1. Latar Belakang
Menurut Anton (2017) Eucheuma cottonii termasuk jenis rumput laut yang
memiliki nilai ekonomis dan sebagai bahan baku penghasil karagenan
(carrageenophytes). Secara ekonomi rumput laut dapat dimanfaatkan untuk
industri pembuatan pasta gigi, kosmetik, cat, penghalus dalam industri kulit,
tekstil, bir dan industri farmasi dengan ekstrak karaginan yang terdapat pada
rumput laut (Prasetyowati et al., 2008). Rumput laut juga bermanfaat sebagai
antibiotik dan industri pembutan obat-obatan (Munifah, 2008).
Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh kualitas perairan di lokasi
budidaya. Kualitas perairan yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah
suhu, salinitas, derajat keasaman, oksigen terlarut, kecerahan, kedalaman,
kecepatan arus dan substrat. Penelitian terkait kualitas perairan untuk lokasi
budidaya Eucheuma cottonii banyak dilakukan di Indonesia untuk menunjang
keberlangsungan budidaya. Beberapa diantaranya pernah dilakukan Khasanah
(2013) di perairan Kecamatan Sajoanging Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan,
Noor (2015) di Perairan Ketapang Lampung Selatan, dan Akib et al., (2015) di
Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan. Kualitas perairan selalu menjadi
faktor yang sangat penting untuk diamati dan sebagai bahan pertimbangan
kelayakan budidaya karena dapat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut.
Kunci keberhasilan usaha budidaya rumput laut, salah satunya ialah pemilihan
lahan budidaya rumput laut karena produksi dan kualitas rumput laut sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekologis seperti kualitas perairan. Perlu adanya
data kualitas perairan yang mendukung pertumbuhan rumput laut agar lokasi
untuk usaha budidaya rumput laut tidak terganggu dalam proses produksinya.
Untuk itu perlu dilakukannya penelitian tentang kualitas perairan di Desa
Temajuk sebagai informasi awal untuk penentuan lokasi budidaya rumput laut.
2. Rumusan Masalah
Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh faktor perairan. Penentuan
titik lokasi budidaya harus memperhatikan faktor pertumbuhan rumput laut
diperairan dengan mempertimbangkan karakteristik fisika, kimia dan biologi
perairan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan wilayahnya (Radiarta et al.,
2003). Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditentukan rumusan masalah yaitu
3
Apakah kualitas perairan di pantai Desa Temajuk sesuai untuk dijadikan lokasi
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii.
3. Tujuan
Penelitian ini memiliki tujuan yaitu untuk mengetahui kesesuaian perairan di
Pantai Temajuk untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii berdasarkan Suhu,
Salinitas, pH (Derajat Keasaman), DO (Oksigen terlarut), Kecerahan, Kedalaman,
Kecepatan Arus dan Substrat.
4. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini, adalah sebagai
pertimbangan bagi masyarakat dalam mengembangkan usaha budidaya rumput
laut Eucheuma cottonii, menjadi bahan informasi dan landasan pertimbangan bagi
pemerintah Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat dan pusat serta
pemangku kepentingan lainnya terkhusus perangkat Desa Temajuk dalam
penentuan kebijakan pengembangan usaha rumput laut dan sebagai sumber data
ilmiah dalam pengembangan ilmu penelitian bidang kelautan.
5. Tinjauan Pustaka
Kingdom : Plantae
Divisio : Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigartinales
Famili : Solieriaceae
Genus : Eucheuma
Spesies : Eucheuma cottonii
pakan ternak, pakan biota budidaya perikanan (abalone, teripang, baronang), pelet
ikan, pelapis keramik pada busi otomotif, pelarut cat, perekat benang tenun,
pewarna benang, kertas film dan pelapis foto film (WWF Indonesia,2014).
5.4.1 Suhu
Parameter yang sering digunakan dalam menentukan kondisi atau perubahan
suatu lingkungan yaitu suhu. Menurut Effendi (2003) perubahan suhu
mempengaruhi tingkat kesesuaian perairan sebagai habitat organisme akuatik,
karena itu setiap organisme akuatik mempunyai batas suhu maksimum dan
minimum. Suhu sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan biota laut,
suhu dapat mempengaruhi oksigen terlarut menjadi menurun dalam perairan yang
menyebabkan peningkatan konsentrasi karbon dioksida ketika mengalami
peningkatan (Ernawati dan Dewi, 2016). Keadaan tersebut akan mempengaruhi
proses metabolisme dalam tubuh biota laut, misalnya laju pernafasan dan
konsumsi oksigen terlarut (Affan, 2012).
Peranan suhu sangat penting dalam pertumbuhan rumput laut, suhu dapat
berpengaruh terhadap fisiologi, fotosintesis, respirasi, metabolisme, pertumbuhan
dan reproduksi bagi rumput laut (Dawes, 1981). Suhu antara 26,5-31,0ºC pada
suatu perairan dikatakan baik dan mendukung untuk pertumbuhan rumput laut
(Papalia, 2015). Menurut Herawati et al. (2015) kualitas perairan dengan suhu 29-
33°C masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan Eucheuma cottonii.
5.4.2 Salinitas
Rumput laut melakukan pertumbuhan memerlukan salinitas relatif tinggi antara
lain marga Halimeda, Padina, Sargassum dan Turbinaria, kebanyakan rumput
laut tumbuh dan berkembang di daerah yang bertubir serta memiliki salinitas
berkisar 30-33‰. Salinitas yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan
menyebabkan gangguan pada proses fisiologi rumput laut, apabila salinitas di
perairan terlalu rendah ataupun terlalu tinggi maka pertumbuhan dan
perkembangan rumput laut akan terhambat dan menyebabkan perubahan warna
thallus (Isham et al., 2018).
Terdapat beberapa jenis makroalga yang hidup di perairan dengan salinitas
rendah dari genus Gracilaria dan Hypnea (Kadi, 2017). Salinitas 30–32‰
merupakan kondisi yang sangat baik untuk pertumbuhan rumput laut (Pallalo,
8
2013). Menurut Burdames dan Ngangi (2014) salinitas yang baik untuk
pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma antara 28-33 ‰.
Faktor yang sangat diperhatikan untuk mengetahui kualitas suatu perairan dan
kehidupan biota laut yaitu dilihat dari kecerahan airnya. Runtuboi et al. (2014)
mengungkapkan kecerahan suatu perairan merupakan salah satu indikator daya
9
tembus sinar matahari ke dalam air. Sinar matahari yang masuk ke dalam air akan
digunakan untuk fotosintesis rumput laut dan produsen lainnya (Pong-Masak et
al., 2010).
Rendahnya tingkat kecerahan air dapat menurunkan nilai suatu produktivitas
perairan. Suatu perairan dengan tingkat kekeruhan tinggi menyebabkan
banyaknya bahan tersuspensi sehingga menutupi tallus rumput laut yang
menghambat proses penyerapan unsur hara (Pong-Masak et al., 2010). Perairan
yang memiliki kecerahan air sekitar 12,5-15 m dapat dikatakan sangat baik karena
sesuai dengan kriteria yang tingkat kecerahan perairan yaitu >5 m untuk rumput
laut. Aktifitas untuk berfotosintesis pada rumput laut berkisar antara 0,6-5 meter
atau lebih (Arfah dan Patty, 2016).
5.4.6 Kedalaman
Kedalaman akan mempengaruhi kualitas pertumbuhan rumput laut untuk
budidaya jika tidak sesuai dengan kedalaman yang baik untuk pertumbuhan
rumput laut. Menurut Kangkan (2006) kedalaman perairan berpengaruh terhadap
jumlah dan jenis organisme yang mendiaminya, penetrasi cahaya, dan penyebaran
plankton. Periaran yang dangkal dapat membuat rumput laut menjadi sangat
mudah dijangkau oleh herbivora bentik atau menjadi kering pada saat surut atau
sebaliknya periaran terlalu dalam akan sangat menyulitkan proses budidaya yaitu
penanaman, pemeliharaan maupun panen yang berdampak pada meningkatnya
biaya operasional atau investasi (Runtuboi et al., 2014).
Kedalaman perairan pesisir antara 0,9-3,3 m, masih dalam kisaran yang dapat
ditolerir untuk pertumbuhan rumput laut (Ferdiansyah, 2013). Menurut Suhaimi et
al. (2012) kedalaman perairan dengan rata-rata 10 m masih cukup untuk
mendukung pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii.
Kecepatan arus air merupakan parameter kualitas air yang juga menjadi faktor
penting dalam budidaya laut. Arus sangat berpengaruh bagi rumput laut dalam
membawa nutrient dan sumber makanan (Anggadiredja et al., 2008). Karakter
lingkungan perairan dengan kecepatan arus sedang merupakan kondisi yang baik
10
untuk keberadaan rumput laut, sehingga pada lokasi tersebut dapat ditemukan
rumput laut dengan biomassa yang lebih tinggi (Erlania dan Radiarta, 2015).
Kecepatan arus yang sesuai sangat dibutuhkan dalam budidaya rumput laut.
Menurut Arisandi (2012) arus yang terlalu pelan akan mengganggu penyerapan
zat hara di perairan dan epifit-epifit yang tumbuh menempel pada rumput laut
akan semakin banyak sehingga dapat menjadi pesaing dalam mendapatkan
nutrien. Kecepatan arus yang optimum untuk pertumbuhan rumput laut berkisar
antara 20-40 cm/s dan tidak lebih dari 40 cm/s karena dapat merusak konstruksi
budidaya rumput laut (Arfah dan Patty, 2016).
5.4.8 Substrat
Tipe substrat suatu perairan bervariasi dari tipe karang, pasir, lumpur, batu atau
gabungan dari beberapa substrat. Substrat lokasi yang bervariasi dapat
berpengaruh terhadap instalasi budidaya, pertukaran air, penumpukan hasil
metabolisme dan kotoran (Rejeki, 2001). Substrat suatu perairan dapat menjadi
indikator keadaan oseanografi dan faktor penentu dalam pemilihan lokasi
budidaya rumput laut. Tipe substrat yang sesuai untuk pertumbuhan adalah tipe
substrat dari percampuran pasir dan pecahan karang (Prasetyo, 2007).
5.4.9 Nitrat
Nitrat merupakan unsur hara yang sangat penting untuk pertumbuhan rumput
laut sebagai nutrien dan merupakan bentuk utama dari Nitrogen (Khasanah,
2013). Menurut Kangkan (2006) nitrat dapat terbentuk karena beberapa proses
yaitu, badai listrik, organisme pengikat nitrogen dan bakteri yang menggunakan
amoniak. Tinggi rendahnya konsentrasi dari nitrat sangat dipengaruhi oleh
kegiatan di darat yang menghasilkan sampah organik dan rumah tangga (Gundo et
al., 2011).
Pertumbuhan rumput laut membutuhkan tingkat kesuburan perairan yang
optimal begitu juga untuk nitrat. Herawati (2015) menyatakan perairan yang
memiliki nitrat yang terlalu tinggi berdampak pada pertumbuhan rumput laut
karena memunculkan alga-alga sebagai kompetitor dalam mendapatkan nutrisi.
Sedangkan, jika nitrat pada perairan terlalu rendah dapat menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan, metabolisme dan reproduksi (Agustina et al., 2017).
11
Menurut Fikri et al., (2015) nilai nitrat 0,00-1,46 mg/l masih dalam kisaran yang
dapat ditolerir untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii.
5.4.10 Fosfat
Fosfat merupakan unsur yang memiliki kandungan unsur P (fosfor) yang
penting untuk alga dan dapat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan
(Effendi, 2003). Menurut Hutagalung dan Rozak (1997) fosfat yang terdapat di
perairan berasal dari dua sumber yaitu secara alami dan antropogenik. Secara
alami fosfat berasal dari pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan-bahan
organik, sedangkan secara antropogenik berasal dari limbah industri, domestik
dan pertanian manusia.
Keberadaan fosfat di perairan dapat menjadi faktor pembatas bagi
pertumbuhan rumput laut (Ferdiansyah, 2013). Kualitas perairan yang baik untuk
pertumbuhan biota laut memiliki nilai fosfat 0.015 mg/l (KEPMENLH, 2004).
Menurut Fikri et al., (2015) nilai fosfat di perairan 0,37-0,66 mg/l masih layak
untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii.
6. Metodologi
6.3.1 Suhu
Pengukuran suhu perairan dilakukan dengan cara menyiapkan termometer
kemudian mencelupkan termometer kedalam perairan, kemudian termometer
diangkat dan dicatat nilai suhu yang ditunjukan pada termometer. Perhatikan
angka termometer saat di udara, pengukuran suhu dilakukan sebanyak 3 kali
ulangan.
6.3.2 Salinitas
Pengukuran salinitas diawali dengan menetralisir salinometer dengan aquades
terlebih dahulu agar garis penunjuk berada pada angka nol, hal ini dilakukan
untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dalam pengambilan data salinitas.
Selanjutnya membuka penutup kaca dan meletakkan 1-2 tetes sampel air yang
14
akan diukur, kemudian ditutup kembali secara perlahan. Nilai salinitas yang
muncul diamati dan dicatat hasilnya, dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
6.3.5 Kecerahan
Kecerahan perairan pada lokasi pengamatan diukur menggunakan secchi disk,
dengan cara memasukkan secchi disk secara perlahan kedalam perairan hingga
warna pada lingkaran secchi disk tidak terlihat lagi. Kemudian diukur jarak secchi
disk dengan permukaan perairan, dicatat hasil yang didapat, dilakukan 3 kali
ulangan.
6.3.6 Kedalaman
Pengukuran kedalaman menggunakan tali penduga yang diturunkan kedasar
perairan, dipasang pemberat diujungnya agar tidak dipengaruhi oleh arus, ketika
sudah mencapai dasar selanjutnya tali penduga diukur dengan Roll meter,
dilakukan 3 kali ulangan.
s
v = (2)
t
Keterangan :
v = Kecepatan Arus (m/s)
s = Jarak (m)
t = Waktu (s)
6.3.8 Substrat
Pengamatan jenis substrat dasar perairan secara langsung dengan metode visual
dengan bantuan snorkel. Jenis substrat yang diamati dicatat pada setiap
stasiunnya.
Angka
Parameter(satuan) Kisaran Bobot(B) Nilai Keterangan
Penilaian(A)
Suhu(oC) 24-30 5 3 15
30-32 3 9 Djokosetiyanto et al
(2008)
<24 atau >30 1 3
pH 6,5 – 8,5 5 3 15
4-6,4 dan 8,6 3 9 WWF Indonesia
–9 (2014)
<4 atau >9 1 3
DO(mg/L) 6-7,5 5 15
4-5,9 3 3 9 Ayhuan et al (2017)
16
Kecerahan(m) >3 5 15
1-3 3 3 9 Sulistiyowati(2003)
<1 1 3
Kedalaman(m) 1-10 5 15
11-15 3 3 9 Radiarta et al
(2003)
<1 atau >15 1 3
Pasir 3 6
berlumpur
lumpur 1 2
Keterangan :
Nilai =AxB
Klasifikasi kesesuaian Perairan
Sesuai = Ʃ A x B = 70 – 115
Kurang sesuai = Ʃ A x B = 24 - 69
Tidak sesuai = Ʃ A x B = < = 23
17
Waktu Pelaksanaan
NO Jenis Kegiatan (Bulan)
Oktober November Desember Januari
1 Pembuatan Proposal
2 Survei Lapangan
3 Seminar Kolokium
4 Persiapan Alat dan Bahan
5 Penelitian Lapangan
6 Analisis Data
18
Daftar Pustaka
Affan, J.M., 2012, Identifikasi Lokasi untuk Pengembangan Budidaya Keramba
Jaring Apung (KJA) Berdasarkan Faktor Lingungan dan Kualitas Air di
Perairan Pantai Timur Bangka Tengah, J. Depik., 1: 78-85.
Agustina, N.A.; Wijaya, N.I. dan Prasita, V.D., 2017, Kriteria Lahan Untuk
Budidaya Rumput Laut (Eucheuma Cottonii) di Pulau Gili Genting Madura,
Seminar Nasional Kelautan XII Inovasi Hasil Riset dan Teknologi dalam
Rangka Penguatan Kemandirian Pengelolaan Sumber Daya Laut dan
Pesisir, Fakultas Teknik dan Ilmu Kelautan Universitas Hang Tuah,
Surabaya.
Abdul Akib, A.; Litaay, M.; Ambeng dan Asnady, M., 2015, Kelayakan Kualitas
Air untuk Kawasan Budidaya Eucheuma cottoni Berdasarkan Aspek Fisika,
Kimia dan Biologi di Kabupaten Kepulauan Selayar, J. Pesisir dan Laut
Tropis, 1: 25-36.
Anggadiredja, J. T.; Zatnika, A.; Purwoto, H. dan S. Istini, 2006. Rumput Laut
Pembudidaya, Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial
Penebar Swadaya, Jakarta.
Arfah, A. dan Patty, S.I., 2014, Keanekaragaman dan Biomassa Makro Algae di
Perairan Teluk Kotania Seram Barat, J.Ilmiah Platax., 2: 63-73.
Arisandi, 2011, Pengaruh Salinitas yang Berbeda terhadap Morfologi Ukuran dan
Jumlah Sel Pertumbuhan serta Rendemen Karaginan Kappaphycus
alvarezii. J. Ilmu Kelautan., 16: 143-150.
19
Ariyati, R.W.; Sya’rani, L. dan Arini, E., 2007, Analisis Kesesuaian Perairan
Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya Rumput
Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis, J. Pasir Laut., 3: 27-45.
Ayhuan, H.V.; Zamani, N.P. dan Soedharma, D., 2017, Analisis Struktur
Komunitas Makroalga Ekonomis Penting di Perairan Intertidal Manokwari
Papua Barat, J. Teknologi Perikanan Kelautan., 8: 19-38.
Effendi, E., 2003, Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta.
Erlania dan Radiarta, I.N., 2015, Distribusi Rumput Laut Alam Berdasarkan
Karakteristik Dasar Perairan di Kawasan Rataan Terumbu Labuhanbua,
Nusa Tenggara Barat Strategi Pengelolaan Untuk Pengembangan Budidaya,
J. Riset Akuakultur., 10: 449-457.
Ernawati, N.M. dan Dewi, A.P.W.K., 2016, Kajian Kesesuaian Kualitas Air
Untuk Pengembangan Keramba Jaring Apung di Pulau Serangan Bali, J.
Ecotrophic., 10: 75-80.
Fikri, M.; Rejeki, S. dan Widowati, L.L., 2015, Produksi dan Kualitas Rumput
Laut (Eucheuma Cottonii) dengan Kedalaman Berbeda di Perairan Bulu
Kabupaten Jepara, J. Aquaculture Management and Technology., 4: 67-74.
Gazali, I.; Widiatmono, B.R. dan Wirosoedarmo, R., 2013, Evaluasi Dampak
Pembuangan Limbah Cair Pabrik Kertas Terhadap Kualitas Air Sungai
Klinter Kabupaten Nganjuk, J. Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem
1: 1-8.
Gundo, C.; Soemarno; Arfiati, D.; Harahap, N. dan Kaunang, T.D., 2011, Analisis
Parameter Oseanografi di Lokasi Pengembangan Eucheuma spinosum Pulau
Nain Kabupaten Minahasa Utara, J. Ilmu Kelautan., 16: 193-198
Herawati, E.Y.; Semedi, S. dan Jailani, E.Q., 2015, Studi Kelayakan Lahan
Budidaya Rumput Laut Eucheuma Cottonii di Kecamatan Bluto Sumenep
Madura Jawa Timur, J. Manusia dan Lingkungan., 22: 211-216.
Hutagalung, H.P. dan Rozak, A., 1997, Penentuan kadar Nitrat Metode Analisis
Air Laut, Sedimen dan Biota. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi LIPI, Jakarta.
Isham; Kasim, M. dan Arami, H., 2018, Komposisi Jenis dan Kepadatan
Makroalga di Perairan Desa Ulunipa Kecamatan Menui Kepulauan
Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah, J. Manajemen Sumber Daya
Perairan, 3:199-207.
21
Kadi, A., 2012, Potensi Rumput Laut dan Kesesuaian Lokasi Budidaya di
Perairan Bangka-Belitung, J. Oseana., 37: 37-44.
Mubarak, H.; Ilyas, S.; Ismail, W.; Wahyuni, I.S.; Hartati, S.H.; Pratiwi, E.;
Jangkaru, Z.; dan Arifuddin, R., 1990, Petunjuk teknis budidaya rumput
laut. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan. Jakarta.
Mudeng, J.D.; Kolopita, M.E.F. dan Rahman, A., 2015, Kondisi Lingkungan
Perairan Pada Lahan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Desa
Jayakarsa Kabupaten Minahasa Utara, J. Budidaya Perairan., 3: 172-186.
22
Munifah, I., 2008, Prospek Pemanfaatan Alga Laut untuk Industri, J. Squalen., 3:
58-62.
Pallalo, A., 2013, Distribusi Makroalga Pada Ekosistem Lamun dan Terumbu
Karang di Pulau Bonebatang Kecamatan Ujung Tanah Kelurahan Barrang
Lompo Makassar, Universitas Hasanudin, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Makassar, (Skripsi).
Papalia, S., 2015, Struktur Komunitas Makro Alga Di Pesisir Pulau Haruku
Kabupaten Maluku Tengah, J. Ilmu Teknologi Kelautan Tropis., 7: 129-
142.
Patty, S.I., Arfah, H. dan Abdul, M.S., 2015, Zat Hara (Fosfat, Nitrat), Oksigen
Terlarut dan pH Kaitannya dengan Kesuburan Di Perairan Jikumerasa,
Pulau Buru. J. Pesisir dan Laut Tropis., 1: 43-50.
Pong-Masak, P.R.; Asaad, A.I.J.; Hasnawi; Pirzan, A.M. dan Lanuru, M., 2010,
Analisis Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut di
Gusung Batua Pulau Badi Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan, J. Riset
Akuakultur., 5: 299-316.
Radiarta, I.N.; Wardoyo, S.E.; Priono, B. dan Praseno, O., 2003, Aplikasi Sistem
Informasi Geografis untuk Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Laut
di Teluk Ekas Nusa Tenggara Barat, J. Penelitian Perikanan Indonesia., 9:
67-80.
Runtoboi, D.; Paulungan, Y.P. dan Gunaedi, T., 2014, Studi Kesesuaian Lahan
Budidaya Rumput Laut Berdasarkan Parameter Biofisik Perairan di
Yensawai Distrik Batanta Utara Kabupaten Raja Ampat, J. Biologi Papua.,
6: 31-37.
Salim, Z. dan Ernawati, 2015, Info Komoditi Rumput Laut, Badan Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Perdagangan dengan Al Mawardi Prima, Jakarta.
Sirajuddin, M., 2009, Informasi Awal Tentang Kualitas Biofisik Perairan Teluk
Waworada untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma Cottonii), J.
Akuakultur Indonesia., 8: 1-10.
Sudrajat, A., 2015, Budi Daya 26 Komoditas Laut Unggul, Penebar Swadaya,
Jakarta.
Suhaimi, R.A; Makmur dan Mustafa, A., 2012, Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk
Budidaya Rumput Laut(Kappaphycus Alvarezii) di Kawasan Pesisir
Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo, Prosiding Indoaqua Forum
Inovasi Teknologi Akuakultur., Balai Penelitian dan Pengembangan
Budidaya Air Payau, Sulawesi Selatan.
Suparmi dan Sahri, A., 2009, Mengenal Potensi Rumput Laut Kajian Pemanfaatan
Sumber Daya Rumput Laut Dari Aspek Industri dan Kesehatan, J. Sultan
Agung., 44: 95-116.
24
Waluyo; Yonvitner; Riani, E. dan Arifin, T., 2016, Daya Dukung Perairan Untuk
Pengembangan Budidaya Rumput Laut Eucheuma Cottonii di Kabupaten
Luwu dan Kota Palopo Teluk Bone Sulawesi Selatan, J. Ilmu dan Teknologi
Kelautan Tropis., 8: 469-492.
Wijayanto, T.; Hendri, M. dan Aryawati, R., 2011, Studi Pertumbuhan Rumput
Laut Eucheuma Cottonii dengan Berbagai Metode Penanaman yang
Berbeda di Perairan Kalianda Lampung Selatan, J. Maspari 3: 51-57.
World Wildlife Fund Indonesia, 2014, Budi Daya Rumput Laut Kotoni
(Kappaphycus alvarezii), Sacol (Kappaphycus striatum) dan Spinosum
(Eucheuma denticulatum), WWF, Jakarta.
Yulius, M.; Ramdhan, J.; Prihantono, D.; Gunawan, D.; Saepuloh, H.; L.Salim, I.;
Rizaki, R. I. dan Zahara, 2017, Pengelolaan Budidaya Rumput Laut
Berbasis Daya Dukung Lingkungan Perairan di Pesisir Kabupaten Dompu,
Provinsi Nusa Tenggara Barat, Seminar Nasional Geomatika Inovasi
Teknologi Penyediaan Informasi Geospasial untuk Pembangunan
Berkelanjutan., Badan Riset dan SDM Kelautan dan Perikanan, Jakarta.