Anda di halaman 1dari 13

DAMPAK KRISIS EKONOMI

DI SUSUN OLEH :

1. NIKMATUS SHOLIHAH
2. NOVIA DEWI KURNIA SISKA
3. SAIFUL BAHRI
4. SHODIG MAHMUD S.
5. TAUFAN ELFANANDA

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER

DESEMBER, 2011
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Tanggal 15 September 2008 menjadi catatan kelam sejarah perekonomian Amerika


Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang merupakan salah satu perusahaan investasi atau
bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di Amerika serikat menjadi awal dari drama krisis
keuangan di negara yang mengagung-agungkan sistem kapitalis tanpa batas. Siapa yang
menyangka suatu negara yang merupakan tembok kapitalis dunia akan runtuh .Celakanya apa
yang terjadi di Amerika Serikat dengan cepat menyebar dan menjalar keseluruh dunia. Hanya
beberapa saat setelah informasi runtuhnya pusat keuangan dunia di Amerika, transaksi bursa
saham diberbagai belahan dunia seperti Hongkong, China, Australia, Singapura, Korea
Selatan, dan Negara lainnya mengalami penurunan drastis, bahkan Bursa Saham Indonesia
(BEI) harus disuspend selama beberapa hari, pemerintah Indonesia pun kelihatan panik dalam
menyikapi permasalahan ini, peristiwa ini menandai fase awal dirasakannya dampak krisis
ekonomi global yang pada mulanya terjadinya di Amerika dirasakan oleh negara Indonesia.

Dilihat dari faktor penyebabnya, krisis Ekonomi global pada saat ini berbeda dengan krisis
ekonomi yang melanda Indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu, yang mana pada saat itu
krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih disebabkan oleh ketidakmampuan Indonesia
menyediakan alat pembayaran luar negeri, dan tidak kokohnya struktur perekonomian
Indonesia, tetapi krisis keuangan global pada tahun 2008 ini berasal dari faktor-faktor yang
terjadi di luar negeri. Tetapi kalau kita tidak hati-hati dan waspada dalam menyikapi
permasalahan ini, tidak mustahil dampak krisis keuangan global pada tahun 2008 ini akan
sama atau bahkan lebih buruk jika dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi yang
terjadi pada tahun 1998.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global


pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang
terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah
pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat
merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.

Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di


negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah
krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia,
termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik
banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang
cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.

Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun


momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif
perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara
signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan
meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja
ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca
sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN).

Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global
adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya
likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai
sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang
meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen.
Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009
dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan
global.

I.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimasksud dengan krisis ekonomi global?


2. Apakah penyebab krisis ekonomi global?
3. Apakah dampak krisis ekonomi global terhadap Indonesia?
4. Bagimanakah cara mengatasi krisis ekonomi global tersebut?
5. Bagaimanakah Perekonomian di Indonesia?
BAB II

PERMASALAHAN
BAB III

PEMBAHASAN

III.1 Krisis Ekonomi Global

Seluruh dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis ekonomi global), seluruh
negara-negara di dunia baik itu negara maju maupun negara berkembang telah terjebak dalam
kesulitan yang sangat rumit. Beberapa negara yang sebelumnya menikmati kondisi ekonomi
yang kuat yang mempunyai teknologi yang canggih dalam hal ilmu pengetahuan, pangan,
senjata, obat-obatan terlihat hancur perekonomiannnya. Fakta dari masalah tersebut adalah
bahwa ekonomi negara-negara tersebut ditopang oleh kebijakan yang sangat rapuh yang
meyebabkan collaps terkena dampak krisis ekonomi global.

Krisis finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian dunia secara
drastis pada tahun 2008 diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan akan meningkat
intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain
menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan
berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan
kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara
berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental perekonomian,
dan memicu terjadinya krisis ekonomi.

Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap perekonomian di


negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari investor global di tengah
krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan pada mata uang seluruh dunia,
termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar Amerika Serikat di pasar domestik
banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas di negara-negara maju maupun berkembang
cenderung bergejolak di tengah ketidakpastian yang meningkat.

Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah membangun


momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas dari dampak negatif
perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang mulai berpengaruh secara
signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round effectnya akan mulai dirasakan
meningkat intensitasnya pada tahun 2009, diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja
ekonomi makro Indonesia dalam tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca
sektor riil, maupun sektor moneter dan sektor fiskal (APBN).

Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis perekonomian global
adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis maupun akibat merosotnya
likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai
sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah disertai dengan volatilitas yang
meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen.
Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009
dengan masih berlangsungnya upaya penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan
global.

Krisis keuangan Amerika Serikat menyebabkan masalah global keuangan dunia, untuk
mengatasi hal tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan sepuluh
arahan: (1) semua kalangan tetap optimis, dan bersinergi menghadapi krisis keuangan, (2)
tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen, (3) optimalisasi APBN 2009, (4) dunia
usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak, (5) semua pihak agar cerdas menangkap
peluang, (6) galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri, (7) tingkatkan sikap
profesionalisme, (8) kerja sama dalam menghadapi masalah, (9) tidak melakukan langkah
non partisan, (10) komunikasi yang bijak. Sementara itu Mudrajad Kuncoro (2008)
mengatakan bahwa setidaknya ada dua langkah strategis dalam mengatasi dampak krisis
keuangan global, yaitu Demand pull strategy dan supply push strategy. Demand pull strategy
mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim
bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi pemasaran domestik dan luar negeri
dan menyediakan peluang pasar. Langkah strategis lainnya adalah supply push strategy yang
mencakup strategy pendorong sisi penawaran, ini bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan
baku, dukungan permodalan, bantuan teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan
sumber daya manusia.
III.2 Penyebab Krisis Ekonomi Global

Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi


yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia mengalami terpaan badai
krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang nyaris menuju kebangkrutan
ekonomi.

Krisis ekonomi – yang dipicu oleh krisis moneter – beberapa waktu yang lalu, paling tidak
telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama, kredibilitas pemerintah telah
sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah karena langkah-langkah yang ditempuh
pemerintah dalam merenspons krisis selama ini lebih bersifat “tambal-sulam”, ad-hoc, dan
cenderung menempuh jalan yang berputar-putar.

Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan sepenuhnya untuk
menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu, sektor tradisional, sektor
informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi di negeri ini seakan-akan
dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang tengah menggema.

Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth) ekonomi telah
menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur perekonomian menjadi sangat
rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri manufaktur yang sempat dibanggakan itu
ternyata sangat bergantung pada bahan baku impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara
itu, akibat “dianak-tirikan”, sektor pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang
laju industrialisasi. Yang saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian
kebijakan yang cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak
mampu berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan
memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.

Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas adalah karena
proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political adjustment) tidak
berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-assisted capitalism nyata-nyata
telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian. Memang di satu sisi pertumbuhan
ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun mengakibatkan ekses yang ujung-
ujungnya justru counter productive bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian mengalami
kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah alokasi sumber
daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak produktif dan tidak
memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini pertumbuhan ekonomi memang sangat
mungkin terus berlangsung, bahkan pada intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian,
sampai pada batas tertentu pasti akan mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.

Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah merusak tatanan
ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku penguasa, elit politik, dan
jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran angkatan bersenjata dan aparat
penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.

Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya ketidakpastian itu telah
menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi dewasa ini tidak hanya sekadar
pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, melainkan juga antara pihak
luar negeri dengan pemerintah, serta di antara sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir
disebutkan itu tercermin dengan sangat jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol
kekuasaan serta kemewahan dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan
peristiwa Mei 1998.

Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat dari respons
masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang ditempuh pemerintah.
Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya menggiring ekspektasi
masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons masyarakat menuju ke arah kiri,
dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin timpangnya distribusi pendapatan dan
kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya solidaritas sosial.

III.3 Dampak yang di Timbulkan Oleh Krisis Ekonomi

1. Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008

Asumsi inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut Adiningsih
(Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-08), dapat melebihi
10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang berada di luar kendali
pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya pemerintah menyusun APBN
secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus, tentu akan menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan bahwa dunia usaha juga tergantung
pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila APB tidak konsisten, dipastikan dunia usaha
akan sulit tumbuh, sehinga sulit diharapkan pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai
besaran asumsi inflasi dalam APBNP, menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun
208 terdapat beberapa hari raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping
itu harga minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang
meroket. Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua
komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor
termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini diperkirakan
gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika Serikat meningkatkan
suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan dikhawatirkan inflasi akan
melebihisatudigit.

Dalam menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden Pardede (salah satu
calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan pendapatnya bahwa pemerintah harus
membatasi besaran anggaran untuk subsidi. Menurutnya, dengan asumsi harga minyak
mentah sebesar US$ 95 per barel, total subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga
minyak ternyata lebih dri U$$ 100 per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja
habis untuk subsidi, bagaimana dengan sektro yang lain, katanya.

Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui pembiayaan yang
salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN) disesuaikan dengan
melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika subsidi tidak dibatasi, investor
akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam melakukan pembayaran. Hal ini dapat
menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya daya serap SUN.

Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai informasi untuk
mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang bergolak penuh ketidak
pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi anggaran untuk subsidi dan daya
serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun demikian, apabila dalam perjalanannya
asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi tidak
seharusnya semata-mata menyalahkan pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan
hasil pembahasan dan kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika
asumsi dalam APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau
tidak mau APBNP 2008 harus direvisi kembali.

1. 2. Dampak Krisis Keuangan Global terhadap Perekonomian Indonesia

Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat sudah terlihat tanda-tandanya beberapa
waktu yang lalu, Tetapi baru dianggap serius oleh pemerintah Indonesia sejak tanggal 8
Oktober 2008 saat IHSG di BEI turun tajam sampai 10,38 % dan mengharuskan pemerintah
menghentikan kegiatan di pasar bursa modal beberapa hari.

Sebenarnya banyak akibat yang dirasakan oleh Indonesia dengan adanya krisis keuangan di
Amerika serikat , baik akibat positif seperti turunnya harga minyak dunia yang menembus $
61 per barel dan akibat negative seperti turunnya nilai rupiah, berkurangnya nilai export,
turunnya investasi atau terjadi flyingout , namun demikian akibat negatif lebih banyak
dirasakan bagi perekonomian Indonesia terutama bagi sektor riil yang mempunyai pangsa
export, pemerintah harus sungguh-sungguh menangani masalah ini karena pada akhirnya
apabila tidak tertangani dengan benar akan mengakibatkan distabilitas negara atau sering
orang bilang akan terjadi Krisis seri kedua.

Lebih lanjut Ridwan (dosen Ek. Pembangunan UJB)menegaskan , bahwa harus ada langkah-
langkah antisipasi menghadapi krisis keuangan global anatara lain, tetap menjaga
independensi pengambil keputusan, sebisa mungkin mempertahankan tingkat suku bunga
yang ada saat ini, peningkatan pagu jaminan simpanan pada Lembaga Keuangan Nasional,
Penginjeksian secara besar-besaran likuiditas ke dalam perbankan nasioanal, pemberlakuan
kontrol devisa terbatas , pembentukan lembaga procurement untuk mengatur transaksi devisa
BUMN, keharusan izin bank sentral bagi transaksi arus ke luar modal dalam jumlah tertentu.
Disamping itu diskusi juga merekomendasiakan : Penyiapan satu skema social safety net
yang komprehensif untuk mengantisipasi full-blown crisis , pemerintah daerah secara lebih
erat sebagai mitra dan pelaksana berbagai kebijakan yang ditetapkan, mewaspadai politik
dumping , menyiapakan insentif bagi pengusaha lokal untuk menggarap pasar domestik, dan
merekomendasikan untuk mengkaji ulang sistem ekonomi yang selama ini mengekor pada
sistem ekonomi kapitalis.

III.4 CARA MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL

Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih menjadi berita hangat tanpa
melewati 1 (satu) hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini. Berbicara krisis ekonomi adalah
bukan berbicara tentang nasib 1 (satu) orang bahkan lebih dari itu semua karena ini
menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai argument dan komentar pun dilontarkan di
berbagai media yang selalu memojokkan pemerintahan Yudhoyono dan BI (Bank Indonesia)
Di salah satu media menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono menyampaikan 10 langkah
untuk menghadapi masalah tersebut. Empat di antaranya:

1. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri

2. Memanfaatkan peluang perdagangan internasional

3. Menyatukan langkah strategis Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)

4. Menghindari politik non partisan untuk menghadapi krisis.

Kedengarannya memang masuk akal tapi untuk menghadapi krisis itu bukanlah semata
adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis ini perlu dihadapi bersama
jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II ini lebih dahsyat meluluh-lantakkan
Perekonomian Indonesia seperti yang telah terladi pada Badai Krisis Moneter Part I di Era
Soeharto.

Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat jauh
merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran semakin
bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai merampingkan
tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu. Senada dengan hal itu
investor-investor lokal dan Asing pun mulai menarik saham dalam industri-industri di
Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan peluang untuk Angka Kriminalitas
akan melonjak naik Grafiknya di tanah air belum lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena
bangsa ini telah disibukkan dengan masalah yang lebih di prioritaskan sehingga dengan
bebasnya para koruptor meneruskan aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor
Anda bisa keluar dari persembunyain untuk sementara Waktu. How pity a Country !”

Memang sangat Ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara Agraris tapi disisi
lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan hasil import dari negara tetangga. Yah
ini mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan diri kita yang sebagai rakyat yang
kurang berusaha secara profesional dalam mengelola asset-asset yang ada dalam lahan-lahan
indonesia. Lihat saja kekayaan Alam Indonesia mulai dari hasil laut belum dapat dikelola
dengan baik karena Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain
meraup keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair. Belum lagi
persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang Emas yang
masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang sangat berlimpah
ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini.

Jadi memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional
Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global telah terjebak pada sistem
kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini sepertinya tak ada persiapan jelas
menghadapi krisis keuangan global yang berawal dari runtuhnya industri keuangan di
Amerika Serikat. Mereka yang krisis kita yang ”hancur-hancuran” seperti pada bursa saham
sehingga menghentikan operasionalnya.

Dan kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis Ekonomi Global yang
di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa uraian diatas dapat memberi
gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi krisis ini jika kita meningkatkan kesadaran
sebagai masyarakat indonesia termasuk element pemerintah berikut departement terkait untuk
meningkat pengelolaan sumber daya secara profesional sehingga bangsa ini menjadi
produktif dalam penyediaan hasil bumi dan dapat mandiri serta terbebas sebagai negara
importir bahan pangan dan minyak bumi terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi
negara “Pengekspor Terbesar”.
BAB IV

PENUTUP

IV. Kesimpulan

Sosok kerajaan bisnis yang dibangun di atas fondasi semu dan tumpukan utang,
menjadi tidak berdaya menghadapi krisis ekonomi. Sampai titik ini pun, pemerintah
nampaknya belum juga bangkit kesadarannya, bahwa menyelamatkan sektor modern dengan
cara “habis-habisan” (all out dan at all cost) seperti yang terus dilakukan selama ini
mengandung konsekuensi yang teramat riskan. Pemerintah masih terobsesi dan selalu
disugesti seakan-akan hanya dengan sektor modern itulah bangsa berdaulat ini dapat kembali
bangkit dari keterpurukannya.

Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah
menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Di atas kertas,
perekonomian bangsa ini seharusnya sudah “gulung tikar” sejak angka-angka statistik
ekonomi pada periode krisis (1997-1999) menunjukkan kecenderungan yang terus
memburuk. Nyatanya, kondisi “sekarat” itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang
mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu,
yang tidak mampu dicatat oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan
potensi, kekuatan, dan daya tahan yang sangat besar.

Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi ekonomi


rakyat? Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu digembar-gemborkan oleh
para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang terjadi saat ini adalah karena sumbangan
konsumsi (driven consumption) orang-orang berduit? Kiranya sejarah telah membuktikan,
bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara “membabi-buta” hanya akan
menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh
sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa ini akan turut merasakannya.

Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi, secara tidak
langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi
pelajaran yang dipetik hikmahnya. Kesimpulannya, pengabaian (ignoring) eksistensi ekonomi
rakyat dan sektor tradisional sudah tiba saatnya untuk segera dihentikan.

IV.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai