp dan hipodermis terdapat pada bagian ujung atau pada
bagian luar dari buah. Epikarp terdiri dari sel-sel pipih, bentuk poligonal, berisi
zat berwarna coklat tua. Hipodermis terdiri dari jaringan parenkim dan sel batu,
tunggal atau berkelompok. Sel batu berbentuk hampir isodiametris sampai
persegi panjang, kadang-kadang dengan bagian ujung agak meruncing; dinding
sel tebal, berwarna kuning; saluran noktah jelas, lumen cukup lebar, berlignin.
Mesokarp merupakan sel-sel parenkimatik, berisi butir pati kecil, tersebar
diantara parenkim terdapat sel sekresi berisi minyak atau damar minyak
berwarna kuning sampai kuning jingga; lapisan terakhir terdiri dari lapisan sel
minyak yang besar berbentuk persegi, berdinding tipis, berisi butir-butir minyak
bewarna kuning. Endokarp merupakan sel-sel pipih dengan dinding radial tebal
dan noktah lebar, dinding tangensial dalam kurang tebal; ednokarp melekat erat
dengan kulit biji. Kulit biji berwarna coklat, terdiri dari 3 lapisan yang pada irisan
melintang atau membujur batas-batas sel kurang jelas. Perisperm merupakan
lapisan luar terdiri dari sel-sel kecil bersudut-sudut berisi aleuron; lapisan
berikut terdiri dari sel lebih besar, tersusun agak radial, berisi bulir pati
berbentuk poligonal atau membuat berukuran 2 µm sampai 10 µm. Daun
pelindung berupa epidermis berdinding tipis dan mempunyai stomata,
endosperm (Depkes RI, 1977).

5
Epicarp Endocarp Endosperm

Stone cell Perisperm with amylum Mesocarp


molecule

Gambar 2. Mikroskopik Piperis retrofracti (Depkes RI, 2008).

2.2 Tinjauan Kimia Tanaman


Buahnya mengandung minyak atsiri 0,6-0,7%. Di samping itu, terdapat pula alkaloid
(piperin) dan suatu senyawa amida yang mirip dengan senyawa yang terkandung dalam
Piper longumin yaitu piplartin, piplasterin dan sesamin. Pada bagian batang dapat
ditemukan pula harsa, piperin, piplartin, triakontan dan 22,23-dihidro-stigmasterin.
Rimpang mengandung piperin, 0,2-0,25% piperlongumin dan lebih kurang 0,002%
piperlonguminin (Hegnauer, 1966).
Tanaman ini mengandung alkaloid yang mempunyai inti piperidin dengan ikatan
rangkap pada posisi 3,4 (piperlongumin). Akar tanaman ini mengandung 6 macam
alkaloid yaitu, Sefaradion B, Sefaradion A, Sefaranon B, Aristolactam A II, Norsefaradione
B, 2-hidroksi-1-metoksi-4H-dibenzoquinolin-4,5(6H)-dione, 10-amino-4-hidroksi-3-
metoksi fenantrene-1-karboksilik asam laktam (piperolaktam A); 10-amino-4-hidroksi-
2,3-dimetoksifenantrene-1-car-boksilik asam laktam (piperolaktan B) dan 2-hidroksi-1-
metoksi-6-metil-4H-dibenzo-quinoline-4,5 (6H)-dione (piperadion). Disamping itu
ditemukan pula suatu senyawa amida retofraktamida A, B, C, D (Benerji et al, 1985).

6
Gambar 3. Struktur Senyawa Piperin

Senyawa yang memberikan rasa pedas adalah Piperin, 5-(3,4-dioksimetlene fenil)-


2-trans, 4-trans; dan bentuk asam pentadienoik yakni Piperidida. Senyawa-senyawa
homolognya, seperti Piperittin (trienoik), Piperanin (monoenoid) dan Piroperine (analog
dengan pirolidin) dilaporkan hanya memberikan rasa pedas yang amat lemah atau
bahkan tidak memberi rasa pedas (Atal dan BM Kapur, 1982).

2.3 Tinjauan Farmakologi Tanaman


2.3.1 Uji Empiris
Sebagai obat tradisional, buah cabe jawa digunakan sebagai stimulan,
karminatif, tonik, dan perawatan ibu melahirkan (Vinay et al., 2012), juga untuk
mengobati asma, kejang perut, lemah syahwat, penyakit infeksi bakteri (Jamal
et al., 2013), demam, masuk angin, influensa, kolera, obat cacing gelang,
tekanan darah rendah, sakit kepala, bronchitis, sesak nafas, dan radang mulut
(Evizal, 2013), anti perut kembung karena angin (antiflatulent), penghilang
dahak (expectorant), antitusif, antijamur, pembangkit selera makan, dan
menurunkan kolesterol (Kim et al., 2011), meningkatkan pencernaan makanan,
sirkulasi darah, asma, influenza (Chaveerach et al., 2006).
Secara empirik buah cabe jawa (Piper retrofractum L.) telah digunakan
masyarakat sebagai Penghangat tubu, Aprodisiak, Meningkatkan stamina,
Mengobati influenza, Mengobati rematik, Mengobati kolera, Mengobati sakit
kepala, Mengobati bronchitis menahun, Mengobati sesak nafas, Menurunkan

7
panas, Anti inflamasi, Membuat tidur nyenyak, Mengobati sakit perut,
Mengobati beri-beri (Supriadi, 2001).

2.3.2 Uji Pra Klinik


Ekstrak etanol 70% buah cabe jawa yang diteliti efek androgeniknya pada
anak ayam jantan, pada dosis 3,75 mg/100 g mempunyai respon tidak beda
nyata dengan bahan standar metiltestosteron (Andriol) dosis 500 mg/100g
(Wahjoedi et al., 2004). Ekstrak etanol 97% buah cabe jawa meningkatkan
jumlah sel germinal tikus putih jantan (Mutiara et al., 2013), dan memiliki efek
afrodisiaka pada libido tikus jantan (Rahmawati and Bachri, 2012).
Kim, et. al. (2011) berhasil mengisolasi beberapa alkaloid penting dalam
buah P. retrofractum, di antaranya yaitu piperidin, pipernonaline, dan
dehidropipernonaline. Dalam penelitian tersebut piperidin yang
diadministrasikan per oral pada hewan uji (50, 100, atau 300 mg/kg/hari selama
8 minggu) terbukti mampu menurunkan peningkatan berat badan hewan uji
yang diinduksi dengan pakan tinggi.
Penelitian yang dilakukan Matsuda, et. al. (2008) juga membuktikan bahwa
ekstrak metanol buah cabe jawa memiliki efek hepatoprotektif pada tikus yang
mengalami kerusakan hati diinduksi D-galaktosamin (D-GalN)/lipopolisakarida
(LPS). Dari fraksi etil asetat ekstrak tersebut kemudian diisolasi konstituen amida
baru, piperchamamide E, serta dua puluh konstituen amida lain yang telah
diketahui sebelumnya (misalnya piperin, piperchabamide A-D, piperanine) dan
dua konstituen aromatik sebagai konstituen yang memberikan efek
hepatoprotektor. Pada penelitian selanjutnya oleh Matsuda, et. al. diketahui
bahwa konstituen amina dasar dari buah P. retrofractum yaitu piperine pada
dosis 2.5 – 10 mg/kg (p.o) mampu menginhibisi kadar GPT dan GOT serum pada
tikus yang diinduksi dengan D-GalN/LPS. Kemampuan menginhibisi ini
diperkirakan berasal dari penurunan sensitivitas sel-sel hati (hepatosit)
terhadap TNF-a yang mampu menyebabkan kematian hepatosit.
Ekstrak etanol 95% cabe jawa yang diberikan pada tikus jantan dalam dosis
375 mg/100 g BB terbukti memberikan respon androgenik yang setara ketika
dibandingkan dengan metiltestosteron (Andriol) dalam dosis 500 g/100 g BB
(Wahjoedi, et. al., 2004). Penelitian lain menunjukkan sebanyak 2,1 g infusa cabe

8
jawa per 10 g BB tikus mampu menghasilkan efek androgenik dan anabolik.
Isnawati et. al. (2010) juga melakukan penelitian terhadap ekstrak cabe jawa
yang diuji dengan metode Ames. Hasilnya menunjukkan bahwa ekstrak cabe
jawa tidak memberikan efek mutagenik, sehingga aman untuk dikonsumsi.

2.3.3 Uji Klinik


Uji klinik pengaruh ekstrak cabe jawa terhadap efek androgenik pada ma-
nusia telah dilakukan. Moeloek et al. (2010) melaporkan bahwa ekstrak buah
cabe jawa pada dosis 100 mg/hari. Hasilnya penelitian yaitu 7 dari 9 pria
tersebut mengalami peningkatan kadar testosteron darah, ekstrak buah cabe
jawa dapat bersifat/bertindak sebagai fitofarmaka androgenik, yakni dapat
meningkatkan kadar hormon testosteron darah dan libido pada pria hipogonad
serta bersifat aman.

2.4 Tinjauan Farmakognosi Tanaman


2.4.1 Parameter Non-Spesifik

No. Parameter Kriteria


1 Susut pengeringan Tidak lebih dari 10 % (Depkes RI, 2012).
2 Abu total Tidak lebih dari 1,0% (Depkes RI, 2012).
3 Abu tidak larut asam Tidak lebih dari 0,5 % (Depkes RI, 2012).
4 Kadar air Tidak lebih dari 12 % (Depkes RI, 2012).

Tabel 1. Parameter Non-Spesifik Ekstrak Piperis retrofracti Fructus.

2.4.2 Parameter Spesifik

No Parameter Kriteria
1 Identitas Tata nama :
Deskripsi tata nama Piperis retrofracti Fructus Extractum
Senyawa identitas Spissum (ekstrak kental Buah Cabe Jawa).
Piperis retrofracti Fructus. Buah cabe Jawa
(Indonesia) (Depkes RI, 2012)

9
Senyawa identitas : Piperine (Depkes RI,
2012)
2 Organoleptik Ekstrak Bentuk : kental
Warna : coklat gelap, coklat tua
Bau : khas
Rasa : pedas (Depkes RI, 2012)
3 Sari larut air Tidak kurang dari 5,2 % (Depkes RI, 2012)
4 Sari larut etanol Tidak kurang dari 8,3 % (Depkes RI, 2012)
5 Kandungan kimia ekstrak Kadar minyak atsiri tidakkurangdari 4,80 %
v/b (Depkes RI, 2012).
Kadar piperine tidak kurang dari 14,0 %
(Depkes RI, 2012).

Tabel 2. Parameter Spesifik Ekstrak Piperis retrofracti Fructus.

2.5 Tinjauan Metode


2.5.1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.
Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke
dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Setelah diketahui
senyawa aktif yang dikandung oleh simplisia, akan mempermudah pemilihan
pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Simplisia yang lunak seperti rimpang dan
daun mudah ditembus oleh pelarut, karena itu pada proses ekstraksi tidak perlu
diserbuk sampai halus. Simplisia yang keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar
sulit untuk ditembus oleh pelarut, karena itu perlu diserbuk sampai halus (
Depkes RI, 2000).
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari
akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung
zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara
larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat
didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan

10
konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Maserasi digunakan untuk
penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan
penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari,
tidak mengandung benzoin, stirak dan lain-lain. Cairan penyari yang digunakan
dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelaurt lain. Keuntungan cara
penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang
digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah
pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna (Depkes RI, 1986).

2.5.2 Pemerikasaan Parameter Standar Simplisia


a. Identifikasi Simplisia.
Nama Tumbuhan : Cabe Jawa
Nama Latin : Piper retrofractum
Nama Simplisia : Piperis Retrofracti Fructus
Kandungan Senyawa : Minyak atsiri ≥ 0.40%, Piperin (C17H9NO3) ≥ 1.10 %,
Senyawa alkaloid golongan piridin (Ministry of Health Republic of
Indonesia, 2012).

b. Deskripsi Tumbuhan.
Tumbuhan memanjat, menjalar atau melilit, panjang bisa mencapai 10
m. Akar melekat pada pohon lain. Daun tunggal, bentuk elip, ujung runcing,
tepi rata, permukaan atas mengkilat. Bunga berkelamin tunggal, bentuk
bulir memanjang, bulir jantan lebih pendek dari yang betina. Buah
majemuk, berupa bulir, bulat memanjang 2-7 cm, memengecil di bagian
atas, ketika muda berwarna hijau kemudian menjadi merah. Perbanyaan
dengan biji atau stek batang (Rostiana et al., 1998).

c. Makroskopik.
Bentuk globular, panjang dan oval hingga silinder dan ujung yang
meruncing; panjang 2-7 cm, diameter 4-8 mm; dengan atau tanpa batang;
permukaan luar kasar, berbentuk granular; warna abu coklat atau abu
hitam atau hitam; bau spesifik; rasa pedas (Rostiana et al., 1998).

11
2.5.3 Skrining Fitokimia Cabe Jawa
No Jenis Pemeriksaan Hasil
1 Alkaloid ++++
2 Flavonoid ++++
3 Tanin -
4 Saponin +
5 Triterpenoid ++++
6 Steroid -
7 Glikosida ++++
8 Fenolik ++++
(Hayani, 2006).
Tabel 3. Skrinning Fitokimia Cabe Jawa

2.5.4 Pemeriksaan Parameter Standar Ekstrak.


Parameter Non Spesifik (Ditjen BPOM, 2000) :
a. Susut Pengeringan
Pengertian dan prinsip : Pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperature 105o C selama 30 menit atau sampai berat konstan, yang
dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak
mengandung minyak menguap/atsiri dan sisa pelarut organic menguap)
identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di
atmosfer/lingkungan udara terbuka.
Tujuan : Memberikan batasan maksimal (rentang) tentang besarnya
senyawa yang hilang pada proses pengeringan.
Nilai : Minimal rentang yang diperbolehkan. Terkait dengan kemurnian
dan kontaminasi.

b. Bobot Jenis
Pengertian dan prinsip : Adalah masa per satuan volume pada suhu kamar
tertentu (250C) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat
lainnya.
Tujuan : Memberikan batasan tentang besarnya masa per satuan volume
yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai ekstrak pekat

12
(kental) yang masih dapat dituang.Memberikan gambaran kandungan kimia
terlarut.
Nilai : Minimal atau rentang yang diperbolehkan. Terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi.

c. Kadar Air
Pengertian dan prinsip : Pengukuran kandungan air yang berada di dalam
bahan dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara titrasi, destilasi atau
gravimetri.
Tujuan : Memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air di dalam bahan.
Nilai : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan. Terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi.

d. Kadar Abu
Pengertian dan prinsip : Bahan dipanaskan pada temperatur dimana
senyawa organik dan turunanya terdestruksi dan menguap. Sehingga tinggal
unsur mineral dan anorganik.
Tujuan : Memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal
yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.
Nilai : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan. Terkait dengan
kemurnian dan kontaminasi.
a. Sisa Pelarut
Pengertian dan prinsip : Menentukan kandungan sisa pelarut
tertentu (yang memang ditambahkan) yang secara umum dengan
kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan pelarutnya,
misalnya kadar alkohol.
Tujuan : Memberikan jaminan bahwa selama proses tidak
meninggalkan sisa pelarut yang memang seharusnya tidak boleh ada.
Sedangkan untuk ekstrak cair menunjukkan jumlah pelarut (alkohol)
sesuai dengan yang ditetapkan.

13
Nilai : Maksimal yang diperbolehkan, namun dalam hal pelarut berbahaya
seperti kloroform nilai harus negatif sesuai batas deteksi instrumen.
Terkait dengan kemurnian dan kontaminasi

b. Residu Pestisida
Pengertian dan prinsip : Menentukan kandungan sisa pestisida
yang mungkin saja pernah ditambahkan atau mengkontaminasi pada
bahan simplisai pembuatan ekstrak.
Tujuan : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung
pestisida melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi
kesehatan.
Nilai : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan. Terkait dengan
kontaminasi sisa pertanian.

c. Cemaran Logam Berat


Pengertian dan prinsip : Menentukan kandungan logam berat,
secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid.
Tujuan : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung
logam berat tertentu (Hg, Pb, Cd, dll) melebihi nilai yang ditetapkan
karena berbahaya (toksik) bagi kesehatan.
Nilai : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan

d. Cemaran Mikroba
Pengertian dan prinsip : Menenetukan (identifikasi) adanya mikroba yang
patogen secara analisis mikrobiologis.
Tujuan : Memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak boleh
mengandung mikroba patogen melebihi batas yang ditetapkan karena
berpengaruh pada stabilitas ekstrak dan berbahaya (toksisk) bagi
kesehatan.
Nilai : Maksimal atau rentang yang diperbolehkan.

14
Parameter Spesifik (Ditjen BPOM, 2000) :
a. Identitas
Pengertian dan prinsip :
 Deskripsi tata nama
1. Nama ekstrak (generik, dagang, paten)
2. Nama latin tumbuhan (sistematika botani)
3. Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb)
4. Nama Indonesia tumbuhan
 Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas, artinya senyawa tertentu
yang menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu.
Tujuan : Memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari
senyawa identitas.

b. Organoleptik
Pengertian dan prinsip : Penggunaan pancaidera mendeskripsikan bentuk,
warna, bau, rasa.
Tujuan : Pengenalan awal yang sederhana seobyektif mungkin.

c. Senyawa Terlarut dalam Pelarut Tertentu


Pengertian dan prinsip : Melarutkan ekstrak dengan pelarut (alkohol atau
air) untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah senyawa
kandungan secara gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur senyawa
terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, metanol.
Tujuan : Memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan.
Nilai : Nilai minimal atau rentang yang ditetapkan terlebih dahulu.

d. Kadar Total Golongan Kandungan Kimia


Pengertian dan prinsip : Dengan penerapan metode spektrofotometri,
titrimetric, volumetric, gravimetric atau lainnya, dapat ditetapkan kadar
golongan kandungan kimia. Metode harus sudah teruji validitasnya,
terutama selektivitas dam batas linearitas.
Tujuan : Memberikan informasi kadar golongan kandungan kimia sebagai
parameter mutu ekstrak dalam kaitannya dengan farmakologis.

15
Nilai : Minimal atau rentang yang telah ditetapkan.

e. Kadar Kandungan Kimia Tertentu


Pengertian dan prinsip : Dengan tersedianya suatu kandungan kimia yang
berupa senyawa identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan
kimia lainnya, maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan
penetapan kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat
digunakan adalah Densitometer, Kromatografi Gas, Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi atau instrumen lain yang sesuai. Mtode penetapan kadar harus
diuji terlebih dahulu validitasnya, yaitu batas deteksi, selektivitas, linearitas,
ketelitian, ketepatan dan lain-lain.
Tujuan : Memberikan data kadar kandungan kimia tertentu sebagai
senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung jawab pada efek
farmakologi. Contoh adalah penetapan kadar andrografolid dalam ekstrak
sambiloto secara HPLC atau penetapan kadar pinostrobin dalam ekstrak
temu kunci secara densitometri.
Nilai : Minimal atau rentang kadar yang telah ditetapkan.

2.5.5 Ektraksi Cair-Cair.


Ekstraksi cair-cair adalah proses pemisahan zat terlarut di dalam dua
macam zat pelarut yang tidak saling bercampur (perbandingan konsentrasi zat
terlarut dalam pelarut organik dan pelarut air). Hal tersebut memungkinkan
karena adanya sifat senyawa yang dapat terlarut dalam air dan ada pula
senyawa yang dapat larut dalam pelarut organik (Depkes RI, 2000).
Prinsip dari ekstraksi cair-cair adalah pemisahan senyawa berdasarkan
tingkat kepolarannya menggunakan dua pelarut yang tidak saling bercampur.
Prinsip ini dikenal dengan “like dissolve like”, artinya pelarut akan melarutkan
senyawa yang tingkat kepolarannya sama dengan pelarut tersebut (Depkes RI,
2000).
Pada ekstraksi cair-cair, satu komponen bahan atau lebih dari suatu
campuran dipisahkan dengan bantuan pelarut. Ekstraksi cair-cair terutama
digunakan apabila pemisahan campuran dengan cara destilasi tidak mungkin
dilakukan (misalnya karena pembentukan azeotrop atau karena kepekaannya

16
terhadap panas) atau tidak ekonomis. Seperti ekstraksi padat-cair, ekstraksi
cair-cair selalu terdiri dari sedikitnya dua tahap, yaitu pencampuran secara
intensif bahan ekstraksi dengan pelarut dan pemisahan kedua fase cair itu
sesempurna. Ekstraksi cair-cair (liquid extraction, solvent extraction): solut
dipisahkan dari cairan pembawa (diluen) menggunakan solven cair. Campuran
diluen dan solven ini adalah heterogen (immiscible, tidak saling campur),
jika dipisahkan terdapat dua fase, yaitu fase diluen (rafinat) dan fase solven
(ekstrak). Perbedaan konsentrasi solut di dalam suatu fasa dengan konsentrasi
pada keadaan setimbang merupakan pendorong terjadinya pelarutan
(pelepasan) solut dari larutan yang ada (Depkes RI, 2000).

2.5.6 Kromatografi Kolom


Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal yang
pertama kali di lakukan oleh D.T.Davy yaitu untuk membedakan komposisi
minyak bumi. Ditinjau dari mekanismenya kromatografi kolom merupakan
kromatografi serapan atau adsorbsi. Kromatografi kolom digolongkan kedalam
kromatografi cair-padat (KCP) kolom terbuka. Pemisahan kromatografi kolom
adsorpsi didasarkan pada adsorpsi komponen-komponen campuran dengan
afinitas berbeda-beda terhadap permukaan fase diam. Kromatografi kolom
adsorpsi termasuk pada cara pemisahan cair-padat. Substrat padat (adsorben)
bertindak sebagai fase diam yang sifatnya tidak larut dalam fase cair. Fase
bergeraknya adalah cairan (pelarut) yang mengalir membawa komponen
campuran sepanjang kolom. Prinsip yang mendasari kromatografi kolom
adsorpsi ialah bahwa komponen-komponen dalam zat contoh yang harus
diperiksa mempunyai afinitas yang berbeda-beda terhadap adsorben dalam
kolom. Apabila kita mengalirkan cairan (elutor) secara kontinyu melalui kolom
yang berisi zat contoh yang telah diadsorpsikan oleh penyarat kolom, maka yang
pertama-tama dihanyutkan elutor ialah komponen yang paling lemah terikat
kepada adsorben. Komponen-komponen lainnya akan dihanyutkan menurut
urutan afinitasnya terhadap adsorben, sehingga terjadi pemisahan daripada
komponen-komponen tersebut (Depkes RI, 2000).
Pemisahan tergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang
antarmuka di antara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan

17
relatif komponen pada fase bergeraknya. Antara molekul-molekul komponen
dan pelarut terjadi kompetisi untuk teradsorpsi pada permukaan adsorben
sehingga menimbulkan proses dinamis. Keduanya secara bergantian tertahan
beberapa saat di permukaan adsorben dan masuk kembali pada fase bergerak.
Pada saat teradsorpsi komponen dipaksa untuk berpindah oleh aliran fase
bergerak yang ditambahkan secara kontinyu. Akibatnya hanya komponen yang
mempunyai afinitas lebih besar terhadap adsorben akan secara selektif
tertahan. Komponen dengan afinitas paling kecil akan bergerak lebih cepat
mengikuti aliran pelarut (Depkes RI, 2000).

2.5.7 KLT Preparatif


Kromatografi kolom merupakan teknik kromatografi yang paling awal yang
pertama kali di lakukan oleh D.T.Davy yaitu untuk membedakan komposisi
minyak bumi. Ditinjau dari mekanismenya kromatografi kolom merupakan
kromatografi serapan atau adsorbsi. Kromatografi kolom digolongkan kedalam
kromatografi cair-padat (KCP) kolom terbuka. Pemisahan kromatografi kolom
adsorpsi didasarkan pada adsorpsi komponen-komponen campuran dengan
afinitas berbeda-beda terhadap permukaan fase diam. Kromatografi kolom
adsorpsi termasuk pada cara pemisahan cair-padat. Substrat padat (adsorben)
bertindak sebagai fase diam yang sifatnya tidak larut dalam fase cair. Fase
bergeraknya adalah cairan (pelarut) yang mengalir membawa komponen
campuran sepanjang kolom. Prinsip yang mendasari kromatografi kolom
adsorpsi ialah bahwa komponen-komponen dalam zat contoh yang harus
diperiksa mempunyai afinitas yang berbeda-beda terhadap adsorben dalam
kolom. Apabila kita mengalirkan cairan (elutor) secara kontinyu melalui kolom
yang berisi zat contoh yang telah diadsorpsikan oleh penyarat kolom, maka yang
pertama - tama dihanyutkan elutor ialah komponen yang paling lemah terikat
kepada adsorben. Komponen-komponen lainnya akan dihanyutkan menurut
urutan afinitasnya terhadap adsorben, sehingga terjadi pemisahan daripada
komponen-komponen tersebut (Depkes RI, 2000).
Pemisahan tergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang
antarmuka di antara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan
relatif komponen pada fase bergeraknya. Antara molekul-molekul komponen

18
dan pelarut terjadi kompetisi untuk teradsorpsi pada permukaan adsorben
sehingga menimbulkan proses dinamis. Keduanya secara bergantian tertahan
beberapa saat di permukaan adsorben dan masuk kembali pada fase bergerak.
Pada saat teradsorpsi komponen dipaksa untuk berpindah oleh aliran fase
bergerak yang ditambahkan secara kontinyu. Akibatnya hanya komponen yang
mempunyai afinitas lebih besar terhadap adsorben akan secara selektif
tertahan. Komponen dengan afinitas paling kecil akan bergerak lebih cepat
mengikuti aliran pelarut (Depkes RI, 2000).

19
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat
Peralatan yang digunakan dalam praktikum Fitokimia yaitu botol kaca, cawan
penguap, cawan petri, chamber, corong, desikator (pyrex), gelas ukur (pyrex), gunting,
hairdryer, karet, kertas saring, kolom, maserator, mikroskop, mortar (halderwanger),
neraca analitik (mettle toledo), oven, penangas air (memmer), pipa kapiler, pipet tetes,
plat klt, plastik wrap (kiln pak), rotary vaporator (ika rv 10 basic), spatel,
spektrofotometri UV-Vis, tabung reaksi (pyrex), rak tabung reaksi, tampah, tabung vial.

3.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum Fitokimia yaitu ammonia, amil alcohol,
asam klorida 2N, asam sulfat pekat, aquadest, besi (III) klorida, etanol, eter, n-heksan,
etil asetat, amil alkohol, kloroform, larutan gelatin 1%, larutan vanillin 10%, FeCl3 1%,
KOH 5%, methanol, cabe jawa, pereaksi Dragendorf, pereaksi Mayer, pereaksi
Liebermann-Burchard.

3.3 Desain dan Tahapan Praktikum


Dikerjakan di Laboratorium Fitokimia Fakultas Farmasi Unpad

3.3.1 Penyiapan Simplisia


Ditimbang simplisia Cabe Jawa yang telah dirajang sebanyak 2 kg,
dihaluskan menggunakan mortir atau blender hingga menjadi serbuk.
Kemudian hasil perajangan ditimbang beratnya.

3.3.2 Skrinning Fitokimia Simplisia


Alkaloid
1 gram serbuk simplisia dibasakan dengan 10 ml ammonia 10%, digerus
dengan mortar. Ditambahkan 5 ml kloroform, digerus kuat. Lapisan kloroform,
dipipet sambil disaring menggunakan pipet yang disumbat dengan kapas,
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Fasa kloroform kemudian ditambahkan

20
HCl 2N. Kocok kuat hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam dipipet, kemudian
dibagi menjadi 3 bagian :
 Filtrat 1 :Ditambahkan reagen mayer, terjadinya kekeruhan atau edapan
putih menunjukkan adanya alkaloid.
 Filtrat 2 : Ditambahkan reagen dragendorf, terjadinya endapan jingga
coklat menunjukkan adanya alkaloid.
 Filtrat 3 : Digunakan sebagai blanko.
Flavonoid
Serbuk simplisia dilarutkan dengan air lalu dididihkan selama 5 menit
kemudian disaring. Filtrat yang dihasilkan ditambahkan serbuk Mg dan 5 ml HCl
2N. Kemudian tambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuat dan biarkan hingga
memisah. Terbentuknya warna kuning hingga merah yang dapat ditarik dengan
amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid.
Polifenol
Serbuk simplisia dalam tabung reaksi dididihkan dalam air selama 5 menit,
kemudian disaring dan diambil filtratnya. Ke dalam filtrat ditambahkan larutan
pereaksi FeCl3 1%. Terbentuknya warna biru-hitam menunjukkan adanya
senyawa polifenol.
Tanin
Serbuk simplisia dilarutkan dengan air kemudian dididihkan selama 5
menit. Larutan disaring dan diambil filtratnya. Filtrat yang sudah diambil
kemudian ditambahkan dengan larutan gelatin 1%, terbentuknya endapan
putih menunjukkan adanya tanin.

Kuinon
Serbuk simplisia dilarutkan dengan air kemudian dididihkan selama 5
menit. Larutan disaring dan diambil filtratnya. Filtrat yang sudah diambil
kemudian ditambahkan dengan larutan KOH 5%, terbentuknya warna merah
menunjukkan adanya golongan kuinon.
Saponin
Serbuk simplisia dilarutkan dengan air kemudian dididihkan selama 5
menit. Larutan disaring dan diambil filtratnya. Filtrat kemudian dikocok vertikal
dalam tabung reaksi selama 10 detik. Terbentuknya busa persisten pada

21
pendiaman selama lebih kurang 10 menit, menunjukkan adanya golongan
saponin.
Monoterpen dan Seskuiterpen
1 gram simplisia digerus dan ditambahkan eter, kemudian diambil
filtratnya. Filtrat ditempatkan dalam cawan penguap, kemudian dibiarkan
menguap hingga tersisa residu. Residu kemudian ditambahkan larutan vanillin
sulfat, terbentuknya warna-warna menunjukkan adanya monoterpenoid dan
sesquiterpenoid.
Steroid dan Triterpen
1 gram serbuk simplisia digerus dan ditambahkan eter kemudian diambil
filtratnya. Filtrat ditempatkan dalam cawan penguap, kemudian dibiarkan
menguap hingga tersisa residu. Pereaksi Liebermann Burchard diteteskan 2
hingga 3 tetes ke dalam residu. Terbentuknya warna ungu menunjukkan adanya
golongan triterpenoid, sedangkan terbentuknya warna biru hijau menunjukkan
adanya golongan steroid.

3.3.3 Ekstraksi
Maserasi
Maserator dibersihkan kemudian dilapisi dengan kapas secukupnya.
Timbang simplisia yang sudah menjadi serbuk (100 gram untuk skrinning
fitokimia dan sisanya digunakan untuk maserasi). Simplisia untuk maserasi
dimasukkan ke dalam maserator. Tambahkan pelarut (etanol) 70% ke dalam
maserator sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga simplisia terendam (1-1,5
L). Rendam simplisia yang telah diberi etanol selama 1x24 jam. Setelah 1x24
jam, kemudian diambil maseratnya. Setelah itu ditambahkan etanol kembali
hingga terendam (pergantian ke 1). Rendam selama 1x72 jam. Setelah 1x72
jam, pisahkan maserat dan simplisia kembali. Satukan hasil maserat pertama
dengan maserat kedua. Ampas hasil maserasi kemudian di rendam lagi dengan
etanol sisa evaporasi selama 1x24 jam. Pisahkan maserat dan simplisia kembali.
Satukan hasil maserat pertama, maserat kedua, dengan maserat ketiga.
Evaporasi
Tabung penampung pelarut pada rotavapor disiapkan dan dimasukkan
maserat ke dalam labu alas bundar. Masukkan labu alas bundar ke dalam

22
rotavapor dan kundi. Turunkan rotavapor sampai labu alas bundar terendam
air sebagian. Rotavapor dinyalakan. Diatur suhu heater 70oC (Suhu untuk
menguapkan etanol). Vakum dinyalakan. Ditunggu maserat hingga hampir
mengental. Saat sudah hampir mengental, matikan alat dan keluarkan ekstrak
hampir kentalnya. Dimasukkan ekstraknya ke dalam cawan penguap. Kentalkan
dengan waterbath.

3.3.4 Fraksinasi
500 gram ekstrak kental ditimbang dan didihkan dengan 500 ml air.
Kemudian ekstrak kental dilarutkan menggunakan air dengan tambahan etanol.
Setelah itu disaring dan didapatkan filtrat yang kemudian dimasukkan ke dalam
corong pisah. 500 ml n-heksan ditambahkan kedalam corong piisah dan dikocok
selama 10 menit lalu didiamkan selama ± 12 jam. Fase n-heksan yang dihasilkan
kemudian ditampung dan dimasukkan bersama fase air kedalam corong pisah
lalu ditambahkan 500 ml n-heksan segar dan dikocok selama 10 menit,
didiamkan selama ± 12 jam. Prosedur yang sama dilakukan dengan
penambahan 500 ml etil asetat untuk mendapatkan fraksi etil.

3.3.5 Kromatografi Lapis Tipis


Hasil fraksinasi (n-heksan dan etil asetat) diuapkan dengan menggunakan
rotavapor hingga kering. Fraksi kental ini kemudian ditotolkan pada plat KLT.
Selain fraksi n-heksan dan etil asetat, piperin standar juga ditotolkan sebagai
pembanding. Kemudian plat KLT ini dikembangkan dalam eluen untuk fraksi etil
yaitu kloroform : metanol (9:1) dan untuk fraksi n-heksan yaitu n-heksan : etil
asetat (9:1) yang telah jenuh. Setelah plat KLT jenuh, Rf sampel diamati dan
dibandingkan dengan Rf standar. Rf yang sama atau hampir sama menunjukkan
bahwa fraksi tersebut mengandung piperin.

3.3.6 Isolasi
Kromatografi Kolom
Ekstrak kental dari fraksi n-heksan dan etila setat diencerkan dengan
sedikit etanol, kemudian diberikan silica gel 34. Digerus hingga membentuk
serbuk kering. Untuk lebih menjamin kekeringan dari serbuk, sampel

23
dievaporasi dengan rotavapor. Kemudian, masukkan kapas tipis ke dasar kolom,
lalu sebanyak 150 gram silica 33 dimasukkan dalam kolom. Tambahkan sampel
yang telah menjadi serbuk ke dalam tabung kolom setinggi 1 cm. Pada
permukaan atas silica, diberikan kertas saring. Ekstrak dengan penambahan 200
ml n-heksan (10:0) dimasukkan ke dalam kolom. Kemudian keran dibuka, hasil
dari fraksi ditampung dalam botol kaca. Perlakuan yang sama dilakukan dengan
penambhan n-heksan dan etil asetat menggunakan perbandingan (9:1, 8:2, 7:3,
6:4, dan seterusnya hingga tidak lagi terdeteksi adanya metabolit piperin
didalamnya.
Kromatografi Lapis Tipis
Isolat ditampung lalu dikentalkan dengan rotavapor, kemudian di totolkan
pada plat KLT, begitu juga dengan piperin standar. Plat KLT dikembangkan
dalam eluen n-heksan : etil asetat yang telah jenuh. Rf dihitung lalu
dibandingkan. Rf yang berdekatan menunjukkan isolate mengandung piperin.

KLT Preparatif
Hasil subfraksi yang telah diuapkan dibagi menjadi 3 kelompok :
1. Gabungan fraksi 13 – fraksi 18
2. Fraksi 19-21
3. Fraksi 22-23
Kemudian dilakukan KLT dengan menggunakan fase gerak n-heksan : etil
asetat dengan perbandingan 6:4 dengan volume 10 ml. Lalu pada plat KLT
ditotolkan baku pembanding piperin, botol 1, botol 2, dan botol 3. Jarak antar
spot yaitu 0,5 cm. Setelah itu plat KLT dilihat di UV 254 nm dan 366 nm, lalu
disemprotkan penampak bercak yaitu H2SO4. Botol subfraksi diuapkan hingga
pekat kemudian ditotolkan pada plat silika hingga merata pada semua sisi batas
bawah (batas bawah dan batas atas dari plat KLT yaitu 2 cm). Lalu dimasukkan
kedalam chamber yang telah dijenuhkan dengan n-heksan : etil asetat
perbandingan 6:4 dengan volume 150 ml. Setelah terelusi sempurna hingga
mencapai batas atas, plat silika dilihat pada lampu UV. Bagian yang berwarna
kuning tersebut digores dengan menggunakan ujung spatel dan kemudian
dikerok. Kedua bagian spot itu dikerok dan dipisahkan. Kerokan yang berwarna
kuning dipisahkan dan masing-masing dilarutkan dengan methanol. Lalu

24
dilakukan penyaringan, dan hasil saringan dimasukkan kedalam vial dan diberi
label untuk menandakan bagian atas dan bagian bawah yang menunjukkan
adanya piperin. Kemudian hasil saringan yang telah ada dalam vial, dilakukan
uji KLT untuk melihat vial yang mana yang mengandung piperin dan yang tidak
mengandung piperin (dengan n-heksan : etil asetat perbandingan 6:4 volume
10ml). Pada plat KLT ditotolkan baku pembanding piperin, vial bagian atas, dan
vial bagian bawah. Lalu dimasukkan kedalam chamber yang telah jenuh dan
sudah mencapai batas atas. Kemudian diamati dibawah lampu UV 254 nm dan
366 nm.
Kromatografi Lapis Tipis 2 Arah
Plat KLT dibuat dengan ukuran 5x5 cm, ke 4 sisinya diukur 1 cm dari batas
bawah hingga membentuk persegi. Plat KLT ditotolkan dengan menggunakan
vial bagian atas pada jarak 1 cm dari bawah. KLT 2 arah dilakukan dengan
menggunakan 2 pengembang :
1. Pengembang 1 = n-heksan : etil asetat (2:8)
Plat KLT yang sudah ditotolkan dimasukkan dalam chamber. Setelah
terelusi sempurna maka plat KLT dikeluarkan dari chamber dan dilihat
spotnya dibawah lampu UV 254 nm dan 366 nm lalu ditandai.
2. Pengembang 2 = toluen : etil asetat (3:7)
Plat KLT diputar dimana bagian spot hasil elusi dari pengembang pertama
menjadi bagian bawah pada pengembang kedua. Perlakuan yang sama
dilakukan seperti pada pengembang pertama.
Setelah didapatkan hasil spot pengembang 1 dan pengembang 2 lalu
dibandingkan nilai Rf dari keduanya (Jika nilai Rf pengembang 1 dan
pengembang 2 sama dan diperoleh spot tunggal, maka ini menandakan bahwa
senyawa tersebut murni adalah piperin. Tetapi jika nilai Rf sama, maka hasil
yang diperoleh dalam vial dilakukan proses kristalisasi sehingga diperoleh isolat
murni piperin).

25
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Hasil dan Pembahasan Praktikum


4.1.1 Hasil Skrinning Fitokimia Simplisia
Skrinning Fitokimia Simplisia Piper retrofractum Vahl.
Senyawa Uji Hasil Literatur Keterangan
(LIPI)
Alkaloid + Sesuai

+
Flavonoid - Sesuai

26
Tanin + Tidak Sesuai

-
Saponin - Sesuai

-
Polifenol - Sesuai

-
Monoterpen dan + Sesuai
Sesquiterpen

27
Steroid dan Steroid (-) Steroid (Sesuai)
Triterpeneoid Triterpenoid (-) Triterpenoid (Tidak
Sesuai)

Steroid (-)
Triterpenoid (+)
Kuinon - Sesuai

(+) Mengandung senyawa uji, (-) Tidak mengandung senyawa uji

Tabel 4. Skrinning Fitokimia Simplisia Piper retrofractum Vahl.

Skrining fitokimia adalah metode analisis untuk menentukan jenis


metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuh-tumbuhan karena sifatnya
yang dapat bereaksi secara khas dengan pereaksi tertentu. Skrining fitokimia
dilakukan melalui serangkaian pengujian dengan menggunakan pereaksi
tertentu, contohnya FeCl3 untuk mendeteksi adanya senyawa polifenol karena
senyawa kimia FeCl3 membentuk kompleks berwarna kuning dengan senyawa
polifenol. Pada uji senyawa tanin, gelatin digunakan untuk medeteksi ada
tidaknya tannin dalam sampel karena tanin dapat menggumpalkan gelatin. Uji
senyawa flavonoid dilakukan dengan menambahkan pereaksi serbuk Mg dan
HCl 2N. Mg dan HCl digunakan untuk mereduksi ikatan glikosida flavonoid
karena dalam tanaman senyawa flavonoid berikatan dengan suatu gula. Agar
flavonoid bisa diidentifikasi, maka ikatan glikosida dengan flavonoid harus putus
sehingga dilakukan reaksi reduksi. Flavonoid yang sudah bebas ditarik oleh amil
alkohol sehingga amil alcohol yang mulanya tidak berwarna menjadi berwarna

28
yang mana warnanya berasal dari flavonoid. Warna yang dihasilkan adalah
warna kuning-merah.
Menurut hasil skrining fitokimia, senyawa yang terdapat pada buah cabe
jawa adalah alkaloid, monoterpenoid, sesquiterpenoid, dan triterpenoid.
Berdasarkan literatur, buah cabe jawa mengandung senyawa tannin, sedangkan
menurut hasil skrining yang dilakukan menunjukan hasil negatif. Hal ini dapat
dikarenakan gelatin yang digunakan sudah rusak sehingga tannin tidak dapat
menggumpalkan gelatin.

4.1.2 Ekstraksi
Sejumlah simplisia buah cabe jawa sebesar sebelum dilakukan ekstraksi
harus melalui tahapan-tahapan untuk memastikan mutu dan kualitas simplisia
benar telah memenuhi standard dan kriteria dari CPOTB yang benar. Kemudian,
dilakukan perajangan simplisia kering dengan tujuan untuk memperkecil ukuran
partikel dari simplisia kering yang ada. Semakin kecil ukuran simplisia
menandakan semakin besar luas permukaan yang ada pada simplisia. Dengan
semakin besarnya luas permukaan yang ada pada simplisia akan mempermudah
proses ekstraksi atau penarikan senyawa-senyawa berguna yang diinginkan dari
dalam simplisia itu sendiri dengan pelarutnya yang sesuai. Semakin besar luas
permukaan menandakan semakin banyak luas daerah yang akan terendam
sempurna dalam pelarut sehingga proses penarikan senyawa lebih baik. Untuk
proses ekstraksi, metode ekstraksi yang dipilih ialah metode maserasi, dimana
simplisia direndam dalam pelarut yang sesuai, yaitu dalam etanol 70%, selama
3 x 24 jam dengan pergantian pelarutnya tiap 1 x 24 jam. Pemilihan waktu
disesuaikan dengan kemampuan pelarut untuk melarutkan bahan yang ada.
Menurut Wibowo dan Sudi (2004) menegaskan bahwa lama waktu proses
ekstraksi sangat berpengaruh terhadap ekstrak yang dihasilkan. Kelarutan
komponen dalam bahan berjalan dengan perlahan sebanding dengan kenaikan
waktu, akan tetapi, setelah mencapai waktu optimal jumlah komponen yang
terambil dari bahan akan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh
komponen-komponen yang terdapat dalam bahan jumlahnya terbatas dan
pelarut yang digunakan mempunyai batas kemampuan untuk melarutkan bahan
yang ada sehingga, walaupun waktu ekstraksi diperpanjang, solute yang ada di

29
bahan sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, 3 hari dianggap cukup untuk menarik
semua komponen yang diinginkan. Setelah didapatkan hasil ekstraksi yang
diinginkan, maka dilanjutkan dengan penguapan pelarut hingga didapatkan
ekstrak kental tanpa pelarut dan murni merupakan sari-sari yang diinginkan dari
buah cabe jawa.

4.1.3 Fraksinasi
Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari
campuran (padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop). Pembagian atau
pemisahan ini didasarkan pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat
akan berada paling dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas.
Fraksinasi yang dilakukan merupakan jenis fraksinasi bertingkat. Fraksinasi
bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton,
benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut.
Prinsip dari ekstraksi cair-cair adalah pemisahan senyawa berdasarkan
tingkat kepolarannya menggunakan pelarut yang tidak saling bercampur, dalam
hal ini pelarut memiliki beda kepolaran. Pelarut yang digunakan berupa n-
heksan yang bersifat nonpolar dan etil asetat yang memiliki sifat semipolar.
Ekstrak etanol pekat yang diperoleh kemudian difraksinasi menggunakan
pelarut non polar yaitu n-heksan dengan perbandingan 1:1. Fraksinasi dilakukan
hingga fraksi n-heksan berwarna bening yang mengindikasikan bahwa semua
senyawa non polar yang terkandung di dalam ekstrak etanol sudah tertarik ke
fraksi n-heksana. Fraksinasi dengan pelarut organik yang bersifat nonpolar
seperti n-heksan bertujuan untuk mengurangi kandungan senyawa-senyawa
yang bersifat nonpolar yang terdapat dalam ekstrak sehingga diharapkan dapat
menyederhanakan tahapan proses isolasi selanjutnya. Hasil dari fraksinasi
diperoleh fraksi n-heksan berwarna kuning jernih dan fraksi air (polar) berwarna
kecokelatan. Fraksinasi dengan pelarut n-heksan dilakukan sebanyak dua kali
fraksinasi. Fraksi polar sisa yang diperoleh kemudian difraksinasi kembali
dengan pelarut semipolar yaitu etil asetat dengan perbandingan 1:1. Fraksinasi
dilakukan hingga fraksi etil asetat berwarna bening yang mengindikasikan
bahwa semua senyawa semipolar yang terkandung di dalam fraksi etanol sudah

30
tertarik ke fraksi etil asetat. Fraksinasi dengan etil asetat dilakukan hingga dua
kali tahapan.
Sebelum dilakukan proses pemisahan menggunakan teknik kromatografi
kolom, terlebih dahulu dilakukan pemilihan eluen terbaik menggunakan KLT.
Pemilihan jenis eluen terbaik dilakukan dengan mencoba campuran pelarut
yang memiliki perbedaan polaritasnya yaitu n–heksan : etil asetat dengan
perbandingan 9:1 untuk fraksi n-heksan dan kloroform : metanol dengan
perbandingan 9:1 untuk fraksi etil asetat. Campuran pelarut n-heksana, etil
asetat, kloroform dan metanol merupakan sistem eluen universal yang sering
direkomendasikan sebagai fase gerak dalam kromatografi karena mudah
diuapkan dan mudah diatur tingkat kepolaran eluen. Penentuan sistem eluen
dengan KLT dilakukan dengan metode trial and error. Fraksi n-heksan dan etil
asetat ditotolkan pada plat KLT dengan fase gerak masing-masing, kembangkan.
Spot hasil elusi diamati menggunakan sinar UV pada panjang gelombang 254
dan 366 nm untuk dilihat pola pemisahannya. Dengan mengamati jumlah
noda/spot terbanyak dan jarak pemisahan antar noda cukup terpisah maka
dapat digunakan sebagai dasar pemilihan campuran eluen terbaik yang akan
diterapkan dalam pengujian kemurnian suatu senyawa menggunakan KLT
selanjutnya.
Untuk fraksi etil asetat yang dikembangkan dalam 9:1 eluen kloroform :
metanol menghasilkan nilai Rf baku 0.9 dan Rf fraksi 0.9. Hasil ini jauh dari
perkiraan dan batas Rf yang diinginkan dari 0,2-0,3. Sedangkan untuk Rf baku
dan fraksi n-heksan yang dikembangkan dalam n-heksan:etil asetat 9:1
menunjukkan Rf 0,25 dan fraksi n-heksan memiliki 2 spot dengan Rf 0,25 dan
0,31. Namun hasil ini belum dapat disimpulkan bahwa piperin terdapat dalam
fraksi n-heksan atau etil asetat. Perlu dilakukan pemantauan KLT dengan
perbandingan eluen yang sesuai hingga nilai Rf yang dihasilkan 0,2-0,3.
Tujuan nilai Rf yang sedemikian rupa untuk memastikan bahwa pemisahan
pada kromatografi kolom sempurna. Karena, apabila Rf nya tinggi, pemisahan
cenderung tidak sempurna dan pemisahan yang dilakukan terlalu terburu-buru
sehingga senyawa yang diinginkan tidak terdeteksi. Setelah dilakukan
pemantauan, perbandingan eluen yang digunakan adalah n-heksan:etil asetat

31
6:4 yang menghasilkan Rf rentang 0,2-0,3 pada fraksi etil asetat yang
kemungkinan terdapat senyawa piperin.

No Eluen Panjang Gelombang


254 nm 366 nm
1. Fraksi n-heksan
n-heksan:etil asetat
(9:1)

Rf baku : 0,25
Rf sampel : 0,25 dan
0,31

2. Fraksi etil asetat


Kloroform:metanol
(9:1)
Rf baku : 0,9
Rf sampel : 0,9

Tabel 5. Hasil KLT Fraksi


4.1.4 Isolasi
Setelah dilakukan fraksinasi, dilakukan isolasi menggunakan kromatografi
kolom. Digunakan fase diam berupa silika 34 sebanyak 150 gram dan fase gerak
yang merupakan campuran n-heksan dengan etil asetat. Pemisahan ini
menggunakan teknik elusi gradien, komposisi eluen berbeda selama proses
elusi. Preparasi kolom dilakukan dengan cara mencampurkan silika 34 dengan
n-hexan sebanyak 250 mL kemudian dimasukkan kedalam kolom kaca.
Sedangkan untuk preparasi sampel, hasil fraksi etil sebanyak 15 gram
dikeringkan dengan menambahkan 15 gram silika 33. Setelah sampel kering,
sampel dimasukkan kedalam kolom. Tinggi sampel harus lebih rendah

32
dibandingkan tinggi kolom, hal ini dikarenakan agar pita yang terbentuk pendek
dan tidak bergabung.
Elusi dilakukan dengan penambahan eluen yang berbeda-beda. Eluen yang
digunakan n-hexan dan etil asetat. Elusi dilakukan dari perbandingan 10:0, 9:1,
dan seterusnya hingga semua senyawa yang diinginkan telah keluar dari kolom.
Hasil Menurut hasil KLT yang telah dilakukan sebelumnya, senyawa piperin
memiliki Rf dengan rentang 0,2-0,3 pada perbandingan eluen 6:4 (n-heksan : etil
asetat). Rentang 0,2-0,3 dipilih agar senyawa piperin tidak terlalu cepat keluar
dari kolom. Eluen yang keluar dari kolom ditampung.
Hasil elusi menggunakan perbandingan 6:4 (n-heksan : etil asetat) terdapat
pada botol 11-15. Menurut pemantauan KLT terdapat senyawa piperin tetapi
asih banyak senywa lain yang terelusi. Elusi dilanjutkan dengan menggunakan
perbandingan eluen 5:5 (n-heksan : etil asetat). Hasil elusi ditampung pada botol
16-22. Pada botol tersebut hasil elusi sudah menunjukan sama seperti baku.
Elusi dilanjutkan dengan perbandingan 5:5 (n-heksan : etil asetat), kemudian
dipantau kembali pada plat KLT. Hasil elusi terdapat pada boto 23-26. Pada botol
23-24 masih terdapat senyawa piperinn sedangkan pada botol 25-26 senyawa
piperin sudah tidak ada, hal ini ditunjukan dengan pola yang berbeda dengan
baku piperin. Kromatografi kolom kemudian dihentikan.
Hasil Pemantauan Keterangan
Fase diam : Silika
Fase gerak : n-heksan : etil asetat (5:5)
11 : Botol ke-11 (Rf = 0.55)
12 : Botol ke-12 (Rf = 0.55)
13 : Botol ke-13 (Rf = 0.55)
20 : Botol ke-14 (Rf = 0.55)
21 : Botol ke-21 (Rf = 0.55)
22 : Botol ke-22 (Rf = 0.55)
Baku : Baku piperin (Rf = 0.55)

33
Fase diam : Silika
Fase gerak : n-hexan : etil asetat (5:5)
16 : Botol ke-16 (Rf = 0.525)
17 : Botol ke-17 (Rf = 0.525)
18 : Botol ke-18 (Rf = 0.525)
19 : Botol ke-19 (Rf = 0.525)
Baku : Baku piperin (Rf = 0.525)
Penampak bercak H2SO4

Fase diam : Silika


Fase gerak : n-hexan : etil asetat (5:5)
23 : Botol ke-23 (Rf = 0.625)
24 : Botol ke-24 (Rf = 0.625)
25 : Botol ke-25
26 : Botol ke-26
Baku : Baku piperin (Rf = 0.625)

Tabel 6. Hasil Pemantauan Kolom


4.1.5 KLT Preparatif
Kromatografi lapis tipis preparatif (KLTP) adalah salah satu metode yang
memerlukan pembiayaan paling murah dan memakai peralatan paling dasar.
Walaupun KLTP dapat memisahkan bahan dalam jumlah gram, sebagian besar
pemakainya hanya dalam jumlah milligram. Tujuan dari KLT preparatif ini yaiitu
untuk mengisolasi ekstrak.

Gambar 18. Hasil KLT Preparatif 254 nm Gambar 19. Hasil KLT Preparatif 366 nm

34
Berdasarkan hasil yang didapat, terdapat 2 pita yang kedudukannya telah
diketahui kemudian dikerok dari plat. Namun, hasil pelat yang telah dikerok
dibagi menjadi 4 bagian yang serupa untuk lebih mengoptimalkan
pemisahannya. Untuk selanjutnya dilarutkan menggunakan pelarut metanol.
4.1.6 KLT Dua Dimensi

Gambar 20. Isolat

Hasil kerokan dilarutkan dengan metanol, didapatkan hasil seperti gambar


diatas. Selanjutnya dilakukan KLT untuk setiap larutan dan dibandingkan dengan
baku piperin. Hal ini untuk mengetahui senyawa yang diinginkan (piperin)
berada pada larutan yang mana berdasarkan kesamaan Rf antara larutan –
larutan tersebut dengan larutan baku piperin.

Gambar 21. Pemantauan Hasil Isolasi

35
Setelah dilakukan KLT dan dilihat dengan penambak bercak yang kemudian
dilihat pada sinar UV 366, maka larutan yang diduga mengandung piperin
berdasarkan kesamaan Rf dengan larutan baku yaitu larutan tengah, pinggir,
dan putih atas. Selanjutnya larutan tersebut dicampurkan dan dilakukan KLT 2
arah untuk melihat kemurnian senyawa.
Salah satu aplikasi untuk mengetahui kemurnian senyawa hasil isolat
dengan metode ini yaitu dengan mengelusi noda pada 2 arah yang berbeda dan
menggunakan eluen yang berbeda, isolat dikatakan murni apabila noda yang
dinampakkan adalah tunggal.
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi
sampel ketika komponen-komponen solute mempunyai karakteristik kimiayang
hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-
asam amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat
digunakan secara berurutan sehingga memungkinkan untuk melakukan
pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang berbeda.

Gambar 22. Hasil KLT Dua Dimensi

Setelah dilakukan KLT 2 arah, dengan pengembang pertama yaitu n-heksan


: etil asetat (8:2) dan pengembang kedua yaitu toluene : etil asetat (3:7),
didapatkan hasil 1 spot yang menandakan senyawa tersebut murni. Setelah
diketahui bahwa larutan tersebut murni secara pemisahan KLT, namun tetap
saja biasanya terdapat senyawa- senyawa pengotor lain, oleh karena itu
dilakukan kristalisasi untuk mendapatkan senyawa yang murni.

36
4.1.7 Kristalisasi
Kristalisasi bertujuan untuk mendapatkan isolat piperin murni dengan lebih
efisien. Larutan yang diduga isolat piperin kemudian dikisatkan dan dikristalkan.
Pada tahap kristalisasi dan reksistalisasi, diperoleh isolat piperin dengan warna
kuning sebanyak 50 mg.

4.2 Faktor Pendukung dan Penghambat Praktikum


4.2.1 Faktor Pendukung
1. Ketersediaan bahan yang mencukupi.
2. Pengerjaan yang dimulai lebih cepat.

4.2.2 Faktor Penghambat


1. Sulitnya mencari sumber jurnal valid yang memiliki lisensi tinggi.
2. Panduan praktikum kurang jelas sehingga proses praktikum sedikit
tersendat.
3. Kurangnya peralatan praktikum.
4. Waktu yang digunakan untuk pengeringan cukup lama.
5. Proses KLT yang kurang maksimal.
6. Pencarian kombinasi eluen yang tepat membutuhkan waktu yang cukup
lama.
7. Terdapatnya zat pengotor.

37
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Ekstrasi yang dilakukan untuk memperoleh ekstrak pada buah cabe jawa adalah
menggunakan teknik maserasi. Teknik maserasi merupakan teknis metode ekstrasi
dengan sistem tanpa pemanasan atau ekstraksi dingin, maserasi dilakukan dengan
merendam buah cabe jawa yang telah direndam dengan menggunakan etanol 70%
selama 3x24jam. Hasil yang diperoleh adalah ekstrak kental etanol yang kemudian
digunakan untuk tahap isolasi.
Tahap isolasi yang dilakukan dimulai dari fraksinasi menggunakan teknik ekstraksi
cair-cair menggunakan dua pelarut yaitu, n-heksan dan etil asetat. Kemudian setelah itu
hasil fraksinasi dilakukan pemantauan untuk mengerahui senyawa piperin terdapat
dalam fraksi mana. Setelah itu pada fraksi etil asetat (terdapat senyawa piperin)
dilakukan isolasi mengunakan teknik kromatografi kolom dengan fase diam berupa silika
34 dan menggunakan fase gerak berupa campuran n-hexan dan etil asetat dengan teknik
elusi gradien. Hasil elusi dipantau menggunakan KLT, jika senyawa piperin tidak ada
maka proses elusi dihentikan. Semua hasil elusi yang mengandung senyawa piperin
dicampurkan (yang mempunyai pola kromatogram pada plat KLT yang sama) dan
dikisatkan. Kemudian dilakukan KLT preparatif pada hasil tersebut. Silika yang diduga
mengandung senyawa piperin dikerok dan dilarutkan menggunakan metanol. Setelah
itu dilakukan KLT 2 dimensi dengan dua eluen/fase gerak yang berbeda. Jika hasil KLT 2
dimensi terdapat hanya satu titik/spot maka hasil pemurnian sudah selesai. Isolat
kemudian didiamkan hingga terbentuk kristal. Kristal kemudian dicuci dengan pelarut
yang tidak akan melarutkan senyawa tersebut.

5.2 Saran
Sebaiknya alat-alat di laboratorium harus ditambah agar dapat meminimalkan dan
mengefisienkan waktu praktikum. Terutama alat yang berhubungan dengan praktikum
ini. Selain itu, jadwal praktikum lebih ditaati dan dimanfaatkan agar hasil yang
didapatkan lebih baik karena prosesnya tidak terlalu lama. Juga, Setiap mahasiswa
diwajibkan untuk memahami prosedur kerja dengan baik agar tidak terjadi kesalahan
selama praktikum.

38
DAFTAR PUSTAKA

Amaliana, L. N. 2008. Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol 70 % Buah Merica Hitam (Piper nigrum L.)
terhadap Sel Hela. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Surakarta.
Atal CK., & BM. Kapur. 1982. Cultivation and Utilization of Medicinal Plants. Regional
Research Laboratory., Council of Scientific & Industrial Research. Jammu-Tawi. India.
P.576.
Backer, C.A., Bakhuizen V.D.B. 1962. Flora of Java (Spermathopytes Only). Vol. 1. Wolters-
Noordhoff N.V.P. Groningen 171.
Benerji, Avijit, Bandijopadhyay Debabrata, Sarkar, Manjusha, Siddharta, Arup K., Pal, Sudhir
C, Gosh, Somnath, Abraham Koshij, Shoolery James N. 1985. "Structural and Synthetic
Studies on the Retro-fractamides amide Constituents of Piper retrofractum ".,
Phytochemistry. Vol.24. No.2. p.279-284.
Chaveerach, A., et al. 2006. Ethnobotany of the genus Piper (Piperaceae) in Thailand.
Ethnobotany Research & Applications 4:223-231.
Deepthi, S.P., V. Junis, P. Shibin, S. Senthiil, R.S. Rajesh. 2012. Isolation, Identification and
Antimycobacterial Evaluation of Piperine from Piper longum. Dermatology Pharmacia
Letter 2012: 863-868.
Depkes RI. 1977. Materia Medika Jilid 1. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2008. Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. 2009. Farmakope Herbal Indonesia. Jakarta : Dirjen POM
Depkes RI. 2012. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2012. Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Badan Litbangkes RI 2012.
Departemen Kesehatan RI. 2012. Farmakope Herbal Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Evan, W.C. 1997. Trease and Evan’s Pharmacognosy. Edition 14. W.B. Saunders. London
Evizal, R. 2013. Tanaman Rempah dan Fitofarmaka. Fakultas Pertanian Unila: Bandar
Lampung.

39
Hegnauer, R. 1966. Chemotaxonomic der Pflanzen. Band V. Birkhauser Verlag. Stuttgart.
p.314-316.
Isnawati, A., et al. 2002. Efek Mutagen Ekstrak Etanol Buah Cabe Jawa (Piper retrofractum
Vahl.). Jurnal Bahan Alam Indonesia. 1(2): 63-67.
Jamal, Y., P. Irawati, A. Fathoni, A. Agusta. 2013. Chemical Constituents and Antibacterial
Effect of Essential Oil of Javaness Pepper Leaves (Piper retrofractum Vahl.). Media
Litbangkes 23(2): 65-72.
Kim, K.J., M.S. Lee, K. Jo, dan J.K. Hwang. 2011. Piperidine Alkaloids from Piper Retrofractum
Vahl. Protect Against High-Fat Diet-Induced Obesity by Regulating Lipid Metabolism and
Activating AMP-Activated Protein Kinase. Biochem Biophys Res Commun. 411(1): 219-
225.
Matsuda, H., et al. 2008. Protective Effects of Amide Constituents from the Fruit of Piper
Chaba on D-Galactosamine/TNF-Alpha-Induced Cell Death in Mouse Hepatocytes.
Bioorg Med Chem Lett 18: 2038-2042.
Mun’im, Abdul dan Hanani Endang. 2011. Fitoterapi Dasar. Jakarta : Dian Rakyat
Mutiara, U.G., Sutyarso, dan S. Mustofa. 2013. Pengaruh Pemberian Ekstrak Cabe Jawa (Piper
retrofractum Vahl.) dan Zinc (Zn) Terhadap Jumlah Sel Germinal Testis Tikus Putih Jantan
(rattus norvegicus). Medicinal Journal of Lampung University. 2(5): 147-155.Rahmawati,
N. and M.S. Bachri. 2012. The Aphrodisiac Effect and Toxicity of Combination Piper
retrofractum L, Centella asiatica, and Curcuma domestica Infusion. Health Science
Indonesia 3(1): 19-22.
Moeloek, N., et al. 2010. Uji Klinik Ekstrak Cabe Jawa (Piper Retrofractum Vahl) sebagai
Fitofarmaka Androgenik pada Laki-Laki Hipogonad. Majalah Kedokteran Indonesia
60(6): 255-262.
Rostiana. 1998. Standar Prosedur Opersional Budidaya Temulawak. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Balittro. Bogor.
Sudjarwo, S.A. 2005. The Potency of Piperine as Anti-inflammatory and Analgesic in Rats and
Mice. Folia Medica Indonesiana 2005; 41(3):190-194.
Supriadi. 2001. Tumbuhan Obat Indonesia: Penggunaan dan Khasiatnya. Jakarta: Pustaka
Populer.
Vinay, S., et al. 2012. Pharmacognostical and Phytochemical Study of Piper longum L. and
Piper retrofractum Vahl. Journal of Pharmaceutical and Scientific Innovation 1(1): 62-66.

40
Wahjoedi B., et al. 2004. Efek Androgenik Ekstrak Etanol Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl.)
pada Anak Ayam. Jurnal Bahan Alam Indonesia 3(2):201-204.
Wahyuni, Sri., Sunyoto., Muchson Arrosyid. 2016. PENETAPAN KADAR MINYAK ATSIRI PADA
CABE JAWA (Piper Retrofractum Vahl.) DENGAN METODE DESTILASI AIR. Journal of
Pharmacy
Winarto, W.P., 2003. Cabe Jawa si Pedas Berkhasiat Obat. Jakarta : Agromedia Pustaka.

41
Lampiran 1. Foto Simplisia, Ekstrak Kental, dan Isolat Murni Piperin

Foto Simplisia

Ekstrak Kental

42
Isolat Murni Piperin

43
Lampiran 2. Susunan Kerja Kelompok

No Nama NPM Jabatan Tugas

Perajangan, Uji
Simplisia, Skrinning
Fitokimia (Steroid dan
Triterpenoid), Maserasi
dan Evaporasi, Ekstraksi
Supervisor
1. Adil Prawira Budiman 260110140127 Cair-Cair, Kromatografi
Produksi
Lapis Tipis,
Kromatografi Kolom,
KLT Preparatif, KLT Dua
Dimensi, Pembahasan,
Artikel.
Perajangan, Uji
Simplisia, Skrinning
Fitokimia
(Monoterpenoid dan
Sesquiterpenoid),
Maserasi dan Evaporasi,
2. Bela Anisa Fitriani 260110140092 Anggota Ekstraksi Cair-Cair,
Kromatografi Lapis
Tipis, Kromatografi
Kolom, KLT Preparatif,
KLT Dua Dimensi,
Tinjauan Pustaka,
Artikel, Edit Artikel.
Perajangan, Uji
Simplisia, Skrinning
Fitokimia (Saponin),
Maserasi dan Evaporasi,
Ekstraksi Cair-Cair,
3. Annisa Ridla Saraswati 260110140125 Anggota
Kromatografi Lapis
Tipis, Kromatografi
Kolom, KLT Preparatif,
KLT Dua Dimensi,
Metode, Artikel.
Perajangan, Uji
Simplisia, Skrinning
Fitokimia (Flavonoid),
Maserasi dan Evaporasi,
4. Aisyah Nadila 260110140126 Anggota Ekstraksi Cair-Cair,
Kromatografi Lapis
Tipis, Kromatografi
Kolom, KLT Preparatif,
KLT Dua Dimensi,

44
Pendahuluan, Edit PPT,
Artikel.
Perajangan, Uji
Simplisia, Skrinning
Fitokimia (Alkaloid),
Maserasi dan Evaporasi,
Ekstraksi Cair-Cair,
5. Fitriani Jati Rahmania 260110140128 Anggota
Kromatografi Lapis
Tipis, Kromatografi
Kolom, KLT Preparatif,
KLT Dua Dimensi,
Pembahasan, Artikel.
Perajangan, Uji
Simplisia, Skrinning
Fitokimia (Alkaloid),
Maserasi dan Evaporasi,
Ekstraksi Cair-Cair,
6. Aulia Alfiana 260110140129 Anggota
Kromatografi Lapis
Tipis, Kromatografi
Kolom, KLT Preparatif,
KLT Dua Dimensi,
Pembahasan, Artikel.
Perajangan, Uji
Simplisia, Skrinning
Fitokimia
(Monoterpenoid dan
Sesquiterpenoid),
Maserasi dan Evaporasi,
7. Ike Susanti 260110140130 Anggota
Ekstraksi Cair-Cair,
Kromatografi Lapis
Tipis, Kromatografi
Kolom, KLT Preparatif,
KLT Dua Dimensi,
Pembahasan, Artikel.
Perajangan, Uji
Simplisia, Skrinning
Fitokimia (Kuinon),
Maserasi dan Evaporasi,
8. Nadzir Luqmantoro 260110140139 Anggota
Ekstraksi Cair-Cair,
Kromatografi Lapis
Tipis, Kromatografi
Kolom, Metode.
Perajangan, Uji
Simplisia, Skrinning
Fitokimia (Tanin dan
9. Hamid Saeful Kirom 260110140154 Anggota Polifenol), Maserasi dan
Evaporasi, Ekstraksi
Cair-Cair, Kromatografi
Lapis Tipis,

45
Kromatografi Kolom,
KLT Dua Dimensi,
Tinjauan Pustaka,
Artikel, Lampiran, Edit
Laporan, Edit PPT, Edit
Artikel.

46
Lampiran 3. Pertanyaan dan Jawaban Hasil Presentasi Praktikum

PERTANYAAN

1. Ira Darmayanti (260110140122) Kenapa menggunakan metode cara dingin (maserasi)?


2. Ellena Maggyvin (260110140137) Metode Isolasinya bagaimana? Apakah sudah sesuai
dengan sifat fisikokimianya?
3. Ghinaa Ramadhani (260110140146) Kenapa fraksinasi nya menggunakan n-heksan?
4. Kelvin Aldrin (260110140134) Kenapa fraksi yang tidak larut yang diambil?
5. Nurfina Septiana (260110140152) Bentuk isolat saat analisis IR?

JAWABAN
1. Karena maaserasi merupakan metode yang aman tanpa harus melihat sifatnya
termostabil atau tidak. Tetapi untuk ekstrak cabe jawa dapat juga digunakan metode
soxhlet Karena sifatnya yang termostabil
2. Sesuai dengan sifat fisikokimianya
3. Karena piperin tidak dapat larut pada n-heksan dan untuk memisahkan pada senyawa-
senyawa lain (selain piperin) yang mengganggu selain n-heksan
4. Karena piperin tidak larut di n-heksan
5. Kristal

47

Anda mungkin juga menyukai