Makalah Pengaruh Obat Terhadap Penyakit Degeneratif 2
Makalah Pengaruh Obat Terhadap Penyakit Degeneratif 2
Oleh :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat,
taufik dan hidayah-Nya yang senantiasa tercurah kepada segenap hambanya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa ada halangan satupun.
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat memenuhi nilai tugas mata kuliah
interaksi obat dan makanan.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih banyak kepada
bapak Sajiman SKM., M.Gizi selaku dosen pengampu mata kuliah interaksi obat
dan makanan. Kami menyadari dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa, ataupun penulisannya. Oleh karena
itu kami mengharapkan masukan berupa kritikan dan saran yang membangun,
khususnya dari dosen mata mata kuliah interaksi obat dan makanan guna menjadi
acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan
datang.
Akhir kata semoga laopran ini dapat bermanfaat, menambah pengetahuan,
serta wawasan bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
Penulis
DAFTAR ISI
ISI
2.1 Diabetes Mellitus (DM)
2.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus adalah kelainan yang bersifat kronik yang ditandai oleh
gangguan metabolism karbohidrat, protein, dan lemak yang diikuti oleh
komplikasi mikrovaskuler maupun makrovaskuler, dan telah diketahui
berkaitan dengan faaktor genetik dengan gejala klinik yang paling utama
adalah intoleransi glukosa (Wilson,2000).
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh
adanya kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan
hiperglikemia kronik tersebut dapat mengenai banyak orang pada semua
lapisan masyarakat di seluruh dunia (Waspadji, 1995). Diabetes Mellitus
ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang bertalian dengan defisiensi absolut atau
relativ aktivitas dan atau sekresi insulin. Karena itu meskipun diabetes asalnya
merupakan endokrin, manifestasi pokoknya adalah penyakit metabolik
(Anonim, 2000).
2.1.2 Epidemiologi
Jumlah penderita diabetes diseluruh dunia, menurut data tahun 1993
adalah 100 juta, yang berarti suatu kenaikan 3 kali lipat dibandingkan tahun
1987. Di Indonesia, angka kejadian diabetes berkisar 1-2 % berarti satu di
antara 50 – 100 penduduk Indonesia menderita diabetes. Salah satu factor yang
diduga meningkatkan kejadiannya di Asia dan Afrika adalah adanya perubahan
yang nyata dalam pola makan, yaitu yang banyak nerlemak dengan kurang
sayur, kegemukan, dan hidup yang sangat santai (Hartati,2002).
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes mellitus bermacam
– macam. Akan tetapi, penyakit ini sering dihubungkan dengan faktor genetik
yang autosomal dominan di mana factor lingkungan memiliki kontribusi pada
manifestasinya terutama pada orang – orang dengan predisposisi genetik. Dari
penelitian diketahui bahwa pada kembar monozigot kejadian DM tipe 2
meningkat hingga 91 % dan tidak berubah meskipun perbedaan berat badan
telah dihitung. Besarnya resiko terkena DM tipe 2 adalah sebesar 14 % jika tak
satu pun orang tua menderita DM, 25 % jika salah satu orang tua menderita
DM dan 45 % jika kedua orang tua menderita DM (Darmono,2000).
a. Sekresi Insulin
Selain faktor genetik, patogenesis DM tipe 2 juga dihubungkan dengan
gangguan sekresi insulin. Semua penelitian menunjukkan bahwa pada fase
awal penderita dengan DM tipe 2 memiliki kadar insulin yang normal atau
meningkat, yang kemudian dihubungkan dengan terjadinya obesitas meski
obesitas tidak selalu terjadi. Peningkatkan kadar insuli ini menunjukkan
bahwa pada saat itu lebih banyak insulin harus disekresikan untuk
mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Selanjutnya
kadar insulin menjadi normal, baik dalam proporsi proinsulin maupun
bioaktivitasnya. Meski kadar insulin normal, abnormalitas sekresi insulin
dapat diidentifikasi setelah stimulasi sel β pankreas dengan cara
memberikan glukosa intra vena. Di mana kadar insulin meningkat akan
tetapi glukosa darah tetap normal, menunjukkan adanya resistensi insulin.
Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak bentuk intoleransi glukosa dalam
bentuk hiperglikemia setelah makan. Bagi beberapa penderita intoleransi
glukosa ini dapat bertahan bertahun – tahun berkembang menjadi DM, tapi
bagi sebagian penderita, ini adalah fase intermediate sebelum menjadi
diabetes. Umumnya pasien tidak memiliki keluhan, akan tetapi perubahan
makroangiopati dan lesi – lesi vaskuler telah dapat ditemukan dalam fase
ini. Akhirnya pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah tetapi sekresi
insulin menurun dengan akibat kadar glukosa darah yang sangat tinggi
menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata (Sylvia,1995).
b. Resistensi Insulin
Kadar insulin plasma yang normal atau meningkat pada penderita DM tipe 2
menunjukkan resistensi insulin yang muncul sebagai akibat adanya defek
pada beberapa tehapan kerja insulin. Dalam keadaan normal, insulin terikat
pada resepto di membrane sel yang selanjutnya mentransmisikan second
messenger untuk memulai perubahan metabolism glukosa didalam sel. Pada
DM tipe 2 ddefek pertama adalah adanya penurunan jumlah respetor insulin,
sedangkan defek kedua adalah adanya defek pada pengiriman sinyal/ pesan
intraseluler yang diduga terkait dengan abnormalitas metabolism
karbohidrat (Sylvia,1995).
2.2 Farmakologi
2.2.1 Farmakokinetik
a. Absorpsi
Absorpsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung dari cara pemberiannya, tempat pemberian obat
adalah saluran cerna ( mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan
lain – lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan
cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki
permukaan absorpsi yang sangat luas.
Pemberia obat dibawah lidah hanya untuk obat yang larut dalam
lemak, karena luas absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan
diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya nitroglisin.
Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagian barier
absorpsi adalah membrane sel epitel saluran cerna, yang seperti halnya
semua membrane sel tubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan demikian,
agar dapat melintasi membrane sel tersebut, molekul obat harus memiliki
kelarutan lemak(setelah terlebih dahulu larut dalam air). Kecepatan difusi
berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat ( selain
dengan perbedaan kadar obat lintas membrane, yang merupakan driving
force proses difusi, dan dengan luasnya area permukaan membrane difusi).
Kebanyakan obat merupakan elektolit lemah, yakni asam lemah atau
basa lemah. Dalam air, elektolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk
ionnya. Derajat ionisasi obat tergantung pada konstanta ionisasi obat dan pH
larutan di mana obat berada.
b. Distribusi
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai
ikatan lemah. Ada bebrapa macam protein plasma:
1) Albumin : mengikat obat – obat asam dan obat – obat netral serta
bilirubin dan asam – asam lemak.
2) α-glikoprotein: mengikat obat – obat basa
3) CBG ( corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid
4) SSBG (sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormone kelamin.
Obat – obat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh
tubuh. Komplek obat – protein terdisosiasi dengan sangat cepat. Obat bebas
akan keluar ke jaringan: ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat depotnya,
ke hati (dimana obat mengalami metabolism menjadi metabolit yang
dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke ginjal (
dimana obat/ metabolitnya diekskesi ke dalam urin).
Interaksi pergeseran protein. Obat – obat asam akan bersaing untuk
berikatan dengan albumin di tempat ikatan yang sama, dan obat - obat akan
bersaing untuk berikatan dengan α-glikoprotein. Karena tempat ikatan pada
protein plasma tersebut terbatas, maka obat yang pada dosis terapi telah
menyebabkan jenuhnya ikatan akan menggeser obat lain yang terikat pada
tempat ikatan yang sama sehingga obat yang bergeser ini akan lebih banyak
yang bebas. Selanjutnya obat yang bebas ini akan keluar dari pembuluh
darah dan menimbulkan efekfarmakologik atau dieliminasi dari tubuh.
Interaksi pergeseran protein akan bermakna secara klinik jika obat yang
digeser memenuhi 3 syarat berikut:
1) Ikatan protein tinggi: ≥ 85%, sehingga kadar obat bebas rendah,
akibatnya pergeseran sedikit saja sudah meningkatkan jumlah obat bebas
secara bermakna.
2) Volume distribusi kecil (≤ 0,15 L/kg), sehingga peningkatan jumlah obat
bebas tidak habis terdistribusi tapi memberikan peningkatan kadar
plasma yang cukup bermakna
3) Margin of safety (batas keamanan) sempit, sehingga peningkatan kadar
plasma yang relative kecil sudah bermakna secara klinis.
c. Metabolisme
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membrane
endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol . tempat metabolism yang
lain (ekstrahepatik) adalah: dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit,
juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya iubah menjadi inaktif,
tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang
aktif, atau menjadi toksik.
Reaksi metabolism terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi
fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat
menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang
aktif. Sedangkan reaksi II merupakan reaksi konjungasi dengan substrat
endogen: asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan
hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif.
Obat dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi I
yang diikuti reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar
seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfihidril, dsb, untuk dapat
bereaksi dengan substrat endogen pada reaksi fase II. Karena itu obat yang
sudah mempunyai gugus – gugus tersebut langsung bereaksi dengan substrat
endogen (reaksi fase II). Hasil eaksi fase I dapat juga sudah cukup polar
untuk langsung diekskresikan lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II
lebih dulu.
Reaksi metabolism yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim
cytochrome P450 ( CYP), yang disebut juga enzim mono – oksigenase, atau
MFO( mixed- function oxidase), dalalm endoplasmic reticulum ( mikrosom)
hati.
Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim
metabolism, terutama enzim CYP. Induksi berarti peningkatan sintesis
enzim metabolisme pada tingkat transkrispsi sehingga terjadi peningkatan
kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang
bersangkutan, akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat tersebut, berarti
terjadi toleransi farmokinetik. Karena melibatkan sintesis enzim maka
diperlukan waktu pajanan beberapa hari sebelum dicapai efek yang
maksimal. Induksi dialami oleh semua enzim mikrosomal. Jadi enzim CYP
dan UGT.
Inhibisi enzim metabolisme : hambatan terjadi secara langsung,
dengan akibat peningkatkan kadar obat yang menjadi substrat dari enzim
yang dihambat juga terjadi secara langsung. Untuk mencegah terjadinya
toksisitas, diperlukan penurunan dosis obat yang bersangkutan atau bahkan
tidak boleh diberikan bersama penghambatnya.
Metabolisme obat akan terganggu pada pasien penyakit hati seperti
sirosis, hati berlemak, dan kanker hati. Pada sirosis yang parah,
metabolisme obat berkurang antara 30 – 50 %, ini dapat meningkatkan
bioavailabilitas 2-4 kali pada obat – obat yang mengalami metabolisme
lintas pertama. Enzim – enzim CYP lebih terpengaruh dibanding reaksi –
reaksi fase II seperti glukuronidasi. Metabolisme obat juga terganggu oleh
adanya penyakit yang mengurangi perfusi hati seperti gagal jantung dan
syok.
Enzim – enzim metabolisme fase I dan fase II mencapai kematangan
setelah tahun pertama kehidupan, kecuali enzim UGT untuk bilirubin
mencapai nilai dewasa pada decade kedua kehidupan.
d. Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi
melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi
dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melalui
ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi
glomerulus, sekresi aktif tubulus proksimal dan reabsorbsi pasif di
sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12
bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun.
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi
ginjal. Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam
usus dan keluar bersama feses. Obat dan metabolit yang larut lemak dapat
direabsorbsi kembali ke dalam tubuh dari lumen usus. Metabolit dalam
bentuk glukuronat dapat dipecah dulu oleh enzim glukuronidase yang
dihasilkan oleh flora usus menjadi bentuk obat awalnya yang mudah
diabsosrpsi kembali. Akan tetapi, bentuk konjugat juga dapat langsung
diabsorpsi melalui transporter membrane OATP di dinding usus, dan baru
dipecah dalam darah oleh enzim esterase. Siklus enterohepatik ini dapat
memperpangjang efek obat, misalnya estrogen dalam kontrasepsi oral.
Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anestetik umum.
2.2.2 Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek
biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari
mekanisme kerja obat adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui
interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek
dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan
dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
2.2.3 Mekanisme Kerja obat
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan
reseptornya pada sel organism. Interaksi obat dengan reseptornya ini
mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons khas
untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul
fungsional; hal ini mencakup 2 konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah
kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru,
tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi
terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap
komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor fisiologis
untuk ligand endigen. Obat yang menyerupai senyawa endogen disebut agonis.
Sebaliknya. Obat yang tidak mempunyai aktivitas instinsik sehingga
menimbulkan efek yang menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis.
Disamping itu, ada obat yang jika berikatan dengan reseptor fisiologis
menimbulkan efek instrinsik yang berlawanan dengan efek agonis, disebut
agonis negative.
b. Sulfonilurea
1) Glibenklamid
Indikasi :
NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus/DM tipe2) ringan
sampai sedang
Kontraindikasi :
Hipersensitif terhadap komponen obat ini, wanita menyusui, porifia,
ketoasidosis.
Efek samping :
Gejala saluran pencenaan dan sakit kepala, hipoglikemia, gangguan
penglihatan, gangguan saluran cerna (mual, muntah, diare),
leukopenia, agranulositosis, pansitopenia, hipotermia, dapat
meningkatkan ADH (Anti Diuretik Hormon)
Penting :
Hati – hati pada usia lanjut, gangguan fungsi hati dan ginjal
Dosis :
5 mg per hari. Pada pasien usia lanjut atau dengan gangguan fungsi
ginjal, dosis awal harus dikurangi menjadi 2,5 mg atau bahkan 1,25
mg sehari.
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
Cenderung meningkatkan berat badan (BB) sehingga tidak cocok
untuuk pasien obesitas.
Dapat meningkatkan LFT (Liver Function Test)
Obat diminum 30 menit sebelum sarapan
Jika lupa minum obat sekali, segera diminum pada saat ingat. Jika
sudah mendekati dosis selanjutnya, maka dosis yang lupa dianggap
tidak ada dan melanjutkan dosis selanjutnya. Jangan pernah
mengonsumsi dua dosis pada saat yang sama.
Mekanisme kerja :
Glibenklamid mempunyai efek farmakologi jangka pendek dan
panjang. Selama pengobatan jangka pendek, glibenklamid
meningkatkan sekresi insulin darri sel dan pankreas di pulau
Langerhans, sedangkan pengobatan jangka panjang efek utamanya
adalah meningkatkan efek insuslin terhadap jaringan perifer dan
penurunan pengeluaran glukosa dari hati (efek ekstra pankreatik).
Pada pengobatan jangka pendek Glibenklamid menyebabkan
deregulasi sel β pulau Langerhans. Rangsangan pelepasan insulin
tersebut bersifat sangat cepat.
Interaksi :
Obat kontrasepsi, kortikosteroid, tiazid, furosemid, hormon tiroid
(dosis tinggi) dan niasin dapat mengurangi kadar glukosa toleransi.
2) Glikazid
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
Pasien dengan riwayat alergi terhadap sulfonilurea, diabetes yang
disertai ketoasidosis, DM Tipe 1, pasien DM yang menjalani
pembedahan, luka beratatau infeksi, wanitahamil dan menyusui,
neonatus, dan anak – anak.
Efek samping :
Sakit kepala, gangguan saluran cerna, mual dan pusing, erupsi kulit.
Penting :
Dosis yang berlebihan umumnya akan menyebabkan hiperglikemia
berat. Hati – hati pada pasien gangguan hati dan ginjal. Dosis awal :
40 – 80 mg sehari. Dosis maksimal : 230 mg/ hari dalam 1 – 2 kali
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
Glikazid dapat menyebabkan hipoglikemia.Hal ini mungkin
memerlukan pemberian glukosa 5% I.V selama 12 -24 jam dengan
pengontrolan ketat KGD dan jugakadar kalium.
Obat diminum bersama sarapan
Mekanisme kerja :
Menstimulasi pelepasan insulin dari sel β pulau Langerhans di
pankreas dengan memfasilitasi ion kalsium melalui membran sel β.
Mengurangi pengeluaran glukosa dari hati. Efek hipogliikemia terjadi
dengan perantaraan insulin dan peningkatan sensitivitas jaringan
terhadap insulin. Obat ini mengurangi daya agregasi, daya lekat,
mengurangi pelepasan faktor trombosit dan rotonin.
Interaksi :
Obat – obat cenderung meningkatkan efek glikemia adalah asetosal,
fenilbutason, klofibrat, sulfonamide, antikoagulan, kumarin, dan obat–
obat yang menghambat enzim mikrosomal hati miisalnya simetidin.
Obat- obat yang cenderung mengurangi efek hipoglikemia dengan
menginduksi aktivitas enzim mikrosomal hati, misalnya rifampisin,
barbiturat, dan alkohol atau obat yang menghambat pelepasan/
aktivitas insulin, misal : diazoksid, glukokortikoid, estrogen, dan amin
simpatomimetik
3) Glikuidon
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
DM tergantung insulin (DM Tipe 1), koma dan prekoma diabetik,
diabetes dengan komplikasi asidosis dan ketosis. Alergi terhadap
sulfonilurea, gagal ginjal atau hatiyang parah, penyakit infeksi akut.
Efek samping :
Sakit kepala, gangguan saluran cerna. Kadang terjadi reaksi
hipoglikemia, reaksi alergi kulit, perubahan sistem hemopoetik dan
intoleransi GI, trombositopenia, anemia aplastik, agranulositosis.
Penting:
Hati –hati pada pasien gangguan ginjal berat, usia lanjut. Dosis awal :
15mg, dosis lazim : 45 – 65 mg/hari terbagi dalam 2 – 3 dosis, dosis
maksimal : 150 mg/hari
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
Obat diminum sesaat 30 menit sebelum makan
Mekanisme kerja :
Merangsang jaringan pulau Langerhans untuk menghasilkan insulin
endogen
Interaksi :
Efek hipoglikemia dapat diperkuat oleh aktivitas fisik, fenilbutazon,
tuberkulostatik, kloramfenikol, tetrasiklin, derivate, kumarin,
siklofosfamid, penghambat Mono Amin Oksidase (MAO). Glikuidon
dapat mengurangi toleransi pasien terhadap alcohol.
4) Glimeperid
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
Hipersensitif terhadap glimeperid atau golongan sulfonylurea,
diabetes ketoasidosis (dengan atau tanpa koma) forfiria, wanita hamil
dan menyusui.
Efek samping:
Nyeri kepala, hipoglikemia, gangguan penglihatan, gangguan saluran
cerna (mual, muntah, diare) leukopenia, agranulositosis,
trombositipenia, dapat meningkatkan ADH (Anti Diuretik Hormon).
Penting:
Dosis Dewasa : 1-2 mg sehari sekali. Dosis pemeliharaan : 1-4 mg
sekali sehari. Dosis maksimal : 8 mg sekali sehari. Pasien usia lanjut:
1 mg/hari.
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
Obat dapat diminum bersama sarapan
Mekanisme kerja :
Menstimulasi pelepasan insulin dari sel pancreas. Mengurangi
produksi glukosa oleh hati, meningkatkan sensitivitas insulin.
Interaksi :
Efek obat dapat berkurang karena penggunaan cholestiramin,
hidantoin, rifampin, tiazid, charcoal dan urinary alkalines. Efek obat
dapat meningkat karena penggunaan : H2- antagonis, antikoagulan,
androgen, β-blocker, flukonazol, salisilat, gemfibrosil, sulfonamide,
antidepresan trisiklik, probenesid, inhibitor mono amin oksidase
(MAO), metildopa, non-steroid antiinflamation drugs
(NSAID),kloramfenikol, kumarin, glikosida digitalis, urinary
acidifiers. Meningkatkan toksisitas glimeferid: cimetidine dapat
meningkatkan efek hipoglikemia, obat yang menyebabkan
hipoglikemia: tiazid atau diuretic lain, kortikosteroid, fenotiazin,
produk-produk tiroid, estrogen kontrasepsi PO, fenitoin, asam
nikotinat, simpatomimetika, isoniazid.
5) Glipizid
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
DM Tipe I dan hipersensitif terhadap lipizid atau golongan
sulfonylurea.
Efek samping :
Pusing, kurang nafsu makan, mual, muntah, diare, konstipasi.
Penting :
Pasien dengan gangguan hati dan gangguan ginjal yang berat. Dosis
dewasa: 2,5-40 mg/hari. Dosis >15-20 mg/hari dibagi dalam 2 dosis
sehari. Pasien usia lanjut: 2,5-5 mg/hari. Dosis maksimal : 40 mg/hari.
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
Glipizid cenderung meningkatkan BB sehingga tidak cocok untuk
pasien obesitas.
Obat diminum 30 menit sebelum makan.
Mekanisme kerja : menstimulasi pelepasan insulin dari sel pancreas.
Mengurangi produksi glukosa oleh hati, meningkatkan sensitivitas
insulin.
Interaksi : β-blocker, cholestiramin, hidantoin, rifampin, salisilat,
gemfibrosil, sulfonamide, antidepresan trisiklik, probenesid, inhibitor
(MAO), glikosida digitalis, metil dopa, urinary acidifiers dapat
menurunkan efek glipizid. Simetidin, NSAID, warfarin dan mikonazol
dapat meningkatkan efek hipoglikemia.
c. Golongan Meglitinid
Contoh obat : Repaglinid, Nateglinid.
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
Diabetik Ketoasidosis, dengan atau tanpa koma diabetes (DM Tipe I),
hipersensitivitas terhadap repaglinid.
Efek samping :
Nyeri kepala, mual, diare, konstipasi, nafsu makan menurun.
Penting :
Hati-hati untuk pasien gangguan hati. Dosis dewasa dengan HbA1C <
8% = 0,5 mg, HbA1C ≥ 8% = 1 atau 2 mg. dosis maksimal : 16
mg/hari. Kisaran dosis : 0,5-4 mg.
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
Obat diminum 15-30 menit sebelum makan.
Bila pasien tidak makan, obat jangan diminum. Bila ada ekstra
makanan maka beri obat untuk mengontrol KGD PP
Mekanisme kerja :
Interaksi :
Kadar meglitinid akan turu jika digunakan dengan antifungsi
(ketokonazol, mikonazol), eritromisin, thiazide, fenitoin, asam
nikotinat, simpatomimetik, Ca-Chanel Blockers, dan isoniazid. Kadar
meglitinid dapat meningkat jika digunakan bersama fenilbutazon,
antikoagulan PO, hidantoin, salisilat, NSAIDS, sulfonamide.
d. Golongan GLP-1
Indikasi :
Kontraindikasi :
Efek samping :
Penting :
Mekanisme kerja :
Interaksi :
e. Gololongan GLP-1
Contoh golongan ini adalah eksenatide
Indikasi :
Terapi tambahan untuk pasien DM tipe 2 yang sudah menggunakan
biguanid atau kombinasi biguanid dan sulfonorea tapi belum bias
mencapai kadar gula darah yang diinginkan. Dapat juga digunakan
sebagai tambahan pada terapi golongan tiazolidinedion.
Kontraindikasi :
Efek samping :
Penting :
Mekanisme :
Interaksi :
Indikasi :
Kontraindikasi :
Efek samping :
Mual, simtom selesma, nasofaringitis, nyeri abdomen, infeksi saluran
kencing, sakit kepala, sakit tenggorokan, pilek, infeksi saluran nafas
bagian atas.
Penting :
Mekanisme :
Interaksi :
Indikasi :
Kontraindikasi :
Perhatian :
Efek samping :
Mekanisme :
Pramlitid dapat memperlambat absorpsi glukosa di saluran
pencernaan, menghambat aksi glucagon dan mengurangi nafsu makan.
Interaksi :
Insulin dapat mempengaruhi struktur kimia dari pramlimtid, sehingga
kedua sediaan ini tidak boleh disiapkan dalam 1 siring suntikan.
Pramlintid dapat memperlambat absorpsi obat PO. Obat PO sebaiknya
diminum 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah pramlintid diberikan
secara subkutan.
h. Golongan Biguanid
Indikasi :
Kontraindikasi :
Penting :
Indikasi :
DM tipe 2
Mekanisme :
Penting :
Efek samping :
b. Latihan Jasmani
hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik,
psikis maupun sosial dan tampak sehat (Yunir dan Soebardi, 2005).
c. Obat Herbal
tanaman obat dalam tiga strata, yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan
suku bangsa Indonesia. Strata di atas jamu adalah obat bahan alam atau
obat herbal terstandar yang bahan bakunya sudah dalam bentuk ekstrak
dan aspek keamanan serta khasiatnya telah teruji pada hewan percobaan
yang dikenal sebagai uji praklinik. Strata teratas dalam dalam industri
OT atau farmasi adalah produk fitofarmaka, dalam bentuk ramuan
dari tanaman yang digunakan untuk penambah rasa, pewarna, dan atau
2010).
buruk yang timbul dariinteraksi antara obat medis dengan herbal yang
Sebanyak 101 dari 657 sampel pasien rawat jalan di suatu rumah
1) Mahkota dewa
Berdasarkan penelitian Saragih (2001) terbukti bahwa rebusan
2) Ceplukan
3) Sambiloto
Seluruh tanaman sambiloto dapat digunakan sebagai bahan
seperti insulin.
3.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus adalah kelainan yang bersifat kronik yang ditandai oleh
gangguan metabolism karbohidrat, protein, dan lemak yang diikuti oleh
komplikasi mikrovaskuler maupun makrovaskuler, dan telah diketahui berkaitan
dengan faaktor genetik dengan gejala klinik yang paling utama adalah intoleransi
glukosa (Wilson,2000).
Diabetes Mellitus tipe 2 terdiri dari berbagai macam kelainan dengan
karakteristik yang sama yaitu insufisiensi kerja insulin untuk mempertahankan
kadar glukosa darah dalam batas normal. Insufisiensi kerja insulin merupakan
kombinasi dari resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal
(Darmono,2000).
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai
dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi,
waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau
tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik
biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat
lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya
DAFTAR PUSTAKA