Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

EPISTAKSIS

Pembimbing :
dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL
dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

Disusun oleh:
Aisyah Rahmadani
030.13.010

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
PERIODE 8 MEI 2017 – JUNI 2017
KARAWANG, MEI 2017
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah referat yang berjudul:

“Epistaksis”

Yang disusun oleh

Aisyah Rahmadani

030.13.010

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:

dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL

dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu THT Rumah Sakit Umum Daerah Karawang

Periode 8 Mei 2017 – Juni 2017

Karawang, Juni 2017

Pembimbing I Pembimbing II

dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, penyusunan makalah referat yang berjudul “Epistaksis” dapat
diselesaikan. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dan dr. Aditya Arifianto, Sp.
THT-KL selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis
demi terselesaikannya penulisan makalah referat ini, serta kepada berbagai pihak
yang telah membantu terlaksananya penulisan makalah referat ini.
Penulis berharap makalah referat ini dapat menambah pengetahuan dan
memahami lebih lanjut mengenai epistaksis serta salah satunya untuk memenuhi
tugas yang diberikan pada kepaniteraan klinik di Rumah Sakit Umum Daerah
Karawang.
Penulis menyadari bahwa makalah referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan
dalam penulisan makalah referat ini. Kritik dan saran yang membangun penulis
hargai demi penyempurnaan penulisan serupa di masa yang akan datang. Penulis
berharap agar makalah referat ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang kedokteran.

Karawang, 30 Mei 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii


KATA PENGANTAR .......................................................................................iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2
2.1 Hidung ............................................................................................. 2
2.1.1 Anatomi .................................................................................... 2
2.1.2 Vaskularisasi ............................................................................ 3
2.2 Definisi epistaksis ........................................................................... 4
2.3 Epidemiologi epistaksis .................................................................. 5
2.4 Etiologi epistaksis ........................................................................... 5
2.4.1 Trauma .....................................................................................5
2.4.2 Kelainan pembuluh darah local ................................................6
2.4.3 Neoplasma ................................................................................6
2.4.4 Infeksi local ..............................................................................6
2.4.5 Kelainan darah .........................................................................6
2.4.6 Penyakit kardiovaskuler ...........................................................6
2.4.7 Kelainan congenital..................................................................7
2.4.8 Infeksi sistemik ........................................................................7
2.4.9 Perubahan udara atau tekanan atmosfir....................................7
2.5 Patofisiologi epistaksis ......................................................................7
2.6 Anamnesis & pemeriksaan fisik .......................................................7
2.7 Penatalaksanaan epistaksis ................................................................8
2.8 Komplikasi ........................................................................................10
2.9 Prognosis ...........................................................................................11
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................13

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi hidung ..................................................................................3


Gambar 2 Vaskularisasi hidung ..........................................................................4
Gambar 3 Pemasangan tampon anterior .............................................................9
Gambar 4 Pemasangan tampon posterior ............................................................10

v
BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis adalah perdarahan akut dari hidung atau nasofaring yang


merupakan salah satu keadaan darurat dalam Otorinolaringologi di seluruh dunia
yang sering menyebabkan pasien datang ke rumah sakit. Epistaksis jarang
mengancam kehidupan tetapi memerlukan perhatian yang signifikan terutama di
kalangan orang tua dari anak-anak. Kebanyakan epistaksis bersifat ringan, dapat
berhenti spontan, tetapi beberapa juga dapat berulang.(1,2,3)
Epistaksis terjadi pada sekitar 60% populasi umum dan terjadi pada semua
usia dengan kejadian paling sering pada anak-anak sampai usia sampai 10 tahun
dan pada dewasa pada usia lebih dari 50 tahun.(1) Epistaksis dapat diklasifikasikan
menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior berdasarkan sumber
perdarahannya dengan 90% kasus merupakan tipe epistaksis anterior.(1,4)
Penyebab epistaksis biasanya idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya, kadang
disebabkan karena trauma.(5)
Penanganan utama pada epistaksis adalah kompresi pada lubang hidung
dan memasang tahanan pada lubang hidung dengan mengunakan kain kasa atau
kapas yang telah di basahi adrenalin. Penekanan langsung setidaknya di lakukan
terus menerus selama 10 menit sampai 15 menit. Memiringkan kepala ke depan
dapat mencegah darah mengalir ke bagian posterior faring, hal ini dilakukan untuk
mencegah aspirasi dan obstruksi jalan nafas. Edukasi kepada pasien dapat
membantu mencegah terjadinya epitaksis seperti menghindari mengorek hidung,
tidak mengeluarkan sekret hidung dengan keras, bersin dengan mulut terbuka,
menghindari makanan atau minuman panas, menghindari penggunaan aspirin dan
obat NSAID lainnya. (3,5)
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum
mengenai definisi,anatomi, etiologi, klasifikasi, dan penanganan pada epistaksis.

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hidung
2.1.1 Anatomi
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas
kebawah: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum), puncak hidung (tip),
ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa
otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri
dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior yang disebut juga sebagai kartilago alar mayor dan tepi anterior kartilago
septum. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Dinding medial hidung disebut
sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian
tulangnya adalah lamina prependikularis, vomer, krista nasalis osmaksila dan
krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada dinding lateral terdapat 4 buah
konka, yang terbesar dan terletak paling bawah ialah konka inferior, kemudian
yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior.(6)

2
Gambar 1. Anatomi hidung(7)

2.1.2 Vaskularisasi
Pendarahan untuk hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu arteri
etmoidalis anterior, arteri etmoidalis posterior (cabang dari arteri oftalmika), dan
arteri sfenopalatina. Arteri etmoidalis anterior memperdarahi septum bagian
superior anterior dan dinding lateral hidung. Arteri etmoidalis posterior
memperdarahi septum bagian superior posterior. Arteri sfenopalatina terbagi
menjadi arteri nasalis posterolateral yang menuju ke dinding lateral hidung dan
arteri septi posterior yang menyebar pada septum nasi.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina
yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan
memasuki rongga hidung
di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat
pendarahan dari cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri
labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus

3
Kiesselbach (Little’s area) yang letaknya superfisial dan mudah cedera oleh
trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Pada bagian belakang terdapat
plexus Woodruff yang menjadi lokasi epistaksis posterior yang dibentuk dari
anastomosis arteri sfenopalatina dan arteri faringeal. Vena-vena hidung
mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena
di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika superior yang
berhubungan dengan sinus kavernosus.(6)

Gambar 2. Vaskularisasi hidung(8)

2.2 Definisi epistaksis


Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan dari lubang hidung, kavum nasi,
atau nasofaring. Perdarahan yang terjadi disebabkan oleh pecahnya pembuluh
darah di dalam hidung.(9)

4
2.3 Epidemiologi epistaksis
Angka kejadian epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar episode
sembuh spontan, oleh karena itu tidak banyak dilaporkan. Namun banyak sumber
yang melaporkan bahwa epistaksis terjadi pada sekitar 60% populasi umum
dengan kurang dari 10% yang mencari pertolongan medis. Prevalensi epistaksis
cenderung lebih tinggi pada laki-laki (58%) dibandingkan pada wanita (42%).
Dapat terjadi pada semua usia dengan puncak pada anak-anak umur 2-10 tahun
dan individu yang lebih tua umur 50-80 tahun.(3)
Penelitian di Amerika membuktikan bahwa penggunaan antioksidan pada
perokok yang berusia 50-64 tahun terbukti bermakna meningkatkan insidens
epistaksis sebesar 7,6 %. Pada populasi anak dan dewasa muda cenderung lebih
berisiko untuk menderita epistaksis berulang pada daerah anterior hidung yang
melibatkan Pleksus Kiesselbach, sedangkan pada golongan usia tua dan lansia,
risiko untuk terjadinya epistaksis posterior lebih sering muncul.(10)

2.4 Etiologi epistaksis


Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik. Kelainan lokal misalnya disebabkan karena trauma, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, tumor, benda asing, pengaruh udara
lingkungan. Sedangkan kelainan sistemik bisa disebabkan karena penyakit
kardiovaskuler, kelainan darah, kelainan kongenital, kelainan hormonal,
perubahan tekanan atmosfir, infeksi sistemik.(3,5,11)
2.4.1 Trauma
Epistaksis dapat terjadi karena trauma ringan seperti mengorek hidung atau
mengeluarkan sekret hidung terlalu keras dan berbagai trauma hidung lainnya.
Dapat juga terjadi karena spina septum yang tajam yang dapat melukai tempat
spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka tersebut
sedang mengalami pembengkakan.(3,5,11)

5
2.4.2 Kelainan pembuluh darah lokal
Kelainan pembuluh darah lokal disebabkan karena pembuluh darah yang
terbentuk lebih tipis, lebar, jaringan ikat dan selnya lebih sedikit. Biasanya karena
kongenital. (3,5,11)
2.4.3 Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, epistaksis
berat dapat terjadi pada hemangioma dan angiofibroma. Pasien juga dapat
mengeluh obstruksi nasal dan biasanya unilateral. Pertumbuhan sel yang
abnormal dan pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) yang bersifat
rapuh memungkinkan untuk mudahnya terjadi perdarahan.(3,5,11)
2.4.4 Infeksi lokal
Epitaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis
atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rhinitis jamur, tuberkulosis,
lupus, sifilis atau lepra. Infeksi menyebabkan inflamasi yang akan merusak
mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
setempat sehingga memudahkan terjadinya epistaksis.(3,5,11)
2.4.5 Kelainan darah
Kelainan darah penyebab epistaksis antara lain leukemia, trombositopenia,
bermacam-macam anemia serta hemophilia.(3,5,11)
2.4.6 Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah pada arteriosklerosis, nefritis
kronik sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis.
Epistaksis pada hipertensi biasanya hebat dan bisa berakibat fatal. Pada hipertensi
kronis terjadi kerapuhan pembuluh darah karena kontraksi pembuluh darah yang
terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh. Jika terjadi keadaan tekanan
darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengkompensasi dengan
vasodilatasi yang menyebabkan rupturnya pembuluh darah. Pada sirosis hepatis,
fungsi sintesis protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah
terganggu sehingga perdarahan lebih mudah terjadi.(3,5,11)

6
Kadar gula darah yang tinggi pada diabetes mellitus menyebabkan sel
endothelial mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih
banyak glikoprotein pada permukaannya yang menyebabkan membran basal
semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah yang tebal namun lemah
inilah yang menyebabkan dapat terjadinya epistaksis pada pasien diabetes
mellitus.(3,5,11)
2.4.7 Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah teleangiektasis
hemoragik herediter dimana pada kelainan ini terjadi pelebaran kapiler yang
bersifat rapuh sehingga perdarahan mudah terjadi. Juga pada Von Willenbrand
disease.(3,5,11)
2.4.8 Infeksi sistemik
Yang sering menyebabkan epistaksis ialah demam berdarah. Demam tifoid,
influenza, dan morbili juga dapat disertai epistaksis.(3,5,11)
2.4.9 Perubahan udara atau tekanan atmosfir
Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya
sangat dingin atau kering. Adanya zat-zat kimia di tempat industri juga bisa
menyebabkan epistaksis akibat keringnya mukosa hidung.(3,5,11)

2.5 Patofisiologi epistaksis


Epistaksis terjadi karena adanya erosi pada mukosa rongga hidung yang
memiliki banyak pembuluh darah. Patofisiologi erosi mukosa ini
menyebabkan pembuluh darah menjadi terpapar, kemudian pecah, dan terjadi
perdarahan. Secara normal, perdarahan akan segera berhenti oleh mekanisme
pembekuan darah dan vasokonstriksi. Adanya gangguan pada salah satu
mekanisme tersebut akan memperpanjang proses perdarahan.(1, 12)
Epistaksis dibedakan menjadi anterior dan posterior berdasarkan letak
perdarahannya.
2.5.1 Epistaksis Anterior
Epistaksis anterior merupakan jenis epistaksis yang paling sering terjadi.
Perdarahan anterior paling sering berasal dari pleksus Kiesselbach. Pleksus

7
Kiesselbach berlokasi di septum nasi dan merupakan lokasi di mana cabang
dari arteri Carotis Interna (arteri ethmoidal anterior dan posterior) dan cabang
dari arteri carotis eksterna (arteri sphenopalantine dan cabang dari arteri
maksilaris interna) bertemu. (1, 12)
2.5.2 Epistaksis Posterior
Sekitar 10% epistaksis berasal dari rongga hidung posterior. Perdarahan dari
posterior biasanya lebih hebat dan sulit dikontrol, serta memiliki risiko
sumbatan jalan nafas yang lebih besar. Perdarahan biasanya berasal dari
cabang arteri sphenopalantine di rongga hidung posterior atau di nasofaring.(1,,
12)

2.6 Anamnesis & pemeriksaan fisik


Anamnesis pada epistaksis meliputi: Epistaksis berasal dari hidung kanan atau
kiri, onset, banyak atau sedikit, didahului trauma atau tidak, apakah konsumsi
obat tertentu, perdarahan menetes atau memancar, darah bercampur lendir atau
tidak, disertai bau atau tidak, disertai gejala lain atau tidak.(13)
Pada pemeriksaan fisik, alat-alat yang diperlukan adalah lampu kepala,
spekulum hidung hidung. Pasien diperiksa dalam posisi duduk sehingga bisa
dimonitor, namun jika kondisi pasien lemah sebaiknya setengah duduk atau
berbaring dengan kepala ditinggikan dan diperhatikan jangan sampai darah
mengalir ke saluran napas bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan
dipeluk dan kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.(5)
Pemeriksaan terkait yang perlu dilakukan meliputi rinoskopi anterior &
pemeriksaan tenggorok. Pemeriksaan rinoskopi anterior untuk melihat kavum nasi
lapang atau sempit, ukuran & warna konka inferior, septum deviasi atau tidak,
adakah sekret dari meatus media, apakah tampak perdarahan dari plexus
Kiesselbach. Pada pemeriksaan tenggorok melihat apakah terdapat darah kental
atau cloting melekat pada dinding posterior, apakah tampak perdarahan aktif
mengalir dari atas.(13)

8
2.6 Penatalaksanaan epistaksis
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum dengan
memperhatikan nadi, pernapasan serta tekanan darah pasien. Lalu cari sumber
perdarahan apakah perdarahan berasal dari anterior atau posterior. hentikan
perdarahan, dan mencari faktor penyebab untuk mencegah terjadinya perdarahan
yang berulang. Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah
dan bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon
sementara yaitu kapas yang telah dibasahi adrenalin 1/5000-1/10.000 dan
pantocain atau lidocain 2% dimasukkan dalam rongga hidung untuk
menghentikan dan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan
selanjutnya. Tampon dibiarkan selama 10-15 menit agar pembuluh darah
vasokonstriksi lalu lihat apakah perdarahan berasal dari anterior atau posterior
hidung.(5)
Perdarahan anterior seringkali berasal dari plexus Kiesselbach, apabila tidak
berhenti dengan sendirinya dapat dicoba dihentikan dengan cara menekan hidung
dari luar selama 10-15 menit. Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal
perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNo3) 25-30%. Sesudahnya
area tersebut diberi krim antibiotik. Jika perdarahan masih terus berlangsung
maka pemasangan tampon anterior perlu dilakukan. Tampon anterior terbuat dari
kapas atau kasa yang diberi vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan
sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus menekan asal perdarahan,
dipertahankan 2 x 24 jam dan harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.
Bila perdarahan masih belum berhenti dipasang tampon baru.(5)

Gambar 3. Pemasangan tampon anterior(8)

9
Perdarahan posterior biasanya perdarahan hebat dan lebih sulit diatasi. Pada
perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior yang juga disebut
sebagai tampon Bellocq yang dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat
dengan diameter 3cm. Untuk memasang tampon posterior pada paerdarahan satu
sisi digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai
tampak di orofaring lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini
diikatkan 2 benang tampon Bellocq kemudian kateter ditarik kembali melalui
hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan
bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring.
Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di
depan nares anterior supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap pada
tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi
pasien yang berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari.
Bila perdarahan berat dari kedua sisi misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri
dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.(5)

Gambar 4. Pemasangan tampon posterior(8)

10
2.7 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat
terjadi aspirasi ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok,
anemia, dan gagal ginjal. Hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
koroner dapat terjadi karena menurunnya tekanan darah secara mendadak. Akibat
dari pembuluh darah yang terbuka dapat menyebabkan infeksi dan perlu diberikan
antibiotik.(5)
Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,
septicemia atau toxic shock syndrome. Pada pemasangan tampon posterior, jika
benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi maka bisa
menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir. Nekrosis mukosa hidung
atau septum dapat terjadi jika kateter balon dipompa terlalu keras.(5)

2. 8 Prognosis
Secara keseluruhan, prognosis dari epistaksis baik tetapi bervariasi dari tiap
individu, dengan perawatan yang tepat maka prognosis sangat baik. 90% kasus
epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Bila pasien dengan masalah medis bila
diberikan perawatan secara adekuat dan masalah medis terkontrol maka sebagian
besar pasien memiliki angka kekambuhan yang kecil.(3)

11
BAB III
KESIMPULAN

Epistaksis merupakan salah satu kegawatdaruratan yang sering terjadi


dalam bidang Otorinolaringologi. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal
pada hidung atau kelainan sistemik. Pada populasi anak dan dewasa muda
cenderung lebih berisiko untuk menderita epistaksis berulang pada daerah anterior
hidung yang melibatkan Pleksus Kiesselbach, sedangkan pada golongan usia tua
dan lansia, risiko untuk terjadinya epistaksis posterior lebih sering muncul.
Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari
sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan mencari faktor penyebab untuk
mencegah terjadinya perdarahan yang berulang. Komplikasi yang terjadi sebagai
akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan
epistaksis. 90% kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Renee Andreeff. Journal of the American Academy of Physician, vol. 29,


no. 1, p 46-47, 2016.
2. R. Douglas and P. J. Wormald, “Update on epistaxis,” Current Opinion in
Otolaryngology and Head and Neck Surgery, vol. 15, no. 3, pp. 180–183,
2007.
3. Nguyen QA. Epistaxis. American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery, 2017.
4. T. W. M. Walker, T. V. MacFarlane, and G. W. McGarry, “The
epidemiology and chronobiology of epistaxis: an investigation of Scottish
hospital admissions 1995–2004,” Clinical Otolaryngology, vol. 32, no. 5,
pp. 361–365, 2007.
5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. BP FKUI: Jakarta,
2014.
6. Fatakia A, Winters R, Amedee RG. Epistaksis: A Common Problem.
Ochsner J. 2010 Fall; 10(3): 176–178.
7. Jonathan J.BeitlerJ. TradWadsworthPatricia A.HudginsK. KianAng.
Clinical Radiant Oncology 3rd Edition. Elsevier: Amsterdam, 2012. Pages
665-90.
8. Kucik CJ, Clenney T. Management of Epistaxis. Am Fam
Physician. 2005 Jan 15;71(2):305-311.
9. Suh JD. Epistaxis (Nosebleeds). American Rhinologic Society. 2015.
10. Parajuli R. Evaluation of Etiology and Treatment Methods for Epistaxis: A
Review at a Tertiary Care Hospital in Central Nepal. International Journal
of Otolaringology, vol. 2015, 2015.
11. Melia L dan Gerald McGarry. 2008. Epistaksis in adults: a clinical review.
British Journalof Hospital Medicine Vol 69 No 7.
12. Swift AC. Epistaxis. The Otorinolaryngologist 2012; 5(3): p. 129-132.

13
13. Morgan DJ, Kellerman R. Epistaxis: Evaluation and Treatment. Primary
Care: Clinics in Office Practice. 2014 March:41(1):63-73.

14

Anda mungkin juga menyukai