Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di negara berkembang maupun di negara maju, penyakit infeks masih merupakan
masalah medis yang sangat penting oleh karena angka kematiannya masih cukup tinggi.
Diantaranya penyakit infeksi yang sangat berbahaya adalah infeksi susunan saraf pusat
(SPP) termasuk kedalamnya meningitis (Andarsari, 2011).
Penyebab infeksi susunan saraf pusat adalah virus, bakteri, mikroorganisme,
jamur, atau parasite yang menyebar dalam darah dan cairan otak. dengan angka kematian
berkisar antara 18-40% dan angka kecacatan 30-50% (kurniawati, 2013). Bakteri
penyebab meningitis ditemukan diseluruh dunia, dengan angka kejadian penyakit yang
bervariasi. Di Indonesia, dilaporkan bahwa haemophilus influenza tipe B ditemukan pada
33% diantara kasus meningitis.
Pada 1996 terjadi wabah meningitis dimana 250.000 orang menderita penyakit ini
dengan 25.000 korban jiwa. Meningitis bacterial terjadi pada kira- kira 3 per 100.000
orang setiap tahunnya di negara – negara barat. Studi populasi secara luas
memperlihatkan bahwa meningitis virus lebih sering terjadi sekitar 10,9 per 100.000
orang, dan lebih sering terjadi dimusim panas. Di brazil, angka meningitis bacterial lebih
tinggi, yaitu 45,8 per 100.000 orang setiap tahun.

B. Rumusan Masalah
a. Menjelaskan pengertian penyakit meningitis?
b. Menjelaskan klasifikasi penyakit meningitis?
c. Menjelaskan etiologi penyakit meningitis?
d. Menjelaskan manifentasi klinis penyakit meningitis?
e. Menjelaskan patofisiologi penyakit meningitis ?
f. Menjelaskan pathway penyakit meningitis?
g. Menjelaskan penatalaksanaan penyakit meningitis?
h. Menjelaskan komplikasi penyakit meningitis?
i. Menjelaskan pemeriksaan diagnostic penyakit meningitis ?
j. Menjelaskan asuhan keperawatan penyakit meningitis

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mampu mengetahui tentang penyakit meningitis dan asuhan keperawatan pada pasien
Meningitis.
2. Tujuan khusus
1
a. Tinjauan teori (definisi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pathway, komplikasi, pemeriksaan diagnostic, pencegahan, penatalaksanaan)
b. Asuhan keperawatan (pengkajian, pemeriksaan fisik, diagnose keperawatan,
intervensi)

BAB II

KONSEP TEORI MENINGITIS

A. Definisi
Meningitis bakterialis adalah suatu infeksi purulent lapisan otak yang pada orang
dewasa biasanya hanya terbatas di dalam ruang subaraknoid, namun pada bayi cenderung

2
meluas sampai kerongga subdural sebagai suatu efusi atau empiema subdural
(leptomeningitis), atau bahkan kedalam otak (meningoensefalitis) (Satyanegara, 2010).
B. Anatomi Fisiologi
1. Otak
Otak merupakan suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat
komputer dari semua alat tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam
rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat.

2. Perkembangan Otak
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang dari sebuah tabung
yang mulanya memperlihatkan tiga gejala pembesaran otak awal.
a. Otak depan menjadi hemister serebri, korpus striatum, talamus serta
hipotalamus
b. Otak tengah, tegmentum, krus serebrium, korpus kuadrigeminus
c. Otak belakang, menjadi pons varol, mediula oblongata dan serebellum.
3. Meingitis (Selaput Otak)

3
Selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang, melindungi
struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (Cairan
Serebro spinalis), memperkecil benturan atau getaran yang terdiri dari 3 lapisan.
a. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater
propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini
terpisah.
Duramater pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan
darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior,
terletak diantara kedua hemisfer otak.
b. Arakhnoid (Lapisan Tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piamater
membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi
seluruh susunan saraf sentral.
Medula spinalis terhenti setinggi dibawah Lumbal I – II terdapat sebuah
kantong berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis
dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan otak yang disebut lumbal.
c. Piamater ( Lapisan Sebelah Dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
piamater berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan
ikat yang disebut trabekel.
Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus
sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium,
memisahkan serebri dengan serebulum.
Diafragma sellae, lipatan berupa cincin dalam duramater dan menutupi
sela tursika sebuah lekukan pada tulang stenoid yang berisi hipofiser.
Sistem Ventrikel. Terdiri dari beberapa bagian rongga dalam otak yang
berhubungan satu sama lainnya ke dalam rongga itu, fleksus koroid
mengalirkan cairan (liquor serebro spinalis).
Fleksus koroid dibentuk oleh jaringan pembuluh darah kapiler otak tepi,
bagian paimater membelok kedalam ventrikel dan menyalurkan serebro
spinalis. Cairan serebro spinalis adalah hasil sekresi fleksus koroid. Cairan ini
bersifat alkali bening mirip plasma.

4
Sirkulasi Caitan Serebro Spinalis. Cairan ini disalurkan oleh fleksus
koroid kedalam ventrikel yang ada dalam otak, kemudaian cairan masuk ke
dalam kanalis sumsum tulang belakang adn ke dalam ruang subaraknoid
melalui ventrikularis.
Setelah melintasi ruangan seluruh otak dan sumsum tulang belakang maka
kembali ke sirkulasi melaluigranulasi arakhnoid pada sinus (sagitalis
superior).
4. Perjalanan Cairan-Cairan Serebro Spinalis.
Setelah meninggalkan ventrikel lateralis (ventrikel I dan II) cairan otak dan
sumsum tulang belakang menuju ventrikel III melalui foramen monroi dan terus ke
ventrikel IV melalui aquaduktus silvi cairan di alirkan ke bagian medial foramen
magendi selanjutnya ke sisterna magma dan ke kanalis spinalis. Dari sisterna magma
cairan akan membasahi bagian-bagian dari otak, selanjutnya, cairan ini akan di
absorpsi oleh vili-vili yang terdapat pada arakhnoid, cairan ini jumlahnya tiodak tetap
biasanya berkisar antara 80 – 200 cm mempunyai reaksi alkalis.
Fungsi cairan serebro spinalis :
a. Kelembaban otak dan medula spinalis.
b. Melindungi alat-alat dalam medula spinalis dan otak dari tekanan.
c. Melicinkan alat-alat dalam medula spinalis dan otak.

Komposisi cairan serebro spinalis terdiri dari air, protein, glukosa, garam, dan
sedikit limfosit dan CO2.

C. Etiologi
1. Pada orang dewasa, bakteri penyebab tersering adalah Diplococcus pneumonia dan
Neiseria meningitidis, Stafilokokus, dan gram negative.
2. Pada anak-anak bakteri tersering adalah Hemophylus influenza, Neiseria meningitidis
dan Diplococcus pneumonia. (satyanegara,2010)

D. Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak, yaitu :
a. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak arachnoid dan piamater yang disertai cairan
otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa.
Penyebab lainnya adalah Lues, Virus, Toxoplasma gondhii, dan Ricketsia.

5
b. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arachnoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumonia
(pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokokus), Streptococus haemoly
ticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichiacoli,
Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
Meningitis berdasarkan mikroorganisme penyebab :
a. Meningitis bacterial
Meningitis bakterial merupakan karakteristik inflamasi pada
seluruhmeningen, dimana organisme masuk ke dalam ruang arachnoid dan
subarachnoid. Meningitis bakterial merupakan kondisi emergensi neurologi
dengan angka kematian sekitar 25% (Ignatavicius & Wrokman, 2006).
Meningitis bakterial jika cepat di deteksi dan mendapatkan penanganan
yang tepat akan mendapatkan hasil yang baik. Meningitis bakterial sering disebut
juga sebagai meningitis purulen atau meningitis septik. Bakteri yang dapat
mengakibatkan serangan meningitis adalah; Streptococcus pneuemonia
(pneumococcus), Neisseria meningitides, Haemophilus influenza
(meningococcus), Staphylococcus aureus dan Mycobakterium tuberculosi
(Ginsberg, 2008).
b. Meningitis Virus
Virus biasanya disebut meningitis aseptik. Sering terjadi akibat lanjutan
dari bermacam-macam penyakit akibat virus, meliputi; measles, mumps, herpes
simplek, dan herpes zoster (Wilkinson, 1999). Virus penyebab meningitis dapat
dibagi dalam dua kelompok, yaitu virus RNA (ribonuclear acid) dan virus DNA
(deoxyribo nucleid acid). Contoh virus RNA adalah enterovirus (polio), arbovirus
(rubella), flavivirus (dengue), mixovirus (influenza, parotitis, morbili). Sedangkan
contoh virus DNA antara lain virus herpes, dan retrovirus (AIDS) (PERDOSSI,
2005). Meningitis virus biasanya dapat sembuh sendiri dan kembali seperti
semula (penyembuhan secara komplit) (Ignatavicius & Wrokman, 2006). Pada
kasus infeksi virus akut, gambaran klinik seperti meningitis akut, meningo-
ensepalitis akut atau ensepalitis akut. Derajat ringan akut meningo-ensepalitis

6
mungkin terjadi pada banyak infeksi virus akut, biasanya terjadi pada anak-anak,
sedangkan pada pasien dewasa tidak teridentifikasi.
c. Meningitis Jamur
Infeksi jamur dan parasit pada susunan saraf pusat merupakan penyakit
oportunistik yang pada beberapa keadaan tidak terdiagnosa sehingga
penanganannya juga sulit. Manifestasi infeksi jamur dan parasit pada susunan
saraf pusat dapat berupa meningitis (paling sering) dan proses desak ruang (abses
atau kista). Angka kematian akibat penyakit ini cukup tinggi yaitu 30%-40% dan
insidensinya meningkat seiring dengan pemakaian obat imunosupresif dan
penurunan daya tahan tubuh (Martz, 1990 dalam Depkes RI, 1998). Meningitis
kriptokokus neoformans biasa disebut meningitis jamur, disebabkan oleh infeksi
jamur pada sistem saraf pusat yang sering terjadi pada pasien
acquiredimmunodeficiency syndrome (AIDS) (Ignatavicius & Wrokman, 2006;
Wilkinson,1999).

E. Manifestasi Klinis
1. Neonates : menolak untuk makan, refleks menghisap kurang, muntah diare, tonus otot
melemah, menangis lemah.
2. Anak-anak dan remaja : demam tinggi, sakit kepala, muntah, perubahan sensori,
kejang, mudah terstimulasi, foto pobia, delirium, halusinasi, maniak, stupor, koma,
kaku kuduk, tanda kernig dan brudzinski positif, petechial (menunjukkan nfeksi
meningococcal).
3. Ciri khas : penderita yang tampak sakit berat, demam akut yang tinggi, kesadaran
yang menurun (lethargi atau gaduh gelisah), nyeri kepala, muntah dan kaku kuduk.

F. Patofisiologi
Otak dilapisi oleh tiga lapisan,yaitu: durameter, arachnoid, dan piameter. Cairan
otak dihasilkan didalam pleksus choroid ventrikel bergerak/mengalir melalui
subarachnoid dalam system ventrikuler seluruh otak dan sumsum tulang belakang,
direabsorbsi melalui villi arachnoid yang berstruktur seperti jari jari didalam lapisan
subarchnoid. Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan
7
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor
predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia
sel sabit dan hemoglobin opatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan
pengaruh imunologis.

Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran
mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini penghubung
yang menyokong perkembangan bakteri. Organisme masuk ke dalam aliran darah dan
menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah korteks, yang dapat
menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami
gangguan metabolisme akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat
purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar
ke dinding membran ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan
perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah,
daerah pertahanan otak (barier otak), edema serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi
akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak
dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi, dan dihubungkan dengan
meluasnya hemoragi sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh
darah yang disebabkan oleh meningokokus.

G. Pathway

8
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu
menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna

9
sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Secara ringkas penatalaksaan
pengobatan meningitis meliputi :
a. Vankomisin hidroklorida dikombinasikan dengan salah satu sefalosporin
(misnatrium seftriakson, natrium sefotaksim) diberikan melalui injeksi intravenus
(IV)
b. Deksametason (Detadron) telah terbukti bermanfaat sebagai terapi pelengkap
pada terapi meningitis bbakterial akut dan meningitis pneumokokal.
c. Dehidrasi dan syok ditangani dengan perkembangan volume cairan.
d. Kejang yang dapat terjadi diawal perjalanan penyakit, dikontrol dengan
menggunakan fenitoin (Dilantin).
e. Peningkatan ICP ditangani sebagaimana mestinya.
2. Penatalaksaan Keperawatan
Prognosis sangat bergantung pada asuhan suportif yang diberikan. Intervensi
keperawatan yang terkait mencakup :
a. Kaji status neurologi dan tanda-tanda vital secara kontinu. Tentukan oksigenasi
dari nilai gas darah arteri dan oksimetri denyut jantung.
b. Masukan selang endotrakhea bermanset (trakeostomi), dan posisikan pasien pada
ventilasi mekanisme sesuai program
c. Kaji tekanan darah (biasanya dipantau dengan menggunakan selang aterial) untuk
mendeteksi syok insipien, yang terjadi sebelum gagal jantung atau pernafasan.
d. Pergantia cepat cairan IV dapat diprogramkan, tetapi hati-hati jangan sampai
menghdrasi pasien secara berlebihan karena pasien beresiko mengalami edema
serebral.
e. Turunkan demam tinggi untuk mengurangi beban kebutuhan oksigen pada otak
dan jantung.
f. Lindungi pasien dar cedera sekunder akibat aktivitas kejang atau perubahan
tingkat kesadaran (LOC)
g. Pantau berat badan setiap hari, elektrolit serum, volume, berat jenis, dan
osmolitas urine. Terutama jika pasien diduga mengalami sindrom ketidaktepatan
hormon antidiuretik (SIDH).
h. Cegah komplikasi yang disebabkan oleh imobilitas seperti tekan dan pnemonia.
i. Lakukan upaya pengendalian infeksi sampai 24 jam setelah dimulainya terapi
antibiotik (rabs oral dan nasal dianggap menular)
j. Informasikan keluarga mengenai kondisi pasien dan izinkan keluarga melihat
pasien internal waktu yang tepat.

I. Komplikasi

10
1. Hidrosefalus obstruktif
2. Meningococcus Septicemia ( mengingocemia )
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
5. Efusi subdural
6. Kejang.
7. Edema dan herniasi serebral.
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder
12. Ketidaksesuaian sekresi ADH
13. Pengumpulan cairan subdural
14. Lesi lokal intrakranial dapat mengakibatkan kelumpuhan sebagian badan
15. Retardasi mental, tuli, kebutaan karena atrofi nervus II ( optikus )
16. Pada meningitis dengan septikemia menyebabkan suam kulit atau luka di mulut,
konjungtivitis.
17. Epilepsi
18. Pneumonia karena aspirasi
19. Emfisema subdural
20. Keterlambatan bicara
21. Kelumpuhan otot yang disadari nerfus III (okulomotor), nervous IV (toklearis),
nervous IV (abdusen). Ketiga saraf tersebut mengatur gerakan bola mata.

J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis CSS dari fungsi lumbal. Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk
menganalisa jenis sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak
ditemukan adanya peningkatan TIK (Tekanan Intrakranial).
1) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel
darah putih dan protein meningkat, glukosa meningkat, kultur positif terhadap
beberapa jenis bakteri.
11
2) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah
putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya
negatif, kultur virus biasanya dengan prosedur khusus.
b. Glukosa serum : meningkat
c. LDH serum: meningkat (meningitis bakteri)
d. Sel darah putih: sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil (infeksi bakteri)
e. Elektrolit darah: dinilai untuk mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan
elektrolit terutama hiponatremi.
f. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya
kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien
meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal.
g. ESR/LED : meningkat pada meningitis
h. Kultur darah/hidung/tenggorakan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat
infeksi dan mengindikasikan penyebab infeksi.
i. Uji tuberkulin positid dari kurasan lambung untuk meningitis tuberkolosis.

2. Radiologi
a. MRI/CT scan : CT-Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau
penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang
sudah sangat parah. CT scan dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat
ukuran/letak ventrikel, hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor.
b. Rontgen dada/kepala/sinus : mengindikasikan adanya infeksi intrakranial.
c. Elektroensefalografi (EEG), akan menunjukkan perlambatan yang menyeluruh.

12
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MENINGITIS

1. Pengkajian

Menurut (Dwy Ardyan, 2012)

Pengkajian keperawatan meningitis meliputi: anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial.

1) Anamnesis, meliputi:

Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama,
pendidikan, dsb.

Keluhan utama; yang sering menjadi alasan adalah panas badan tinggi, sakit
kepala, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.

Riwayat Penyakit Saat Ini; Factor riwayat penyakit sangat penting diketahui
untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disisi harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada
pengkajiian klien meningitis, biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan
akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.

13
Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan demam. Sakit kepala
dihubungkan dengan meningitis yang selalu berat dan sebagai akibat iritasi meningen.
Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang
perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaiman sifat
timbulnya kejang, stilus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang
telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.

Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan


meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan awal
adanya penyakit. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian
pula respons individu terhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergi, tidak responsive,
dan koma. Pengkajian lainnya yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama menjalani
perawatan di RS, pernahkah menjalani tindakan invasife yang memungkinkan
masuknya kuman ke meningen terutama melalui pembuluh darah.

Riwayat Penyakit Dahulu; Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis,
anemia sel sabit dan henoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf, riwayat trauma
kepala, dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya. Riwayat sakit TB
paru perlu ditanyakan pada klien terutama apabila ada keluhan batuk produktif dan
pernah menjalani pengobatan obat antituberkulosis yang sangat berguna untuk
mengidentifikasi meningitis tuberkulosa. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering
digunakan klien, seperti pemakaian obatkortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotic
dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan
untuk memberikan tindakan selanjutnya.

Pengkajian Psiko-sosio-spiritual; Pengkajian psikologis klien meningitis meliputi


beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Sebagian besar pangkajian ini

14
dapat diselesaikan melalui interaksi menyeluruh dengan klien dalam pelaksanaan
pengkajian lain dengan memberi pernyataan dan tetap melakukan pengawasan
sepanjang waktu untuk menentukan kelayakan ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi
klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengauhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
keluarga maupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya citra tubuh). Pengkajian
mengenai mekanisme koping yang secara sadar bias digunakan klien selama masa
stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang
telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi
dampak pada status ekonomi klien, karenabiaya perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya
hidup individu. Persfektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan
peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaftasi pada
gangguan neurologis didalam system dukungan individu.

B. Pemeriksaan Fisik

Menurut (Dwy Ardyan, 2012)

Setelah melakukan anamneesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,


pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per system B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

15
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa TTV. Pada klien meningitis biasanya
didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal yaitu 38-410 C, dimulai dari fase
sistemik. Kemerahan, panas, kulit kering, berkeringat. Keadaan ini biasanya
dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah mengganggu
pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-
tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernafasan sering
berrhubungan dengan peningkatan laju metabolism umum dan adanya infeksi pada
system pernafasan sebelum mengalami meningitis. Tekanan darah biasanya normal atau
meningkat karena tanda-tanda peningkatan TIK.

• Testing Cerebral Function Menurut (Suradi Efendi : 2005) Status mental

1. Pemeriksaan orientasi, Tanya klien tentang : Nama Negara kita, Nama Ibukota
Negara kita, Tempat tinggal, Tempat lahir, Alamat sekolah, Hari apa, Tanggal
berapa, Jam berapa, Bulan berapa, Tahun berapa
2. Pemeriksaan daya ingat, Klien diperlihatkan sendok, garpu dan bolpoint selama
kurang lebih 1 detik. Minta klien untuk menyebutkan nama benda.
3. Perhatian dan perhitungan, Tanya klien tentang perhitungan (100 - 7), (93 – 7), (86
– 7), (79 – 7), (72 – 7)
4. Fungsi bahasa;
- Perlihatkan orang coba penghapus dan penggaris, Tanya nama benda tersebut
- Minta orang coba untuk mengatakan “jika tidak “ atau “andai tetapi”
- Minta orang coba untuk mengambil penggaris dari baki, diketukkan 3 kali di
baki, serahkan ke temannya
- Perlihatkan kertas perintah pada orang coba.
 Alert; Klien dapat merespon dengan tepat terhadap stimulus audio, tactil,
visual, Orientasi (orang, tempat,waktu) baik
 Lethargi; Sering tidur/ngantuk, Klien dapat bangun dengan mudah bila
dirangsang denghan suara, Respon tepat.
 Obtuned; Klien akan bangun dirangsang suara lebih keras atau menepuk
dadanya, Klien akan tidur lagi setelah bangun, Respon tepat.
 Stuport; Ada respon terhadap nyeri, Klien tidak sadar penuh selama
stimulasi, Withdrawl refleks.
 Comatase; Tidak ada respon dan refleks terhadap stimulus,
Flaccidmuscle tone pada tangan dan kaki.

16
1. Respon Buka Mata, lakukanlah dengan cara memeriksa respon buka mata dengan
urutan :

- Dekati klien → buka mata

- Bila tidak buka mata, beri rangsangan suara/taltil

- Bila tetap tidak buka mata beri cubitan

- Bila dengan nyeri klien tidak buka mata.

2. Respon Motorik, lakukan dengan cara memerintah orang coba untuk mengangkat
tangan dengan urutan :

- Bila langsung mengangkat tangan sesuai perintah

- Bila tidak mengerti perintah, cubit salah satu bagian tangan tangan tersebut
menghindar → mengenali nyeri local

- Bila dengan cubitan seluruh tangan menghindar → hanya mengenali nyer

- Bila tetap tidak berespon cubit bagian dada → dekortikasai

- Dengan cubitan decerebbrasi

- Dengan nyeri tidak berespon.

3. Respon Bicara, Tanya orang coba melalui tahapan :

- Beri pertanyaan komprehensif

- Dengan pertanyaan sederhana orang coba bingung

- Menjawab pertanyaan dengan kata-kata yang tidak sesuai

- Hanya mengeluarkan suara erangan, hem,dll

- Tidak berespon suara.

Pengkajian bicara

17
1. Pengkajian bicara – Proses Resiptive

Kaji cara pengucapan, kemampuan baca. Beri pertanyaan yang sederhana yang
memerlukan jawaban lebih dari satu kata. Kemudian minta klien untuk membaca.

2. Pengkajian bicara – Proses Expressive

Kemudian untuk mengekspresikan sesuatu, perhatikan apakah bicara klien


lancar,spontan,jelas. Sesuaikan dengan usia dan pendidikan klien.

Menurut (Dwy Ardyan, 2012)

1) B1 (BREATHING) / Sistem Pernapasan

Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
nafas, dan peningkatan prekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien
meningitis yang disertai adanya gangguan pada system pernapasan. Palpasi thoraks
hanya dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi
pleura massif (jarang terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi nafas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran
primer dari paru

2) B2 (BLOOD) / Sistem Kardiovaskuler

Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien meningitis pada
tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok). Infeksi fulminating
terjadi pada sekitar 10% klien dengan meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda
septicemia: demam tinggi yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar
wajah dan ekstremitas), syok, dan tanda-tanda koagulasi intravascular desiminata
(disseminated intravascular coagulation-DIC). Kematian mungkin terjadi dalam
beberapa jam setelah serangan infeksi.

3) B3 (BRAIN) / Sistem Neurologi

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan


pengkajian pada system lainnya.
18
a. Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran kliien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran
klien dan respons terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk
disfungsi system persarafan. Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat
perubahan dalam kewasspadaan dan kesadaran.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya berkisar pada
tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalimi koma
maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kasadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian
asuhan keparawatan.

b. Fungsi serebri

Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien
dan observasi ekspesi wajah dan aktifitas motorik yang pada klien meningitis tahap
lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.

c. Pemeriksaan saraf cranial

Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tiidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak
ada kelainan

Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema
mungkin didapatkan terutama pada meningitis supuratif disertai abses serebri dan efusi
ssubdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK berlangsung lama.

Saraf III,IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada klien meningitis yang
tidak disertai penurunan kesadaran biasanya yanpa kelainan. Pada tahap lanjut
meningitis yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari
fungsi dan reksi pupil akandidapatkan.

Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah
dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.

Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.

Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
19
Saraf IX dan X. kemampuan menelan baik.

Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usuha dari
klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (rigiditas nukal).

Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan normal.

d. System motorik

Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada meningitis tahap
lanjut mengalami perubahan.

e. Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, lagamentum atau periosteum


derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis akan didapatkan pada klien
meningitis dengan tingkat kesadaran koma. Adanya refleks Babinski (+) merupakan
tanda adanya lesi UMN.

f. Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada keadaan tertentu
klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan meningitis disertai
peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan
dengan meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.

g. System sensorik

Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri,


dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan tubuh. Sensasi
proprioseptif dan diskriminatif normal.

Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan peningkatan TIK. Tanda-
tanda peningkatan TIK sekunder akibat eksudat purulen dan edema serebri terdiri atas
perubahan karakteristik tanda-tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),
pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat kesadaran.
20
Adanya ruang merupakan salah satu ciri yang menyolok pada meningitis meningokokal
(neisseria meningitis). Sekitar setengah dari semua kloien dengan tipe meningitis,
mengalami lesi-lesi pada kulit diantaranya ruam ptekia dengan lesi purpura sampai
ekimosis pada daerah yang luas. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang
mudah dikenali yang umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Tanda tersebut
adalah rigiditas nukal, tanda kering (positif) dan adanya tanda brudzinski. Kaku kuduk
adalah tanda awal adanya upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena
adanya spasme otot leher. Fleksi paksaan menyebabkan nyeri berat. Tanda pernig
(positif) ketika klien dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi kearah abdomen,
kaki tidak dapat diekstgensikan sempurna.

Tanda brutzinski: tanda ini didapatkan bila leher klien difleksikan, maka dihasilnya
fleksi lutut dan pinggul; bila didapatkan fleksi pasif, maka ekstremitas bawah pada
salah satu sisi, maka gerakan yang sama terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan

4) B4 (BLADDER) / Sistem Urologi

Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan volume haluaran urine, hal
ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

5) B5 (BOWEL) / Sistem Gastrointestinal

Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi
pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang.

6) B6 (BONE)

Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan pergelangan
kaki). Ptekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruangan

Pada penyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada wajah. Klien
sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga
mengganggu aktifitas hidup sehari-hari (ADL).

2. Diagnosa Keperawatan

21
a. Resiko infeksi berhubungan dengan Diseminasi hematogen pathogen, stasis
cairan tubuh, penekanan respon imun.
b. Gangguan rasa nyaman
c. Defisiensi pengetahuan yang berhubungan dengan keterbatasan
kognitif(keletihan mental), kekurangan pajanan atau daya ingat, kesalahan
interpretasi informasi.
3. Intervensi Keperawatan

22
Diagnosis Keperawatan Hasil yang Dicapai (NOC) Intervensi
NANDA
Risiko Infeksi Keparahan infeksi : Kontrol infeksi :
Afebris, bebas dari Independen
malaise(kelemahan/letargi) dan
Faktor resiko
menunjukan kultur negative  Catat usia klien
 Catat ada/tidaknya
Diseminasi hematogen dengan tepat
awitan demam,
pathogen, stasis cairan menggigil, perubahan
tubuh, penekanan respon tingkat kesadaran
imun, Kontrol Risiko : Proses  Kaji faktor spesifik
Infeksius pejamu yang
Mengungkapkan secara verbal mempengaruhi
Definisi imunitas
pemahaman tentang faktor
 Implemensikan isolasi
Rentan mengalami invasi risiko individual
sesuai indikasi
dan multiplikasi organisme
 Tekankan dan
patogenik yang dapat contohkan teknik
mengganggu kesehatan. hygiene tangan
dengan tepat,
menggunakan sabun
antibacterial dan air
mengalir
 Beri lingkungan
bersih dengan
ventilasi yang baik
 Pertahankan tindakan
kewaspadaan steril
untuk prosedur
invasive

Kolaboratif
 Bantu dan tinjau studi
diagnostic
 Beri antimicrobial
yang tepat
 Beri nutrisi seimbang
termasuk vitamin dan
mineral renik
Gangguan rasa nyaman Level ketidaknyamanan : Teknik menenangkan:
Definisi; merasa kurang  Mengungkapkan secara Independen:
nyaman dalam dimensi verbal
fisik, psikospiritual,  Mendemonstrasikan  Catat usia klien,
peredaran gejala tingkat
lingkungan, atau budaya
perkembangannya
 Beri dan tingkatkan
lingkungan yang
tenang
 Beri periode tidur
tanpa gangguan 23
 Pertahankan posisi
nyaman. Tinggikan
kepala tempat tidur
sesuai kebutuhan.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 1997).
Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan
dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk
klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul
dikemudian hari.

5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan akhir dari proses keperawatan dimana
perawat menilai sebuah masalah dapat teratasi dan hasil yang diharapkan.
Disamping itu perawat juga memberiumpan balik ata pengkajian ulang. Jika tujuan
yang ditetapkan belum tercapai sehingga proseskeperawatan dapat dimodifikasi.
(Milayani, 2013)

24
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Meningitis bakterialis adalah suatu infeksi purulent lapisan otak yang pada orang
dewasa biasanya hanya terbatas di dalam ruang subaraknoid, namun pada bayi cenderung
meluas sampai kerongga subdural sebagai suatu efusi atau empiema subdural
(leptomeningitis), atau bahkan kedalam otak (meningoensefalitis). Infeksi virus adalah
penyebab meningitis yang paling umum, diikuti oleh infeksi bakteri, dan infeksi jamur.
Bakteri meningitis menyebar melalui aliran darah ke otak dan sumsum tulang belakang.
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan salah satunya adalah resiko infeksi
berhubungan dengan Diseminasi hematogen pathogen, stasis cairan tubuh, penekanan
respon imun. Dari diagnosa tersebut, intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah
cek tanda-tanda vital, Catat ada/tidaknya awitan demam, menggigil, perubahan tingkat
kesadaran, dan beri lingkungan bersih dengan ventilasi yang baik.

B. Saran
Diharapkan mahasiswa keperawatan dapat mengetahui dan memahami apa itu
Meningitis, bagaimana melakukan pengkajian fisik, menentukan diagnosa dan intervensi
keperawatan yang tepat untuk pasien yang menderita Meningitis.

Dan diharapkan mahasiswa keperawatan dapat membaca referensi lainnya


agar dapat menambah wawasan serta ilmu pengetahuan dan tidak cepat puas dengan apa
yang telah dimiliki.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Dito Anurogo & dr. Fritz Sumantri Usman. 2014. 45 Penyakit dan Gangguan Saraf.
Yogyakarta : ANDI OFFSET
25
Drs. Syaifuddin, B. Ac, 2010. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC
Satyanegara. 2010. Ilmu bedah saraf edisi IV. Tangerang : Gramedia Pustaka Utama.
Yudha, Egi Komara & Devi Yulianti. 2011. Belajar Mudah Keperawatan Medikal Bedah
Vol. I. Jakarta : Penerbit Kedokteran EGC

26

Anda mungkin juga menyukai