Anda di halaman 1dari 8

ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.

2(3): Oktober 2016 - Januari 2017

ORIGINAL STUDY GAMBARAN NEUROPATI PERIFER DI


How to cite:
Rosyida Khana, Safitri Niken D.
SEMARANG:
gambaran neuropati perifer di
semarang: studi cross
STUDI CROSS-SECTIONAL
sectional. Jurnal luka
Indonesia. 2016, 2(3):137-143

Conflict of interest:
Nothing Khana Rosyida1), Niken Safitri D.K.2)

1
Funding resources: Mahasiswa Departemen Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Nothing 2
Staf Pengajar bagian Keperawatan Medikal Bedah, Jurusan Keperawatan, Fakultas
Kedokteran, Universitas Diponegoro.
Corresponding authors:
khana.rosyida@gmail.com

Note: ABSTRACT
Latar Belakang: Neuropati perifer merupakan salah satu komplikasi
mikrovaskuler dari Diabetes Mellitus (DM) yang terjadi pada bagian perifer
dan menimbulkan kerusakan fungsi saraf. Kerusakan fungsi saraf tersebut
dapat mengenai saraf sensorik, motorik, dan otonom.

Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran neuropati


perifer di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Semarang.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif dengan


pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan yaitu total
population sampling. Pengambilan data dilakukan dengan lembar
pemeriksaan neuropati perifer yang merupakan modifikasi dari Michigan
Neuropathy Screening Instrument (MNSI) dan Michigan Diabetic
Neuropathy Score (MDNS) terdiri atas 38 item. Analisis data yang digunakan
yaitu analisis univariat.

Hasil: Sebanyak 113 responden berpartisipasi dalam penelitian ini.


Mayoritas responden berusia dewasa tengah (73.5%), sebagian besar
perempuan (61.9%), telah menderita DM >5 tahun (50.4%), dan memiliki
kadar GDS ≥200 mg/dL (52.2%). Sebagian kecil responden memiliki riwayat
amputasi dan riwayat Diabetic Foot Ulcer (DFU) (3.5% dan 5.3%). Mayoritas
kerusakan fungsi saraf adalah kerusakan otonom baik kaki kanan maupun
kaki kiri (89.9%;85%). Lebih banyak responden yang memiliki neuropati
ringan (55.8%) daripada neuropati sedang ataupun berat (28.3%;9.7%).

Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar


responden mengalami neuropati perifer. Oleh karena itu, diperlukan
pemeriksaan dini untuk mencegah neuropati yang lebih berat

Kata kunci: Diabetes Melitus, Neuropati Perifer

137
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(3): Oktober 2016 - Januari 2017

LATAR
BELAKANG N europati perifer merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular pada
persarafan yang disebabkan kenaikan kadar gula darah secara
persisten. Responden yang mengalami neuropati akan mengalami
kerusakan fungsi saraf terutama bagian perifer. Kerusakan tersebut dapat
menyerang fungsi saraf baik otonom, sensorik, dan motorik .
Kerusakan fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit kaki kering dan
pecah-pecah sebagai akibat dari gangguan hidrasi kulit. Selain itu, juga
mengakibatkan terbentuknya callus akibat atrofi kulit. Kerusakan saraf sensorik
menyebabkan perubahan sensitifitas kaki, sensasi vibrasi, dan sensasi nyeri.
Sedangkan kerusakan fungsi saraf motorik menyebabkan deformitas,
penurunan kekuatan otot, dan penurunan reflek fisiologis .
Menurut Pusat Data dan Informasi Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia
(PERSI) tahun 2011, angka kejadian neuropati pada pasien DM lebih dari 50%.
Dampak lanjut yang paling sering muncul akibat neuropati adalah terjadinya
Diabetic Foot Ulcer (DFU) . Upaya pencegahan neuropati perifer perlu dilakukan
untuk mencegah berkembangnya neuropati yang dapat berdampak pada
amputasi dan kematian. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan
deteksi dini terhadap adanya neuropati perifer. Oleh karena itu, penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran neuropati perifer pada responden di
wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Semarang.

METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif non-eksperimental.


Populasi dalam penelitian ini adalah responden di wilayah kerja Puskesmas
Kedungmundu Semarang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
total population sampling. Sampel penelitian berjumlah 113 responden yang
diambil selama bulan Juni sampai Juli 2016. Penelitian ini menggunakan lembar
pemeriksaan neuropati perifer dengan 38 item yang merupakan modifikasi dari
Michigan Neuropathy Screening Instrument (MNSI) dan Michigan Diabetic
Neuropathy Score (MDNS) yang telah diterjemahkan kebahasa Indonesia.
Analisis univariat menjelaskan karateristik demografi responden, jenis
kerusakan fungsi saraf (otonom, sensorik, dan motorik), serta tingkat neuropati
perifer. Dalam hal ini, tingkat neuropati perifer dikategorikan menjadi tidak ada
neuropati, neuropati ringan, neuropati sedang, dan neuropati berat. Analisis
data menggunakan statistik deskriptif dengan mengelompokkan data
berdasarkan variabel yang diteliti. Penyajian data ditampilkan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi persentase.
Standar pemeriksaan yang dilakukan pada penelitian ini mengandung
dua unsur pengkajian yaitu subjektif dan objektif. Pengkajian subjektif
dilakukan untuk mengetahui identitas dan riwayat kesehatan responden.
Sedangkan pengkajian objektif yang dilakukan berupa pemeriksaan fungsi
neurologis yang meliputi fungsi saraf otonom, sensorik, dan motorik yang
dilakukan baik melalui inspeksi maupun pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fungsi saraf otonom dilakukan dengan melakukan inspeksi
kaki untuk melihat gejala yang muncul (kulit kering, kaki pecah-pecah, dan
callus). Pemeriksaan fungsi saraf sensorik dilakukan untuk menilai sensitifitas
kaki, sensasi vibrasi, dan sensasi nyeri. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan Semmes-Weinstein monofilament 10 g, garpu tala 128 Hz, dan
pin prick. Pemeriksaan Semmes-Weinstein monofilament 10 g dilakukan

138
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(3): Oktober 2016 - Januari 2017

dengan cara menyentuhkan monofilament pada 10 titik lokasi khaki kiri dan
kaki kanan dengan metode on - of screening test, untuk pemeriksaan vibrasi
menggunakan garpu tala 128 Hz . Sedangkan untuk pemeriksaan fungsi saraf
motorik dilakukan dengan melihat deformitas, kekuatan otot, dan refleks
fisiologis dengan menggunakan palu refleks. Pemeriksaan pin prick dilakukan
pada dorsum ibu jari kaki pertama. Hasil yang diperoleh dari masing-masing
kategori pemeriksaan selanjutnya diakumulasikan untuk memperoleh skor
akhir untuk menentukan tingkat neuropati perifer.
Berdasarkan pengkajian objektif, dilakukan pengkategorian untuk
menentukan tingkat neuropati perifer. Tingkatan tersebut terdiri atas tidak ada
neuropati (skor 0), neuropati ringan (skor 1-11), neuropati sedang (skor 12-25),
dan neuropati berat (skor 26-42) .
Persetujuan dan etika penelitian diperoleh dari Komite Etik Penelitian
Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Selain itu,
informed consent juga didapatkan langsung dari responden setelah
mendapatkan penjelasan mengenai penelitian, prosedur yang akan dilakukan,
serta konsekuensi yang diperoleh. Responden juga bebas untuk menentukan
pilihan terkait partisipasinya dalam penelitian.

HASIL Sebanyak 113 responden berpartisipasi dalam penelitian ini. Mayoritas


responden berusia dewasa tengah (73.5%), sebagian besar berjenis kelamin
perempuan (61.9%), telah menderita DM >5 tahun (50.4%), dan memiliki kadar
GDS ≥200 mg/dL (52.2%). Pada tabel 1 juga dipaparkan bahwa beberapa
responden memiliki riwayat amputasi (3.5%) dan riwayat DFU (5.3%).
Hasil penelitian juga menunjukkan pada penilaian kerusakan otonom
pada responden baik kaki kanan maupun kaki kiri lebih banyak mengalami
kerusakan otonom multipel (51.3%; 49.6%) daripada responden dengan
penilaian normal maupun dengan kerusakan otonom tunggal. Untuk penilaian
kerusakan sensorik dibandingkan dengan kaki kiri, baik penurunan sensasi
maupun tidak ada sensasi pada kaki kanan lebih banyak ditemukan (40.7%;
20.4%). Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa lebih banyak ditemukan
penilaian yang normal pada kaki kanan dibandingkan dengan kaki kiri.
Sedangkan untuk penilaian kerusakan motorik baik pada kaki kanan maupun
kaki kiri sama-sama menunjukkan penurunan kekuatan otot (79.6%; 71.7%)
daripada penilaian yang normal maupun tidak ada kekuatan otot.
Penelitian ini menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang
mengalami neuropati ringan (55.8%) daripada responden dengan neuropati
sedang, berat, dan tanpa neuropati (28.3%; 9.7%; 6.2%). Jika dilihat
berdasarkan umur, mayoritas kejadian neuropati perifer dialami oleh
responden berusia 45-65 tahun (73.5%). Pada umur tersebut, mayoritas
responden mengalami neuropati sedang (87.55%), sedangkan pada neuropati
berat lebih banyak dialami oleh responden pada kategori dewasa akhir (< 65
tahun) yaitu sebanyak 8 responden (72.7%).
Berdasarkan penelitian ini, juga ditemukan bahwa kejadian neuropati
ringan lebih banyak ditemukan pada perempuan yaitu sebanyak 47 responden
(67.1%). Sedangkan untuk kejadian neuropati sedang sampai berat lebih
banyak dialami oleh laki-laki, masing-masing 20 responden (46.5%) dan 6
responden (14.0%).

139
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(3): Oktober 2016 - Januari 2017

Tabel 1.
Distribusi Frekuensi
Karakteris k Demografi
Responden Puskesmas
Kedungmundu Semarang
Bulan Juni-Juli 2016
(n=113)

Tabel 2.
Distribusi Frekuensi
Hasil Penilaian Kerusaka
Fungsi Saraf Puskesmas
Kedungmundu
Semarang Bulan Juni-
Juli 2016 (n=113)

Tabel 3.
Distribusi Frekuensi
Tingkat Neuropati
Perifer pada Responden
Puskesmas
Kedungmundu
Semarang Bulan Juni-
Juli 2016 (n=113)

Tabel 4.
Distribusi Frekuensi
Tingkat Neuropati
Perifer Berdasarkan Usia
Responden (n=113)

140
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(3): Oktober 2016 - Januari 2017

Berdasarkan lama responden menderita DM, penelitian menggambarkan


bahwa baik pada tingkat neuropati ringan, sedang, maupun berat, lebih banyak
dialami oleh responden yang sudah menderita DM >5 tahun (46%; 62.5%; dan
72.7%). Sedangkan jika dilihat dari kadar gula darah sewaktu (GDS), lebih
banyak responden yang mengalami neuropati sedang dan berat dengan kadar
GDS ≥ 200 mg/dL. Namun demikian, juga ditemukan lebih banyak responden
dengan neuropati ringan pada kadar GDS 90 – 199 mg/dL.

PEMBAHASAN Kejadian neuropati ringan lebih banyak ditemukan responden dengan


neuropati sedang maupun berat. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang
dilakukan di Brazil di mana neuropati sedang lebih banyak ditemukan.
Pemeriksaan yang dilakukan menunjukkan mayoritas responden mengalami
gangguan pada pemeriksaan fungsi saraf otonom seperti kulit kering, kaki
pecah-pecah, dan kapalan (callus) atau muncul ketiganya tetapi pada
pemeriksaan fungsi saraf sensorik dan motorik menunjukkan penilaian yang
baik. Selain itu, hasil pemeriksaan juga sering menunjukkan adanya gabungan
dari dua gangguan yang muncul. Misalnya, ditemukan gangguan pada
pemeriksaan fungsi saraf otonom disertai dengan munculnya salah satu
gangguan pada fungsi saraf sensorik seperti gangguan sensitifitas kaki atau juga
hanya ditemukan perubahan deformitas berupa hammer toes dimana
gangguan lain tidak muncul. Semua hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan
skor yang diperoleh pada rentang 1-12 sehingga banyak yang mengalami
neuropati ringan.
Jika tingkat neuropati perifer dihubungkan dengan usia responden, maka
ditemukan lebih banyak yang mengalami neuropati ringan dan sedang pada
responden berusia 45-65 tahun. Namun demikian, jumlah responden yang
mengalami neuropati ringan lebih banyak. Secara fisiologis, peningkatan usia
akan merangsang proses degenerasi dan menyebabkan kerusakan sel saraf baik
serabut saraf besar maupun kecil dan menimbulkan perubahan pembuluh
pada jaringan endotel. Perubahan tersebut menyebabkan kekakuan pembuluh
darah sehingga transportasi oksigen dan nutrisi ke jaringan menurun
mengakibatkan terjadinya iskemia dan dalam waktu yang lama akan terjadi
neuropati.
Responden perempuan berisiko lebih tinggi mengalami neuropati
perifer. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa responden perempuan
memiliki kecenderungan mengalami neuropati . Hal ini sesuai dengan teori
yang menyatakan bahwa neuropati pada responden perempuan dihubungkan
dengan adanya hormon estrogen yang akan mengganggu penyerapan iodium
pada usus sehingga proses pembentukan serabut mielin saraf tidak terjadi .
Persentase responden yang mengalami neuropati ringan ditemukan
pada responden yang menderita DM dalam rentang waktu 1-5 tahun dan >5
tahun.Hal ini sesuai dengan penelitian Hutapea yang menemukan kejadian
neuropati paling banyak dialami responden yang menderita DM dalam rentang
waktu 1-10 tahun . Berbeda dengan kejadian neuropati sedang dan berat yang
lebih banyak ditemukan pada responden yang menderita DM >5 tahun. Hal ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menemukan kejadian neuropati
dapat ditemukan pada responden dengan rata-rata lama menderita DM selama
8.1 tahun. Tingkat keparahan neuropati perifer dapat meningkat sejalan
dengan lamanya menderita DM .

141
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(3): Oktober 2016 - Januari 2017

Kejadian neuropati ringan dapat ditemukan pada responden yang


mempunyai kadar GDS direntang 90-199 mg/dL. Sedangkan neuropati sedang
dan berat lebih banyak ditemukan pada responden yang mempunyai kadar GDS
≥200 mg/dL. Semakin tinggi kadar GDS yang dialami, maka risiko mengalami
neuropati semakin besar. Keadaan hiperglikemia dengan kadar GDS di atas 200
mg/dL lebih berisiko mengalami neuropati. Beberapa responden juga pernah
mengalami riwayat DFU. Kejadian DFU dapat terjadi karena responden
mengalami trauma akibat dari neuropati yang dialami.

Pada pemeriksaaan kerusakan otonom secara rinci menunjukkan bahwa


sebagian besar responden mengalami kaki pecah-pecah di kedua kaki. Hal
tersebut mendukung penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa kaki
pecah-pecah sebagai kerusakan otonom yang sering terjadi . Keadaan kaki
pecah-pecah ini disebabkan karena bagian kaki tersebut sering menjadi
tumpuan tubuh. Namun demikian, pada penelitian Hutapea ditemukan
kerusakan otonom yang sering terjadi adalah kulit kering .
Pada pemeriksaan kerusakan sensorik, secara rinci mayoritas responden
masih mempunyai sensitifitas yang baik di kedua dorsum kaki. Responden akan
mengalami gangguan sensitifitas dikarenakan adanya kerusakan yang
mengenai serabut saraf besar. Serabut saraf tersebut mempersarafi bagian
distal kaki dan mengakibatkan kaki kehilangan sensasi ringan maupun
sentuhan .
Pemeriksaan lain untuk menilai kerusakan sensorik adalah menilai
sensasi vibrasi. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan dengan
menggunakan garpu tala 128 Hz lebih banyak ditemukan responden yang
masih merespon sensasi vibrasi di penonjolan interpalang dorsum ibu jari kaki
kiri. Sensasi vibrasi yang dirasakan oleh responden pada penonjolan
interpalang dorsum ibu jari kanan dan kiri idealnya seimbang . Namun dalam
penelitian ini, dengan pemeriksaan sensasi vibrasi di penonjolan interpalang
kaki kiri, lebih banyak responden merasakan vibrasi yang diberikan. Kerusakan
untuk merasakan vibrasi bisa disebabkan karena bagian distal kaki tidak
mendapatkan cukup nutrisi akibat kerusakan saraf besar di daerah kaki .
Pemeriksaan sensasi nyeri dilakukan dengan cara pin princk. Berdasarkan
pemeriksaan yang dilakukan melalui pin prick ditemukan mayoritas responden
masih merespon nyeri di dorsum manus ibu jari kedua kaki. Kerusakan untuk
merasakan sensasi nyeri dapat timbul akibat kerusakan serabut kecil.
Pada pemeriksaan kerusakan motorik, didapatkan deformitas yang
sering muncul adalah hammer toes. Berbeda dengan penelitian sebelumnya
yang menemukan claw toes sebagai bentuk deformitas yang sering muncul.
Perbedaan bentuk deformitas yang terjadi bisa disebabkan karena otot-otot
instrinsik yang mengalami atropi berbeda. Perbedaan ini bisa terjadi karena
gaya bersepatu maupun gaya berjalan dari responden .
Kerusakan lain yang timbul dari saraf motorik akan mempengaruhi
kekuatan otot. Pada pemeriksaan kekuatan otot, ditemukan gangguan berat
yang sering terjadi adalah abduksi kaki kanan. Gangguan tersebut terjadi
karena adanya kekakuan otot yang mengenai ekstremitas bagian distal
terutama akibat kerusakan nervus peroneus commmunis sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan kekuatan pada jari kaki . Selain mengalami gangguan
kekuatan otot, responden juga dapat mengalami gangguan reflek fisiologis.

142
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(3): Oktober 2016 - Januari 2017

Gangguan refleks fisiologis dinilai dengan menggunakan palu refleks yang


dinilai di beberapa tendon. Gangguan refleks yang sering kali muncul adalah
reflek achilles baik kaki kanan maupun kaki kiri. Hasil ini mendukung penelitian
sebelumnya yang mengatakan 18.5% responden mengalami gangguan refleks
Achilles . Hal tersebut dapat terjadi karena adanya kerusakan serabut kecil yang
menyerang beberapa tendon .
Dari tiga kategori kerusakan fungsi saraf, ditemukan kerusakan yang
paling banyak terjadi adalah kerusakan otonom baik kaki kanan maupun kaki
kiri, daripada kerusakan sensorik dan motorik. Hasil penelitian sebelumnya
juga menemukan kejadian neuropati otonom lebih banyak terjadi daripada
neuropati sensorik dan motorik. Hal ini disebabkan karena proses kerusakan
saraf pada perifer lebih dahulu menyerang kerusakan fungsi saraf otonom.
Kerusakan fungsi saraf otonom dapat terjadi karena peningkatan stres oksidatif
dimana akan terjadi hipoperfusi jaringan pada bagian perifer. Gejala nyata yang
terlihat dan dapat dirasakan.

KETERBATASAN Desain penelitian ini adalah cross sectional sehingga tidak dapat
menggambarkan perjalanan atau pun prognosis dari neuropati perifer yang
PENELITIAN terjadi.

KESIMPULAN Hasil penelitian ini menunjukkan lebih banyak responden yang


mengalami neuropati ringan. Pemeriksaan neuropati perifer merupakan
DAN SARAN deteksi dini untuk menilai fungsi neurologis yang meliputi fungsi saraf otonom,
sensorik, dan motorik. Alat yang digunakan dalam pemeriksaan neuropati
perifer dinilai efektif dan efisien karena merupakan gold standard untuk
pemeriksaan neuropati. Saran untuk petugas kesehatan maupun responden
adalah perlunya melakukan skrining kaki untuk mencegah perkembangan dari
neuropati perifer.

UCAPAN Terima kasih disampaikan kepada para expert yaitu SY, HS, dan I untuk
validasi instrument penelitian, pihak puskesmas Kedungmundu, dan
TERIMA KASIH responden di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu sebagai responden
penelitian. Selain itu, terimakasih juga disampaikan kepada F atas dukungannya
dalam bentuk monofilament 10 g.

DAFTAR Aaberg, M. L., Burch, D. M., Hud, Z. R., & Zacharias, M. P. (2008). Gender
differences in the onset of diabetic neuropathy. Journal of Diabetes and
PUSTAKA Its Complications, 22(2), 83–87.
Ametov, A., Barnov, A., Dyck, P. J., Herman, R., Kozlova, N., Litchy, W. J., …
Nehrdich, D. (2003). The Sensory Symptoms of Diabetic. Diabetes Care,
26(3), 770–776.
Bansal, D., Gudala, K., Muthyala, H., Esam, H. P., Nayakallu, R., & Bhansali, A.
(2014). Prevalence and risk factors of development of peripheral diabetic
neuropathy in type 2 diabetes mellitus in a tertiary care setting. Journal
of Diabetes Investigation, 5(6), 714–721.
Boulton, A. J. M. (2010). The diabetic foot. Medicine, 38(12), 644–648.
Chin, Y.F., Liang, J., Wang, W.S., Hsu, B. R.S., & Huang, T.-T. (2014). The role of
foot self-care behavior on developing foot ulcers in diabetic patients with

143
ISSN: 2442-2665 Jurnal Luka Indonesia Vol.2(3): Oktober 2016 - Januari 2017

peripheral neuropathy: A prospective study. International Journal of


Nursing Studies, 51, 1568–1574.
Deli, G., Bosnyak, E., Pusch, G., Komoly, S., & Feher, G. (2013). Diabetic
Neuropathies: Diagnosis and Management. Neuroendocrinology,
98(4): 267–280.
Hotta, N., Akanuma, Y., Kawamori, R., Matsuoka, K., Oka, Y., Shichiri, M., …
Shigeta, Y. (2006). Long-Term Clinical Effects of Epalrestat, an Aldose
Reductase Inhibitor, on Diabetic Peripheral Neuropathy. Diabetes Care,
29(7), 1538 LP-1544.
Hutapea, F.S., Kembuan, M.A.H. ., & PS, J.M. (2016). Gambaran klinis
neuropati pada pasien diabetes melitus di Poliklinik. Journal E-Clinic
(eCl), 4(1). Retrieved from ejournal.unsrat.ac.id/index.php/
eclinic/article/viewFile/12115/11696
Martin, C. L., Waberski, B. H., Pop-Busui, R., Cleary, P. A., Catton, S., Albers, J.
W., … Herman, W. H. (2010). Vibration Perception Threshold as a
Measure of Distal Symmetrical Peripheral. Diabetes Care, 33(12),
2635–2641.
Mete, T., Aydin, Y., Saka, M., Cinar Yavuz, H., Bilen, S., Yalcin, Y., … Guler, S.
(2013). Comparison of efficiencies of michigan neuropathy screening
instrument, neurothesiometer, and electromyography for diagnosis of
diabetic neuropathy. International Journal of Endocrinology.
Moran, R.T., Harris, P. R., & Moran, S. V. (2011). 10 - Doing Business with Middle
Easterners: Egypt, Saudi Arabia, and Regional Countries.
Moran, R.T., Harris, P. R., & Moran, S. V. Managing Cultural Differences, Eighth
E. Moran (Eds.), (pp. 253–291). Oxford: Butterworth-Heinemann.
Olaleye, D., Perkins, B. A., & Bril, V. (2001). Evaluation of three screening tests
and a risk assessment model for diagnosing peripheral neuropathy in
the diabetes clinic. Diabetes Research and Clinical Practice,
54(2):115–128.
Van Deursen, R. W. M., Sanchez, M. M., Derr, J. A., Becker, M. B., Ulbrecht, J. S.,
& Cavanagh, P. R. (2001). Vibration perception threshold testing in
patients with diabetic neuropathy: ceiling effects and reliability.
Diabetic Medicine, 18(6):469–475.
Van Schie, C.H.M., Vermigli, C., Carrington, A. L., & Boulton, A. (2004). Muscle
Weakness and Foot Deformities in Diabetes. Diabetes Care, 27(7):1668-
1673.
Vincent, A. M., Russell, J. W., Low, P., & Feldman, E. L. (2004). Oxidative Stress
in the Pathogenesis of Diabetic Neuropathy. Endocrine Reviews,
25(4):612–628.

144

Anda mungkin juga menyukai