PENDAHULUAN
1
Undang-Undang Dasar”. Dengan rumusan itu dimaksudkan, bahwa kedaulatan itu pada
hakekatnya tetap melekat dan berada di tangan rakyat, dan Undang-Undang Dasar yang
mengatur pelaksanaannya.
Sebagian kedaulatan itu tetap dipegang dan dilaksanakan sendiri oleh rakyat, yaitu
dalam hal memilih Presiden dan Wakil Presiden, memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar itu, Undang-undang kemudian juga
menetapkan, rakyat tetap memegang kedaulatannya secara langsung, yaitu dalam hal memilih
Gubernur dan Wakil Gubernur, memilih Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota. Untuk selebihnya Undang-Undang Dasar menetapkan dibentuknya lembaga-
lembaga negara (DPR, MPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa
Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi), dan kepada masing-masing
lembaga itu ditetapkan secara definitif fungsi dan kewenangannya sesuai dengan
posisi/kedudukannya. Lembaga-lembaga negara itu berada dalam kedudukan yang setara.
Antara lembaga yang satu dengan yang lain dilaksanakan prinsip saling mengawasi dan
saling mengimbangi atau checks and balances.
1. Pengertian MPR ?
2. Bagaimana sejarah MPR di Indonesia?
3. Bagaimana struktur, fungsi, wewenang, dan keanggotaan MPR sebelum dan
sesudah amandemen UUD 1945?
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui secara jelas apa itu Pengertian MPR
2. Untuk mengetahui sejarah asal mulanya sejarah MPR di Indonesia
3. Untuk mengetahui Bagaimana struktur, fungsi, wewenang, dan keanggotaan
MPR sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian MPR
Secara keseluruhan, undang-undang dasar 45 sebelum perubahan mengenal
enam lembaga tinggi/tertinggi negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Mahkamah agung (MA) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Pertimbangan Agung.1 Selanjutnya Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia atau cukup disebut Majelis
Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR-RI atau MPR) adalah lembaga legislatif
bikameral yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia2 yang terdiri anggota anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD.
Jumlah anggota MPR saat ini adalah 678 orang yang terdiri dari 550 anggota
DPR dan 128 anggota DPD. Masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun dan berakhir
ketika anggota-anggota DPR yang baru mengangkat sumpah. MPR adalah lembaga
tertinggi di negara Indonesia yang strukturnya dibentuk berdasarkan pemilihan
langsung legislatife, bersamaan dalam penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Majelis Permusyawaratan rakyat sebagai lembaga kedaulatan rakyat memiliki
susunan, kedudukan, tugas, dan wewenang.
1
Asshiddiqie jimly ,Konstitusi dan konstitusionalisme indonesia (Jakarta: STITUSI KONPRESS, 2010),
2
Asriyatno Smec, “Daftar dan Tugas Lembaga Tinggi Negara Indonesia”,http://daftar-artikel-
penting.blogspot.co.id/2015/05/daftar-dan-tugas-lembaga-tinggi-negara.html, diakses 19 April 2018, jam 09.30
WIB.
3
keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pra
Amandemen) tersebut mengatur berbagai macam lembaga negara dari Lembaga
Tertinggi Negara hingga Lembaga Tinggi Negara. Konsepsi penyelenggaraan negara
yang demokratis oleh lembaga-lembaga negara tersebut sebagai perwujudan dari sila
keempat yang mengedepankan prinsip demokrasi perwakilan dituangkan secara utuh
didalamnya. Kehendak untuk menuangkan aspirasi rakyat dalam sistem perwakilan,
untuk pertama kalinya dilontarkan oleh Bung Karno, pada pidatonya tanggal 01 Juni
1945.
Muhammad Yamin juga mengemukakan perlunya prinsip kerakyatan dalam
konsepsi penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan Soepomo yang mengutarakan
idenya akan Indonesia merdeka dengan prinsip musyawarah dengan istilah Badan
Permusyawaratan. Ide ini didasari oleh prinsip kekeluargaan, dimana setiap anggota
keluarga dapat memberikan pendapatnya.3
Dalam rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, Soepomo
menyampaikan bahwa ‘’Badan Permusyawaratan’’ berubah menjadi ‘’Majelis
Permusyawaratan Rakyat’’ dengan anggapan bahwa majelis ini merupakan
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil
rakyat, seluruh wakil daerah, dan seluruh wakil golongan. Konsepsi Majelis
Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada
acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(pra Amandemen).
Pada awal masa Orde Lama, MPR belum dapat dibentuk secara utuh karena
gentingnya situasi saat itu. Hal ini telah diantispasi oleh para pendiri bangsa dengan
Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (pra Amandemen) menyebutkan. Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut
3
Marfuatunnikmah29, “Majelis Permusyawaratan Rakyat”,https://marfuatunnikmah29.wordpress.com/
2013/05/05/majelis-permusyawaratan-rakyat/,diakses 19 April 2018, jam 10.40 WIB.
4
Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan
bantuan sebuah Komite Nasional.
Sejak diterbitkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, terjadi perubahan-
perubahan yang mendasar atas kedudukan, tugas, dan wewenang KNIP. Sejak saat itu
mulailah lembaran baru dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, yakni KNIP diserahi
kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan
demikian, pada awal berlakunya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (pra Amandemen) dimulailah lembaran pertama sejarah MPR, yakni
terbentuknya KNIP sebagai embrio MPR.
Pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) dan
Undang-Undang Dasar Sementara (1950-1959), lembaga MPR tidak dikenal dalam
konfigurasi ketatanegaraan Republik Indonesia. Pada tanggal 15 Desember 1955
diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante yang diserahi
tugas membuat Undang-Undang Dasar.
Namun, Konstituante yang semula diharapkan dapat menetapkan Undang-
Undang Dasar ternyata menemui jalan buntu. Di tengah perdebatan yang tak berujung
pangkal, pada tanggal 22 April 1959. Pemerintah menganjurkan untuk kembali ke
UUD 1945, tetapi anjuran ini pun tidak mencapai kesepakatan di antara anggota
Konstituante.
Dalam suasana yang tidak menguntungkan itu, tanggal 5 Juli 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisikan :
Pembubaran Konstituante,
Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara
1950,
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan
Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Untuk melaksanakan
Pembentukan MPRS sebagaimana diperintahkan oleh Dekrit Presiden 5 Juli
1959, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 yang
mengatur Pembentukan MPRS sebagai berikut :
MPRS terdiri atas Anggota DPR Gotong Royong ditambah dengan utusan
utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.
Jumlah Anggota MPR ditetapkan oleh Presiden.
Yang dimaksud dengan daerah dan golongan-golongan ialah Daerah
Swatantra Tingkat I dan Golongan Karya.
5
Anggota tambahan MPRS diangkat oleh Presiden dan mengangkat sumpah
menurut agamanya di hadapan Presiden atau Ketua MPRS yang dikuasakan
oleh Presiden.
MPRS mempunyai seorang Ketua dan beberapa Wakil Ketua yang diangkat
oleh Presiden.
Jumlah anggota MPRS pada waktu dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 199 Tahun 1960 berjumlah 616 orang yang terdiri dari 257 Anggota DPR-GR,
241 Utusan Golongan Karya, dan 118 Utusan Daerah.4 Pada tanggal 30 September
1965 terjadi peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI. Sebagai akibat logis dari peristiwa
pengkhianatan G-30-S/PKI, mutlak diperlukan adanya koreksi total atas seluruh
kebijaksanaan yang telah diambil sebelumnya dalam kehidupan kenegaraan.
MPRS yang pembentukannya didasarkan pada Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959, setelah terjadi
pemberontakan G-30-S/PKI, Penetapan Presiden tersebut dipandang tidak memadai
lagi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka diadakan langkah pemurnian
keanggotaan MPRS dari unsur PKI, dan ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1966 bahwa sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dipilih oleh rakyat, maka MPRS menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan
UUD 1945 sampai MPR hasil Pemilihan Umum terbentuk. Rakyat yang merasa telah
dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G-30-S/PKI mengharapkan kejelasan
pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut
epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Tetapi, pidato pertanggungjawaban
Presiden Soerkarno yang diberi judul ”Nawaksara” ternyata tidak memuaskan MPRS
sebagai pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS
Nomor 5 Tahun 1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato
pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam
suratnya tertangal 10 januari 1967 yang diberi nama “Pelengkap Nawaksara”, tetapi
ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden
tersebut, Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah alpa dalam
memenuhi kewajiban Konstitusional. Sementara itu DPR-GR dalam Resolusi dan
4
Wikipedia Bahasa Indonesia, “Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia”,
http://setwan.mojokertokab.go.id/index.php?vi=artikel_detail&id=14&token=4fefe4d01d93346f56bde345ef58e
82d/,diakses 19 April 2018, jam 10.55WIB.
6
Memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta
pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara
konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan
Pancasila”. Dalam kaitan itu, MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk
memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan
memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris
sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan
Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan
penuntutan secara hukum.
2.3 Struktur, fungsi, wewenang, dan keanggotaan MPR sebelum dan sesudah
amandemen UUD 1945.
1. Keanggotaan MPR RI
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No.2/1985, dikatakan bahwa jumlah anggota MPR
dua kali lipat jumlah anggota DPR, yaitu anggota DPR 500 orang dan anggota MPR 1000
orang
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang diatas, MPR terdiri atas anggota DPR
ditambah dengan Utusan Daerah, Utusan Organisasi Kekuatan Sosial Politik peserta pemilu,
5
multimediastudio21, “MPR RI”, http://respublikan.blogspot.co.id/2017/10/mpr-ri.html,diakses 19 April 2018,
jam 11.25WIB.
7
dan Golongan Karya Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Serta Utusan golongan-
golongan sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945
a. Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 tahun serta bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Dapat berbahasa Indonesia dan cakap menulis dan membaca huruf latin.
c. Setia kepada Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Dasar Negara dan
Ideologi Nasional.
d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI dan anggota terlarang lainnya.
e. Tidak sedang dicabut hak pilihnya.
f. Tidak terganggu jiwanya.
1. Hasil pemilu 7 juli 1999 (UU No.4/1999 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR,
dan DPRD) :
8
2. Susunan dan Kedudukan MPR RI
Mengenai utusan daerah perlu disoroti khusus masalah Gubernur/Kepala Daerah yang
harus dipilih sebagai utusan daerah. Menurut pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No.16/1969
utusan daerah termaksud Gurbernur/Kepala Daerah dipilih oleh DPRD Tingkat I. Namun
muncul pertanyaa tentang dipilihnya Gubernur sebagai utusan daerah untuk menjadi anggota
MPR . Menurut pendapat Prof. DR. Sri Soemantri, SH, hal itu tidak sesuai dengan arti yang
terdapatdalam perkataan “memilih” atau “dipilih”.
Adapun Tugas MPR diatur dalam pasal 3 dan pasal 6 UUD 1945 serta pasal 3
Ketetapan MPR No.1/MPR/1983,6 meliputi :
6
Ali Salmande, “Tugas dan Wewenang MPR”,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4cc6a009be454/tugas-dan-wewenang-mpr,diakses 19 April 2018,
jam 12.10 WIB.
9
a. Menetapkan Undang-Undang Dasar.
UUD 1945 ditetapkan oleh suatu Lembaga Negara yang bernama Konstituante atau
sidang pembuat UUD 1945. Dalam pasal 186 konstitusi tersebut dikatakan bahwa
Konstituante bersama-sama dengan pemerintah secepatnya menetapkan Konstitusi Republik.
MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia dengan jumlah yang cukup besar
tidak mungkin setiap hari menjalankan sidang. Akan tetapi dibawah majelis ini terdapat
Lembaga-Lembaga lain seperti Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPA, MA dan Badan
Pemeriksa Keuangan.Supaya lembaga ini tidak melakukan tindakan semaunya sendiri maka
Majelis menetapkan bermacam-macam pedoman yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh
lembaga tersebut. Disamping UUD 1945 pedoman tersebut dituangkan pula dalam GBHN.
a. Mebuat putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh Lembaga Negara yang lain.
b. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan Majelis.
c. Menyelesaikan pemilihan dan mengangkat Presiden dan Wapres.
d. Meminta pertanggung jawaban dari Presiden mengenai GBHN.
e. Memberhentikan Presiden apabila melanggar UUD 1945/Haluan Negara.
f. Mengubah Undang-Undang Dasar.
g. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.
h. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan anggota.
i. Mengambil keputusan terhadap anggota yang melanggar janji anggota.
1. Keanggotaan MPR
UUD 1945 pasca amandemen menyatakan menyatakan bahwa MPR terdiri dari
anggota DPR dan anggota DPD, yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut
dengan undang-undang. Ketentuan ini mengimplikasikan pengaturan struktur MPR sangat
stesifik terutama karena tidak ada anggota MPR yang diangkat.
10
Dalam undang-undang No.22 tahun 2003 tentang Susduk, pasal 2 mempertegas
ketentuan UUD 1945 setelahperubahan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD yang
dipilih melalui pemilihan umum. Selanjutnya dalam pasal 3 UU susduk di jelaskan bahwa
keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Masa jabatan juga ditentukan
dalam pasal 4 UU No.22.
Tugas dan wewenang MPR mengalami perubahan setelah perubahan UUD 1945.
Sebelum perubahan MPR merupakan lembaga tertinggi Negara. Kekuasaannya tidak terbatas,
namun setelah perubahan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara dan
kewenangannya juga terbatas.
Sesuai pasal 11 Undang-Undang No.22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD.
b. Melantik presiden dan wakil presiden dari hasil pemilu dan sidang paripurna MPR.
f. Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan.
7
Asriyatno Smec, “Daftar dan Tugas Lembaga Tinggi Negara Indonesia”,http://daftar-artikel-
penting.blogspot.co.id/2015/05/daftar-dan-tugas-lembaga-tinggi-negara.html, diakses 19 April 2018, jam 09.30
WIB.
11
Hak MPR yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No.22 Tahun 2003 pasal 12 ayat (1)
adalah :
d. Membela diri
e. Imunitas
f. Protokoler
a. Mengamalkan pancasila
UU No.22 Tahun 2003 pasal 14 ayat 1 sampai 4 mengatur tentang mekanisme persidangan
MPR8 sebagai berikut :
a. MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu Kota Negara
b. Sidang MPR sah bila dihadiri :
1. Sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota MPR untuk
memutuskan usul DPR untuk memberhentikan presiden dan
wakil presiden
8
LINC4U, “Penjelasan Pasal 22 Sampai Pasal 22E UUD 1945 ”, http://limc4u.com/uud-1945/penjelasan-
pasal/penjelasan-pasal-22-sampai-pasal-22e-uud-1945/ , diakses 19 April 2018, jam 12.30 WIB.
12
2. Sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR untuk
mengubah dan menetapkan UUD 1945
3. Sekurang-kurangnya 50% +1 dari jumlah anggota MPR untuk
selain sidang-sidang sebagaimana dimaksud diatas
c. Tata cara penyelenggaraan sidang sebagaimana diatur pada ayat 1, 2, dan3
dalam peraturan tata tertipb MPR
Putusan MPR
13
3. Menggunakan nomor putusan Majelis
c. Keputusan MPR adalah putusan Majelis
1. Berisi aturan/ketentuan intern Majelis
2. Menggunakan nomor putusan Majelis
a. Pembuatan putusan MPR dilakukan melalui empat tingkat pembicaraan, kecuali untuk
laporan pertanggung jawaban Presiden dan hal-hal yang dianggap perlu oleh MPR
· Tingkat I :
Pembahasan oleh BP MPR terhadap bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan
tersebut merupakan Rancangan Ketetapan/ Keputusan MPR sebagai bahan pokok
pembicaraan Tingkat II
· Tingkat II :
Pembahasan oleh Rapat Paripurna MPR yang diakui oleh penjelasan Pimpinan dan
dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi
· Tingkat III :
Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc MPR terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I
dan II. Hasil pembahasan pada Tingkat III ini merupakan Rancangan Ketetapan/Keputusan
MPR
· Tingkat IV :
Pengambilan putusan oleh rapat paripurna MPR setelah mendengar laporan dari Pimpinan
Komisi/Panitia Ad Hoc MPR dan bilamana perlu dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi
Pimpinan Majelis
a. Pimpinan majelis merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif. Pimpinan
majelis yang terdiri atas seorang ketua dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan
unsur DPR dan DPD yang dipilih dari dan anggota majelis dalam rapat paripurna
14
b. Tata Cara Pemilihan Pimpinan Majelis
1. Calon Pemimpin Majelis dipilih dari dan oleh anggota Majelis
2. Calon Pemimpin Majelis berjumlah empat orang yang terdiri
dari dua dari unsur DPR dan dua dari DPD
3. Empat orang yang mendapat suara terbanyak ditetapkan
menjadi ketua dan yang tiga menjadi wakil ketua
4. Ketua dan Wakil Ketua Majelis diresmikan dengan Keputusan
Majelis
c. Tugas Pimpinan Majelis
1. Memimpin rapat-rapat Majelis
2. Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja
3. Menyiapkan rancangan sidang
4. Menjadi juru bicara Majelis
5. Menjaga ketertiban dalam rapat
d. Wewenang Pimpinan Majelis
1. Anggota Pimpinan Majelis berwewenang bertindak atas nama
Pimpinan Majelishanya dalam hal yang bersifat protokoler
2. Pimpinan Majelis tidak berwenang mengeluarkan statemen
politik atas nama Majelis dan jabatannya kecuali ditugaskan
Majelis
A. Panitia Ad Hoc Majelis merupakan alat kelengkapan Majelis yang dibentuk oleh
Majelis untuk melaksanakan tugas tertentu yang diperlukan dalam sidang Majelis.
B. Panitia Ad Hoc Majelis terdiri atas Pimpinan Majelis dan sekurang-kurangnya 35
orang dan sebanyak-banyaknya 70 orang yang susunannya mencerminkan secara
proporsional unsur DPR dan DPD.
a. Badan Kehormatan Majelis
C. Badan Kehormatan Majelis merupakan alat kelengkapan mMajelis yang dibentuk
oleh Majelis.
D. Tugas dan wewenang Badan Kehormatan Majelis
E. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran tata tertib Majelis dan kode
etik anggota Majelis
15
1. Memanggil anggota yang bersangkutan untuk memberikan
pemjelasan tentang pelanggaran yang dilakukan
2. Memanggil pelapor, saksi/ pihak lain yang terkait untuk
dimintai keterangan dan bukti lain
3. Memutuskan pemberian sanksi sesuai dengan tata tertib Majelis
dan kode etik anggota Majelis
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA
18