Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bila berbicara masalah wakaf dalam perspektif sejarah Islam (al-târih al-islâmi), tidak

dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang perkembangan hukum Islam dan esensi

misi hukum Islam. Untuk mengetahui perkembangan sejarah perkembangan hukum

Islam perlu melakukan penelitian dengan cara menelaah teks (wahyu) dan kondisi

sosial budaya masyarakat di mana hukum Islam itu berasal. Sebab hukum Islam

merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada

pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk

mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu

mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum,

keadilan social maupun keadilan ekonomi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengertian wakaf dan dasar hukumnya ?

2. Bagaimanakah rukun dan syarat wakaf itu sendiri ?

3. Ada berapakah macam-macam wakaf itu dan berikan penjelasannya ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Waqaf

Wakaf menurut bahasa Arab berarti “Al-Habsu” yang berasal dari kata kerja “habasa-

yahbisu-habsan”, mejauhkan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata

ini berkembang menjadi “habbasa” yang berarti mewakafkan harta karena Allah

SWT.

Kata wakaf sendiri berasal dari kata kerja “waqafa-yaqifu-waqfan” yang

berarti berdiri atau berhenti.sedangkan wakaf menurut istilah syara’ yaitu menahan

harta benda yang mungkin bisa diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau

merusakkan bendanya (‘ainnya) dan digunakan untuk kebaikan.

Berbagai rumusan definisi ini dapat kita temukan dalam beberapa literatur

lain seperti yang dikutip oleh Abdurrahman,SH dari dfinisi Abu Hanifah, Abu Yusuf

dan Imam Muhammad, Maula Muhammad Ali serta Naziruddin Rahmat.

Sedangkan pengertian wakaf menurut pa yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) PP

No. 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah miliki adalah :

“Perbuatan hukum sesorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta

kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk seklama-lamanya

untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran

Islam”.

Dari rumusan pengertian di atas terlihat bahwa dalam fiqh Islam, wakaf

sebenarnya dapat meliputi berbagai benda walaupun berbagai riwayat /hadits

menceritakan masalah wakaf ini adalah mengenai tanah, tetapi berbagai ulama

memahami bahwa wakaf non tanah pun boleh saja asal bendanya tidak tidak langsung

musnah/habis ketika diambil manfaatnya.


Menurut fiqh Islam yang berkembang dalam kalangan ahkus sunnah, dikatakan

“sah kita mewakafkan binatang”. Demikian juga pendapat Ahmad dan menurut satu

riwayat, juga Imam Malik.

Wakaf telah mengakar dan menjadi tradisi umat Islam dimanapun juga. Di

Indonesia, lembaga ini telah menjadi penunjang utama perkembangan masyarakat.

Hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan

lainnya dibangun diatas tanah wakaf.

B. Dasar Hukum Waqaf

Menurut Syafi’I, Malik dan Ahmad, wakaf it adalah suatu ibadat yang disyaria’atkan .

Hal ini disimpulkan dari pengertian-pengertian umum ayat al-Quran maupun hadits

yang secara khusus menceritakan kasus-kasus wakaf di zaman Rasulullah SAW.

1. Wakaf dalam Al-Quran

Diantara dalil-dalil yang dijadikan sandaran hokum wakaf ialah:

a. surat Al-Hajj ayat 77

”wahai orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah kamu dan sembahlah

Tuhanmu serta berbuatlah kebaikan supaya kamu berbahagia”

b. surat An-Nahl ayat 97

“barangsiapa berbuat kebaikan, laki-laki atau permpuan dan ia beriman, niscaya akan

Aku beri pahala yang lebih bagus dari apa yang mereka amalkan”.

c. surat Ali Imran ayat 92

“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian, sebelum kamu menafkahkan

sebagian harta yang kamu cintai”.

2. Wakaf dalam hadits

Selain dari ayat-ayat yang mendorong manusia berbuat baik untuk kebaikan orang

lain dengan membelanjakan atau menyedekahkan hartanya tersebut di atas, menurut


hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim berasal dari Abu Harairah, seorang

manusia yang meninggal dunia akan berhenti semua pahala amal perbuatannya

kecualai pahala tiga amalan yaitu:

a. Pahala amalan shodaqah jariyah (shodaqah yang amalannya tetap mengalir

yang diberikannya selama ia masih hidup.

b. Pahala ilmu yang bermanfaat (bagi orang lain) yang diajarkannya selama

hayatnya.

c. Doa anak (amal) sholeh yakni anaknya membalas guna orang tuanya dan

mendoakan ayah ibunya kendatipun orang tuanya it telah tiada.

Para ahli sependapat bahwa yang dimaksud dengan (pahala) shodaqah jariyah dalam

hadits it adalah (pahala) wakaf yang diberikannya dikala seseorang masih hidup.

Selain itu terdapat pula hadits mengenai mewakafkan harta syrikat dan barang

bergerak:

“Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata “Umar pernah berkata kepada Nabi SAW bahwa

seratus bagia yang menjadi milikku di Khaibar it adalah harta yang belum pernah say

peroleh yang sungguh lebih ku kagumi selain harta it, lalu sungguh aku berkehendak

untuk menyedekahkan (mewakafkan)nya. Kemudian Nabi SAW menjawab

“Tuhanlah pokoknya dan mewakafkan buah (hasilnya)”.

(H.R. An-Nasai).

Atas hadits tersebut Syarih Rahimullah berkata “bahwa perkataan seratus bagian …”

dan seterusnya itu, oleh mushanif (Ibn Taimiyah) hadits ini dijadikan dalil atas sahnya

mewakafkan harta syirkah. Sedangkan Bukhari menetapkan sahnya mewakafkan

harta syirkah it dengan hadits Anas tentang kisah pembangunan masjid (Nabawi).
3. PP No. 28 Tahun 1977

Peraturan Pemerintah tersebut berbigara tentang perwakafan tanah milik, didalamnya

memuat istilah-istilah dalam perwakafan, syarat, fungsi dan lain sebagainya tentang

wakaf secara umum.

C. Unsur Beserta Syarat Waqaf

Ada empat unsur yang harus dipenuhi sebagai rukun dalam melaksanakan wakaf

yakni:

1. Waqif

2. Benda yang diwakafkan

3. Penerima wakaf (mauquf ‘alaih)

4. Lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf.

Wakif tidak selalu perorangan melainkan boleh juga berupa badan hokum, dalam hal

badan hokum ini yang yang bertindak atas namanya ialah pengurusnya yang sah

menurut hukum.

Bagi orang yang berwakaf, disyaratkan bahwa ia adalah orang yang ahli berbuat

kebaikan dan wakaf dilakukannya secara sukarela, tidak karena dipaksa. Ahli berbuat

baik disini maksudnya ialah orang yang berakal (tidak gila juga tidak bodoh), tidak

mubadzir (karena harta orang mubadzir di bawah walinya) dan baligh, demikian

penjelasan Moh. Zain bin Haji Otsman sebagaimana dikutip oleh Adijani al-Alabij.

Syarat tersebut di atas berlaku juga bagi mauquf ‘alaih. Selain syarat yang sama

dengan wakif, mauquf ‘alaih harus bertempat tinggal dikecamatan tempat letaknya

tanah yang diwakafkan.


D. Macam – Macam Waqaf

Macam wakaf terbagi atas dua bentuk yakni pertama wakaf keluarga atau wakaf ahli

yakni wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang atau lebih,

baik ia keluarga wakif maupun orang lain. Kedua, wakaf umum yakni wakaf yang

diperuntukkan bagi kepentigan atau kemaslahatan umum.

E. Tata Cara Pelaksanaan Waqaf

Fiqh wakaf tidak banyak membicarakan prosedur dan tata cara pelaksanaan wakaf

secara rici. Tetapi PP No. 28 tahun 1977 dan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun

1978 mengatuir petunjuk yang lebih lengkap. Menurut pasal 9 ayat (1) PP No. 28

tahun 1977, pihak yanmg hendak mewakafkan tanahnya di haruskan atang dihadapan

pejabat pembuat akta ikrar wakaf untukl melasanakan ikrar wakaf.

F. Pengawasan Harta Waqaf

Untuk pengawas wakaf yang sifatnya perorangan diperlukan syarat-syarat sebaga

berikut: a. Berakal sehat, b. Baligh, c. Dapat dipercaya, dan d. Mampu melaksanakan

urusan0urusan wakaf. Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi. Hakim berhak

menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat dengan wakif. Bila kerabat

juga tidak ada, maka ditunjuk orang lain. Agar pengawasan dapat berjalan dengan

baik, pengawas wakaf yang bersifat perorangan boleh diberi imbalan secukupnya

sebagai gajinya atau boleh diambil dari hasil harta wakaf.

Pengawas harta wakaf berwenang melakukan perkara-perkara yang dapat

mendatangkan kebaikan harta wakaf dan mewujudkan keuntungan-keuntungan bagi

tujuan wakaf, dengan memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan wakaf.


Jaminan perwakafan di Indonesia dinyatakan dalam Undang-Undang Pokok Agraria

No. 5 tahun 1960 pasal 49 ayat 3 yang menyatakan bahwa perwakafan tanah milim

dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

G. Hikmah Waqaf

Wakaf bukan seperti sedekah biasa, tapi lebih besar ganjaran dan manfaatnya

terutama bagi diri si pewakaf. Karena pahala wakaf terus mengalir selama masih

dapat digunakan. Bukan haya itu, wakaf sangat hun, hasil bermanfaat bagi masyarakat

sebaga jalan kemajuan. Misalnya negeri Islam di zaman dahulu, karena wakaf, umat

Islam dapat maju, bahkan sampai sekarang telah beribu-ribu tahun, hasil dari wakaf

itu masih kekal. Kita masih bisa menikmati hasil wakaf dari zaman dahulu sampai

sekarang yaitu universitas al-azhar di Mesir, masjid Nabawi. Maka, sekiranya umat

Islam saat ini seperti orang Islam terdahulu yang mau mengorbankan hartanya untuk

wakaf, maka berarti mereka telah membuka jalan untuk kemajuan Islam dan anak

cucu kita kelak akan merasakan kelezatan wakaf yang kita berikan sekarang. Jadi,

hikmah wakaf dapat kita simpulkan yaitu untuk memfasilitasi secara kekal semua

jalan kebaikan untuk mencapai kemajuan umat Islam.

H. Pendaftaran Waqaf

Menurut pendapat Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad dianggap telah terlaksana dengan

adanya lafadz tau sighat walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Lain halnya menurut

Abi Hanifah bahwa benda wakaf belim terlepas dari milik wakif sampai hakim

memberikan putusan yaitu mengmumkan barang wakaf tersebut.

Pendaftaran tanah wakaf diatur oleh pasal 10 ayat (1) sampai dengan (5_) PP No. 28

tahun 1977 dan bebrapa pasal lain alam Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978.
I. Perubahan Status dan Penggunaan Tanah Wakaf

Pada dasarnya tanah wakaf tidak boleh dijual , diwarisi dan kepada pihak lain. Tetapi

seandainya barang wakaf itu rusak, tidak diambil lagi manfaatnya, maka boleh

digunakan untuk keperluan lainnya yang serupa, dijual dan dibelikan barang lain

untuk meneruska wakaf tersebut.. hal ini didasarkan kepada kemaslahatan.

Pengecualian ini haris dengan persetujuan Menteri Agama, dengan alasan karena

tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti dikrarkan oleh wakif dan karena

kepentingan umum.

Persetujuan maupun penolakan atas permohonan nadzir baik permohonan

untuk mengalihkan penggunaan tanah wakaf maupun permohonan perubahan status

tanah wakaf oleh Kepala Kanwil Agama harus tertulis. Kemudia seperti ditentukan

dalam pasal 11 ayat (3) PP No. 28 tahun 1977, perubahan status dan penggunaan

tanah wakaf itu harus dilaporkan oleh nadzir kepada Bupati atau walikota untuk

diproses lebih lanjut.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Landasan hukum perwakafan selain tersebut dalam Al-Quran juga Hadits juga lebih

rinci diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Wakaf juga

Peraturan Menteri Agama.

Kepemilikan atas barang wakaf harus memenuhi rukun wakaf yakni adanya

wakif, maukuf alaih, barang wakaf dan lafadz ikrar. Lafadz wakaf harus diikrarkan

dihadapan pihak yang berwenang.

Barang wakaf pada dasarnya tidak boleh dipindahgunakan atau dialihkan namun bila

terjadi ketidaksesuaian antara ikrar aweal wakaf dengan keadaan barang wakaf maka

alihpenggunaan tersebut diperbolehkan demi melihat kemaslahatan yang mungkin

bias dicapai. Persetujuan maupun penolakan atas pengajuan pengalihan penggunaaan

barang wakaf serta perubahan status harus dibuat secra tertulis oleh pihak yang

berwenang.
DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1992

Terjemahan Nailul Authar: Himpunan Hadits-Hadits Hukum

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: -, 2003

H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam,

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI, 1988
MAKALAH

WAQAF

Di Susun Oleh :

1. Diva Aulia Yuandi

2. Dewi Aprilia

3. Leni Maryani

4. Nina Karina H

5. Popi Novitasari

SMA NEGERI 6 PANDEGLANG

2015

Anda mungkin juga menyukai