S1 2014 297866 Chapter1 PDF
S1 2014 297866 Chapter1 PDF
PENDAHULUAN
asma dapat didefinisikan sebagai gangguan peradangan kronik yang terjadi pada
saluran pernafasan, yang melibatkan sel-sel inflamasi. Pada individu yang rentan,
peradangan ini menyebabkan episode yang berulang dari mengi, sesak nafas, rasa
sesak di dada, dan batuk, terutama pada malam atau dini hari. Adanya peradangan
Asma adalah salah satu penyakit kronik yang umum, dengan perkiraan
terdapat 300 juta penderita di seluruh dunia. Setiap tahunnya prevalensi penderita
asma terus meningkat selama 20 tahun terakhir ini, terutama pada anak-anak
150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan, jumlah ini diperkirakan akan
terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Apabila tidak
dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan
pada masa mendatang yang dapat mengganggu proses tumbuh kembang anak dan
Menurut data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan
kesakitan dan kematian di Indonesia. Pada SKRT tahun 1992, asma, bronkitis
1
2
Indonesia (Ratnawati, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
dan SKRT tahun 1995 dan 2001 menunjukkan bahwa selama 12 tahun (1995-
terkontrol. Oleh karena itu diperlukan terapi yang tepat dan efektif dalam
pengobatan asma.
Prevalensi asma yang cukup besar ternyata juga terjadi pada masyarakat
dengan tingkat ekonomi rendah. Berbagai studi membuktikan bahwa faktor sosial-
Berbagai hasil evaluasi memperlihatkan bahwa risiko cidera, asma, dan hipertensi
pada remaja meningkat akibat perilaku negatif anak-anak dari kalangan sosio-
ekonomi rendah. Risiko balita yang berasal dari keluarga berpendidikan rendah,
tidak menjamin secara otomatis penurunan kemiskinan kecuali jika diikuti oleh
semua kalangan masyarakat bisa mendapatkan hak yang sama. Salah satunya
pelayanan promotif, preventif, serta kuratif, dan rehabilitatif yang diberikan secara
berjenjang bagi masyarakat atau peserta yang iurannya dibayar oleh Pemerintah
sebagai awal dari pencapaian jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk. Melalui
Namun di penerapannya, sering kali biaya riil yang diperlukan untuk pengobatan
pasien sangat bervariasi dan tidak sesuai dengan biaya paket tarif INA-CBG’s.
Biaya pengobatan asma yang meningkat dapat terjadi sebagai akibat dari
peningkatan jumlah peresepan obat (Kelly dan Sorkness, 2008). Smith et al.
berbiaya tinggi”. Untuk itu, tingginya biaya pada penyakit saluran pernafasan,
RSU Bina Kasih, salah satu rumah sakit umum swasta di Kabupaten
Semarang. Rumah sakit ini telah melayani program Jamkesmas sejak program
tersebut mulai dilaksanakan pada tahun 2005 (program Askeskin). Sejak tahun
2005 hingga sekarang, RSU Bina Kasih telah menangani pasien Jamkesmas pada
instalasi rawat jalan sebesar 2.557 pasien dan pada instalasi rawat inap sebesar
1.764 pasien. Penyakit asma juga termasuk dalam sepuluh besar penyakit yang
pengobatan pada pasien asma yang menjalani rawat inap di RSU Bina Kasih
Ambarawa. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi RSU Bina
Kasih, pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait dalam pelaksanaan paket tarif
B. Perumusan Masalah
3. Berapakah besar perbedaan jumlah antara biaya riil dengan paket tarif INA-
CBG’s pada pasien asma rawat inap peserta Jamkesmas di RSU Bina Kasih
Ambarawa?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
2. Tujuan khusus
D. Manfaat Penelitian
1. Apoteker
Sebagai bahan dan pertimbangan bagi apoteker dalam pemilihan obat untuk
Sebagai informasi dan bahan evaluasi bagi rumah sakit dalam pertimbangan
pemilihan tindakan medis dan obat untuk penatalaksanaan terapi asma, serta
3. Badan Pemerintahan
penyakit asma.
4. Peneliti
E. Tinjauan Pustaka
1. Penyakit Asma
a. Definisi
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak nafas dan rasa berat di dada
terutama pada malam hari dan atau dini hari. Gejala tersebut umumnya bersifat
asma merupakan gangguan saluran nafas kronik biasa yang kompleks yang
melibatkan berbagai sel inflamasi. Asma ditandai dengan adanya gejala yang
berulang, sumbatan aliran udara, inflamasi dan respon yang berlebihan dari
bronkial. Inflamasi yang terjadi dapat disebabkan karena adanya luka dari sel
epitelial dan melibatkan berbagai mediator dan sel inflamasi seperti neutrofil,
Asma bersifat fluktuatif atau hilang timbul yang artinya dapat tenang tanpa
gejala dan tidak mengganggu aktivitas. Tetapi asma dapat kambuh dengan gejala
mulai dari gejala ringan sampai dengan berat, bahkan sampai dapat menimbulkan
kematian (Kementerian Kesehatan, 2009). Manifestasi klinik dari asma ini dapat
dikendalikan jika diberikan pengobatan yang tepat. Ketika penyakit asma dapat
terkontrol dengan baik, kejadian kambuhnya gejala dapat berkurang dan gejala
b. Etiologi
menjadi akibat dari faktor genetik dan dari faktor lingkungan (FitzGerald et al.,
2012a). Faktor genetik berhubungan dengan sejarah keluarga. Anak dari keluarga
8
asma lebih beresiko untuk menyandang asma dibandingkan dengan anak yang
tidak memiliki keluarga asma (Zulfikar dkk, 2011). Jika orang tua menderita
asma, maka kemungkinan besar ada anggota keluarga yang menderita asma juga.
Menurut GINA (Global Initative for Atshma) tahun 2008, laki-laki menjadi
salah satu faktor risiko asma pada anak-anak, terutama sampai usia 14 tahun,
prevalensi asma dapat terjadi dua kali lebih besar. Namun semakin beranjak
dewasa, pengaruh jenis kelamin semakin berkurang. Pada dewasa, kejadian asma
(FitzGerald et al, 2012a). Namun demikian, asma dapat dimulai pada segala usia,
mempengaruhi pria dan wanita tanpa kecuali, dan bisa terjadi pada setiap orang
alergen (seperti misalnya debu, bulu binatang, serangga, dan serbuk bunga), asap
rokok, infeksi saluran nafas akibat virus, olahraga, kondisi emosional yang
berlebihan, obat (seperti misalnya aspirin, dan beta blocker), dan karena zat-zat
c. Patofisiologi
yang sebagian besar bersifat episodik. Obstruksi pada asma sering dapat kembali
seperti semula baik secara spontan atau dengan pengobatan (Donohue et al.,
sebagai respon dari adanya stimulasi baik dari alergen maupun dari iritan. (Kiley
et al., 2007). Ketika saluran nafas terpapar oleh berbagai faktor risiko, aliran
9
udara menjadi terbatas dan menjadi terhambat. Hal itu diakibatkan karena adanya
mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi utama yang
turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara lain adalah
sel mast, limfosit, dan eosinofil. Sedangkan mediator inflamasi utama yang
(eosinofil chemotactic factor), dan beberapa sitokin, yaitu interleukin (IL)-4, IL-5,
dan IL-13 (Ikawati, 2011). Sel-sel yang terlibat dalam inflamasi dari saluran
nafas, diantaranya :
Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen dengan IgE yang
telah melekat pada reseptornya di permukaan sel mast. Ikatan ini memicu
terjadinya degranulasi sel mast. Degranulasi adalah pecahnya sel mast yang
Sel limfosit terdiri dari dua tipe, yaitu limfosit T, dan limfosit B. Limfosit T
terbagi lagi menjadi dua subtipe, yaitu Th1, dan Th2 (T helper 1, dan T
helper 2). Sel limfosit Th2 mampu memproduksi berbagai sitokin yang
berperan dalam reaksi inflamasi, seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan IL-13.
10
Sitokin IL-4 dan IL-13 dapat mengaktivasi sel limfosit B untuk memproduksi
IgE, yang kemudian akan menempel pada sel-sel inflamasi dan memicu
ditunjukkan dalam biopsi pada bronkus dan alveolus pada pasien asma
semakin besar pula tingkat keparah asma yang diderita. Sedangkan jumlah
neutrofil dalam saluran nafas dan juga sputum akan meningkat jika penyakit
asma sudah berada pada tingkat yang parah (FitzGerald et al., 2012a).
Banyak sitokin dan kemokin yang terlibat dalam patofisiologi asma. Dalam
dekade terakhir ini diketahui sitokin memainkan peran penting dalam respon
inflamasi asma. Sitokin IL-4, IL-5,IL-9, IL-13 yang berasal dari Th-2, lebih
reaksi alergi, yang perannya sangat penting dalam patogenesis penyakit alergi dan
inflamasi yang terjadi. IgE menempel pada permukaan sel melalui reseptor
spesifik berafinitas tinggi. Sel mast mempunyai reseptor IgE yang dapat
11
menyebabkan inflamasi saat terpapar oleh faktor risiko. Selain sel mast, basofil,
sel dendritik, dan limfosit juga memiliki reseptor IgE (Kiley et al., 2007).
Reaksi inflamasi akut terdiri atas reaksi asma dini (early asthma
reaction/EAR) dan reaksi asma lambat (late asthma reaction/LAR). Setelah reaksi
asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi
inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan kronik terjadi inflamasi di bronkus
dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit
2009).
perubahan di saluran nafasnya. Edema di saluran nafas dapat terjadi jika penyakit
asma menjadi lebih persisten dan proses inflamasi menjadi lebih progresif (Kiley
et al., 2007). Jumlah sel polos yang terdapat di saluran nafas pada penderita asma
akan meningkat, sebagai akibat dari sel-sel yang mengalami hipertrofi, dan
(FitzGerald et al., 2012a). Perubahan yang permanen dari struktural saluran nafas
berlebihan dari saluran nafas, dan dapat mengurangi respon dari terapi obat yang
Respon terhadap alergi yang terhirup dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu
respon fase cepat dan lambat. Respon asma dengan ciri penyempitan saluran
pernafasan akibat kontraksi otot polos bronkus dapat dilihat dari turunnya nilai
PEF. Respon cepat terjadi grafik puncak hanya beberapa menit setelah antigen
12
terhirup dan grafiknya segera turun. Enam sampai delapan jam kemudian setelah
paparan antigen juga terdapat respon seperti yang terjadi pada fase cepat (Rifa’i,
2011). Obstruksi bronkus dibagi menjadi 3 fase utama, yaitu (Meiyanti, 2000) :
Fase cepat identik dengan respon awal dengan adanya spasme otot polos
bronkus. Reaksi ini berakhir setelah 1-2 jam. Reaksi dapat hilang dengan
Reaksi dapat hilang dengan sendirinya dan diikiti fase lambat menetap. Fase
lambat menetap ditandai oleh spasme bronkus dan akumulasi sel mediator
Pada fase sub-akut, reaksi inflamasi merupakan ciri utamanya, dan terdapat
d. Diagnosis
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan semestinya. Mengi dan atau batuk kronik berulang merupakan
dapat didiagnosis berdasarkan pada gejala dan riwayat medis dari pasien,
1.) Wheezing atau mengi, yaitu suara seperti bersiul dengan nada yang tinggi saat
menarik nafas,
13
2.) Kambuhnya mengi, sesak nafas, dada terasa sesak, dan batuk yang semakin
3.) Gejala yang terjadi dan diperparah saat malam hari dan pada pola musiman,
4.) Gejala yang diperburuk saat penderita melakukan olahraga, adanya paparan
apa dan kapan terjadinya gejala-gejala asma. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan
2009).
paru, dan tes provokasi. Uji faal paru dilakukan untuk menentukan beratnya
sumbatan saluran nafas hingga beratnya serangan asma. Uji provokasi bronkus
radiologis dilakukan untuk mengetahui adanya inflamasi dan edema yang terjadi
Pemeriksaan fungsi atau faal paru dilakukan dengan alat yang bernama
paksa dalam satu detik (FEV1), forced expiratory vital capacity (FVC), dan juga
peak expiratory flow (PEF) (FitzGerald et al., 2012a). Jika nilai variasi PEF lebih
14
dari atau sama dengan 20% antara pagi dan sore hari, dapat dikatakan bahwa
pasien tersebut menderita asma. Hal lain yang mendukung diantaranya adanya
kenaikan PEF lebih dari sama dengan 15% pada pagi dan sore hari, serta adanya
penurunan FEV1 lebih dari 20% setelah pemberian bronkodilator secara inhalasi
pada uji provokasi bronkus (Meiyanti, 2000). Uji alergi juga dapat dilakukan,
seperti dengan tes tusuk kulit atau skin prick test (Kementerian Kesehatan, 2009).
e. Klasifikasi
Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, dan uji faal
paru). Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat
munculnya gejala, nilai FEV1 dan FVC, serta nilai variabilitas PEF. Asma dibagi
menjadi persisten (ringan, sedang, berat) dan intermitten (Kiley et al., 2007).
Classification Diseases 10 (ICD 10), asma memiliki kode J-45. Pada sistem INA-
CBG’s, asma memiliki kode J-4-18 yang dibagi menjadi tiga tingkat keparahan,
yaitu J-4-18-I, J-4-18-II dan J-4-18-III, didasarkan pada ada atau tidak, serta jenis
bronko pneumonia, infeksi saluran nafas bagian atas (ISPA), serta efusi pleural.
f. Tatalaksana Terapi
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen dari asma itu sendiri untuk
normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari atau dengan kata
1.) Penentuan dan pemantauan asma, yang didapatkan dari tes yang objektif,
pemeriksaan fisik, sejarah pasien dan laporan pasien. Ini digunakan untuk
melakukan diagnosis dan menetukan jenis serta keparahan dari asma. Dapat
2.) Edukasi untuk semua yang terlibat dalam upaya pelayanan penyakit asma,
mempengaruhi asma,
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui.
serangan. Jika terjadi serangan biasanya pasien diberikan obat pelega, seperti
meliputi edukasi, obat asma (pengontrol, dan pelega), dan menjaga kebugaran
komponen tersebut. Terapi dimulai berdasarkan pada keparahan asma dan yang
g. Obat-Obat Asma
saluran nafas. Pada saat ini obat asma dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu
1.) Reliever
serangan akut asma. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah
bronkodilator (β2 agonis aksi cepat, antikolinergik, dan metil ksantin), dan
2.) Controller
Adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan asma yang persisten. Dan
obat yang termasuk dalam golongan ini adalah obat antiinflamasi seperti
18
aksi lambat. Obat agonis β2 aksi lambat dan teofilin lepas lambat juga dapat
dan mencegah pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Golongan β2
agonis merupakan stabilisator yang kuat bagi sel mast, tapi golongan obat ini
siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP atau cAMP intrasel, dan
β2 agonis terbagi menjadi obat aksi pendek (short acting), dan aksi panjang
(long acting). Obat-obat aksi pendek bekerja dengan cepat, namun aksinya
bertahan hingga 12 jam, tetapi onsetnya lambat, sehingga tidak tepat untuk
2.) Kortikosteriod
mengurangi jumlah eosinofil yang berada dalam sirkulasi, dan sel mast yang
secara cepat ke sel target di saluran nafas, dan berikatan dengan reseptor
Obat golongan metil ksantin yang utama adalah teofilin, teobromin, dan
kafein, tetapi yang paling banyak digunakan dalam terapi asma adalah teofilin
memastikan kadarnya tidak berada pada kadar toksik di tubuh. Jika pasien
mengalami tanda dan gejala keracunan, seperti misalnya sakit kepala berat,
4.) Antikolinergik
asetilkolin yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus dan sekresi
mukus. Asetilkolin juga memicu pelepasan dari sitokin dan kemokin dari sel.
fungsi paru-paru, dan mengurangi gejala seperti batuk, dan eksaserbasi, serta
inflamasi di saluran nafas. Obat ini dapat digunakan pada pasien dewasa
dengan asma persisten ringan, dan beberapa pasien dengan asma akibat dari
6.) Antihistamin
bulan pada sebagian penderita asma dengan dasar alergi dapat mengurangi
berkembang sesuai amanat pada perubahan UUD 1945 pasal 34 ayat 2, yaitu
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah
seluruh rakyatnya. Melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial
pada hakekatnya bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi
2010).
22
belanja bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan tidak
mampu serta peserta lainnya yang iurannya dibayar oleh Pemerintah. Program ini
(TNP2K) yang berlaku setelah peserta menerima kartu Jamkesmas yang baru
yang dikirimkan sebagai uang muka kepada fasilitas kesehatan dapat segera
23
biaya kesehatan dan mutu pelayanan sulit terkendali. Untuk mengatasinya, dalam
wajib bagi seluruh penduduk termasuk dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
oleh BPJS Kesehatan mulai Januari 2014 diharapkan dapat lebih memenuhi
2014).
3. INA-CBG’s
Pada tahun 2010 diperkenalkan paket INA-DRG’s versi 1.6 yang lebih
pada sebanyak 747 RS Pemerintah dan 515 RS Swasta. Tarif yang berlaku tahun
2013 merupakan tarif baru yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2013, yaitu tarif
pelayanan kesehatan di ruang perawatan kelas III rumah sakit yang berlaku untuk
rumah sakit umum dan rumah sakit khusus milik pemerintah, dan swasta. Hal ini
pada dasarnya mempunyai definisi yang sama dengan DRG yang juga termasuk
dalam sistem casemix. Indonesia Case Based Group (INA-CBG’s) adalah CBG
yang dikaitkan dengan tarif yang dihitung berdasarkan data costing di Indonesia.
akhir pasien saat dirawat inap di rumah sakit (Pratiwi, 2013), yang dipengaruhi
dan fasilitas kesehatan dasar swasta serta fasilitas kesehatan rujukan setempat
digunakan adalah tipe 3.1, dan mulai tahun 2014 yang digunakan adalah tipe 4.0.
sebenarnya,
c) Dokter, atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas
klinisi,
2013).
Keseluruhan berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur pada periode waktu
4. Analisis Biaya
Biaya dihitung untuk memperkirakan sumber daya (atau input) dalam suatu
produksi barang atau jasa. Sumber daya yang terkait dengan suatu produk atau
jasa tidak dapat digunakan untuk produk atau jasa yang lain (opportunities)
biaya non-medik langsung, biaya tidak langsung, dan biaya tidak teraba. Biaya
medik langsung adalah biaya yang paling sering diukur, merupakan input yang
digunakan secara langsung untuk memberikan terapi. Misalnya, biaya obat, tes
26
diagnostik, kunjungan dokter, kunjungan ke unit gawat darurat, atau biaya rawat
inap. Biaya non-medik langsung adalah biaya untuk pasien atau keluarga yang
terkait langsung dengan perawatan pasien, tetapi tidak langsung terkait dengan
terapi. Salah satu contohnya adalah biaya menuju atau dari praktek dokter, klinik,
atau rumah sakit. Biaya tidak langsung adalah biaya yang disebabkan hilangnya
produktivitas karena penyakit atau kematian yang dialami oleh pasien. Dan yang
termasuk dalam biaya tidak teraba antara lain biaya untuk nyeri, sakit, cemas, atau
analisis biaya adalah suatu proses menata kembali data atau informasi yang ada
kesehatan. Dapat dikatakan analisis biaya adalah suatu proses mengumpulkan dan
menentukan pengaruh ekonomi dari alternatif terapi obat atau intervensi kesehatan
saat ini adalah untuk membantu pengambilan keputusan klinis dan pembuatan
F. Landasan Teori
disebabkan karena beberapa faktor (Gupchup et al., 2001), termasuk faktor risiko
Taher (2012), faktor risiko seperti, jenis kelamin, umur, komorbid, serta lama
tinggal atau Length of Stay terbukti dapat mempengaruhi biaya riil pengobatan
dari pasien asma. Selain itu, hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Heriza
(2013) menunjukkan jenis kelamin, umur dan tingkat perawatan dari pasien juga
oleh Afrianti (2012) di RSI Siti Khadijah Palembang, didapatkan hasil biaya riil
pasien ternyata 62,4% lebih besar daripada paket tarif INA-CBG’s. Penelitian lain
oleh Sari dan Putra (2013), juga menunjukkan adanya perbedaan yang lebih besar
Yogyakarta.
28
G. Kerangka Konsep
Pasien asma
- Jenis kelamin
- Umur
- Komorbid
- Kelas perawatan Komponen biaya:
- LOS - Obat dan barang medis
- Penunjang medis
- Kamar opname Biaya paket tarif INA-
- Visite dokter CBG’s
- Konsultasi dokter
- Asuhan keperawatan
- Tindakan infus
- Periksa dokter IGD
- Jasa rumah sakit
- Administrasi
Biaya riil
Gambar 1. Skema Kerangka Konsep Penelitian
H. Hipotesis
1. Jenis kelamin, umur, komorbid, kelas perawatan dan LOS berpengaruh pada
biaya pengobatan pasien asma rawat inap di RSU Bina Kasih Ambarawa
2. Terdapat ketidaksesuaian antara biaya riil dan paket tarif INA-CBG’s pada
pasien asma rawat inap peserta Jamkesmas di RSU Bina Kasih Ambarawa