Anda di halaman 1dari 7

Palliative Care In Advanced Gynecologic Cancer

Dr. Brahmana Askandar, SpOG (K)


Divisi Onkologi Ginekologi, Dept Obstetri Ginekolo gi
FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya

I. Pendahuluan
Perawatan paliatif merupakan suatu perawatan yang bertujuan untuk mengurangi
penderitaan dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Perawatan paliatif bertujuan untuk
mengatasi keluhan yang timbul akibat kanker ataupun yang diakibatkan oleh pengobatan
terhadap kanker tersebut. Perawatan paliatif diberikan terhadap semua stadium kanker,
sebagai contoh adalah perawatan yang diberikan untuk mengatasi mual akibat pemberian
kemoterapi. Pada stadium lanjut, kanker telah tumbuh dan menyebar. Pertumbuhan dan
penyebaran ini menyebabkan seringkali pengobatan primer yang bersifat kuratif tidak
dapat diberikan dan dengan semakin lanjutnya stadium maka keluhan keluhan penderita
juga meningkat. Oleh karena itu perawatan paliatif merupakan pendekatan terapi utama
pada kanker stadium lanjut. Kanker stadium lanjut ginekologi yang meliputi : kan ker
serviks, kanker endometrium, kanker ovarium dan kanker vulva seringkali menyebabkan
keluhan keluhan yang hanya dapat diatasi melalui pendekatan paliatif.. Keluhan atau gejala
yang seringkali timbul akibat kanker ginekologi stadium lanj ut dapat meliputi : nyeri,
keluhan traktus gastrointestinal, keluhan respirasi, keluhan traktus urinarius, edema dan
kelemahan/ ”weakness”.

II. Nyeri
Nyeri merupakan keluhan ynag sering terjadi pada penderita kanker ginekologi
lanjut. Nyeri tersebut ditinjau dari seban ya dapat dibagi menjadi :
1. Nyeri Nosiseptif
Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang ditimbulkan akibat rangsangan pada aferen serta
saraf perifer, nyeri tersebut terjadi akibat pengaruh prostaglandin E2 sehingga nosiseptor
serat saraf perifer menjadi lebih peka terhadap bahan mediator penyebab nyeri.

1
2. Nyeri Neurogenik
Nyeri neurogenik adalah nyeri yang terjadi akibat kerusakan saraf perifer. Kerusakan
ini bias terjadi akibat tekanan tumor terhadap pleksus di daerah dan invasi tumor yang
menekan pleksus lumbosakralis. Nyeri ini seringkali terjadi pada kanker serviks stadium
lanjut, dimana pertumbuhan tumor yang memenuhi rongga pelvis akan menekan ataupun
menginfiltrasi pleksus di daerah pelvis
3. Nyeri Psikogenik
Nyeri psikogenik terjadi akibat factor non-fisik atau lazim disebut factor kejiwaan.
Factor kejiwaan dapat mempengaruhi hebatnya nyeri, terutama pada kanker yang lanjut.
Nyeri psikogenik dapat timbul akibat :
a. Marah (anger)
b. Cemas (anxiety)
c. Depresi

Penggunaan obat merupakan hal penting di dalam mengatasi nyeri selain dukungan dan
perbaikan kondisi psikis penderita.. WHO merekomendasikan penggunaan “three steps
analgesic ladder” di dalam penggunaan obat untuk mengatasi nyeri akibat kanker. Dimana
ketiga tahap tersebut adalah :
1. Step I : Non opioid (NSAID) + ajuvan. Bila tetap nyeri maka dapat ditingkatkan ke
step II
2. Step II : Opioid untuk nyeri ringan dan sedang + non opioid + ajuvan. Bila tetap
nyeri dapat ditingkan ke step III
3. Step III : Opioid untuk nyeri sedang-berat + opioid + ajuvan
Obat-obat untuk mengatasi nyeri tersebut sebaiknya diberikan secara teratur atau dikenal
dengan istilah “by the clock” sehingga kadar obat untuk nyeri berada pada level terapi
untuk mencegah nyeri yang akan timbul selanjutnya , bukan memakai obat hanya bila ada
keluhan nyer namu n berdasarkan waktu yang teratur. Pemberian oral merupakan pilihan
utama oleh karena pemberiannya mudah dan biasanya dari segi harga lebih efektif. Bila
penderita tidak bisa diberikan obat oral maka dapat diberikan melalui rektal atau
transdermal. Obat-obatan ajuvan di dalam step ladder WHO meliputi : kortikosteroid,

2
antikonvulsi, antidepresan, neuroleptic dan analgesi lokal. Obat obat tersebut dapat
meningkatkan efek analgesi dan membantu obat analgesi utama dalam mengurangi nyeri.

III. Komplikasi Gastrointestinal


III.1. Nausea dan Muntah
Mual dan muntah merupakan gejala yang umum dan sering terjadi pada penderita
kanker ginekologi. Mual dengan atau tanpa muntah merupakan suatu gejala yang terjadi
akibat terangsangnya suatu pusat muntah yang berlokasi di reticular formation dari
medulla oblongata, suatu daerah yang kaya akan reseptor histaminic dan muscarinic.
Beberapa jalur terjadinya muntah tampak di bawah ini :
1. Korteks Cerebri. (misal : respon terhadap cemas)
2. Pusat vestibular. Yang banyak mengandung re septor histamin dan muskarinik
(misal : metastasis cerebri)
3. Chemoreceptor triogger zone (CTZ). Daerah ini banyak mengandung reseptor
dopamin dan serotonin (misal : nausea yang disebabkan hiperkaslsemia, uremia
dan pemberian kemoterapi )
4. Traktus gastrointestinal. (misal : stasis gaster, obstruksi usus, gangguan
motilitas usus) . Daerah ini mengandung reseptor dopaminergik, muskarinik dan
serotonin
Bila perasaan cemas terdapati para penderita kanker maka pemberian suatu anxioltytic
dapat membantu. Jika dicurigai terdapat gangguan vestibular maka dapat dicoba diberikan
antihistamin yang dapat bekerja langsung di pusat muntah di daerah vestibular, sedangkan
mual yang disebakan oleh terangsangnya CTZ memerlukan obat yang mempunyai afinitas
terhadap reseptor dopamin seperti haloperidol. Pada mual yang disebabkan oleh
kemoterapi atau abdominal radioterapi maka obat obat antagonis serotonin seperti
ondansetron dapat dipakai sebagai pengobatan. Mual yang disebabkan oleh rangsangan
pada gastrointestinal dapat diberikan metokloperamide.

III.2. Obstruksi Usus


Obstruksi usus sering terjadi pada berbagai level dari traktus gastrointestinal
terutama pada kanker ovarium stadium lanjut. Penderita dengan keluhan obstruksi akut

3
pada tahap awal dapat diberikan cairan yang diberi kan per oral bila terjadi muntah maka
dapat dicoba dipasang pipa nasogastrik, dan bila keluhan tetap tidak hilang dalam 72
samapi 96 jam maka pilihan penanganan pada kasus ini adalah intervensi bedah atau
pemberian obat medikamentosa. Secara umum pembedaha n merupakan pilihan utama
untuk mengatasi obstruksi akibat kanker, namun tidak semua kasus dapat diatasi dengan
pembedahan. Biasanya pemasangan stent dapat membantu mengembalikan pasase usus
yang diakibatkan pembuntuan. Namun demikian biasanya modalitas p embedahan hanya
dipakai pada penderita yang masih mempunyai harapan hidup lebih dari 2 -3 bulan, pada
penderita dengan harapan hidup yang sangat singkat maka terapi non operative dengan
pemberian medikamentosa merupakan pilihan utama.
Salah satu pilihan t erapi konservatif untuk obstruksi usus letak rendah maupun
tinggi adalah dengan pemberian kostikosteroid (salah satunya dengan deksametason 4 -8
mg parenteral selama 3-5 hari). Dasar pemberian kortikosteroid tersebut adalah
mengurangi edema pada usus sehing ga diameter intralumen dapat menjadi lebih lebar.
Obat lain yang dapat diberikan adalah hyoscine hydrobromide, yang bekerja melalui pusat
muntah dan juga mengurangi sekresi dan tonus traktus gastrointestinal.

III.3. Asites
Merupakan gejala yang sering terjadi pada penderita kanker ovarium, gejala ini
juga sering digunakan sebagai tanda diagnostik adanya kemungkinan keganasan pada
tumor ovarium. Asites pada kanker ovarium merupakan prognosis yang buruk, ditandai
dengan perut yang makin membesar karen a rongga berisi cairan, yang lama kelamaan akan
menyebabkan penekanan pada rongga traktus gastrointestinal sehingga akan timbul
keluhan anoreksia. Bahkan jika cairan makin bertambah akan menekan daerah diafragma
sehingga akan timbul gangguan pernapasan. Pada karsinoma Ovari, cairan asites
diproduksi oleh o varium yang akan mensekresikan cairan yang dapat bersifat serous atau
musin.
Banyak cara untuk menentukan adanya cairan asites intra abdominal, antara lain
dengan pemeriksaan fisik. Adanya suara redup pada perkusi yang berpindah pada saat
dilakukan perubahan posisi serta adanya undulasi yang merupakan tanda klasik. Dari

4
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan Ultrasonografi, CT -scan dapat
dilakukan jika cairan asites minimal.
Dari cairan asites sebaiknya dilakukan pemeriksaan sitologik, pemeriksaan sel
darah putih serta diferensiasinya, pemeriksaan mikrobiologi, pemeriksaan kadar protein,
LDH, amilase serta kalau memungkinkan dilakukan pemeriksaan petanda tumor. Pada
cairan asites yang maligna ditemuk an kadar protein yang lebih dari 40 % dari kadar protein
serum, kadar LDH yang tinggi dimana rasio LDH asites/LDH serum lebih dari 1,0. Jika
kadar protein yang tinggi dinyatakan sebagai adanya eksudat, sedangkan jika kadar protein
rendah dinyatakan sebagai transudat.
Umumnya adanya cairan asites merupakan fase akhir pada penderita kanker,
dimana ketahanan hidup rata rata mencapai 4 bulan. S ebagian penderita asites ini diterapi
langsung ditujukan pada tumor primernya, sedang pada pengobatan paliatif diusaha kan
untuk meringankan penderita dengan sedikit mungkin efek yang memberatkan. Tindakan
yang paling sederhana sebagai terapeutik adalah tindakan pungsi cairan asites. Tetapi
tindakan punksi yang frekuen bukan merupakan tindakan yang tepat, karena akan
menyebabkan kehilangan sejumlah protein dan mineral, disamping itu juga akan
meningkatkan komplikasi lain seperti timbulnya peritonitis. Terapi terhadap cairan asites
yang tidak invasif berupa pembatasan diet garam , pemberian spironolakton serta diuretika
loop, meskipun hal ini tidak banyak menunjukkan hasil yang baik. Spironolakton yang
diberikan harus dosis tinggi mencapai 450 gram per hari. Efek yang ditimbulkan cairan
asites yang berupa transudat akan lebih baik dibandingkan efek asites yang terdiri dari
eksudat.
Kemungkinan t erapi lain adalah pemberian sitostatika intraperitonial atau
radioterapi. Yang pengaruhi cairan asites bukanlah efek anti tumornya yang mungkin
terjadi, tetapi efek pada permukaan peritonial seperti terjadinya sklerosis. Dengan
pemberi an Bleomisin 60 mg yang dilarutkan dalam 10 ml garam fisiologik akan
memberikan keberhasilan mencapai 63 %, dengan efek samping seperti nyeri dan febris.
Pemberian Bleomisin ini dilakukan sesudah pengosongan cairan asites. Jenis sitostatika
lain yang dapat diberikan adalah Doksorubisin dan Cisplatin

5
IV. Gejala Traktus Uninarius
Gangguan traktus urinarius sering terjadi pada wanita yang mengalami kanker
ginekologi stadium lanjut. Obstruksi ureter disertai hidronefrosis, sering terjadi pada
penderita kanker serviks stadium lanjut. Bila terjadi obstruksi ureter pada penderita yang
masih mempunyai harapan hidup lama maka dapat dilakukan nefrostomi dan pemasangan
kateter ureter untuk mengatasi obstruksi yang terjadi pada lumen ureter. Tindakan ini
diharapkan dapat menjaga agar lumen ureter tetap paten flow tetap lancar dan dapat
menurunkan kadar BUN dan serum kreatinin.
Pada penderita dengan harapan hidup yang sangat pendek maka tindakan bedah
bukan merupakan suatu pilihan. Pada penderita ini dapat diberikan kortikosteroid
(misalnya, deksametason oral 4 mg setiap hari selama 3 -5 hari). Tujuan pengobatan ini
adalah memperpanjang masa hidup penderita selama beberapa minggu

V. Fistula
Fistula traktus urinarius dan gastrointestinal sering terjadi akibat kanker se rviks dan
kanker korpus uteri. Adanya fistula tersebut akan sangat mempengaruhi kualitas hidup
penderita , oleh karena itu harus dipikirkan kemungkina untuk dilakukan diversi untuk
mengurangi keluhan dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Repair fistula yang
disebabkan oleh kanker sangat jarang berhasil, oleh karena itu pendekatan utama adalah
melakukan diversi. Untuk mengatasi fistula traktus urinarius dapat dilakukan ligasi ureter
disertai dengan nefrostomi percutaneus. Sedang kan untuk mengatasi fistul a traktus
gastrointestinal dapat dil akukan kolostomi.

VI. Disfungsi Seksual.


Disfungsi seksual sering terjadi pada penderita kanker ginekologi, baik disebabkan
oleh tumor itu sendiri maupun akibat pengobatan yang diberikan untuk mengatasi kanker.
Sebagai contoh adalah operasi histerektomi radikal untuk kanker serviks stadium dini,
dimana prosedur operasi ini juga mengangkat 1/3 atas vagina dan sebagian penderita pasca
operasi mempunyai keluhan saat berhubungan seksual. Selain itu pemberian radiasi di
daerah pelvis juga dapat menyebabkan fibrosis vagina yang pada akhirnya memberikan
gangguan hubungan seksual. Dilatasi vagina perlu dilakukan secara teratur pada penderita

6
pasca radiasi untuk mempertahankan panjang vagi na serta elastisitasnya. Terapi sulih
hormon dan gel lubrikan dapat memperbaiki fungsi coitus. Selain itu yang perlu dilakukan
adalah support secara psikis, oleh karena seringkali penderita merasa katakutan untuk
melakukan hubungan seksual, dimana hal ini justru menyebabkan semakin terganggunya
hubungan seksual.

Daftar Pustaka
1. Monk BJ, Wenzel W. Palliative care and quality of life. In : Disaia PJ, Creasman
WT editors. Clinical gynecologic oncology. Philadelphia : Mosby Elsevier; 2007 :
669 – 693
2. Lickiss JN, Philip JA. Palliative care and pain man agement. In : Berek JS, Hacker
NF editors. Practical gynecologic oncology. Philadelphia : Lippincott William
Wilkins; 2005 : 835 -861
3. Advanced cancer and palliative care : Treatment guideline . American cancer
society. 2003
4. World Health Organization: “Cancer Pain Relief”, a state of the art concencus
report on the Management of cancer pain, WHO, Geneva, 1986
5. Paliative Care. National Comprehensive Cancer Network (NCCN), Practice
Guildelines in Oncology 200 2
6. Bidus MA, Elkas JC. Cervical cancer. In : Berek JS editor. Berek and Novak’s
Gynecology. Philadelphia : Lippincott William Wilkins; 2007 : 1403 -1449

Anda mungkin juga menyukai