Anda di halaman 1dari 60

BAB.

I
KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA

A. PENDAHULUAN.

Motivasi pada dasarnya berasal dari bahasa latin yaitu :

“movere” yang artinya “bergerak”. Berdasarkan kata

tersebut, maka lahirlah berbagai definisi tentang motivasi.

Adair (2007:103), memberikan beberapa langkah-

langkah dalam prinsip memotivasi:

1. Pemimpin sendiri harus termotivasi.

2. Pilih orang yang bermotivasi tinggi.

3. Tetapkan sasaran yang realistis dan menantang.

4. Berikan hadiah yang adil.

5. Berikan pengakuan.

@. Pentingnya Motivasi Dalam Organisasi.

Ada beberapa alasan mengapa motivasi itu sangat

penting dalam organisasi public, diantaranya adalah:


1. Motivasi merupakan masalah terpenting dalam proses

hidup dan kehidupan.

2. Kinerja pegawai rata-rata 60% tingkat efisiensinya.

Dengan motivasi yang baik bisa meningkat s/d 80% ke

atas.

3. Orang bekerja bukan hanya karena uang, tetapi untuk

kepuasan kerja.

4. Memotivasi adalah tugas paling “crusial” para pemimpin.

@. Jenis-Jenis Teori Motivasi

Tabel. 1

Jenis-Jenis Teori Motivasi.

Jenis Karakteristik Teori

1. Teori Berkaitan dengan 1.Teori Hirarki

Kepuasan faktor-faktor yang Kebutuhan.

membangkitkan atau Oleh:Abraham

memulai perilaku Maslow.

2.Teori ERG oleh:


Clayton

Alderfer.

3. Teori Dua Faktor

oleh: Herzberg.

4. Teori Kebutuhan

akan Prestasi

oleh:

Mc.Clelland.

2. Teori Proses Berkaitan dengan 1.Teori

bagaimana perilaku pengharapan.

digerakkan, 2.Teori keadilan

diarahkan, didukung 3.Teori penguatan

atau dihentikan. 4. Teori penetapan

tujuan.

1. Teori Kepuasan (Teori Hirarki kebutuhan Abraham Maslow).

atas dasar asumsi di atas, hirarki kebutuhan manusia menurut

Abraham Maslow membagi 5 (lima) bagian, yaitu:


Tabel.2

Penerapan Teori Hirarki Kebutuhan dari Maslow.

Hirarki kebutuhan Manusia Faktor-faktor umum Faktor-faktor organisasi

1. Kebutuhan Fisiologis a. Makanan a. Gaji

b. Minuman b. Kondisi kerja ya

c. Perumahan menyenangkan

d. Sex c. Kafetaria

2. Kebutuhan rasa aman a. Keamanan a. Kondisi kerja yg aman

b. Stabilitas b. Jaminan sosial

c. Perlindungan c. Keamanan kerja

d. Jaminan d. Pensiun

3. Kebutuhan Sosial a. Persahabatan a. Mutu supervisi

b. Kasih sayang b. Kelompok kerja yg erat

c. Rasa saling memiliki c. Perkumpulan olah raga

4. Kebutuhan penghargaan a. Penghargaan a. Bonus

b. Status b. Piagam penghargaan

c. Pengakuan c. Jabatan

d. Dihormati d. Tanggung jawab

e. Pekerjaan itu sendiri

5. Kebutuhan aktualisasi diri a. Perkembangan a.Prestasi dalam pekerjaan


b. Prestasi b. Kesempatan untuk berkreas

c. Kemajuan c. Tantangan tugas

d. Kemajuan dalam organisas

2. Teori ERG,(Existence, Relatedness, Growth), oleh

Clayton Alderfer. Teori ERG menganggap bahwa

kebutuhan manusia memiliki 3 (tiga) hirarki kebutuhan.

Yaitu:

a. Kebutuhan eksistensi. Kebutuhan ini sama dengan

kebutuhan Fisiologis, dan kebutuhan akan rasa aman dari

Maslow.

b. Kebutuhan akan keterikatan. Kebutuhan ini sama

dengan kebutuhan sosial dari Maslow.

c. Kebutuhan akan Pertumbuhan. Kebutuhan ini sama

dengan kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan

penghargaan.
Proposisi.

Teori ERG didasarkan pada tiga proposisi pokok.

Ketiga proposisi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Semakin kurang masing-masing tingkat kebutuhan

dipuaskan, semakin besar keinginan untuk

memuaskannya.

b. Semakin dipuaskannya tingkat kebutuhan yang lebih

rendah, semakin besar atau semakin kuat keinginan untuk

memenuhi tingkat kebutuhan yang lebih tinggi.

c. Semakin kurang tingkat kebutuhan yang lebih tinggi

dipuaskan, semakin rendah tingkat kebutuhan yang

diinginkan.

3. Teori Dua Faktor, oleh: Herzberg.

Teori dua faktor dikemukakan oleh Herzberg yang

dihasilkan dari suatu penelitian terhadap 200 orang akuntan

dan insinyur. Dari hasil penelitian tersebut Herzberg

menyimpulkan dua hal:


a. Ada sejumlah kondisi ekstrinsik pekerjaan (extrinsic job

conditions), apabila kondisi ini tidak ada, maka dapat

menyebabkan ketidakpuasan di antara para karyawan.

Kondisi ini disebut dengan : dissatisfier atau hygiene

factos, Karena kondisi atau faktor tersebut dibutuhkan

minimal untuk menjaga adanya ketidakpuasan. Adapu

faktor-faktor ekstrinsik tersebut meliputi:

1. Gaji

2. Jaminan pekerjaan.

3. Kondisi kerja.

4. Status.

5. Kebijakan perusahaan.

6. Kualitas supervisi.

7. Kualitas hubungan antarpribadi dengan atasan,

bawahan dan sesama pekerja.

8. Jaminan sosial.

b. Sejumlah kondisi Intrinsik pekerjaan (intrinsic job

conditions), apabila kondisi ini ada dapat berfungsi


sebagai motivator, yang dapat menghasilkan prestasi kerja

yang baik. Tetapi jika kondisi atau faktor – faktor tersebut

tidak ada, tidak akan menyebabkan adanya ketidakpuasan.

Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan isi pekerjaan yang

disebut dengan nama faktor pemuas (satisfier). Faktor-

faktor pemuas tersebut adalah sebagai berikut:

1. Prestasi.

2. Pengakuan.

3. Pekerjaan itu sendiri.

4. Tanggung jawab.

5. Kemajuan-kemajuan.

6. Pertumbuhan dan perkembangan pribadi.

4. Teori Kebutuhan Mc Clelland.

Mc Clelland meneliti 3 (tiga) jenis kebutuhan, yaitu:

1. Kebutuhan Akan Prestasi (nAch).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mc Clelland,

ada tiga karakteristik dari orang yang memiliki

kebutuhan akan prestasi tinggi, yaitu:


a. Orang yang memiliki kebutuhan prestasi tinggi

memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap

pelaksanaan suatu tugas atau mencari solusi atas

suatu permasalahan. Akibatnya mereka lebih suka

bekerja sendiri daripada dengan orang lain. Apabila

suatu pekerjaan membutuhkan bantuan orang lain,

mereka lebih suka memilih orang yang berkompeten

dari pada sahabatnya.

b. Orang yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang

tinggi cenderung menetapkan tingkat kesulitan tugas

yang moderat dan menghitung resikonya.

c. Orang yang memiliki kebutuhan akan prestasi yang

tinggi memiliki keinginan yang kuat untuk

memperoleh umpan balik atau tanggapan atas

pelaksanaan tugasnya. Mereka ingin tahu seberapa

baik mereka telah mengerjakannya, dan mereka

sangat antusias untuk mendapatkan umpan balik

tidak perduli apakah hasilnya baik atau buruk.


2. Kebutuhan akan Afiliasi (nAff).

Kebutuhan akan afiliasi merupakan suatu keinginan

untuk melakukan hubungan yang bersahabat dan hangat

dengan orang lain. Kebutuhan ini sama dengan kebutuhan

sosial dari Maslow. Orang-orang yang memiliki kebutuhan

afiliasi yang tinggi memiliki ciri-ciri seperti berikut:

1. Mereka memiliki suatu keinginan yang kuat untuk

mendapatkan restu dan ketentraman dari orang lain.

2. Mereka cenderung untuk menyesuaikan diri dengan

keinginan dan norma orang lain yang ada di

lingkungannya.

3. Mereka memiliki suatu perhatian yang sungguh-sungguh

terhadap perasaan orang lain.

3. Kebutuhan akan Kekuasaan (nPow).

Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk

mempengaruhi dan mengendalikan orang lain dan

bertanggung jawab kepadanya. Orang yang memiliki


kebutuhan tinggi akan kekuasaan memiliki ciri-ciri seperti

berikut:

1. Keinginan untuk mempengaruhi secara langsung terhadap

orang lain.

2. Keinginan untuk mengadakan pengendalian terhadap

orang lain.

3. Adanya suatu upaya untuk menjaga hubungan pimpinan-

pengikut.

Orang-orang yang memiliki kebutuhan tinggi akan

kekuasaan cenderung lebih banyak memberikan saran-saran,

lebih sering memberikan pendapat dan evaluasinya, selalu

mencoba untuk mempengaruhi orang lain ke dalam cara

berpikir.

2. Teori Proses.

Kalau dalam teori kepuasan dari motivasi pembahasan

dipusatkan pada apa yang memotivasi seseorang, maka

dalam teori proses difokuskan pada bagaimana motivasi itu


terjadi. Sejumlah teori proses yang akan dibahas adalah

sebagai berikut:

a. Teori Keadilan.

Menurut J. Stacy Adam (dalam, Gitosudarmo,

2008:40), teori keadilan tentang motivasi mengemukakan,

manusia di tempat kerja menilai tentang inputnya dalam

hubungannya dengan pekerjaan dibandingkan dengan hasil

yang ia peroleh. Mereka membandingkannya dengan orang

lain dalam kelompoknya, dengan kelompok yang lain atau

dengan orang lain di luar organisasi di mana ia bekerja.

b. Teori Pengharapan.

Teori pengharapan dikembangkan sejak tahun 1930an

oleh Kurt Levin dan Edward Tolman. Kemudian secara

sistematis dan komprehensif dirumuskan oleh Victor

Vroom dalam bukunya yang berjudul : Work and

Motivation. Teori pengharapan disebut juga Teori Valensi,

Teori Instrumentalitas. Jadi ide dari teori pengharapan


adalah bahwa motivasi ditentukan oleh hasil yang

diharapkan diperoleh seseorang sebagai akibat dari

tindakannya.

a. Teori penguatan (Reinforcement Theory).

Menurut : Skiner (dalam, Gitosudarmo, 2008: 46),

Teori penguatan mengemukakan bahwa, perilaku merupakan

fungsi dari akibat yang berhubungan dengan perilaku

tersebut. Ada 3 (tiga) jenis-jenis penguatan yang dapat

dipergunakan oleh manajer untuk memodifikasi motivasi

karyawan, diantaranya:

1. Penguatan positif. Ini berkaitan dengan memperkuat

respon atau perilaku yang diinginkan.

2. Penguatan negatif atau penghindaran. Adalah mencegah

menghilangkan akibat yang tidak menyenangkan.

Perbedaan antara penguatan positif dengan penguatan

negatif adalah, kalau penguatan positif karyawan bekerja

keras agar memperoleh imbalan dari organisasi karena

prestasi kerjanya yang baik, maka penguatan negatif


karyawan bekerja keras untuk menghindari akibat stimulus

yang tidak diinginkan.

3. Penguatan Hukuman. Penerapan hukuman dimaksudkan

untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan

perilaku yang tidak diinginkan akan diulangi

kembali.Misalnya, perusahaan menetapkan jam kerja

dimulai jam 0.800 (stimulus), ada beberapa karyawan

yang terlambat (perilaku yang tidak diinginkan

perusahaan), kemudian mereka diberi peringatan oleh

pimpinan perusahaan (konsekuensi). Harapannya agar

perilaku yang tidak diinginkan tersebut tidak diulangi

kembali.

b. Teori Penetapan Tujuan.

Teori penetapan tujuan dikembangkan oleh : Edwin

Locke, dimana teori ini menguraikan hubungan antara tujuan

yang ditetapkan dengan prestasi kerja. Proses Teori

penetapan tujuan meliputi 5 (lima) tahap, yaitu:


1. Insentif tertentu yang disediakan lingkungan (organisasi).

Dalam tahap ini umumnya termasuk penetapan apa yang

diinginkan dilakukan organisasi (target hasil) dan

kejelasan imbalan yang berkaitan pencapaian tujuan

tersebut (Peningkatan upah, promosi, penghargaan).

2. Proses partisipasi penetapan tujuan meliputi bagaimana

tujuan tiu ditetapkan. Dalam proses penetapan tujuan,

tujuan itu bisa ditetapkan bersama-sama antara pimpinan

dengan bawahan (disebut partisipatif) atau tujuan itu

ditetapkan sendiri oleh pimpinan (otoriter).

3. Atribut-atribut penetapan tujuan meliputi : kejelasan,

kesulitan, tantangan, persaingan dengan karyawan lain,

dan umpan balik.

4. Adanya komitmen dari karyawan untuk melaksanakan

tujuan termasuk perhatian dan usaha untuk pencapaian

tujuan tersebut oleh karyawan. Akhirnya, hasil dari

penetapan tujuan yaitu prestasi kerja dan kepuasan.


BAB.II

KONSEP GAYA KEPEMMPINAN

A. PENDAHULUAN.

Pada dasarnya gaya kepemimpinan atau style banyak

berpengaruh terhadap keberhasilan seorang pemimpin dalam

mempengaruhi perilaku pengikut-pengikutnya.

Secara umum gaya kepemimpinan hanya dikenal dalam 2 (dua)

gaya yaitu: gaya otoriter dan gaya demokrasi. Gaya kepemimpinan

otoriter biasanya dipandang sebagai gaya yang didasarkan atas

kekuatan posisi dan penggunaan otoritas dalam melaksanakan tugas-

tugasnya sebagai pemimpin.

Sedangkan gaya kepemimpinan demokrasi dikaitkan dengan

kekuatan personal dan keikutsertaan para pengikut dalam proses

pemecahan masalah dan pengambilan keputusan.

Definisi Gaya.

Gaya pada dasarnya berasal dari bahasa Inggris “Style” yang

berarti mode seseorang yang selalu nampak yang menjadi ciri khas
orang tersebut. Gaya merupakan kebiasaan yang melekat pada diri

seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas kepemimpinannya.

Stoner (1986:165), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan

(leadership style) adalah berbagai pola tingkah laku yang disukai oleh

pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja.

Stoner membagi dua gaya kepemimpinan, yaitu:

1. Gaya yang berorientasi pada tugas, mengawasi pegawai secara

ketat untuk memastikan tugas dilaksanakan dengan memuaskan.

Pelaksanaan tugas lebih ditekankan pada pertumbuhan pegawai

atau kepuasan pribadi.

2. Gaya yang berorientasi pada pegawai. Lebih menekankan pada

memotivasi ketimbang mengendalikan bawahan. Gaya ini menjalin

hubungan bersahabat, saling percaya, dan saling menghargai

dengan pegawai yang sering kali diizinkan untuk berpartisipasi

dalam membuat keputusan yang mempengaruhi mereka.

Thoha (2004:49), gaya kepemimpinan merupakan norma

perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut

mencoba mempengaruhi perilaku orang lain. Ermaya (dalam

Pasolong, 2008:10), menyatakan bahwa gaya kepemimpinan


merupakan bagaimana cara mengendalikan bawahan untuk

melaksanakan sesuatu.

Dari pendapat para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan

bahwa: Gaya Kepemimpinan adalah suatu cara yang

dipergunakanoleh seorang pemimpin dalam mempengaruhi,

mengarahkan, mendorong, dan mengendalikan bawahannya dalam

rangka pencapaian tujuan organisasi secara efektif dan efisien.

@. Beberapa Gaya Kepemimpinan.

1. Gaya kepemimpinan Keating (1986).

Membagi 4 (empat) gaya kepemimpinan, yaitu:

a. Kekompakan Tinggi dan Kerja rendah, gaya kepemimpinan

ini berusaha menjaga hubungan baik, keakraban dan

kekompakan kelompok, tetapi kurang memperhatikan unsur

tercapainya tujuan kelompok atau penyelesaian tugas bersama.

b. Kerja Tinggi dan kekompakan rendah. Gaya kepemimpinan

ini menekankan segi penyelesaian tugas dan tercapainya tujuan

kelompok. Gaya kepemimpinan ini menampilkan gaya

kepemimpinan direktif. Gaya kepemimpinan ini baik untuk

kelompok yang baru dibentuk, yang membutuhkan tujuan dan

sasaran jelasa.
c. Kerja Tinggi dan Kekompakan tinggi. Gaya kepemimpinan

yang menjaga kerja dan kekompakan kepemimpinan tinggi

cocok dipergunakan untuk membentuk kelompok. Kelompok

yang baru dibentuk membutuhkan kejelasan tujuan dan sasaran,

struktur kerja untuk mencapai tujuan dan sasaaran itu, serta

usaha untuk membina hubungan antara para anggota.

d. Kerja Rendah dan kekompakan rendah. Gaya

kepemimpinan yang kurang menekankan penyelesaian tugas

dan kekompakan kelompok cocok untuk yang sudah jelas akan

tujuan dan sasarannya, gamblang akan cara untuk mencapai

tujuan dan sasaran itu, dan mengetahui cara menjaga kehidupan

kelompok selama mencapai tujuan dan sasarannya.

2. Gaya kepemimpinan House (1997).

House (dalam Pasolong, 2008: 54), mengemukakan 4 (empat)

gaya kepemimpinan yang perilaku seorang pemimpin, yaitu:

a. Kepemimpinan direktif. (directive leadership) pemimpin

memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengetahui apa

yang menjadi harapan pimpinannya dan pemimpin tersebut

menyatakan kepada bawahannya tentang bagaimana dapat


melaksanakan suatu tugas. Gaya ini mengandung arti bahwa

pemimpin berorientasi pada hasil.

b. Kepemimpinan Partisipatif. (participative leadership).

Pemimpin berkomunikasi dengan bawahannya dan bertanya untuk

mendapatkan masukan-masukan atau saran-saran dalam rangka

pengambil keputusan.

c. Kepemimpinan Supportif (supportive leadership). Yaitu usaha

pemimpin untuk menekankan diri dan bersikap ramah serta

menyenangkan bawahannya.

d. Kepemimpinan berorientasi prestasi (achievement leadership).

Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan yang bersifat menantang:

pemimpin tersebut mengharapkan agar bawahan berusaha

mencapai tujuan tersebut secara efektif, serta pemimpin

menunjukkan rasa percaya diri kepada bawahannya bahwa mereka

akan memenuhi tuntutan bawahannya.

3. Gaya Kepemimpinan Lippit dan White (dalam Pasolong,


2008:46).
Tabel.3
Model Gaya Kepemimpinan Lipit dan White
Otoriter Demokratis Laissez Faire

Pemimpin Semua kebijakan dirumuskan Kelompok mempunyai kebe

menentukan semua melalui musyawarah dan sepenuhnya untuk meng

keputusan mengenai diputuskan oleh kelompok, keputusan dengan partisipasi mi

kebijakannya sedangkan pemimpin dari pemimpin.

mendorong.

Setiap langkah Ditetapkan kegiatan secara Kegiatan diberikan pemimpin d

kegiatan dengan cara bersama-sama untuk keterangan bahwa ia

pelaksanaannya mencapai tujuan kelompok. memberikan penjelasan jika dim

untuk setiap saat Apabila diperlukan saran

ditentukan oleh teknis, pemimpin

pemimpin sehingga mengajukan beberapa

langkah berikutnya alternatif untuk dipilih.

tidak pasti.

Pemimpin biasanya Setiap anggota bebas bekerja Pemimpin tidak pernah berparti

memberikan sama dengan siapapun dan secara penuh.

penugasan tertentu pembagian tugas diserahkan

pada setiap anggota kepada kelompok.


kelompok.

Pemimpin cenderung Pemimpin bersikap objektif Kadang-kadang memb

lebih dari pribadi dan senantiasa berdasarkan komentar spontan terhadap ke

dalam pemberian fakta dalam memberikan anggota atau pertanyaan dan

penghargaan dan penghargaan dan kritik. bermaksud menilai atau men

kritik terhadap setiap suatu kejadian.

anggota kelompok.

Sumber: Kepemimpinan Birokrasi (Harbani Pasolong, 2008)

4. Gaya Kepemimpinan Situasional Hersey dan Blanchard.

Hersey dan Blanchard (dalam Pasolong, 2008:47),

menyatakan bahwa kepemimpinan situasional, tidak ada satu cara

terbaik untuk mempengaruhi perilaku orang-orang. Gaya

kepemimpinan mana yang harus diterapkan pemimpin terhadap

orang-orang atau sekelompok orang tergantung pada level

kematangan dari orang-orang yang akan dipengaruhi oleh pemimpin.

Adapun gaya kepemimpinan situasional dari Hersey dan

Blanchard (dalam Pasolong, 2008:50), adalah sebagai berikut:


1. Gaya Instruksi Pemimpin: khusus dan perketat supervisi.

Disiapkan dengan jelas dan rinci, apa, kapan, di mana, dan

bagaimana melaksanakan tugas dengan jelas dan sebaik-baiknya.

Indikatornya:

a. Jelaskan peran masing-masing.

b. Utamakan komunikasi dua arah.

c. Pemimpin membuat keputusan.

d. Ketatkan supervisi dan pertanggung jawaban.

e. Berikan instruksi tambahan untuk memperjelas.

f. Buat sesuatu menjadi sederhana dan khusus (keep it simple

and spesific = KISS)

Kelemahannya:

@. Tidak berkemampuan dan tidak berkemauan (gelisah) dan

ragu. Indikatornya:

a. Tidak menunjukkan kinerja sesuai levelnya.

b. Merasa dipaksa oleh tugas.

c. Suka menunda

d. Selalu bertanya tentang tugasnya.


2. Gaya Konsultasi pemimpin: Siapkan dengan jelas dan rinci

siapa, apa, kapan, dimana, dan bagaimana melaksanakan tugas

dengan sebaik-baiknya. Indikatornya:

a. Jelaskan keputusan dan beri peluang untk klarifikasi.

b. Lakukan komunikasi dua arah (dialog).

c. Pemimpin membuat keputusan.

d. Jelaskan peran masing-masing.

e. Tanyakan tingkat kemampuan pengikut.

f. Dorong untuk mengadakan sedikit meningkatkan.

Kelemahannya:

@. Tidak berkemampuan, tetapi berkemauan.

Indikatornya:

a. a. Menunjukkan pengetahuan rendah.

b. Tampak ragu dalam menyelesaikan tugas.

c. Tampak ketakutan atau kebingungan.

d. Senang bekerja sendiri.

e. Sering berusaha sendiri.

3. Gaya partisipasi pemimpin: Banyak menerima masuakan.

Indikatornya:
a. Bawahan membuat keputusan.

b. Komunikasi dua arah dan bawahan dilibatkan.

c. Mendukung bawahan dalam mengambil resiko.

d. Memberi pujian atas keberhasilan tugas bawahan.

e. Membangun percaya diri.

Kelemahannya:

@. Berkemampuan, tetapi tidak berkemauan (tidak percaya diri).

Indikatornya:

a. Cemas.

b. Berminat dan responsif.

c. Menunjukkan kemampuan moderat sedang-sedang saja.

d. Menerima masuakan.

e. Penuh perhatian.

f. Bersemangat.

4. Gaya Delegasi Pemimpin: mendelegasikan tugas-tugas.

Indikatornya:

a. Beri gambaran umum tentang tugas.

b. Bawahan membuat keputusan.

c. Memantau kegiatan.

d. Mendorong pencapaian tujuan.


Kelebihannya:

@. Berkemampuan dan berkemauan.

Indikatornya:

a. Siap menerima tugas atasan dan menyelesaikannya dengan cepat

dan baik.

b. Dapat bekerja sendiri.

c. Berorientasi pada hasil.

d. Peduli terhadap berita baik dan buruk.

e. Pengambilan keputusan efektif dan bertanggung jawab atas

tugasnya.

f. Memiliki standar kinerja yang tinggi.

g. Menyadari yang telah diusahakannya.

Thoha (2004:322), Kematangan (maturity) sebagai

kemampuan dan kemauan dari orang-orang untuk bertanggung jawab

dalam mengarahkan perilakunya sendiri. Rivai (2004:296),

menyatakan bahwa Kematangan adalah: dipandang sebagai kapasitas

untuk menetapkan tujuan-tujuan yang betapapun juga tingginya dapat

dicapai (motivasi keberhasilan), kesediaan dan kemampuan untuk

mengambil tanggung jawab, pendidikan dan atau pengalaman

seseorang atau suatu kelompok.


A. Karakteristik-Karakteristik Kepemimpinan Pelayan.

1. Karakteristik Kepemimpinan Pelayan oleh Spear (Dalam

Pasolong, 2008), terdiri atas:

a. Mau mendengarkan.

b. Empati.

c. Kesadaran diri.

d. Persuasif.

e. Konseptualisasi.

f. Kemampuan untuk melihat masa depan.(memiliki visi-misi).

g. Kemampuan melayani.

h. Komitmen pada pertumbuhan individu.

i. Membangun komunitas.

2. Karakteristik kepemimpinan Pelayan oleh Laub (1999), yaitu

terdiri atas:

a. Menghargai orang lain. Yaitu dengan cara mendengarkan secara

intens, melayani kebutuhan pihak lain sebagai prioritas utama, dan

mempercayai orang lain.


b. Mengembangkan orang lain. Yaitu melalui perilaku dengan

memberikan kesempatan pengikut untuk terus belajar, memberikan

keteladanan, dan memberdayakan pihak lain.

c. Membangun Komunitas. Yaitu membangun hubungan yang kuat,

kolaborasi, serta menghargai perbedaan dan latar belakang

individu.

d. Memperlihatkan autentitas. Yaitu melalui integritas dan sistem

kepercayaan, dan pertanggung jawaban, serta adanya keinginan

untuk belajar dari orang lain.

e. Memberikan kepemimpinan. Yaitu dengan cara penggambaran

masa depan, mengambil inisiatif, dan mengklarifikasi tujuan-

tujuan yang ada.

f. Pendistribusian kekuasaan serta status kepemimpinan. Yaitu

melalui perilaku pencapaian visi bersama, penyebaran kekuasaan

dalam pengambilan keputusan dan status untuk semua level dalam

organisasi.
BAB. III
KEPEMIMPINAN DALAM PERENCANAAN

A. PENDAHULUAN.

Dalam era globalisasi saat ini, dimana organisasi menghadapi

tantangan dan lingkungan yang sangat dinamis. Artinya, organisasi

sekarang ini bergerak cepat dan perlu untuk melakukan berbagai

terobosan-terobosan, sehingga dapat menciptakan suatu perubahan

serta persaingan yang sangat ketat. Untuk menghadapi kesemuanya

itu dimana lingkungan organisasi yang dinamis serta pernuh dengan

perubahan, maka pemimpin membutuhkan perencanaan untuk

menghadapi semuanya itu sehingga tindakan-tindakan yang

ditetapkan dapat terlaksana dengan baik.

@. Pengertian Perencanaan.

Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang

memegang peran yang sangat penting dan bahkan sangat menentukan

dalam mencapai tujuan organisasi. Hal ini disebabkan karena fungsi-

fungsi yang lain (pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian)


hanyalah melaksanakan kegiatan yang telah ditentukan dalam fungsi

perencanaan.

Stoner (dalam Tambunan, 2015:160), mengatakan bahwa;

planning merupakan proses dasar bagi kita untuk memilih sasaran dan

menetapkan bagaimana cara mencapainya. Sherman juga menjelaskan

bahwa perencanaan adalah desain harapan masa depan dan

pengembangan langkah efektif untuk mewujudkan masa depan itu.

Sementara Erickson (1988), menyatakan bahwa perencanaan

adalah menguraikan penetapan program khusus untuk mencapai hasil

yang diinginkan. Atau dengan kata lain peencanaan sebagai pemikiran

yang mengarah ke masa depan yang menyangkutt rangkaian tindakan

berdasarkan pemahaman penuh terhadap semua faktor yang terlibat

dan yang diarahkan kepada sasaran khusus.

@. Jenis- jenis Perencanaan.

Secara umum perencanaan dapat di bagi atas beberapa bagian,

diantaranya:

1. Rencana Strategis. Robbins dan Coulter (2005) mengatakan

bahwa; rencana strategis adalah berlaku secara keseluruhan,

menjadi sasaran umum organisasi tersebut, dan berusaha


menetapkan organisasi tersebut ke dalam lingkungannya. Daft

(2007), rencana strategis adalah langkah nyata yang diambil

organisasi untuk mencapai tujuan strategisnya, tujuan strategis

adalah pernyataan yang luas tentang kea rah mana organisasi ingin

melangkah di masa depan, mengarah ke organisasi secara

menyeluruh dan bukan menunjuk pada divisi atau departemen

tertentu.

2. Rencana Operasional. Robbins dan Coulter (2005), rencana

operasional adalah suatu rencana yang memerinci detail cara

mencapai sasaran menyeluruh. Sedangkan Daft (2007), Rencana

Operasional adalah suatu rencana yang dibuat oleh organisasi di

tingkat bawah yang menjelaskan langkah-langkah yang diambil

dalam mencapai tujuan operasional dan mendukung kegiatan

perencanaan taktis.

Schermerhorn (1997), menyatakan bahwa perencanaan

operasional yang khas dalam bisnis perusahaan, terdiri atas:

1. Perencanaan produksi (production Plans). Yaitu perencanaan yang

berhubungan dengan metode dan teknologi yang dibutuhkan

orang-orang dalam pekerjaannya.


2. Perencanaan Keuangan (Financial Plans), yaitu suatu perencanaan

yang berhubungan dengan dana yang dibutuhkan untuk

mendukung aktivitas operasional.

3. Perencanaan Fasilitas (Facilite Plans), yaitu suatu perencanaan

yang berhubungan dengan fasialitas dan lay-out pekerjaan yang

dibutuhkan untuk mendukung tugas berbagai kegiatan.

4. Perencanaan pemasaran (Marketing Plans), yaitu perencanaan

yang berhubungan dengan keperluan penjualan dan pendistribusian

barang dan jasa.

Sementara Terry dan Rue (2005), menyebutkan ada empat (4)

jenis rencana, diantaranya:

1. Rencana Pertumbuhan (growth plans), yaitu rencana yang

memetakan arah, ke mana organisasi itu bergerak, tujuan-tujuannya

dan cepatnya gerak ekspansi yang dicari.

2. Rencana keuntungan (Profit plans). Yaitu perencanaan yang

dipusatkan pada keuntungan produksi atau kelompok produksi.

Atau dengan kata lain, rencana yang berpusat pada waktu dan

biaya minimum yang diperlukan untuk mengumpulkan

keuntungan-keuntungan maksimum.
3. Rencana pemakaian (user plans). Yaitu bagaimana memasarkan

suatu hasil atau jasa yang dipilih, atau lebih baik melayani suatu

pasaran terpilih, dijawab dengan suatu rencana pemakaian.

4. Rencana Urutan kepegawaian (personel management plans). Yaitu

rencana-rencana untuk menarik perhatian, mengembangkan dan

mempertahankan sumber daya organisasi.

Secara umum ada tiga (3) fungsi dari suatu perencanaan,

diantaranya:

1. Menguraikan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam membuat

keputusan.

2. membantu dalam percepatan pencapaian tujuan atau sasaran suatu

organisasi.

3. meminimalkan resiko.

Lebih Sherman (dalam, Tambunan, 2015:166-167),

mengatakan bahwa ada beberapa manfaat dari suatu perencanaan,

yaitu:

1. memberikan arah, artinya perencanaan mendorong anda berpikir

tentang janji masa depan disbanding kekeliruan masa lalu.


2. Koordinasi, artinya perencanaan mengikat semua usaha dan cita-

cita bersama dalam program yang sederhana, mudah dipahami, dan

penuh keseimbangan.

3. Memberikan standar. Artinya perencanaan membantu anda

mengukur kinerja, kemajuan dan menentukan seberapa baik

pekerjaan anda.

4. Penegasan. Artinya perencanaan membantu anda menetapkan apa

yang benar-benar anda ingin buang dari kehidupan anda dengan

mengusir semua yang dilebih-lebihkan dalam pikiran anda.

5. Pengungkapan. Artinya perencanaan memberikan anaada gambaran

yang jelas bagaimana tugas dan aktivitas yang berbeda berinteraksi

untuk memastikan kesuksesan dalam keseluruhan pencarian anda.

6. Persiapan. Artinya perencanaan memberikan anda bahan yang anda

butuhkan saat bertemu dengan masalah yang tak terduga dan tidak

diharapkan yang dapat mengganggu posisi anda setiap waktu.

7. Dorongan. Artinya perencanaan membimbing anda kea rah depan

dengan menyediakan dorongan yang anda butuhkan agar terhindar

dari kebuntuan dalam pekeraan, kreativitas dan hubungan anda.

@. Langkah – Langkah Perencanaan.


Foster (1984), mengatakan bahwa suatu perencanaan memiliki

tiga (3) tahap, diantaranya adalah :

1. Menetapkan sasaran.

2. Merumuskan tindakan yang perlu untuk mencapai sasaran.

3. Memonitor hasil yang diperoleh dalam implementasi sehingga

dapat dibuat beberapa penyesuaian yang diperlukan dalam

rencana.

Sedangkan Stoner (1986), mengatakan ada empat (4), langkah-

langkah dasar dalam perencanaan yang dapat disesusikan dengan

semua kegiatan perencanaan, pada semua tingkatan organisasi

maupun perusahaan, diantaranya:

1.Tetapkan tujuan atau seperangkat tujuan. Artinya perencanaan

dimulai dengan keputusan tentang apa yang diinginkan atau

dibutuhkan oleh suatu organisasi atau sub unit. Penentuan prioritas

dan pemaparan secara tegas mengenai tujuannya memungkinkan

organisasi dapat memusatkan sumber dayanya secara efektif.

2. Definisikan situasi saat ini. Dalam hal ini harus diperhatikan

seberapa jauh organisasi atau sub unit dari sasaran-sasarannya, serta

pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk mencapai sasaran


tersebut. Organisasi harus menganalisis keadaan sekarang, maka

rencana dapat disusun untuk membuat rencana selanjutnya.

3. Identifikasikan hal-hal yang membantu dan menghambat tujuan-

tujuan. Artinya, harus diidentifikasikan faktor-faktor yang ada

dalam lingkungan internaldan eksternal yang dapat membantu

organisasi mencapai sasarannya, serta mengidentifikasikan faktor-

faktor yang mungkin menimbulkan masalah.

4. Kembangkan rencana atau perangkat tindakan untuk mencapai

tujuan. Dalam hal ini, melibatkan berbagai alternative arah

tindakan untuk mencapai sasaran yang diinginkan.

@. Perencanaan Yang Efektif.

Untuk menerangkan akan suatu perencanaan yang baik dan

efektif, alangkah baiknya kita memaparkan beberapa pendapat para

ahli berikut ini. Menurut Terry dan Leslie W. Rue (2005),

mengatakan bahwa; perencanaan yang efektif harus di dasarkan pada:

fakta-fakta dan informasi serta tidak atas emosi dan keinginan.

Artinya bahwa fakta-fakta yang bersangkutan langsung dengan situasi

yang dalam pembahasan dikaitkan dengan pengalaman dan

pengetahuan.
Sementara (Anton, 2013: 104-105), mengatakan bahwa

perencanan yang baik atau efektif paling tidak memiliki beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya:

1. Logis dan rasional. Artinya apa yang dirumuskan dapat diterima

oleh akal, dan oleh sebab itu maka perencanaan tersebut bisa

dijalankan.

2. Komitmen. Perencanaan yang baik harus merupakan dan

melahirkan komitmen terhadap seluruh anggota organisasi untuk

bersama-sama berupaya mewujudkan tujuan organisasi.

3. Berkesinambungan. Perencanaan dibuat secara kontinu, artinya

berkelanjutan mengikuti kebutuhan organisasi.


BAB. IV
KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN
DALAM ORGANISASI PUBLIK

A. PENDAHULUAN.

Kekuasaan bukanlah suatu istilah dan fenomena yang baru

dalam kehidupan kita dan dalam lingkungan organisasi yang penuh

dengan persaingan. Kekuasaan dapat dipandang dari sisi positif dan

negatif, tergantung pada sisi mana seseorang melihat kekuasaan

tersebut, baik itu manfaat kekuasaan itu sendiri dan bahkan dampak

buruk dari sebuah kekuasaan. Konsep kekuasaan dalam praktek

kepemimpinan merupakan bagian dari proses pengaruh.

Lee (2002), mengemukakan bahwa kekuasaan adalah

kemampuan kita mempengaruhi satu sama lain.

Griffin (2003), Kekuasaan sebagai kemampuan untuk

mempengaruhi perilaku orang lain.

@. SUMBER-SUMBER KEKUASAAN.

Stoner (1986), menuliskan lima sumber kekuasaan yang

masing-masing dapat terjadi pada setiap tingkatan, yaitu:


1. Reward power. (Kekuasaan untuk memberikan penghargaan)

Pemimpin dapat memberikan penghargaan-penghargaan kepada

bawahan, bila bawahan melakukan tindakan-tindakan yang

sesuai dengan keinginan atasan. Wexley dan Yukl (2005),

menambahkan reward power adalah diperoleh dari

pengendalian pemimpin atas konsekuensi-konsekuensi positif

terhadap bawahan, seperti : kenaikan upah, promosi, lebih

banyak tanggung jawab, penugasan kerja yang menyenangkan,

kenaikan status.

2. Coercie power. (kekuasaan berdasarkan paksaan) kekuasaan

ini didasarkan atas perasaan takut dan ia berlandaskan atas

perkiraan pihak bawahan ia akan dikenakan hukuman apabila ia

tidak menyetujui tindakan-tindakan dan keyakinan atasan.

Hukuman dapat berupa kehilangan beberapa hak tertentu atau

bahkan kehilangan pekerjaan. Wexley dan Yukl (2005),

mengatakan bahwa kekuasaan paksaan adalah didasarkan atas

ketakutan bahwa kegagalan mematuhi peraturan atau perintah

akan mengakibatkan beberapa bentuk hukuman. Seperti:

Denda, skorsing serta pemecatan.


3. Legitimate power. Terjadi bila bawahan atau yang menerima

pengaruh mengakui bahwa pemberi pengaruh mempunyai

“hak” atau secara sah berhak untuk memberikan pengaruh,

dalam batas-batas tertentu. Robbins dan Coulter (2005),

menyebutkan kekuasaan legitimasi merupakan kekuasaan yang

dimiliki seseorang sebagai kedudukannya dalam hirarki

organisasi formal.

4. Expert power. Adalah kekuasaan pribadi yang didapatkan

seseorang berbasis informasi atau keahlian yang dimilikinya.

Robbins dan Coulter (2005) menyebutkan kekuasaan keahlian

merupakan pengaruh yang didasarkan pada keahlian,

keterampilan khusus, atau ilmu pengetahuan.

@. PRINSIP DASAR KEKUASAAN.

Lee (2002), menjelaskan bahwa orang-orang terhormat

memiliki sepuluh (10) prinsip Dasar Kekuasaan, yaitu:

1. Persuasi. Dalam hal ini, kita tidak memperlakukan semua

orang dengan sama. Orang-orang yang kita hargai merasa beda

kalau berada bersama kita.


2. Kesabaran. Artinya bila ingin mengembangkan kehormatan di

mata orang-orang di sekeliling kita, maka kita harus bersabar,

baik terhadap prosesnya maupun terhadap orangnya.

3. Kelembutan. Artinya kita tidak kasar, keras, atau memaksa,

terutama ketika berurusan dengan bidang-bidang yang sangat

peka atau di mana pihak yang satunya sangat rentan. Dengan

kelembutan, maka kita akan menghargai dan melayani semua

orang.

4. Mau (bisa diajar). Pemimpin harus berasumsi bahwa dirinya

tidak memiliki semua jawaban, wawasan yang luas,

keterampilan yang memadai serta informasi yang akurat

sehingga menimbulkan perbedaan pandangan, penilian, dan

pengalaman dari orang lain. Oleh karena itu, pemimpin harus

memiliki pemikiran terbuka untuk mau diajar, ingin belajar dan

mendengarkan berbagai pengetahuan atau informasi yang ada

dimiliki orang lain.

5. Disiplin. Artinya kita akui kesalahan-kesalahan yang diperbuat

orang lain, dan kita akui kesalahan-kesalahan itu bukannya

untuk menghancurkan mereka, melainkan dengan keyakinan


bahwa mereka akan bangkit lagi dengan kuat dan lebih baik

daripada sebelumnya.

6. Konsistensi. Yang dimaksud disini adalah konsistensi pikiran

dan perbuatan yang berasal dari seperangkat keyakinan dan

nilai-nilai yang merupakan inti keberadaan kita.

7. Integritas. Artinya berkomitmen untuk mencocokkan

perkataan, perasaan, pikiran dan perbuatan agar kita hidup

sesuai tanpa duplikasi.

@. Hubungan kekuasan Dengan Pengaruh.

Bila dikaji kembali pengertian dari kekuasaan itu sendiri, maka

kekuasaan selalu dikaitkan dengan hal mempengaruhi, baik

mempengaruhi orang lain serta perilakunya. Lee (200), menuliskan

dalam bukunya bahwa; kunci kekuasaan itu adalah sesuatu yang kita

semua kenali, yaitu kehormatan. Kehormatan adalah kekuasaan.

Kalau orang lain hormat terhadap anda, maka anda memiliki pengaruh

yang berkelanjutan, yang jangka panjang terhadap mereka, dan inilah

prinsip kekuasaan.

Hersey dan Blanchard (1991), mengatakan bahwa

kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau

sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu.


Sementara Deeprose (2006), menyatakan bahwa untuk menentukan

suatu visi yang memaksa adalah salah satu cara pemimpin disuatu

organisasi untuk mempengaruhi komitmen karyawan terhadap

organisasi dan gairah kerja. Di samping itu juga, kaitan dengan

pengaruh yang sama pentingnya adalah seberapa besar seorang

pemimpin dalam:

1. Memperlihatkan standar etika yang tinggi, yang mengilhami

kepercayaan dan rasa hormat bagi mereka dan organisasi.

2. Menjalankan nilai-nilai organisasi, memantapkan kredibilitas

mereka dan organisasi, dan bertindak sebagai model peran bagi

siapa saja dalam perusahaan atau organisasi.

3. Menuntut keadilan dalam perlakuan terhadap semua karyawan,

pelanggan dan pemegang resiko (stakeholders).

Yukl (2005), dalam bukunya menuliskan bahwa mempengaruhi

merupakan inti dari kepemimpinan. Agar seseorang dapat menjadi

pemimpin yang efektif, maka harus mampu mempengaruhi orang lain

agar mau menjalankan permintaan, mendukung proposal dan

mengimplementasikan suatu kebijakan.


BAB.V
KOORDINASI KEPEMIMPINAN
DALAM PEMERINTAHAN

A. PENDAHULUAN.

Koordinasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh seorang

pemimpin, baik itu di organisasi kecil, besar, privat, sector Publik dan

lain sebagainya untuk mengkomunikasikan berbagai kegiatan atau

pekerjaan yang telah dibagi-bagi di masing-masing unit kerja dapat

terarah secara efektif dan efisien, sehingga tujuan atau sasaran suatu

organisasi atau lembaga dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan

oleh instansi yang bersangkutan.

@. ARTI DAN PENTINGNYA KOORDINASI.

Banyak pakar memberikan pengertian koordinasi, diantaranya

adalah sebagai berikut;

1. Downey dan Erickson (dalam, Tambunan 2015:175)

menyatakan bahwa koordinasi merupakan daya upaya untuk

mensinkronkan dan menyatukan tindakan-tindakan sekelompok


manusia. Koordinasi sebagai tangggung jawab pemimpin untuk

melihat bahwa pengoperasian departemen-departemen, divisi-

divisi dan individu-individu yang berada di bawah kendalinya

terintegrasi secara tepat untuk memproduksi hasil-hasil yang

menunjang tercapainya sasaran organisasi.

2. Stoner (1986) menyebutkan bahwa koordinasi adalah merupakan

proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan berbagai unit

organisasi guna mencapai cita-cita organisasi.

3. Malayu S.P. Hasibuan (2014:85), Koordinasi adalah kegiatan

mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-

unsur manajemen (6.M) dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan

dalam mencapai tujuan organisasi.

@. Mengapa koordinasi itu sangat penting dilakukan?

a. Untuk mencegah terjadinya kekacauan, percekcokan, dan

kekembaran atau kekosongan pekerjaan.

b. Agar orang-orang dan pekerjaannya diselaraskan serta diarahkan

untuk pencapaian tujuan perusahaan.

c. Agar sarana dan prasarana dimanfaatkan untuk pencapaian tujuan.


d. Supaya semua unsure-unsur manajemen (6 M) dan pekerjaan

masing-masing individu karyawan harus membantu tercapainya

tujuan organisasi.

e, Supaya semua tugas, kegiatan, dan pekerjaan terintegrasi kepada

sasaran yang diinginkan.

@. Tujuan dilakukannya Koordinasi.

a. Untuk mengarahkan dan menyatukan semua tindakan serta

pemikiran ke arah tercapainya sasaran perusahaan.

b.Untuk menjuruskan keterampilan spesialis ke arah sasaran

perusahaan.

c. Untuk menghindari kekosongan dan tumpang-tindih pekerjaan.

d. Untuk menghindari kekacauan dan penyimpangan tugas dari

sasaran.

@. Permasalahan-permasalahan Dalam mencapai Koordinasi

Yang Efektiff.

Peningkatan spesialisasi menyebebkan tingginya kebutuhan

akan koordinasi, namun, semakin besar kadar spesialisasi, maka

semakin sulit bagi pemimpin dalam mengkoordinasikan kegiatan-


kegiatan khusus dari unit-unit yang berbeda. Lawrence dan Lorsch

(dalam Stoner, 1986), mengidentifikasikan empat (4) jenis perbedaan

sikap dan gaya kerja yang mempersulit tugas pengkoordinasian,

diantaranya:

1. Perbedaan orientasi terhadap tujuan tertentu. Artinya, para anggota

dari unit/departemen yang berbeda menciptakan pemikiran mereka

sendiri tentang cara terbaik dalam meningkatkan kepentingan atau

tujuan organisasi. Contoh; bagian produksi menganggap bahwa

menghasilkan keberagaman produk lebih penting dibandingkan

kualitas dari suatu produk.

2. Perbedaan orientasi waktu. Artinya bagi setiap karyawan atau

kelompok kerja yang menangani suatu pekerjaan serta tanggung

jawab tertentu, bisa memiliki perbedaan dalam hal waktu

penyelesaian pekerjaan maupun dalam hal pemecahan masalah.

3. Perbedaan orientasi antar pribadi.

Artinya, dalam beberapa aktivitas pada organisasi, masing-masing

unit kerja dan setiap individu, memiliki perbedaan dalam cara

berkomunikasi dan hal pembuatan keputusan.

Perbedaan formalitas struktur. Artinya, setiap tipe unit kerja dalam

suatu organisasi memiliki metode dan standar yang berbeda-beda


untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan pekerjaan dan dalam hal

pemberian imbalan kepada karyawan.

@. BENTUK-BENTUK KOORDINASI

1. Koordinasi Horizontal.

Koordinasi Horizontal adalah penyelarasan kerjasama secara

harmonis dan sinkron antar lembaga yang sederajat. Misalnya:

a. Antar Muspika Kecamatan (Camat, Kapolsek dan Danramil).

b. Antar Muspida Kabupaten (Bupati, Danramil dan Kapolsek).

c. Muspida Provinsi (Gubernur, Pangdam dan Kapolda).

2. Koordinasi Vertikal.

Koordinasi vertikal adalah penyelarasan kerjasama secara

harmonis dan sinkron dari lembaga-lembaga yang sederajat lebih

tinggi kepada lembaga-lembaga lain yang derajatnya lebih rendah .

Misalnya:

a. Antar Kepala Unit suatu Instansi kepada kepala Sub Unit lain di

luar unit mereka.

b. Kepala Bagian (Kabag) suatu instansi kepada Kepala Sub bagian

(Kasubag) lain di luar bagian mereka.


c. Kepala Biro suatu Instansi Kepada Kepala Sub Biro lain di luar

Biro mereka.

3. Koordinasi Fungsional.

Koordinasi fungsional adalah penyelarasan kerjasama secara

harmonis dan sinkron antar lembaga yang memiliki kesamaan dalam

fungsi pekerjaan. Misalnya:

a. Antar sesama para kepala bagian hubungan masyarakat,

jadi koordinasi tersebut berdasarkan fungsi yaitu sesama

kepala bagian humas.

b. Antara kepala bagian Humas Pemerintahan daerah

setempat dengan kepala Bagian Humas Kepolisian Resort

setempat.

c. Dan Kepala bagian Humas Pertamina setempat (sebagai

contoh), serta Kepala Bagian Humas Hotel, dengan

demikian untuk pekerjaan yang menyangkut hubungan

masyarakat maka mereka akan menjadi sebuah tim yang

solid untuk memperlancar hubungan masyarakat yang

meliputi pemberitaan dan informasi itu sendiri.


BAB.VI
PENGAWASAN DALAM KEPEMIMPINAN

A. PENDAHULUAN.

Pengawasan adalah merupakan suatu hal yang sangat penting

dilaksanakan dalam suatu organisasi, baik itu organisasi swasta

maupun sector public (pemerintah). Namun demikian tidak ada yang

mengetahui secara pasti kapan dilaksanakannya pengawasan yang

pertama kali. Walaupun terdapat bukti yang konkrit bahwa pada awal

peradaban manusia telah terdapat beberapa bentuk proses pengujian

terhadap pertanggungjawaban seseorang bahkan kelompok tertentu

oleh kelompok yang lainnya dalam rangka untuk mencapai efektivitas

dan efisiensi terhadap pelaksanaan suatu kegiatan.

@. Pengertian dan Tujuan Controlling.

Harold koontz (dalam, Brantas, 2009:189), mengatakan

bahwa pengawasan adalah pengukuran dan perbaikan terhadap

pelaksanaan kerja bawahan, agar rencana-rencana yang telah dibuat

untuk mencapai tujuan-tujuan perusahan dapat terselenggarakan.


Tujuan dan manfaat pengawasan.

a. Tujuan dilakukannya pengawasan:

1. Supaya proses pelaksanaan dilakukan sesuai dengan ketentuan-

ketentuan dari rencana.

2.Melakukan tindakan perbaikan, jika terdapat penyimpangan-

penyimpangan

3.mencegah terulangnya kembali kesaalahan, penyimpangan,

penyelewengan pemborosan, hambatan, dan ketidakadilan.

4. Untuk meningkatkan kinerja organisasi.

5. Menciptakan terwujudnya pemerintahan yang bersih (Good

Government).

6. Menciptakan suasana keterbukaan, kejujuran, dan akuntabilitas

organisasi.

b. Manfaat pengawasan.

Manfaat pengawasan dimaksudkan untuk meningkatkan

akuntabilitas dan keterbukaan. Pengawasan pada dasarnya

menekankan langkah-langkah pembenahan atau koreksi yang objektif

jika terjadi perbedaan atau penyimpangan antara pelaksanaan dengan

perencanaannya.
@. Jenis-jenis Pengawasan.

1. Pengawasan karyawan (personnel control). Ini ditujukan kepada

hal-hal yang ada hubungannya dengan kegiatan karyawan.

Misalnya: karyawan bekerja sesuai dengan rencana, perintah,

disiplin, absensi, dan sebagainya.

2. Pengawasan keuangan (financial control). Ini ditujukan kepada

hal-hal yang menyangkut keuangan, tentang pemasukan dan

pengeluaran, biaya-biaya perusahaan termasuk pengawasan

anggarannya.

3. Pengawasan produksi (production control). Pengawasan ini

ditujukan untuk mengetahui kualitas dan kuantitas produksi yang

dihasilkan, apakah sesuai dengan standar atau rencananya.

4. Pengawasan waktu (time control). Pengawasan ini ditujukan

kepada penggunaan waktu, artinya apakah waktu untuk

mengerjakan suatu pekerjaan sesuai atau tidak dengan rencana.

5. Pengawasan penjualan (sales control). Pengawasan ini ditujukan

untuk mengetahui, apakah produksi atau jasa yang dihasilkan

terjual sesuai dengan target yang ditetapkan.


6. pengawasan inventaris. (Invettory control).Ini ditujukan untuk

mengetahui, apakah inventaris perusahaan atau organisasi

masih ada semuanya atau ada yang hilang.

@. Cara – Cara Melakukan Pengawasan.

Adapun cara-cara melakukan pengawasan adalah sebagai

berikut:

1. Pengawasan langsung. Adalah pengawasan yang dilakukan sendiri

secara langsung oleh seorang manajer atau pimpinan organisasi.

Manajer atau pimpinan organisasi memeriksa pekerjaan yang

sedang dilakukan untuk mengetahui apakah dikerjakan dengan

benar dan hasil-hasilnya sesuai dengan yang dihendaki.

@. Kebaikan pengawasan langsung:

a. Jika ada kesalahan dapat diketahui sedini mungkin, sehingga

perbaikannya dilakukan dengan cepat.

b. Akan terjadi kontak langsung antara bawahan dan atasan, sehingga

akan mempererat hubungan antara atasan dengan bawahan.

c. Akan memberikan kepuasan tersendiri bagi bawahan, karena

merasa diperhatikan oleh atasannya.


d. Akan tertampung sumbangan pikiran dari bawahan yang mungkin

bisa berguna bagi kebijaksanaan selanjutnya.

e. Akan dapat menghindari timbulnya kesan laporan ; Asal bapak

Senang.

@. Keburukan pengawasan langsung:

a. Waktu seorang manajer atau pimpinan organisasi banyak tersita,

sehingga waktu untuk pekerjaan lainnya berkurang.

b. Mengurangi inisiatif bawahan, karena mereka merasa bahwa

atasannya selalu mengamatinya.

c. Ongkos semakin besar karena adanya biaya perjalanan dan lain-

lain.

2. Pengawasan tidak langsung. Pengawasan jarak jauh, artinya

dengan melalui laporan yang diberikan oleh bawahan. Laporan ini

dapat berupa lisan atau tulisan tentang pelaksanaan pekerjaan dan

hasil-hasil yang telah dicapai.

@. Kebaikan pengawasan tidak langsung:

a. Waktu manajer untuk mengerjakan tugas-tugas lainnya semakin

banyak, misalnya; perencanaan, kebijaksanaan, dan lain-lain.


b. Biaya pengawasan relatif kecil.

c. Memberikan kesempatan inisiatif bawahan berkembang dalam

melaksanakan pekerjaan.

@. Keburukan pengawasan tidak langsung:

a. Laporan kadang-kadang kurang objektif, karena ada

kecenderungan untuk melaporkan yang baik-baik saja.

b. Jika ada kesalahan-kesalahan terlambat mengetahuinya, sehingga

perbaikannya pun juga terlambat.

c. Kurang menciptakan hubungan-hubungan antara atasan dan

bawahan.

@. SIFAT DAN WAKTU PENGAWASAN.

1. Pengawasan berkala. Adalah pengawasan yang dilakukan secara

berkala. Misalnya; perbulan, persemester, per triwulan.

2. Pengawasan mendadak (Sidak). Adalah pengawasan yang

dilakukan secara mendadak untuk mengetahui apa pelaksanaan

atau peraturan-peraturan yang ada dilaksanakan atau tidak

dilaksanakan dengan baik. Pengawasan mendadak ini sekali-kali

perlu dilakukan, supaya kedisiplinan karyawan tetap terjaga.


3. Pengawasan melekat (waskat). Pengawasan yang dilakukan

secara integratif mulai dari sebelum, pada saat, dan sesudah

kegiatan dilakukan.

@. MACAM – MACAM PENGAWASAN.

1. Internal control. Adalah pengawasan yang dilakukan oleh seorang

atasan kepada bawahannya.Cakupan dari pengawasan ini

meliputi hal-hal yang cukup luas baik pelaksanaan tugas,

prosedur kerja, kedisiplinan karyawan, dan lain-lain.

2. External Control. Adalah pengawasan yang dilakukan oleh pihak

luar. Pengawasan ini dapat dilakukan secara formal atau

informal, misalnya: pemeriksaan pembukuan oleh kantor akuntan

dan penilaian yang dilakukan oleh masyarakat.

3. Formal control. Adalah pengawasan yang dilakukan oleh instansi

atau pejabat resmi dan dapat dilakukan secara intern maupun

ekstern. Misalnya: pemeriksaan yang dilakukan oleh PBK

terhadap BUMN/BUMD, dan lain-lain.

4. Informal control. Adalah penilaian yang dilakukan oleh

masyarakat atau konsumen, baik langsung maupun tidak


langsung. Misalnya; melalui media massa cetak atau elektronik,

dan lain-lain (Hasibuan, 2001:242-248).

@. HAMBATAN DARI SEGI PENGAWASAN.

Dalama rangka untuk menciptakan suatu model pengawasan

yang baik, maka dibuatnya system pengawasan. Sistem pengawasan

bertujuan untuk membentuk suatu model kerja pengawasan dengan

mengacu pada aturan-aturan yang berlaku dan diharapkan.

Pengawasan itu baik bersifat jangka pendek dan jangka panjang.

Namun dalam kenyataannya seringkali system pengawasan tersebut

tidak bisa berlangsung atau berjalan secara baik, atau dengan kata lain

system pengawasan tersebut mengalami penolakan dari pihak tertentu.

Tentunya penolakan terhadap suatu system dianggap sebagai

sebuah hambatan, dan dalam kenyataannya penolakan tersebut

disebabkan oleh berbagai hal. Lawyer (dalam Fahmi, 2012:146),

menyatakan bahwa; penolakan terhadap system pengawasan itu lebih

besar kemungkinannya terjadi di bawah, salah satu atau lebih dari

keadaan tersebut adalah:

1. Sistem pengawasan itu mengukur prestasi dalam suatu daerah baru.


2. Sistem pengawasan itu juga menggantikan suatu system dimana

orang mempunyai investasi besar dalam pemeliharaannya.

3. Standar-standar ditetapkan tanpa partisipasi.

4. Hasil-hasil dari system pengawasan itu tidak diumpan balik (feed

back) kepada mereka yang prestasinya diukur.

5. Orang yang terkena oleh system itu relative puas dengan hal-hal

sebagaimana adanya dan mereka melihat diri mereka sendiri terikat

(committed) pada organisasi.

6. Orang yang terkena system itu rendah harga diri dan

authoritarianism mereka.

@. SOLUSI DALAM MENGATASI HAMBATAN DALAM


PENGAWASAN.
Untuk mengatasi supaya terciptanya pengawasan yang

berlangsung secara baik, maka setiap hambatan dalam pengawasan

harus dicarikan solusinya. Oleh karena itu ada beberapa bentuk solusi

yang dapat di tempuh diantaranya:

1. Menciptakan hubungan antara tingkat atas dan Tingkat bawah agar

terbentuknya suatu control yang maksimal sampai dengan tingkat

sub system. Hal ini juga sebagaimana dinyatakan oleh ; Fremont

E. Kast dan James E. Rosenzweig (dalam Fahmi, 2012:146-147),


bahwa ada saling hubungan atau (interface) dengan pengawasan

tingkat tinggi dimana tujuan ditentukan. Juga terdapat saling

hubungan dengan pengawasan tingkat rendah di mana pekerjaan

dilaksanakan oleh system dan berbagai sub-sistem.

2. Memahami konsep efektivitas. Konsep efektivitas dilihat dari segi

Time Shedule, dengan tujuan agar setiap pengerjaan tugas dapat

diselesaikan sesuai dengan target yang diinginkan.

3. Perusahaan perlu mengembangkan suatu standar acuan kerja yang

representative dan modern. Dengan tujuan setiap pihak yang

bekerja di suatu organisasi harus mematuhi dan menerapkan

standar acuan kerja tersebut, sehingga jika suatu saat ada teguran,

sanksi dan berbagai bentuk penegakan aturan lainnya semua itu

telah bersumber pada standar tersebut.

4. Menerapkan konsep “The Right Man and The Right Place”.

Dengan begitu diharapkan setiap pekerjaan ditangani oleh mereka

yang benar-benar mampu untuk menyelesaikannya.

THE END

Anda mungkin juga menyukai