Anda di halaman 1dari 7

Pendahuluan

Saya perhatikan bahwa kebenaran ini: saya berpikir, jadi saya ada (cogito ergo sum),
begitu kokoh dan meyakinkan, sehingga semua anggapan kaum skeptik yang paling
berlebihan pun tidak akan mampu menggoyahkannya. Karena itu, saya menilai bahwa
tanpa takut salah saya dapat menerimanya sebagai prinsip pertama dari filsafat yang
saya cari.1

Argumen Rene Descartes yang terkenal ini, cogito ergo sum, seakan menjadi jalan
pembuka menuju masa modernitas. Rasionalisme berdiri dan meninggalkan kejayaan masa
skolastik. Descartes seakan menjadi penabuh genderang perang melawan cara berpikir masa
skolastik yang membelenggu ilmu pengetahuan saat itu. Bersama dengan beberapa filosof
awal masa modern, Rene Descartes melancarkan kritik atas pemikiran masa skolastik,
sembari membangun dasar-dasar pemikiran filsafat modern.

Ketika pada masa sebelumnya orang-orang meyakini bahwa klaim pengetahuan


hanyalah milik Gereja, karena Gereja adalah tempat Tuhan mewahyukan ajaran-Nya, Rene
Descartes memunculkan cara berpikir filosofisnya yang baru dalam menemukan kebenaran.
Ia meyakini bahwa berpikir adalah jalan yang paling tepat untuk menemukan kebenaran.
Kebenaran ”saya berpikir, jadi saya ada” baginya adalah kebenaran yang begitu kokoh dan
tak tergoyangkan.

Thesis Rene Descartes ini kemudian melahirkan aliran filosofis baru dalam dunia
filsafat: rasionalisme. Rasionalisme adalah bagian dari subjektivisme yang mengagungkan
peran sentral akal budi manusia dalam melahirkan kebenaran-kebenaran baru. Rene
Descrates sendiri menganggap bahwa pengalaman empiris/inderawi adalah ilusi semata.
Pengalaman inderawi harus selalu disangsikan kebenarannya. Indera manusia bersifat
menipu,2 karena itu tidak dapat ditarik kebenaran apapun dari segala hal yang menipu.

Cara berpikir Rene Descartes ini memunculkan pertanyaan epistemologis di dalam


benak Penulis: kebenaran yang ditawarkan oleh Rene Descartes ini apakah bersifat personal
ataukah universal? Rene Descartes meyakini bahwa setiap manusia yang berpikir, yang
menanggalkan keyakinannya pada fakta-fakta inderawi akan dapat mencapai kebenaran. Pada
titik ini, kebenaran yang ditawarkan oleh Rene Descartes tampaknya bersifat personal karena
setiap manusia dapat mencapai kebenaran tersebut asal melalui cara yang benar. Karena itu,
jika setiap manusia dapat mencapai kebenaran lewat akal budinya sendiri, lantas adakah
kebenaran universal, yang berasal dari “kumpulan” kebenaran-kebenaran manusia? Jika
memang kebenaran tidak bersifat personal, bagaimana menjembatani kebenaran-kebenaran
yang dihasilkan oleh pemikiran setiap individu? Apakah efek dari personalitas ataupun
universalitas kebenaran ini?

Lewat tulisan ini, Penulis akan menjelajahi lagi pemikiran Rene Descartes sehingga
pertanyaan-pertanyaan yang Penulis ajukan menemukan jawabannya. Tulisan ini memang

1
Rene Descartes, Risalah tentang Metode (terj. Ida Sundari Husen dan Rahayu S. Hidayat), Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1995, hlm. 34.
2
Ibid., hlm. 33.

1
akan terfokus pada dimensi epistemologis pemikiran Rene Descartes. Beberapa hal penting
yang berguna untuk memahami pemikiran Rene Descrates juga akan ditambahkan.

Selintas Riwayat Hidup Rene Descartes

Rene Descartes lahir di Touraine Perancis pada tanggal 31 Maret 1956, 4 tahun
sebelum Bruno dibakar oleh Inkuisi Gereja Katolik karena dianggap sebagai bidaah Gereja
setelah menjadi pengikut dari pemikiran Copernicus.3 Rene Descartes merupakan anak dari
seorang pengacara terhormat. Karena itu, masa kecil Rene Descartes dipenuhi dengan
kemewahan a la kehidupan kaum borjuis.

Sejak kecil, Rene Descartes sudah diperkenalkan pada ilmu-ilmu huamniora oleh
keluarganya. Pada usia 10 hingga 18 tahun, Rene Descartes belajar di La Fleche, sebuah
sekolah terkenal di Eropa yang dikelola oleh para imam Jesuit. Di sekolah itu, ia belajar dan
membaca banyak hal. Rene Descartes menjadi siswa yang sangat cerdas, terutama pada ilmua
matematika dan geometri. Namun demikian, ia sendiri menyadari bahwa keraguannya akan
kebenaran yang ia terima dari cara berpikir di sekolah tersebut justru muncul ketika ia
menyelesaikan studinya. Berkaitan dengan hal tersebut, Rene Descartes berkata:
Namun, begitu saya menyelesaikan seluruh studi, dan pada saat itu biasanya si pelajar
diterima dalam kalangan kaum cendekiawan, pendapat saya berubah sama sekali.
Sebab, saya malaham merasa tidak yakin lagi dengan adanya demikian banyak keraguan
dan kekeliruan, sehingga saya merasa dengan belajar saya tidak mendapat manfaat lain
selain kesadaran yang semakin tajam bahwa saya tidak tahu apa-apa. Padahal saya
mengikuti pendidikan di salah satu sekolah yang paling terkenal di Eropa.4

Ketidakpuasannya akan hasil belajar yang ia peroleh selama tahun-tahunnya di La Fleche


membawa Rene Descartes pada petualangan-petualangan yang memperkaya cara berpikir
filosofisnya kelak.

Ketika ia lulus dari Le Fleche, Rene Descartes berhenti membaca dan mulai
berkelana. Pada masa-masa ini, ia mengalami kebimbangan akan kebenaran yang sejati. Ia
dengan tegas meyakini bahwa matematika adalaah satu-satunya ilmu yang pasti karena
banyak membantu Copernicus ataupun ilmuwan lainnya dalam menemukan kebenaran-
kebenaran ilmiah baru. Namun apakah matematik memiliki hubungan dengan ilmu yang lain,
Rene Descartes masih belum yakin.

Rene Descartes pada tahun 1618 bergabung dengan tentara Pangeran Maurice dari
Nassau sebagai sukarelawan. Namun karena kecintaannya pada pengetahuan, ia tetap
mempelajari matematika dan musik selama masa-masa dinas ketentaraannya. Ia tidak dibayar
dalam tugas ketentaraannya tersebut. Sebaliknya, Rene Descartes justru beberapa catatan

3
T. Z. Lavine, Descartes: Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia Modern (terj. Andi Iswanto dan Deddy
Andrian Utama), Yogyakarta: Jendela, 2003, hlm. 33-34.
4
Descartes, Op. Cit., hlm. 6.

2
kecil dan tulisan mengenai matematika dan musik. Tulisan-tulisannya tentang musik termuat
dalam buku Compendium Musicae yang diterbitkan setelah kematiannya.5

Pada tahun 1619, Rene Descartes dikirim untuk bergabung dengan pasukan Duke of
Bavaria. Namun karena hambatan cuaca di bulan November, ia terhenti di salah satu kota
kecil di Jerman. Ia tinggal berhari-hari di kamarnya sambil menunggu masa
keberangkatannya. Masa permenungan ini tampaknya menjadi “masa emas” bagi pemikiran
filosofis Rene Descartes. Di tempat inilah ia mengalami “penampakan filosofis” yang
mengubah seluruh pemikirannya tentang cara berfilsafat. Dalam penampakannya, ia
berencana untuk menggabung filsafat dan segala ilmu pengetahuan ke dalam satu totalitas
sistematis.6

Pemikiran-pemikiran Rene Descartes ini ditulisnya dalam beberapa buku, termasuk


salah satu yang paling terkenal hingga saat ini adalah Discourse on Method (Discours de la
Méthode). Buku ini diterbitkan pada tahun 1637, tiga tahun setelah ketakutan Rene Descartes
atas hukuman mati yang diterima oleh Galileo Galilei oleh Badan Inkuisi Gereja. Sepuluh
tahun kemudian (1647), Rene Descartes menerbitkan lagi bukunya Meditation on First
Philosopy (Meditationes de prima Philosophia). Dua puluh dua tahun kemudian, bukunya
Discourse on Method dilarang oleh Gereja Katolik untuk dibaca.

Rene Descartes meninggal pada tanggal 1 November 1650 karena Pneumonia selama
seminggu perjalanan kembalinya setelah mengajarkan filsafatnya kepada Ratu Christina dari
Swedia. Pemikiran Rene Descartes tetap dibaca dan digunakan hingga saat ini. Ia adalah
salah satu filosof terbesar Perancis.

Metode Rene Descartes

Rene Descartes adalah filosof pertama yang meletakkan kesadaran sebagai dasar
pemikiran filosofis. Cara berpikir yang seperti inilah yang menempatkan dirinya sebagai
Bapak Filsafat Modern. Selain itu, Rene Descartes juga memunculkan metode yang sungguh-
sungguh baru untuk menggumuli ilmu pengetahuan, berbeda dengan metode yang biasa
digunakan pada masa skolastik. Metode Rene Descartes ini biasa disebut juga dengan
Kesangsian Metodis (Le doute Methodique).

Lewat metodenya ini, Rene Descartes ingin menemukan sebuah fundamen yang
kokoh, yang tak tegoyahkan, untuk menjadi dasar bagi pemikiran filosofis dan pengetahuan
lainnya. Bagaimana ia memulainya? Rene Descartes mulai dengan sebuah kesangsian
(keraguan) atas segala sesuatu yang bersifat material. Ia meragukan apakah tubuhnya ini
nyata atau tidak. Tak bisa dipungkiri bahwa indera kerap kali menipu. Rene Descartes
mengatakan bahwa apa yang ditangkap oleh indera manusia bersifat menipu. Pengalaman
inderawi menghalangi manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati. Contohnya: langit

5
Frederick Copleston, A History of Philosopy Book II Vol. IV Descartes to Leibniz, New York: Bantam
Doubleday Dell Publishing Group, 1963 & 1964, hlm. 64.
6
Lavine, Op. Cit., hlm. 35-36.

3
siang hari jika terlihat mata tampak berwarna biru. Kenyataannya, langit tidaklah berwarna
biru. Itulah sebabnya Descartes kemudian sangat meragukan pengalaman inderawi. Bagi
Descartes, semakin jelas suatu ide dalam terang akal budi, maka semakin sesuailah ide
tersebut dengan realitas, bukan sebaliknya.7
Dalam permenungannya akan kesangsian ini, Rene Descartes menyadari bahwa
semakin ia meragukan sesuatu (entah apa yang ia ragukan itu benar atau tidak), justru dia
sadar bahwa ia semakin ada. Justru kesangsian inilah yang menunjukkan bahwa manusia itu
nyata. 8 Kesangsian adalah buah dari aktivitas berpikir manusia. Semakin seseorang
meragukan segala sesuatu, semakin ia masuk dalam aktivitas berpikir, semakin ia sadar.
Karena itulah Rene Descartes kemudian menemukan dirinya sebagai “Ada yang berpikir”:
cogito ergo sum! Setiap orang yang mempelajari pemikiran Rene Descartes dan mencoba
menemukan kebenaran yang tak tergoyahkan sebagaimana yang dicari olehnya tetap akan
sampai kebenaran filosofis ini: saya berpikir, maka saya ada.9

Sebenarnya, ujung dari meditasi filosofis Rene Descartes ini adalah apa yang disebut
dengan self awareness (kesadaran diri). Cogito itu kebenaran dan kepastian yang tak
tergoyahkan karena aku mengertinya secara jelas dan tak terpilah-pilah (claire et disctincte).
Cogito ini tidak ditemukan dengan deduksi dari prinsip-prinsip umum atau dengan intuisi.10
Maka Rene Descartes sendiri menyimpulkan bahwa “Saya/Subjek Rasional/Pribadi” adalah
suatu substansi yang seluruh esensi dan kodratnya hanyalah berpikir dan untuk
keberadaannya tidak memerlukan ruang sedikitpun, dan tidak bergantung pada benda materi
apapun.11

Rene Descartes kemudian merumuskan jalan berpikir yang ia tawarkan dalam


Kesangsian Metodis dalam 4 bentuk/aturan arah berpikir12:

1. Tidak menerima sesuatu sebagai kebenaran jika tidak menyajikan kepada pikiran
suatu kejelasan yang tidak dapat diragukan.
2. Merinci suatu permasalahan ke dalam permasalahan-permasalahan yang lebih kecil
dan detail.
3. Memulai pemikirannya dengan hal yang paling sederhana dan mudah untuk
dimengerti. Kemudian membangun penalaran menurut tingkat permasalahan dari
yang paling sederhana ke arah yang lebih luas dan lebih kompleks.
4. Melihat kembali rangkaian berpikir sebelumnya untuk memastikan bahwa tidak ada
yang dihilangkan.

Aturan arah berpikir yang disusun oleh Rene Descartes sangat dipengaruhi oleh cara berpikir
matematis. Tak heran karena ia sendiri adalah seorang ahli matematika yang sangat jenius.

7
Ibid.
8
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2007, hlm. 38.
9
Chopelston, Op. Cit., hlm. 90.
10
Hardiman, Op. Cit., hlm. 39.
11
Descartes, Op. Cit., hlm. 35.
12
James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 55.

4
Rasionalisme: Buah dari Kesangsian Metodis Rene Descartes

Pemikiran Rene Descartes ini kemudian melahirkan satu paham baru dalam dunia
filsafat, yaitu rasionalisme. Inti dari paham rasionalisme adalah bahwa hanya dengan
prosedur tertentu dari akal budi saja manusia dapat sampai pada pengetahuan yang
sebenarnya (sejati).13 Dari pemahaman ini, ada 2 hal penting yang patut digaris-bawahi, yaitu
prosedur dan akal budi. Prosedur mengandaikan logika (cara berpikir) dan akal budi
mengandaikan dasar utama dari pengetahuan tersebut.
Kaum rasionalis meyakini bahwa akal budilah yang melahirkan pengetahuan bagi
manusia. Karena itu mereka menafikan peran pengalaman inderawi. Bagi kaum rasionalis,
pengalaman inderawi tidak memiliki peran apapun dalam menciptakan pengetahuan. Akal
budi sudah memiliki kapasitas yang lebih dari cukup untuk menciptakan pengetahuan.
Rasionalisme menyatakan bahwa akal budi bersifat universal dalam diri manusia.
karena itu, pikran yang merupakan buah dari akal budi manusia merupakan elemen terpenting
dari sifat alami manusia. Pemikiran merupakan alat satu-satunya dari kepastian pengetahuan.
Akal merupakan satu-satunya alat yang baik dan benar dalam menentukan apa yang baik dan
benar secara moral dalam hidup bermasyarakat.14

Kebenaran Epistemologis Rene Descartes: atau Personal atau Universal?

Cara berpikir Rene Descartes yang menyangsikan segala hal secara metodis agar
manusia memperoleh kebenaran ini memunculkan pertanyaan: bersifat apakah kebenaran
yang ditawarkan oleh Rene Descartes? Apakah setiap manusia bisa mencapai kebenaran
filosofis yang ia tawarkan?

Kebenaran yang ditawarkan oleh Rene Descartes ini bisa saja bersifat personal.
Mengapa? Karena Rene Descartes sendiri menunjukkan kekuatan akal budi setiap manusia
untuk menemukan kebenaran. Dengan demikian, setiap manusia (sejauh ia menggunakan
akal budinya) dapat menemukan kebenarannya sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa
ini orang-orang mengakui kekuatan akal budi dalam menghasilkan pengetahuan. Keyakinan
yang berlebihan akan ciri personal yang ditawarkan dalam pemikiran Rene Descartes ini bisa
saja membawa umat manusia pada kehancuran.

Adolf Hitler adalah bukti nyata dari manusia yang meyakini bahwa apa yang ia
hasilkan dari akal budi merupakan kebenaran yang tak terbantahkan. Keyakinan Hitler atas
hasil olah pikir akal budinya justru menciptakan diri Hitler yang arogan, totaliter dan kejam.
Ideologi yang diciptakan dari kreasi akal budi Hitler sukses menjadikannya sebagai diktator
paling kejam di dunia karena membunuh jutaan kaum Yahudi.

Jika dilihat secara jeli dan tepat penjelasan Rene Descartes tentang pemikiran
filosofisnya, kebenaran epistemologis yang ia tawarkan tampaknya bukanlah bersifat

13
A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, Yogyakarta: Kanisius, 2001,
hlm. 43-48.
14
Lavine, Op. Cit., hlm. 44.

5
personal, melainkan universal. Mengapa? Ada beberapa penjelasan yang memperkuat
argumen ini:

1. Rene Descartes meletakkan pendasaran filosofisnya pada manusia sebagai “Ada yang
berpikir”. Karena itu, heterogenitas manusia di dunia ini dipersatukan oleh akal
budinya. Akal budi adalah sesuatu yang bersifat universal dalam diri manusia. klaim
akal budi pun dengan demikian tak bisa bersifat personal.
2. Bagaimana menjembatani heterogenitas tersebut? Rene Descartes menawarkan
Kesangsian Metodis sebagai jembatan yang menyatukan cara berpikir manusia dari
berbagai aspek dan latar belakang pengetahuan. Sejauh manusia mengikuti jalan
berpikir Kesangsian Metodis ini, maka mereka akan dapat sampai pada kebenaran
yang sama.
3. Bagaimana halnya jika ternyata mungkin dikemudian hari manusia menemukan jalan
berpikir lain yang logis dan sistematis, namun membawa manusia pada situasi yang
hancur dan buruk karena kepentingan berbagai kelompok? Rene Descartes ternyata
mempersiapkan aturan moral yang bisa menuntun jalan berpikir manusia agar tidak
sampai pada kehancuran semacam itu. Kaedah moral tersebut di antaranya adalah
mematuhi undang-undang serta adat istiadat dan agama yang berlaku di masyarakat,
bersikap sekuat dan setegas mungkin dalam tindakan (memiliki prinsip), mengalahkan
diri sendiri (nafsu-nafsu, kecenderungan buruk dll.).15

Penutup

Rangkaian pembelajaran tentang kebenaran epistemologis yang ditawarkan oleh Rene


Descartes ini semakin mempertegas keyakinan Penulis akan adanya kebenaran universal yang
bisa dicapai oleh setiap manusia. Kebenaran tidak bisa diklaim hanya oleh perorangan atau
kelompok, apalagi jika kebenaran semacam itu digunakan untuk kepentingan perorangan atau
kelompok semata.

Kebenaran yang bersifat universal semacam ini juga oleh Penulis diyakini sebagai
tawaran baik bagi setiap orang untuk sampai pada kebenaran dengan menggunakan metode
yang baik dan benar. Rene Descartes memberikan suatu metode yang bisa digunakan oleh
siapapun yang mau untuk belajar berfilsafat dan menemukan kebenaran.

Akhirnya, sebagaimana pikiran manusia hanya menjadi nyata ketika dibahasakan atau
diartikulasikan, kemampuan akal budi setiap orang pun akan semakin terasah ketika ia
memiliki sarana yang memadai. Gagasan Penulis ini sekaligus menjadi kritik atas kelalaian
negara dalam menyediakan sarana dan pra-sarana yang memadai untuk pendidikan setiap
orang di Indonesia. Alat-alat untuk belajar dibagikan secara tidak merata di seluruh negeri.
Maka jangan heran jika tidak setiap orang di Indonesia dapat menyalurkan kreativitas akal
budinya dengan baik.

15
Descartes, Op. Cit., hlm. 24-32.

6
DAFTAR PUSTAKA

Copleston, Frederick. A History of Philosopy Book II Vol. IV Descartes to Leibniz. New


York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group. 1963 & 1964.

Descartes, Rene. Risalah tentang Metode (terj. Ida Sundari Husen dan Rahayu S. Hidayat).
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1995.

Garvey, James. 20 Karya Filsafat Terbesar. Yogyakarta: Kanisius. 2010.

Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama. 2007.

Keraf, A. Sony dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis.
Yogyakarta: Kanisius. 2001.

Lavine, T. Z. Descartes: Masa Transisi Bersejarah Menuju Dunia Modern (terj. Andi
Iswanto dan Deddy Andrian Utama). Yogyakarta: Jendela. 2003.

Anda mungkin juga menyukai