Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH INTERAKSI OBAT DAN MAKANAN

“PENGARUH OBAT TERHADAP PENYAKIT DEGENERATIF


(DIABETES MELLITUS)”

Oleh :

BINTI MAULINA PUTRI NIM P07131215089


HAIFATUL ALIMAH NIM P07131215100
HELDA YANTI NIM P07131215101
RIZKA ZALECHA RAHIM NIM P07131215117

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
JURUSAN D-IV GIZI
2017/2018
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat,
taufik dan hidayah-Nya yang senantiasa tercurah kepada segenap hambanya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa ada halangan satupun.
Makalah ini disusun sebagai salah satu syarat memenuhi nilai tugas mata kuliah
interaksi obat dan makanan.
Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih banyak kepada
bapak Sajiman SKM., M.Gizi selaku dosen pengampu mata kuliah interaksi obat
dan makanan. Kami menyadari dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penyusunan, bahasa, ataupun penulisannya. Oleh karena
itu kami mengharapkan masukan berupa kritikan dan saran yang membangun,
khususnya dari dosen mata mata kuliah interaksi obat dan makanan guna menjadi
acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan
datang.
Akhir kata semoga laopran ini dapat bermanfaat, menambah pengetahuan,
serta wawasan bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.

Banjarbaru, Maret 2018

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................. 1
1.1 LatarBelakang ............................................................................. 1
1.2 Tujuan ......................................................................................... 3
1.2.1 TujuanUmum ........................................................................... 3
1.2.2 TujuanKhusus .......................................................................... 3
1.3 Pelaksanaan................................................................................. 3
BAB II ISI......................................................................................... 4
2.1 Puskesmas ................................................................................... 4
2.1.1 Letak ........................................................................................ 4
2.1.2 KeadaanGeografis.................................................................... 4
2.1.3SumberDayaKesehatan ............................................................. 6
2.2 HasildanGambaranPelaksanaanUpayaKesehatan....................... 7
2.2.1 UpayaKesehatanWajib ............................................................ 7
2.2.2 UpayaKesehatanPengembangan .............................................. 9
2.2.3 DerajatKesehatan ..................................................................... 10
2.3 HasilKegiatan ............................................................................. 16
BAB III PENUTUP .......................................................................... 18
3.1 Pembahasan ................................................................................ 18
3.2 Kebijakandan Cara PenanggulanganMasalah
KesehatandanGizi ............................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain
(interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan
bersama-sama.
Interaksi obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah
studi di Amerika menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus
masuk rumah sakit atau harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada
seharusnya, bahkan hingga terjadi kasus kematian karena interaksi dan/atau efek
samping obat. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan
polifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter,
sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat
keparahan penyakit atau usia.
Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas
dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang
rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain
itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama.
Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
a. Dokumentasinya masih sangat kurang
b. Seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan
mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan
interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi
idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa penurunakn
efektivitas dianggap diakibatkan bertambah parahnya penyakit pasien
c. Kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual, di
mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau berpenyakit
parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme antar individu.
Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang
parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama,
pemberian kronik).
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolic kronik yang
mengenai segala lapis masyarakat dunia. Penyakit ini sering disebut the great
imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua ogan dan menimbulkan
berbagai macam keluhan. Penyakit ini tidak dapat sembuh meskipun dapat diatasi.
Berdasarkan klasifikasi yang baru diabetes dibagi menjadi beberapa kelas dan
yang termasuk dalam kelas utama ialah diabetes tipe I dan diabetes tipe II.
Sebanyak lebig dari 85 % kasus DM adalah DM tipe 2. DM dapat menimbulkan
berbagai komplikasi baik akut maupun komplikasi kronik. Oleh karena itu perlu
penanganan serius terhadap diabetes yang dilakukan melalui Panca Usaha
Pengolahan Diabetes yaitu edukasi, pengaturan makan, latihan jasmani,
penggunaan obat serta mengatasi gangguan dan komplikasi juga perubahan pola
hidup penderita diabetes mellitus.
Oleh karena itu penulis tertarik untuk menulis mengenai interaksi obat dan
makanan terhadap penderita diabetes mellitus.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi dan patogenesa pada
penyakit diabetes melitus ?
2. Bagaimana pengaruh obat terhadap penyakit diabetes melitus ?
3. Bagaimana proses terapi farmakologi terhadap penyakit diabetes melitus ?
4. Bagaimana penggunaan herbal (Non farmakologi) sebagai pendukung
pengobatan medis oleh pasien diabetes mellitus ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Mengetahui definisi, epidemiologi, klasifikasi, etiologi etiologi dan
patogenesa terhadap penyakit diabetes melitus ?
2. Mengetahui proses terapi farmakologi terhadap penyakit diabetes melitus ?
3. Mengetahui pengaruh obat terhadap penyakit diabetes melitus ?
4. Mengetahui penggunaan herbal (Non farmakologi) sebagai pendukung
pengobatan medis oleh pasien diabetes mellitus ?
BAB II

ISI
2.1 Diabetes Mellitus (DM)
2.1.1 Definisi
Diabetes Mellitus adalah kelainan yang bersifat kronik yang ditandai oleh
gangguan metabolism karbohidrat, protein, dan lemak yang diikuti oleh
komplikasi mikrovaskuler maupun makrovaskuler, dan telah diketahui
berkaitan dengan faaktor genetik dengan gejala klinik yang paling utama
adalah intoleransi glukosa (Wilson,2000).
Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh
adanya kenaikan kadar gula darah (hiperglikemia) kronik. Keadaan
hiperglikemia kronik tersebut dapat mengenai banyak orang pada semua
lapisan masyarakat di seluruh dunia (Waspadji, 1995). Diabetes Mellitus
ditandai oleh hiperglikemia serta gangguan-gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein yang bertalian dengan defisiensi absolut atau
relativ aktivitas dan atau sekresi insulin. Karena itu meskipun diabetes asalnya
merupakan endokrin, manifestasi pokoknya adalah penyakit metabolik
(Anonim, 2000).

2.1.2 Epidemiologi
Jumlah penderita diabetes diseluruh dunia, menurut data tahun 1993
adalah 100 juta, yang berarti suatu kenaikan 3 kali lipat dibandingkan tahun
1987. Di Indonesia, angka kejadian diabetes berkisar 1-2 % berarti satu di
antara 50 – 100 penduduk Indonesia menderita diabetes. Salah satu factor yang
diduga meningkatkan kejadiannya di Asia dan Afrika adalah adanya perubahan
yang nyata dalam pola makan, yaitu yang banyak nerlemak dengan kurang
sayur, kegemukan, dan hidup yang sangat santai (Hartati,2002).
2.1.3 Etiologi dan Patogenesis
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes mellitus bermacam
– macam. Akan tetapi, penyakit ini sering dihubungkan dengan faktor genetik
yang autosomal dominan di mana factor lingkungan memiliki kontribusi pada
manifestasinya terutama pada orang – orang dengan predisposisi genetik. Dari
penelitian diketahui bahwa pada kembar monozigot kejadian DM tipe 2
meningkat hingga 91 % dan tidak berubah meskipun perbedaan berat badan
telah dihitung. Besarnya resiko terkena DM tipe 2 adalah sebesar 14 % jika tak
satu pun orang tua menderita DM, 25 % jika salah satu orang tua menderita
DM dan 45 % jika kedua orang tua menderita DM (Darmono,2000).
a. Sekresi Insulin
Selain faktor genetik, patogenesis DM tipe 2 juga dihubungkan dengan
gangguan sekresi insulin. Semua penelitian menunjukkan bahwa pada fase
awal penderita dengan DM tipe 2 memiliki kadar insulin yang normal atau
meningkat, yang kemudian dihubungkan dengan terjadinya obesitas meski
obesitas tidak selalu terjadi. Peningkatkan kadar insuli ini menunjukkan
bahwa pada saat itu lebih banyak insulin harus disekresikan untuk
mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Selanjutnya
kadar insulin menjadi normal, baik dalam proporsi proinsulin maupun
bioaktivitasnya. Meski kadar insulin normal, abnormalitas sekresi insulin
dapat diidentifikasi setelah stimulasi sel β pankreas dengan cara
memberikan glukosa intra vena. Di mana kadar insulin meningkat akan
tetapi glukosa darah tetap normal, menunjukkan adanya resistensi insulin.
Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak bentuk intoleransi glukosa dalam
bentuk hiperglikemia setelah makan. Bagi beberapa penderita intoleransi
glukosa ini dapat bertahan bertahun – tahun berkembang menjadi DM, tapi
bagi sebagian penderita, ini adalah fase intermediate sebelum menjadi
diabetes. Umumnya pasien tidak memiliki keluhan, akan tetapi perubahan
makroangiopati dan lesi – lesi vaskuler telah dapat ditemukan dalam fase
ini. Akhirnya pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah tetapi sekresi
insulin menurun dengan akibat kadar glukosa darah yang sangat tinggi
menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata (Sylvia,1995).

b. Resistensi Insulin
Kadar insulin plasma yang normal atau meningkat pada penderita DM tipe 2
menunjukkan resistensi insulin yang muncul sebagai akibat adanya defek
pada beberapa tehapan kerja insulin. Dalam keadaan normal, insulin terikat
pada resepto di membrane sel yang selanjutnya mentransmisikan second
messenger untuk memulai perubahan metabolism glukosa didalam sel. Pada
DM tipe 2 ddefek pertama adalah adanya penurunan jumlah respetor insulin,
sedangkan defek kedua adalah adanya defek pada pengiriman sinyal/ pesan
intraseluler yang diduga terkait dengan abnormalitas metabolism
karbohidrat (Sylvia,1995).

2.2 Farmakologi
2.2.1 Farmakokinetik
a. Absorpsi
Absorpsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung dari cara pemberiannya, tempat pemberian obat
adalah saluran cerna ( mulut sampai dengan rectum), kulit, paru, otot, dan
lain – lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan
cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki
permukaan absorpsi yang sangat luas.
Pemberia obat dibawah lidah hanya untuk obat yang larut dalam
lemak, karena luas absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan
diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya nitroglisin.
Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagian barier
absorpsi adalah membrane sel epitel saluran cerna, yang seperti halnya
semua membrane sel tubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan demikian,
agar dapat melintasi membrane sel tersebut, molekul obat harus memiliki
kelarutan lemak(setelah terlebih dahulu larut dalam air). Kecepatan difusi
berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak molekul obat ( selain
dengan perbedaan kadar obat lintas membrane, yang merupakan driving
force proses difusi, dan dengan luasnya area permukaan membrane difusi).
Kebanyakan obat merupakan elektolit lemah, yakni asam lemah atau
basa lemah. Dalam air, elektolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk
ionnya. Derajat ionisasi obat tergantung pada konstanta ionisasi obat dan pH
larutan di mana obat berada.

b. Distribusi
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan berbagai
ikatan lemah. Ada bebrapa macam protein plasma:
1) Albumin : mengikat obat – obat asam dan obat – obat netral serta
bilirubin dan asam – asam lemak.
2) α-glikoprotein: mengikat obat – obat basa
3) CBG ( corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat kortikosteroid
4) SSBG (sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormone kelamin.
Obat – obat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh
tubuh. Komplek obat – protein terdisosiasi dengan sangat cepat. Obat bebas
akan keluar ke jaringan: ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat depotnya,
ke hati (dimana obat mengalami metabolism menjadi metabolit yang
dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke darah), dan ke ginjal (
dimana obat/ metabolitnya diekskesi ke dalam urin).
Interaksi pergeseran protein. Obat – obat asam akan bersaing untuk
berikatan dengan albumin di tempat ikatan yang sama, dan obat - obat akan
bersaing untuk berikatan dengan α-glikoprotein. Karena tempat ikatan pada
protein plasma tersebut terbatas, maka obat yang pada dosis terapi telah
menyebabkan jenuhnya ikatan akan menggeser obat lain yang terikat pada
tempat ikatan yang sama sehingga obat yang bergeser ini akan lebih banyak
yang bebas. Selanjutnya obat yang bebas ini akan keluar dari pembuluh
darah dan menimbulkan efekfarmakologik atau dieliminasi dari tubuh.
Interaksi pergeseran protein akan bermakna secara klinik jika obat yang
digeser memenuhi 3 syarat berikut:
1) Ikatan protein tinggi: ≥ 85%, sehingga kadar obat bebas rendah,
akibatnya pergeseran sedikit saja sudah meningkatkan jumlah obat bebas
secara bermakna.
2) Volume distribusi kecil (≤ 0,15 L/kg), sehingga peningkatan jumlah obat
bebas tidak habis terdistribusi tapi memberikan peningkatan kadar
plasma yang cukup bermakna
3) Margin of safety (batas keamanan) sempit, sehingga peningkatan kadar
plasma yang relative kecil sudah bermakna secara klinis.

c. Metabolisme
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membrane
endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol . tempat metabolism yang
lain (ekstrahepatik) adalah: dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit,
juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya iubah menjadi inaktif,
tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug), kurang
aktif, atau menjadi toksik.
Reaksi metabolism terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II. Reaksi
fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat
menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif, lebih aktif, atau kurang
aktif. Sedangkan reaksi II merupakan reaksi konjungasi dengan substrat
endogen: asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan
hasilnya menjadi sangat polar, dengan demikian hampir selalu tidak aktif.
Obat dapat mengalami reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi I
yang diikuti reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar
seperti gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfihidril, dsb, untuk dapat
bereaksi dengan substrat endogen pada reaksi fase II. Karena itu obat yang
sudah mempunyai gugus – gugus tersebut langsung bereaksi dengan substrat
endogen (reaksi fase II). Hasil eaksi fase I dapat juga sudah cukup polar
untuk langsung diekskresikan lewat ginjal tanpa harus melalui reaksi fase II
lebih dulu.
Reaksi metabolism yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim
cytochrome P450 ( CYP), yang disebut juga enzim mono – oksigenase, atau
MFO( mixed- function oxidase), dalalm endoplasmic reticulum ( mikrosom)
hati.
Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi enzim
metabolism, terutama enzim CYP. Induksi berarti peningkatan sintesis
enzim metabolisme pada tingkat transkrispsi sehingga terjadi peningkatan
kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim yang
bersangkutan, akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat tersebut, berarti
terjadi toleransi farmokinetik. Karena melibatkan sintesis enzim maka
diperlukan waktu pajanan beberapa hari sebelum dicapai efek yang
maksimal. Induksi dialami oleh semua enzim mikrosomal. Jadi enzim CYP
dan UGT.
Inhibisi enzim metabolisme : hambatan terjadi secara langsung,
dengan akibat peningkatkan kadar obat yang menjadi substrat dari enzim
yang dihambat juga terjadi secara langsung. Untuk mencegah terjadinya
toksisitas, diperlukan penurunan dosis obat yang bersangkutan atau bahkan
tidak boleh diberikan bersama penghambatnya.
Metabolisme obat akan terganggu pada pasien penyakit hati seperti
sirosis, hati berlemak, dan kanker hati. Pada sirosis yang parah,
metabolisme obat berkurang antara 30 – 50 %, ini dapat meningkatkan
bioavailabilitas 2-4 kali pada obat – obat yang mengalami metabolisme
lintas pertama. Enzim – enzim CYP lebih terpengaruh dibanding reaksi –
reaksi fase II seperti glukuronidasi. Metabolisme obat juga terganggu oleh
adanya penyakit yang mengurangi perfusi hati seperti gagal jantung dan
syok.
Enzim – enzim metabolisme fase I dan fase II mencapai kematangan
setelah tahun pertama kehidupan, kecuali enzim UGT untuk bilirubin
mencapai nilai dewasa pada decade kedua kehidupan.
d. Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi
melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi
dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melalui
ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi
glomerulus, sekresi aktif tubulus proksimal dan reabsorbsi pasif di
sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12
bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per tahun.
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan fungsi
ginjal. Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke dalam
usus dan keluar bersama feses. Obat dan metabolit yang larut lemak dapat
direabsorbsi kembali ke dalam tubuh dari lumen usus. Metabolit dalam
bentuk glukuronat dapat dipecah dulu oleh enzim glukuronidase yang
dihasilkan oleh flora usus menjadi bentuk obat awalnya yang mudah
diabsosrpsi kembali. Akan tetapi, bentuk konjugat juga dapat langsung
diabsorpsi melalui transporter membrane OATP di dinding usus, dan baru
dipecah dalam darah oleh enzim esterase. Siklus enterohepatik ini dapat
memperpangjang efek obat, misalnya estrogen dalam kontrasepsi oral.
Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anestetik umum.

2.2.2 Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah subdisiplin farmakologi yang mempelajari efek
biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari
mekanisme kerja obat adalah untuk meneliti efek utama obat, mengetahui
interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa serta spectrum efek
dan respons yang terjadi. Pengetahuan yang baik mengenai hal ini merupakan
dasar terapi rasional dan berguna dalam sintesis obat baru.
2.2.3 Mekanisme Kerja obat
Kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan
reseptornya pada sel organism. Interaksi obat dengan reseptornya ini
mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons khas
untuk obat tersebut. Reseptor obat merupakan komponen makromolekul
fungsional; hal ini mencakup 2 konsep penting. Pertama, obat dapat mengubah
kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak menimbulkan fungsi baru,
tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. Walaupun tidak berlaku bagi
terapi gen, secara umum konsep ini masih berlaku sampai sekarang. Setiap
komponen makromolekul fungsional dapat berperan sebagai reseptor fisiologis
untuk ligand endigen. Obat yang menyerupai senyawa endogen disebut agonis.
Sebaliknya. Obat yang tidak mempunyai aktivitas instinsik sehingga
menimbulkan efek yang menghambat kerja suatu agonis disebut antagonis.
Disamping itu, ada obat yang jika berikatan dengan reseptor fisiologis
menimbulkan efek instrinsik yang berlawanan dengan efek agonis, disebut
agonis negative.

2.3 Interaksi Obat terhadap Penyakit Diabetes Mellitus


2.3.1 Terapi Farmakologi
a. Insulin

Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe I dan beberapa


jenis DM tipe II, tetapi memang masih banyak pasien DM yang enggan
disuntik, kecuali dalam keadaan terpaksa. Karenanya terapi edukasi pasien
DM sangatlah penting, agar pasien sadar akan perlunya terapi insulin meski
diberikan secara suntikan. Suntikan insulin dapat dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain: intravena, intramuskuler, dan umumnya pada penggunaan
jangka panjanglebih disukai pemberian secara subkutan.
Insulin subkutan terutama diberikan pada DM tipe I. DM tipe II yang
tidak dapat diatasi hanya dengan diet atau antidiabetik oral, pasien DM
pascapankeatomi atau DM dengan kehamilan, DM dengan ketoasidosis,
koma nonketosis, atau komplikasi lain, sebelum tindakan operasi. Tujuan
insulin pada keadaan tersebut bukan saja untuk menormalkan glukosa darah
tetapi juga memperbaiki semua aspek metabolism, dan yang terakhir inilah
umumnya sukar dicapai. Hasil terapi yang optimal membutuhkan
pendekatan dokter pada pasien dan keluarganya, agar ada koordinasi antara
diet, latihan fisik, dan pemberian insulin.
Efek Samping :
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan efek samping paling sering terjadi dan terjadi
akibat dosis insulin yang terlalu besar, tidak tepatnya waktu makan
dengan waktu tercapainya kadar puncak insulin, atau karena adanya
factor yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, misalnya
insufisiensi adrenal atau pituari, ataupun akibat kerja fisik yang
berlebihan.
2. Reaksi alergi dan resistensi
Penggunaan insulin rekombinan dan insulin yang lebig murni, telah dapat
menurunkan insiden reaksi alergi dan resistensi. Meski demikian,
kadang – kadangreaksi tersebut masih dapat terjadiakibat adanya bekuan
atau terjadinya denaturasi preparat insulin, atau kontaminan, atau akibat
pasien sensitive terhadap senyawa yang ditambahkan pada proses
formulasi preparat insulin. Reaksi alergi local pada kulit yang sering
terjadi akibat IgE atau resistensi akibat timbulnya antibody IgG.
Indikasi :
DM tipe 1, DM gestasional, DM tipe 2 dimana terapi dengan
antidiabetika PO tidak adequate, sindroma metabolisme, DM dengan
berat badan yang menurun drastic, DM dengan komplikasi akut, DM
paskabedah pancreas, ketoasidosis dan koma hiperosmolar.
Kontraindikasi :
Hipersensitivitas
Penting :
Hati hati pada gejala hipoglikemia
Efek samping :
Hipoglikemia, reaksi alergi. Dosis : insulin terbagi menjadi beberapa
kategori yang dibedakan berdasarkan onset dan durasinya. Insulin
terbagi menjadi :
1) Rapid acting (aspart atau lispro) : onset 5-15 menit, durasi 3-4 jam.
2) Short acting (regular) : onset 30 menit, durasi 5-8 jam.
3) Intermediate acting (NPH) : onset 1-3 jam, durasi 16-24 jam.
4) Long acting (ultralente) : onset 4-6 jam, durasi 32 jam.
5) Combination.

Insulin diberikan secara subkutan dan inhalasi (disetujui oleh FDA


sejak tahun 2006). Insulin diberikan secara subkutan sebelum makan,
sesuai dengan waktu onsetnya.

Hal – hal yang perlu diperhatikan :

 Cara penggunaan insulin.


 Insulin dapat disimpan pada suhu kamar
Mekanisme kerja :
Insulin menurunkan kadar gula darah dengan menstimulasi
pengambilan glukosa perifer dan menghambat produksi gula hepatik.
Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit dan
memanjang pada pasien DM yang membentuk antibody terhadap
insulin. Hormon ini dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot ;
mengalami filtrasi di ginjal, kemudian diserap kembali di tubulus
ginjal yang juga merupakan tempat metabolismenya. Gangguan fungsi
ginjal yang berat lebih berpengaruh terhadap kadar insulin di dalam
darah dibandingkan gangguan fungsi hati.
Interaksi :
Beberapa hormone bersifat antagonis terhadap efek hipoglikemia
insulin antara lain, hormone pertumbuhan, kortikotropin,
glukokortikoid, tiroid, esterogen, progestin, dan glucagon. Adrenalin
menghambat sekresi insulin dan merangsang glikogenolisis.
Peningkatan kadar hormone ini perlu diperhitungkan dalam terapi
insulin. Salisilat meningkatkan sekresi insulin, mungkin menyebabkan
hipoglikemia. Hipoglikemia cenderung terjadi pada pasien dengan
penghambat adrenoseptor β akibat penghambatan efek katekolamin
pada glukoneogenesis dan glikogenolisis, obat ini juga mengkaburkan
takikardi akibat hipoglikemia. Potensi efek hipoglikemia insulin
terjadi dengan penghambat MAO, steroid anabolic dan fenfluramin
(FK UI,2007).

b. Sulfonilurea
1) Glibenklamid
Indikasi :
NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus/DM tipe2) ringan
sampai sedang
Kontraindikasi :
Hipersensitif terhadap komponen obat ini, wanita menyusui, porifia,
ketoasidosis.
Efek samping :
Gejala saluran pencenaan dan sakit kepala, hipoglikemia, gangguan
penglihatan, gangguan saluran cerna (mual, muntah, diare),
leukopenia, agranulositosis, pansitopenia, hipotermia, dapat
meningkatkan ADH (Anti Diuretik Hormon)
Penting :
Hati – hati pada usia lanjut, gangguan fungsi hati dan ginjal
Dosis :
5 mg per hari. Pada pasien usia lanjut atau dengan gangguan fungsi
ginjal, dosis awal harus dikurangi menjadi 2,5 mg atau bahkan 1,25
mg sehari.
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
 Cenderung meningkatkan berat badan (BB) sehingga tidak cocok
untuuk pasien obesitas.
 Dapat meningkatkan LFT (Liver Function Test)
 Obat diminum 30 menit sebelum sarapan
 Jika lupa minum obat sekali, segera diminum pada saat ingat. Jika
sudah mendekati dosis selanjutnya, maka dosis yang lupa dianggap
tidak ada dan melanjutkan dosis selanjutnya. Jangan pernah
mengonsumsi dua dosis pada saat yang sama.
Mekanisme kerja :
Glibenklamid mempunyai efek farmakologi jangka pendek dan
panjang. Selama pengobatan jangka pendek, glibenklamid
meningkatkan sekresi insulin darri sel dan pankreas di pulau
Langerhans, sedangkan pengobatan jangka panjang efek utamanya
adalah meningkatkan efek insuslin terhadap jaringan perifer dan
penurunan pengeluaran glukosa dari hati (efek ekstra pankreatik).
Pada pengobatan jangka pendek Glibenklamid menyebabkan
deregulasi sel β pulau Langerhans. Rangsangan pelepasan insulin
tersebut bersifat sangat cepat.
Interaksi :
Obat kontrasepsi, kortikosteroid, tiazid, furosemid, hormon tiroid
(dosis tinggi) dan niasin dapat mengurangi kadar glukosa toleransi.

2) Glikazid
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
Pasien dengan riwayat alergi terhadap sulfonilurea, diabetes yang
disertai ketoasidosis, DM Tipe 1, pasien DM yang menjalani
pembedahan, luka beratatau infeksi, wanitahamil dan menyusui,
neonatus, dan anak – anak.
Efek samping :
Sakit kepala, gangguan saluran cerna, mual dan pusing, erupsi kulit.
Penting :
Dosis yang berlebihan umumnya akan menyebabkan hiperglikemia
berat. Hati – hati pada pasien gangguan hati dan ginjal. Dosis awal :
40 – 80 mg sehari. Dosis maksimal : 230 mg/ hari dalam 1 – 2 kali
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
 Glikazid dapat menyebabkan hipoglikemia.Hal ini mungkin
memerlukan pemberian glukosa 5% I.V selama 12 -24 jam dengan
pengontrolan ketat KGD dan jugakadar kalium.
 Obat diminum bersama sarapan
Mekanisme kerja :
Menstimulasi pelepasan insulin dari sel β pulau Langerhans di
pankreas dengan memfasilitasi ion kalsium melalui membran sel β.
Mengurangi pengeluaran glukosa dari hati. Efek hipogliikemia terjadi
dengan perantaraan insulin dan peningkatan sensitivitas jaringan
terhadap insulin. Obat ini mengurangi daya agregasi, daya lekat,
mengurangi pelepasan faktor trombosit dan rotonin.
Interaksi :
Obat – obat cenderung meningkatkan efek glikemia adalah asetosal,
fenilbutason, klofibrat, sulfonamide, antikoagulan, kumarin, dan obat–
obat yang menghambat enzim mikrosomal hati miisalnya simetidin.
Obat- obat yang cenderung mengurangi efek hipoglikemia dengan
menginduksi aktivitas enzim mikrosomal hati, misalnya rifampisin,
barbiturat, dan alkohol atau obat yang menghambat pelepasan/
aktivitas insulin, misal : diazoksid, glukokortikoid, estrogen, dan amin
simpatomimetik
3) Glikuidon
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
DM tergantung insulin (DM Tipe 1), koma dan prekoma diabetik,
diabetes dengan komplikasi asidosis dan ketosis. Alergi terhadap
sulfonilurea, gagal ginjal atau hatiyang parah, penyakit infeksi akut.
Efek samping :
Sakit kepala, gangguan saluran cerna. Kadang terjadi reaksi
hipoglikemia, reaksi alergi kulit, perubahan sistem hemopoetik dan
intoleransi GI, trombositopenia, anemia aplastik, agranulositosis.
Penting:
Hati –hati pada pasien gangguan ginjal berat, usia lanjut. Dosis awal :
15mg, dosis lazim : 45 – 65 mg/hari terbagi dalam 2 – 3 dosis, dosis
maksimal : 150 mg/hari
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
 Obat diminum sesaat 30 menit sebelum makan
Mekanisme kerja :
Merangsang jaringan pulau Langerhans untuk menghasilkan insulin
endogen
Interaksi :
Efek hipoglikemia dapat diperkuat oleh aktivitas fisik, fenilbutazon,
tuberkulostatik, kloramfenikol, tetrasiklin, derivate, kumarin,
siklofosfamid, penghambat Mono Amin Oksidase (MAO). Glikuidon
dapat mengurangi toleransi pasien terhadap alcohol.

4) Glimeperid
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
Hipersensitif terhadap glimeperid atau golongan sulfonylurea,
diabetes ketoasidosis (dengan atau tanpa koma) forfiria, wanita hamil
dan menyusui.
Efek samping:
Nyeri kepala, hipoglikemia, gangguan penglihatan, gangguan saluran
cerna (mual, muntah, diare) leukopenia, agranulositosis,
trombositipenia, dapat meningkatkan ADH (Anti Diuretik Hormon).
Penting:
Dosis Dewasa : 1-2 mg sehari sekali. Dosis pemeliharaan : 1-4 mg
sekali sehari. Dosis maksimal : 8 mg sekali sehari. Pasien usia lanjut:
1 mg/hari.
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
 Obat dapat diminum bersama sarapan
Mekanisme kerja :
Menstimulasi pelepasan insulin dari sel pancreas. Mengurangi
produksi glukosa oleh hati, meningkatkan sensitivitas insulin.
Interaksi :
Efek obat dapat berkurang karena penggunaan cholestiramin,
hidantoin, rifampin, tiazid, charcoal dan urinary alkalines. Efek obat
dapat meningkat karena penggunaan : H2- antagonis, antikoagulan,
androgen, β-blocker, flukonazol, salisilat, gemfibrosil, sulfonamide,
antidepresan trisiklik, probenesid, inhibitor mono amin oksidase
(MAO), metildopa, non-steroid antiinflamation drugs
(NSAID),kloramfenikol, kumarin, glikosida digitalis, urinary
acidifiers. Meningkatkan toksisitas glimeferid: cimetidine dapat
meningkatkan efek hipoglikemia, obat yang menyebabkan
hipoglikemia: tiazid atau diuretic lain, kortikosteroid, fenotiazin,
produk-produk tiroid, estrogen kontrasepsi PO, fenitoin, asam
nikotinat, simpatomimetika, isoniazid.

5) Glipizid
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
DM Tipe I dan hipersensitif terhadap lipizid atau golongan
sulfonylurea.
Efek samping :
Pusing, kurang nafsu makan, mual, muntah, diare, konstipasi.
Penting :
Pasien dengan gangguan hati dan gangguan ginjal yang berat. Dosis
dewasa: 2,5-40 mg/hari. Dosis >15-20 mg/hari dibagi dalam 2 dosis
sehari. Pasien usia lanjut: 2,5-5 mg/hari. Dosis maksimal : 40 mg/hari.
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
 Glipizid cenderung meningkatkan BB sehingga tidak cocok untuk
pasien obesitas.
 Obat diminum 30 menit sebelum makan.
Mekanisme kerja : menstimulasi pelepasan insulin dari sel pancreas.
Mengurangi produksi glukosa oleh hati, meningkatkan sensitivitas
insulin.
Interaksi : β-blocker, cholestiramin, hidantoin, rifampin, salisilat,
gemfibrosil, sulfonamide, antidepresan trisiklik, probenesid, inhibitor
(MAO), glikosida digitalis, metil dopa, urinary acidifiers dapat
menurunkan efek glipizid. Simetidin, NSAID, warfarin dan mikonazol
dapat meningkatkan efek hipoglikemia.

c. Golongan Meglitinid
Contoh obat : Repaglinid, Nateglinid.
Indikasi :
NIDDM
Kontraindikasi :
Diabetik Ketoasidosis, dengan atau tanpa koma diabetes (DM Tipe I),
hipersensitivitas terhadap repaglinid.
Efek samping :
Nyeri kepala, mual, diare, konstipasi, nafsu makan menurun.
Penting :
Hati-hati untuk pasien gangguan hati. Dosis dewasa dengan HbA1C <
8% = 0,5 mg, HbA1C ≥ 8% = 1 atau 2 mg. dosis maksimal : 16
mg/hari. Kisaran dosis : 0,5-4 mg.
Hal – hal yang perlu diperhatikan :
 Obat diminum 15-30 menit sebelum makan.
 Bila pasien tidak makan, obat jangan diminum. Bila ada ekstra
makanan maka beri obat untuk mengontrol KGD PP
Mekanisme kerja :

Merangsang pelepasan insulin dari sel β pancreas, bekerja mirip


sulfonylurea tapi melalui sisi yang berbeda.

Interaksi :
Kadar meglitinid akan turu jika digunakan dengan antifungsi
(ketokonazol, mikonazol), eritromisin, thiazide, fenitoin, asam
nikotinat, simpatomimetik, Ca-Chanel Blockers, dan isoniazid. Kadar
meglitinid dapat meningkat jika digunakan bersama fenilbutazon,
antikoagulan PO, hidantoin, salisilat, NSAIDS, sulfonamide.

d. Golongan GLP-1

Contoh golongan ini adalah eksenatide.

Indikasi :

Terapi tambahan untuk pasien DM tpie 2 yang sudah menggunakan


biguanid atau kombinasi antara biguanid dan dulfonilurea tapi belum
bisa mencapai gula darah yang diinginkan. Dapat juga digunakan
sebagai tambahan pada terPI golongan tiazolidinedion.

Kontraindikasi :

Pasien DM tipe 1 atau sebagai terapi pengganti insulin pada pasien


yang hanya mendapatkan insulin sebagai terapi tunggal, hipersensitif,
ginjal, gangguan saluran cerna akut.

Efek samping :

Mual, muntah dan diare, berat badan menurun.

Penting :

Anak-anak, wanita yang sedang merencanakan kehamilan, wanita


hamil, wanita menyusui, pasien yang mendapatkan terapi herbal,
pasien dialisis, ketoasidosis, pasien dengan riwayat elergi obat atau
makanan, gangguan pankreas, gangguan ginjal. Dosis awal 5 mcg dan
dapat ditingkatka jiak tidak muncul efek samping.

Hal – hal yang perlu diperhatikan :


 Bentuk injeksi disimpan dalam suhu 2-8˚C sebelum penggunaan
pertama dan suhu 2-25˚C setelah digunakan
 Digunakan 60 menit sebelum makan pagi atau makan malam
secara subkutan.
 Cara penggunaan obat secara subkutan dan cara membuang botol
obat setelah digunakan
 Jangan menggunakan obat jika mengandung partikel, warna
berubah dan botol rusak
 Area penggunaan secara subkutan: paha, perut, lengan bagian atas.
 Jangan menggunakan dua dosis secara bersamaan
 Jangan menyimpan obat dengan jarum terpasang pada botol karena
dapat menyebankan kebocoran an kontaminasi
 Jika digunakan dengan PO lain, maka obat PO lain diminum 1 jam
sebelum pemberian eksenatide

Mekanisme kerja :

Merupakan hormon sekresi oleh gastrointestinal ke dalam darah.


Hormon ini akan meningkatkan sekresi insulin dari pankreas,
menurunkan absorpsi glukosa di saluran pencernaan dan mengurangi
aksi glukagon. Glukagon adalah hormon yang meningkatkan produksi
glukosa oleh hati.

Interaksi :

Eksenaid dapat menurunkan kadar parasetamol, lovastatin dan


digoksin jjika digukan bersamaan. Jika digunakan besama sulfonilurea
akan meningkatkan efek samping hipoglikemia. Secara umum, obat
ini dapat menurunkan absorbsi obat lain yang diberikn PO.

e. Gololongan GLP-1
Contoh golongan ini adalah eksenatide
Indikasi :
Terapi tambahan untuk pasien DM tipe 2 yang sudah menggunakan
biguanid atau kombinasi biguanid dan sulfonorea tapi belum bias
mencapai kadar gula darah yang diinginkan. Dapat juga digunakan
sebagai tambahan pada terapi golongan tiazolidinedion.

Kontraindikasi :

Pasien DM tipe 1 atau sebagai terapi pengganti insulin pada psien


yang hanya mendapatkan insulin sebagai terapi tunggal, hipersensitif,
ginjal, saluran cerna akut.

Efek samping :

Mual, muntah dan diare, berat badan menurun.

Penting :

Anak-anak, wanita yang sedang merencanakan kehamilan, wanita


hamil, wanita menyusui, pasien yang mendapatkan terapi herbal,
pasien dialisis, ketoasidosis, pasien dengan riwayat elergi obat atau
makanan, gangguan pankreas, gangguan ginjal. Dosis awal 5 mcg dan
dapat ditingkatka jiak tidak muncul efek samping.

Hal – hal yang perlu diperhatikan :


 Bentuk injeksi disimpan dalam suhu 2-8˚C sebelum penggunaan
pertama dan suhu 2-25˚C setelah digunakan
 Digunakan 60 menit sebelum makan pagi atau makan malam
secara subkutan
 Cara penggunaan obat secara subkutan dan cara membuang botol
obat setelah digunakan
 Jangan menggunakan obat jika mengandung partikel, warna
berubah dan botol rusak
 Area penggunaan secara subkutan: paha, perut, lengan bagian atas.
 Jangan menggukan dua dosis secara bersamaan
 Jangan menyimpan obat dengan jarum terpasang pada botol karena
dapat menyebankan kebocoran an kontaminasi
 Hindari melakukan aktivitas berbahaya termasuk mengendarai
kendaraan atau menjalan ]kan mesin
 Jika digunakan dengan PO lain, maka obat PO lain diminum 1 jam
sebelum pemberian eksenatide

Mekanisme :

Merupakan hormone yang sekresi oleh gastrointestinal ke dalam


darah. Hormone ini akan meningkatkan sekresi insulin dari pancreas,
menurunkan absorpsi glukosa di saluran pencernaan dan mengurangi
aksi glucagon. Glucagon adalah hormone yang meningkatkan
produksi glukosa oleh hati.

Interaksi :

Eksenatid dapat menurunkan kadar parasitamol, lovastatin dan


digoksin jika digunakan bersamaan. Jika digunkan bersama
sulfonylurea akan meningkakan efek samping hipoglikemia. Secara
umum, obat ini dapat menurunkan absorpsi obat lain yang diberikan
PO.

f. Golongan Inhibitor DPP-4

Contoh golongan inhibitor DPP-4 adalah saksagliptin, sitagliptin dan


vildagliptin.

Indikasi :

NIDDM sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan metformin atau


tiazolidinedion.

Kontraindikasi :

DM Tipe 1, pasien uyang menggunakan insulin, pancreatitis akut,


gangguan ginjal, gangguan hepar, pasien hemodialisa, alergi terhadap
komponen obat ini, ketoasidosis, HIV, pasien berusia <18 tahun.

Efek samping :
Mual, simtom selesma, nasofaringitis, nyeri abdomen, infeksi saluran
kencing, sakit kepala, sakit tenggorokan, pilek, infeksi saluran nafas
bagian atas.

Penting :

Wanita yang merencanakan kehamilan,wanita hamil, wanita


menyusui, pasien yang mendapatkan terapi herbal. Dosis : dosis awal
sitagliptin dan vildagliptin adalah 100 mg/hari. Dosis saksagliptin 2,5-
5 mg/hari.

Hal – hal yang perlu diperhatikan :

 Diminum bersama dengan makanan atau tanpa makanan.


 Diminum pada saat yang sama pada setiap harinya.
 Efek samping dari hipoglikemia lebih rendah daripada
antidiabetika yang lain dan dapat digunakan pada obesitas.
 Hindari makan buah jeruk selama terapi.
 Jika lupa minum obat sekali, segera diminum pada saat ingat. Jika
sudah mendekati dosis selanjutnya, maka dosis yang lupa dianggap
tidak ada dan melanjutkan dosis selanjutnya.jangan pernah
mengkonsumsi obat dua dosis pada saat yang sama.

Mekanisme :

Sitagliptin akan menghambat enzim DPP-4. DPP-4akan memecah


GLP-1 dan GIP (Glucose Dependen Insulinotropic Polypeptide). Jika
DPP-4 dihambat, maka GLP-1 dan GIP dapat meningkatkan sekresi
insulin dan menghambat pelepasan glukagon.

Interaksi :

Belum banyak interaksi obat yang diketahui dengan sitagliptin.


Penggunaan digoksin dan sitagliptin secara bersamaan dapat
meningkatkan kadar digoksin dalam darah.
g. IAPP

Obat yang termasuk golongan ini adalah pramlintid.

Indikasi :

Diberikan pada pasien DM tipe 1 dan 2 yang sudah menggunakan


insulin.

Kontraindikasi :

Pasien anak – anak, alergi terhadap komponen obat ini, gastroparesis,


pasien yang mendapat terapi penghambat β glikosidase (acarbose) dan
antiolinergik (skopolamin, hiosamin).

Perhatian :

Wanita yang merencanakan kehamilan, wanita hamil, wanita


menyusui, pasien yang mendapatkan pengobatan herbal, neuropati,
pasien yang punya riwayat hipoglikemia sejak 6 bulan yang lalu.

Efek samping :

Mual, hipoglikemia, muntah, nyeri kepala, nyeri abdomen. Dosis awal


untuk pasien DM tipe 1 adalah 15 mcg dan dapat ditingkatkan. Dosis
insulin diturunkan, jika pramlintid mulai digunakan.

Hal – hal yang perlu diperhatikan :


 Bentuk injeksi disimpan dalam suhu 2-8˚C sebelum penggunaan
pertama dan suhu 2-25˚C setelah digunakan
 Digunakan 60 menit sebelum makan pagi atau makan malam
secara subkutan.
 Tidak boleh digunakan bersama dengan atropine dan acarbose
 Jangan mecampur pramlintid dengan insulin.
 Jangan menyuntikkan pramlintid dengan insulin pada daerah yang
sama, berikan jarak minimal 2 inci.
 Jika menyimpan pramlintid dalam lemari es maka gunakanlah obat
setelah mencapai suhu kamar (25˚C)
 Jangan menggukan dua dosis secara bersamaan.
 Rasa mual mungkin terjadi selama 1 minggu pertama perawatan.

Mekanisme :
Pramlitid dapat memperlambat absorpsi glukosa di saluran
pencernaan, menghambat aksi glucagon dan mengurangi nafsu makan.
Interaksi :
Insulin dapat mempengaruhi struktur kimia dari pramlimtid, sehingga
kedua sediaan ini tidak boleh disiapkan dalam 1 siring suntikan.
Pramlintid dapat memperlambat absorpsi obat PO. Obat PO sebaiknya
diminum 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah pramlintid diberikan
secara subkutan.

h. Golongan Biguanid

Contoh golongan biguanid adalah metformin

Indikasi :

NIDDM yang gagal dikendalikan dengan diet dan Sulfonilurea,


terutama pasien obesitas

Kontraindikasi :

Hipersensitifitas terhadap metformin, penyakit ginjal atau gangguan


fungsi ginjal (serum kreatinin ≥ 1,5 mg/dl untuk laki – laki atau 1,4
mg/dl untuk wanita atau klirens kreatinin < 60 ml/ menit), gangguan
kardiovaskular (infark miokard, gagal jantung kronik), gagal hati,
gangguan fungsi paru (hipoksemia/hipoperfusi, septicemia, metabolic
asidosis akut atau kronikdengan atau tanpa koma (diabetic
ketoasidosis), predisposisi asidosis laktat, infeksi atau trauma berat,
dehidrasi, alkoholisme, wanita hamil.
Efek samping :

Ganguan saluran pencernaan (mual, diare, perit kembung, kram perut,


konstipasi, anoreksia), asidosis laktat (lemas, nyeri otot, susah
bernafas, kedinginan, secara mendadak mengalami denyut nadi yang
tidak teratur), gangguan penyerapan vitamin B12.

Penting :

 Metformin tidak dianjurkan untuk anak – anak


 Obat ini boleh digunakan untuk wanita hamil tanpa adanya masalah
khusus. Tetapi umumnya kehamilan dianggap sebagai
kontraindikasi dan insulin harus digunakan pada semua wanita
hamil dengan diabetes.
 Metformin dapat masuk ke dalam ASI dalam jumlah kecil karena
itu sebaiknya hindarkan pada wanita menyusui
 Pemberian pada usia lanjut harus dilakukan dengan hati – hati
disebabkan adanya penurunan fungsi ginjal dengan bertambahnya
usia. Pemantauan serum kreatinin secara berkala dan pengurangan
dosis dianjurkan pada kelompok usia ini
 Dosis dewasa : 500 mg 2x sehari. Dosis dapat ditingkatkan dengan
interval minimal 2 minggu. Dosis maksimal : 2,5 g/hari

Hal – hal yang perlu diperhatikan interaksinya :

 Obat diminum bersama sarapan dan makan malam

i. Golongan Garam Vanadium


Garam vanadium merupakan “ultra trace mineral” yang juga
mempunyai aksi insulinomimetic pada jaringan adipose, otot dan hati.
Vanadium dapat digunakan sebagai sumber gizi untuk penyakit yang
berhubungan dengan hormone insulin.

Indikasi :

DM tipe 2
Mekanisme :

Meningkatkan fosforilasi pada reseptor insulin dengan mengaktivasi


tirosin kinase dan menghambat fosfotirosil fosfatase, sehingga
reseptor akan mengalami defosforilasi.

Penting :

Dosis 100 mg per hari, efek akan berlangsung sampai 2 minggu


setelah pengobatan dihentikan.

Efek samping :

Gangguan di saluran pencernaan

j. Penggunaan antidiabetika pada saat pasien berpuasa

Pada saat bulan puasa, pasien DM tetap dituntut untuk memonitor


kondisi hiperglikemia dan hipoglikemianya. Antidiabetika yang biasanya
diminum malam hari sebaiknya diminum beberapa jam sebelum sahur,
obat yang biasa diminum pagi hari sebaiknya diminum stelah buka puasa
tetapi sebelum makan. Jika obat antidiabetika diminum 3 kali sehari
maka obat pagi dan siang diminum pada saat berbuka dan obat sore
diminum pada saat sahur dengan dosis setengahnya.

Pasien yang membutuhkan suntikan insulin, suntikan insulin dapat


diberikan pada saat berbuka. Namun apabila pasien harus mengkonsumsi
antidiabetika lebih dari satu kali dan mendapatkan insulin lebih dari satu
kali dalam sehari, dianjurkan tidak berpuasa, karena gula darahnya tidak
stabil.
2.4 Obat Herbal Antidiabetik
a. Terapi Gizi

Penatalaksanaan diabetes mellitus dikenal 4 pilar utama


pengelolaan yaitu: penyuluhan, perencanaan makan, latihan jasmani,
dan obat hipoglikemik. Terapi gizi merupakan komponen utama
keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Kepatuhan pasien terhadap
prinsip gizi dan perencanaan makan merupakan salah satu kendala
pada pasien diabetes. Penderita diabetes banyak yang merasa
tersiksa sehubungan dengan jenis dan jumlah makanan yang
dianjurkan (Maulana, 2009).

Kepatuhan penderita dalam mentaati diet diabetes melitus sangat


berperan penting untuk menstabilkan kadar glukosa pada penderita
diabetes melitus, sedangkan kepatuhan itu sendiri merupakan suatu hal
yang penting untuk dapat mengembangkan rutinitas (kebiasaan) yang
dapat membantu penderita dalam mengikuti jadwal diet yang kadangkala
sulit untuk dilakukan oleh penderita. Kepatuhan dapat sangat sulit dan
membutuhkan dukungan agar menjadi biasa dengan perubahan yang
dilakukan dengan cara mengatur untuk meluangkan waktu dan
kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri. Kepatuhan terjadi
bila aturan menggunakan obat yang diresepkan serta pemberiannya
diikuti dengan benar (Tambayong, 2002).

Diet adalah terapi utama pada diabetes melitus, maka setiap


penderita semestinya mempunyai sikap yang positif (mendukung)
terhadap diet agar tidak terjadi komplikasi, baik akut maupun kronis. Jika
penderita tidak mempunyai sikap yang positif terhadap diet diabetes
mellitus, maka akan terjadi komplikasi dan pada akhirnya akan
menimbulkan kematian, untuk mempertahankan kualitas hidup dan
menghindari komplikasi dari diabetes mellitus tersebut, maka setiap
penderita harus menjalankan gaya hidup yang sehat yaitu menjalankan
diet diabetes mellitus dan olahraga yang teratur. Sikap penderita diabetes
mellitus sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, dalam hal ini pengetahuan
penderita tentang penyakit diabetes melitus sangatlah penting karena
pengetahuan ini akan membawa penderita diabetes melitus untuk
menentukan sikap, berpikir dan berusaha untuk tidak terkena penyakit
atau dapat mengurangi,kondisi penyakitnya. Apabila pengetahuan
penderita diabetes melitus baik, maka sikap terhadap diet diabetes melitus
semestinya dapat mendukung terhadap kepatuhan diet diabetes melitus
itu sendiri (Effendi, 1999).

Terapi gizi medis pada prinsipnya adalah melakukan


pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetesi
dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual
(Yunir dan Subardi, 2005).

b. Latihan Jasmani

Aktivitas fisik merupakan salah satu dari 4 pilar pengelolaan

diabetes mellitus. Kegiatan fisik diabetesi (tipe 1 maupun 2), akan

mengurangi risiko kejadian kardiovaskuler dan meningkatkan harapan

hidup. Kegiatan fisik akan meningkatkan rasa nyaman, baik secara fisik,

psikis maupun sosial dan tampak sehat (Yunir dan Soebardi, 2005).

c. Obat Herbal

Badan Pengawas Obat dan Makanan membagi pemanfaatan

tanaman obat dalam tiga strata, yaitu jamu, obat herbal terstandar, dan

fitofarmaka. Jamu dikembangkan dari warisan yang dimiliki masyarakat

suku bangsa Indonesia. Strata di atas jamu adalah obat bahan alam atau

obat herbal terstandar yang bahan bakunya sudah dalam bentuk ekstrak

dan aspek keamanan serta khasiatnya telah teruji pada hewan percobaan

yang dikenal sebagai uji praklinik. Strata teratas dalam dalam industri
OT atau farmasi adalah produk fitofarmaka, dalam bentuk ramuan

ekstrak, terutama untuk pelayanan kesehatan formal, dan telah melalui

uji klinik di instalasi pelayanan kesehatan formal (Pribadi, 2009).

Sediaan obat tradisional yang digunakan masyarakat yang saat ini

disebut sebagai Herbal Medicine atau Fitofarmaka perlu diteliti dan

dikembangkan (Zein, 2005). Obat herbal adalah tanaman atau bagian

dari tanaman yang digunakan untuk penambah rasa, pewarna, dan atau

untuk penggunaan terapeutik. Penggunaan yang paling sering adalah

untuk perawatan kesehatan. Tersedia dalam bentuk ekstrak kering atau

dalam keadaan masih segar untuk langsung dikonsumsi (Anonim,

2010).

Dokter mungkin menghadapi pasien yang menggunakan obat

herbal, sehingga perlu menyadari diakuinya efek dari produk herbal

tersebut. Dokter perlu menyadari dampak buruk dari kemungkinan

buruk yang timbul dariinteraksi antara obat medis dengan herbal yang

digunakan (Yaheya & Ismail, 2009).

Sebanyak 101 dari 657 sampel pasien rawat jalan di suatu rumah

sakit adalah pengguna sediaan herbal. Herbal yang mereka gunakan

termasuk di dalamnya adalah Echinacea 21,8%, gingko biloba 13,9%,

garlic 7,9%, ginseng 6,9% (Graham dkk, 2008).

Banyak penelitian membuktikan adanya efek hipoglikemik dari

suatu tanaman. Beberapa tanaman di antaranya seperti berikut:

1) Mahkota dewa
Berdasarkan penelitian Saragih (2001) terbukti bahwa rebusan

daging buah segar mahkota dewa (Phaleria macrocarpa [Scheff.] Boerl.)

mampu menurunkan kadar glukosa darah secara bermakna pada tikus

yang menderita diabetes mellitus tergantung insulin meskipun efek yang

dihasilkan lebih rendah daripada efek insulin.

Perasan daging buah mahkota dewa menghasilkan efek

hipoglikemik yang setara dengan tolbutamid pada tikus yang menderita

diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin (Bestari, 2001). Dari

kedua penelitian tersebut menggambarkan bahwa daging buah

makutadewa mampu menurunkan kadar glukosa darah tikus percobaan

yang menderita diabetes mellitus baik tergantung atau tidak tergantung

insulin (Primsa, 2002).

2) Ceplukan

Baedowi (1998) telah melakukan penelitian terhadap ciplukan

secara in vivo pada mencit. Dari penelitiannya tersebut, didapatkan

informasi bahwa ekstrak daun ciplukan dengan dosis 28,5 mL/kg BB

dapat mempengaruhi sel β insulin pankreas.

3) Sambiloto
Seluruh tanaman sambiloto dapat digunakan sebagai bahan

ramuan untuk mengatasi diabetes mellitus (Utami, 2003). Sambiloto

(Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) mengandung senyawa aktif

andrografolida yang menurut Munawwara (2004) mempunyai aksi

seperti insulin.

4) Batang brotowali / Tinosporae caulis


Mengandung alkaloid , zat pahit, tinosporidine, berefek

menurunkan kadar gula darah.

5) Buah pare/ Momordicae fructus

Mengandung alkaloid momordin berefek menurunkan kdar

gula darah dan tekanan darah.

Penggunaan tumbuhan obat tidak sesederhana yang


dipikirkan orang selama ini. Semuanya harus dipelajari dan
memerlukan pengalaman tersendiri. Salah mengenali tumbuhan
obat yang dimaksud juga tidak akan menyembuhkan penyakit.
Apalagi, salah menggabungkan beberapa tumbuhan obat yang
khasiatnya berlawanan (Dalimartha, 2007).

Obat herbal seperti obat-obat lainnya, tidak bisa dikonsumsi


sembarangan. Tetap ada dosis yang harus dipatuhi, seperti halnya
resep dokter. Buah mahkota dewa, misalnya, hanya boleh
dikonsumsi dengan perbandingan 1 buah dalam 3 gelas air (Suarni,
2005). Buah mahkota dewa segar yang dikonsumsi secara
langsung, bisa menyebabkan bengkak di mulut, sariawan, mabuk,
kejang sampai pingsan (Dalimartha, 2007).

Penggunaan tanaman obat harus berdasarkan asas manfaat


dan keamanan. Jika bermanfaat untuk penyembuhan penyakit,
tetapi tidak aman karena beracun, harus dipikirkan kemungkinan
timbulnya keracunan akut maupun keracunan kronis yang mungkin
terjadi (Dalimartha, 2007).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Diabetes Mellitus adalah kelainan yang bersifat kronik yang ditandai oleh
gangguan metabolism karbohidrat, protein, dan lemak yang diikuti oleh
komplikasi mikrovaskuler maupun makrovaskuler, dan telah diketahui berkaitan
dengan faaktor genetik dengan gejala klinik yang paling utama adalah intoleransi
glukosa (Wilson,2000).
Diabetes Mellitus tipe 2 terdiri dari berbagai macam kelainan dengan
karakteristik yang sama yaitu insufisiensi kerja insulin untuk mempertahankan
kadar glukosa darah dalam batas normal. Insufisiensi kerja insulin merupakan
kombinasi dari resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal
(Darmono,2000).
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai
dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi,
waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau
tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik
biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat
lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes


adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada tanggal 9 Maret
2018. 13.30 WITA.
Anonim. 2000. interaksi obat dan makanan pada kasus DM 2.
http://djatiningsih.blogspot.co.id/. Dikutip pada tanggal 8 Maret 2018. 10.00
WITA.
Anonim. 2010. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes
adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada tanggal 9 Maret
2018. 13.30 WITA.
Bestari. 2001. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes
adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada tanggal 9 Maret
2018. 13.30 WITA.
DAFTAR PUSTAKA
Darmono.1991.Seri Kuliah endokrinologi-metabolik.FK UNDIP.
Darmono.2000.Seri Kuliah endokrinologi-metabolik.FK UNDIP.
Effendi. 1999. Makalah_Diet_Penyakit_Diabetes_Militus.
http://kabarmakalah.blogspot.co.id/2017/09/makalah-diet-penyakit-diabetes-
militus.html. Dikutip pada tanggal 11 Maret 2018. 16.30 WITA.
FK UI.2007.Farmakologi Dan Terapi.Jakarta:FKUI.
FK UI.2007.Farmakologi Dan Terapi.Jakarta:FKUI.
Graham dkk. 2008. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Diabetes adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada
tanggal 9 Maret 2018. 13.30 WITA.
Gustaviani. 2006. interaksi obat dan makanan pada kasus DM 2.
http://djatiningsih.blogspot.co.id/. Dikutip pada tanggal 8 Maret 2018. 10.00
WITA.
Hartati,Sri.2002.Mengapa diabetes banyak mengakibatkan kerusakan organ tubuh
dan bagaimana kejadiannya.Semarang:Balai Penerbit FK UNDIP.
Hartati,Sri.2002.Mengapa diabetes banyak mengakibatkan kerusakan organ tubuh
dan bagaimana kejadiannya.Semarang:Balai Penerbit FK UNDIP.
Maulana. 2009. Makalah_Diet_Penyakit_Diabetes_Militus.
http://kabarmakalah.blogspot.co.id/2017/09/makalah-diet-penyakit-diabetes-
militus.html. Dikutip pada tanggal 11 Maret 2018. 16.30 WITA.
Munawwara. 2004. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Diabetes adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada
tanggal 9 Maret 2018. 13.30 WITA.
Pribadi. 2009. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes
adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada tanggal 9 Maret
2018. 13.30 WITA.
Primsa. 2002. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes
adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada tanggal 9 Maret
2018. 13.30 WITA.
Suyono. 2006. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes
adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada tanggal 9 Maret
2018. 13.30 WITA.
Sylvia.1995.Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.Jakarta:ECC.
Sylvia.1995.Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.Jakarta:ECC.
Tambayong, 2002. Makalah_Diet_Penyakit_Diabetes_Militus.
http://kabarmakalah.blogspot.co.id/2017/09/makalah-diet-penyakit-diabetes-
militus.html. Dikutip pada tanggal 11 Maret 2018. 16.30 WITA.
Utami. 2003. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diabetes
adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada tanggal 9 Maret
2018. 13.30 WITA.
Waspadji. 1995. interaksi obat dan makanan pada kasus DM 2.
http://djatiningsih.blogspot.co.id/. Dikutip pada tanggal 8 Maret 2018. 10.00
WITA.
Wilson. 2000. interaksi obat dan makanan pada kasus DM 2.
http://djatiningsih.blogspot.co.id/. Dikutip pada tanggal 8 Maret 2018. 10.00
WITA.
Yaheya & Ismail. 2009. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Diabetes adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada
tanggal 9 Maret 2018. 13.30 WITA.
Yunir dan Subardi. 2005. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Diabetes adalah. eprints.ums.ac.id/14946/2/BAB_1.pdf. Dikutip pada
tanggal 9 Maret 2018. 13.30 WITA.

Anda mungkin juga menyukai