Anda di halaman 1dari 4

SEJARAH HIDUP

HAMZAH FANSURI
Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan
budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara abad ke-16 sampai awal ke-17. Tahun
lahir dan wafat Syekh tak diketahui dengan pasti. Riwayat hidup Syekhpun sedikit sekali
diketahui. Sekalipun demikian, dipercaya bahwa Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan
abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Kejian terbaru dari Bargansky menginformasikan bahwa
Syekh hidup hingga akhir masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan
mungkin wafat beberapa tahun sebelum kedatangan Nuruddin ar-Raniry yang keduakalinya
di Aceh pada tahu 1637. Sebelumnya, Syed Muhammad Naguib al-Attas berpendapat bahwa
Syekh hidup sampai masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang masyhur itu.

Barginsky mengutip laporan laksamana Perancis Bealeu yang telah dua kali mengunjungi
Aceh. Kungjungan kedua dilakukan pada tahun 1620 semasa pemerintahan Sultan Iskandar
Muda. Dalam laporannya, Bealeu antara lain mengatakan; ketika melewati istana dia melihat
Sultan Aceh murka kepada seorang tokoh kerohanian yang berwajah kenabian dengan
menutup pintu keras-keras. Seandainya tokoh ini seorang pejabat istana seperti Syamsuddin
Pasai, sudah tentu tak akan dimurkai oleh Sultan. Selain itu, dia tentu tak akan berani
menegur Sultan yang sedang menyiapkan upacara meditasi menyambut datangnya bulan
purnama. Bargansky memastikan bahwa tokoh kerohanian itu adalah Syekh Hamzah Fansuri,
sedang pejabat keagamaan yang tampak bersama Sultan adalah Syekh Syamsuddin Pasai
yang ketika itu menjabat perdana menteri. Keberanian tokoh kerohanian itu untuk menegur
Sultan sejalan dengan keberanian Syekh Hamzah Fansuri menyampaikan kritik yang ditujukan
kepada Sultan, khususnya sehubungan dengan penyimpangan praktek keagamaan dan
kerohanian yang dilakukan para pembesar istana Aceh termasuk Sultan.

Tempat lahir Hamzah Fansuri juga menimbulkan perselisihan faham. Pada umumnya para
sarjana berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah bandar yang terletak
di pandat Barat Sumatera Utara diantara Singkel dan Sibolga. Ia berasal dari keluarga Fansuri,
yang telah turun temurun berdiam di Fansur. Fansuri adalah nama yang diberikan pelaut
zaman dahulu kala. Tetapi menurut Syed Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri
dilahirkan di Syahri Nawi, yaitu Ayuthia, Ibukota Siam yang didirikan pada tahun 1350. Syed
Muhammad al-Attas sampai kepada kesimpulan berdasarkan dua lirik syair Hamzah Fansuri
yang berbunyi:
“Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi”

Terdapat beberapa kata kunci yang dapat memberikan petunjuk tempat kelahirannya, yaitu
“wujud” dan “Syahr Nawi”. Al-Attas merujuk kepada “wujud” sebagai keberadaan (laghir)
Hamzah Fansuri. Ide ini membawanya kepada keyakinan bahwa meskipun orang tuanya
berasal dari Barus, Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.

Professor Dreweas tidak setuju dengan tafsiran pada dua lirik di atas. Menurut Drewes,
mendapat wujud berarti mendapat ajaran tentang wujudiyah. Kota Syahri Nawi pada paruh
kedua abad ke-16 adalah kota dagang yang banyak dikunjungi oleh pedagang Islam dari India,
Paris, Turki dan Arab. Sedah tentu banyak ulama juga tinggal di bandar ini, dan di bandar inilah
Hamzah berkenalan dengan ajaran wujudiyah yang kemudian dikembangkannya di Aceh.

Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak,
Mekkeh dan Madinah. Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari
ma’rifat Allah SWT. Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa
tempat lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan Arab. Karena
itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab. Dipelajari ilmu fiqh, tasawuf, tauhid,
akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan sastranya. Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan
tekun kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel. Beliau
membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana
abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel,
pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari Simpangkiri.

Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh


Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-
Sumatrani. Bersama dengan muridnya ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-
ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry, ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan
Iskandar Muda. Ar-Raniry menyatakan didalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis.
Ribuan buku karangan penulis Wujudiyah ditumpuk dihadapan Masjid Raya Kutaraja untuk
dibakar sampai musnah.

Hamzah Fansuri adalah seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan
dnegan al-khaliq dan menemunya dijalan kasih Allah atau Isyk. Bertujuan mengenal inti sari
ajaran tasawuf, ia lama mengembara; misalnya ke Baghdad, kota yang menjadi pusat tarekat
Qadariyah, kemudian juga ke kota suci Mekkah dan Madinah, serta Kudus di Jawa. Pernyataan
ini tersirat dalam syair berikut:
“asalnya manikan tiada kan layu
Dengan ilmu dunia dimanakan payu”

Syekh Hamzah Fansuri menggunakan kata payu (bahasa Jawa) tampak sekali bahwa Syekh
menguasai bahasa Jawa. Syair ini menepis keragu-raguan bahwa kunjungan Syekh ke Kudus
bukan sekedar bermakna simbolis. Drewes membantah pendapat diatas yang menyatakan
bahwa Hamzah Fansuri pernah mengembara dari Barus ke Kudus. Menurutnya, Hamzah
Fansuri tidak pernah mengatakan bahwa dia pernah menempuh perjalanan dari Barus ke
Kudus.
Agaknya Hamzah Fansuri mencapai penyatuannya dengan al-khaliq yangsudah lama dicita-
citakannya sepulang dari Kudus, yaitu selama ia tinggal di Syahri Nawi, sebuah kampung kecil
dan terpenting, kampung ini terletak ditengah hutan. Menurut Hamzah Fansuri disinilah ia
mengalami keadaan fana, menemui wujud dirinya yang sejati dan seakan-akan dilahirkan
kembali. Karena itu, didalam puisi-puisinya terkadang menyebut dirinya sebagai anak Fansur-
Barus dan terkadang anak Syahr-Nawi.

Pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Hamzah
Fansuri menulis karya-karyanya, tasawuf sedang menjadi semacam kegemaran atau bahkan
gaya hidup masyarakat. Hamzah Fanzuri yang berpendidikan tinggi dan telah mendapat
pencerahan jiwa, disana-sini melihat akibat-akibat tersebarnya gaya hidup yang agak dangkal
itu. Dalam salah satu syairnya, dia mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada hamba-Nya
dari pada Hablil Warid atau urat nadi leher, menyindir anak-anak muda dan orang-orang tua
yang tiba-tiba menjadi sufi dan seia sekata maju kehutan belantara mencari Tuhan. Hamzah
Fansuri merasa gusar bukan saja karena setiap orang mengaku dirinya berhak memasuki
rahasia tasawuf yang sejati. Ia terlebih-lebih mengecam orang-orang yang masih menempuh
ajaran yoga dalam usaha mereka untuk mengenal al-Haq dan orang-orang kolot yang
menduduki jabatan berpengaruh di istana Sultan dan memandang sufi sebagai murtad.

Hamzah Fansuri telah berhasil mngukir sejarah pribadinya dalam khazanah pembaharuan
keislaman di dunia Islam. Karya-karyanya telah berhasil membuka dan memperluas wawasan
berpikir umat Islam terhadap berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya. Hamzah Fansuri telah
berusaha mengungkapkan semua ajaran melalui karya sastra dan mistis Islami dengan
kedalaman isi dan pesan yang gagal sangat mengagumkan. Kepeloporan Hamzah Fansuri
dibidang sastra ini diakui oleh pakar Belandan Valentjin yang pernah datang ke Aceh, dimana
ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri telah berhasil dengan sukses menggambarkan
kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syairnya.

Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko falsafi yang demikian tinggi, maka
ajarannya tidak hanya berarti pada maqam ma’rifah sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan
tetapi melampauinya ke tingkat paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan
Tuhan yang disebut itthad.
Aspek lain dari Hamzah Fansuri ialah kepedulian sosialnya, khususnya yang berkaitan dengan
perbedaan strata sosial antara para budak dan tuan mereka. Sebagai seorang sufi, Hamzah
Fansuri mengutuk fenomena ini sebagai tercermin sebagai berikut:
“Aho segala kamu anak ‘alim
Jangan bersbubhat dengan yang zalim
Karena Rasul Allah sempurna hakim
Melarang kita sekalian khadim”

Kepedulian Hamzah terhadap kelas sosial dapat dipahami sebagai akibat dari sebuah
kenyataan dimana perbudakan merupakan hal yang lazim dikalangan masyarakat Islam saat
itu. Di Aceh, sebagaimana yang dilaporkan oleh Bealeu, “penguasa menggunakan mereka
untuk memotong kayu, menggali batu, membuat senjata mortir dan bengunan”.

Kehadiran Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya sebagai seorang ulama tasawuf, cendekiawan
dan sastrawan terkemuka tetapi juga telah berpartisipasi sebagai pembaharu didalam bidang
kerohanian, keilmuan, filsafat dan bahasa. Kritik-kritik Syekh Hamzah Fansuri terhadap
perilaku politik para penguasa dan perilaku moral orang kaya yang sangat tajam,
menunjukkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang intelektual yang berani
dimasanya. Kritik-kritik Syekh juga ditujukan kepada ahli-ahli tarekat yang mengamalkan
praktekl yoga yang sesat dan jauh dari amalan syari’at.

---- Kepenyairan Syekh Hamzah Fansuri


1. Hazmah Fansuri Sebagai Pembaru
Syekh Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama tasawuf dan sastrawan
terkemuka, tapi juga perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan
kebudayaan Islam, khususnya dibidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan sastra. Di
dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaru. Kritik-kritiknya
yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang
kaya yang menemparkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya. Karena
itu, tidak mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh
dan para pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah, baik Hikayat Aceh maupun Bustan as-Salatin
dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak sepatah
katapun menyebutnya namanya, baik sebagai tokoh spiritual maupuan sastra.

Dibidang keilmuan Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang
demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya Syekh muncul, masyarakat muslim
Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang
ditulis didalam bahasa Arab atau Persia.

Dibidang sastra, Syekh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak
Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman
ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18 kebanyakan berada
dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri.

Dibidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelopori
penerapan metode takwil atau hermeneutika kerohanian. Kepiawaian Syekh dibidang
hermeneutika terlihat didalam Asrar al’Arifin, sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang
pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara. Disitu Syekh memberi tafsir dan takwil atau
puisinya sendiri, dengan nalisis yang tajam dengan landasan pengetahuan yang luas
mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan estetika.

Anda mungkin juga menyukai