Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mempertahankan pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru dan jaringan.


Sistem pernapasan membantu mengatur keseimbangan asam-basa tubuh. Tersusun atas
zona penghantar dan zona pernapasan. (Lyndon Saputra, 2014:40)

Bernapas melibatkan inspirasi (proses aktif) dan ekspirasi (proses relatif pasif). Kedua
aksi tersebut bergantung pada fungsi otot pernapasan dan efek perbedaan tekanan pada
paru-paru. Selama pernapasan normal, otot interkostalis eksternal membantu diafragma,
otot pernapasan utama. Diafragma menurun untuk memperpanjang rongga dada,
sedangkan otot interkostalis eksternal berkontraksi untuk memperluas diameter
anterioposterior, aksi yang terkoordinasi ini menyebabkan penurunan tekanan interpleura,
dan terjadilah inspirasi. Naiknya diafrgama dan relaksasinya otot interkostalis
menyebabkan kenaikan tekanan interpleura dan terjadila ekspirasi. (Lyndon Saputra,
2014:47)

Gagal napas merupakan diagnosis klinis yang luas dan tidak spesifik, menandakan
sistem pernapasan tidak mampu mensuplai kebutuhan oksigen untuk menjaga
metabolisme atau tidak dapat mengeluarkan jumlah karbon dioksida yang cukup. Gagal
napas akut didefiniskan sebagai tekanan parsial oksigen arteri kurang dari 50 mmHg pada
ruangan atau tekanan parsial karbon dioksida kurang dari 50 mmHg dengan pH kurang
dari 7,25 dengan gejala klinis yang sesuai. (Joyce&Jane, 2009:359)

Karbon dioksida adalah stimulan pernafasan, oleh karena itu tubuh merespon tingkat
CO2 yang berlebihan dengan meningkatkan tingkat dan kedalaman reposisi. Namun, jika
pusat pernapasan di otak terkena tingkat CO2 lebih tinggi dari biasanya selama jangka
waktu lama, mereka berhenti bereaksi dan tidak menyesuaikan respirasinya sebagai
respons terhadap tingkat karbon dioksida yang sedikit meningkat. lembur akumulasi CO2
dapat menyebabkan tingkat kesadaran yang menurun hingga dan termasuk koma.
(Stromberg, 2013:269)

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi fisiologi dari sistem pernapasan ?
2. Apakah yang dimaksud dengan gagal nafas ?
3. Bagaimana etiologi dari gagal napas ?
4. Bagaimana patofisiologi dari gagal napas ?
5. Sebutkan WOC dari gagal napas ?
6. Bagaimana manifestasi klinis dari gagal napas ?
7. Bagaimana komplikasi dari gagal napas ?
8. Bagaimana pemeriksaan fisik dari gagal napas ?
9. Bagaimana penatalaksanaan dari gagal napas ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan dari gagal napas ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi dari sistem pernapasan
2. Untuk mengetahui definisi gagal nafas
3. Untuk mengetahui etiologi dari gagal napas
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari gagal napas
5. Untuk mengetahui WOC dari gagal napas
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari gagal napas
7. Untuk mengetahui komplikasi dari gagal napas
8. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dari gagal napas
9. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari gagal napas
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari gagal napas

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan


2.1.1 Saluran Pernapasan Atas
Saluran pernapasan atas terdiri dari hidung, mulut, nasofaring, orofaring,
laringofaring, dan laring. Menyaring, menghangatkan, dan melembabkan udara
inspirasi. Bertanggung jawab untuk mendeteksi rasa dan bau serta mengunyah dan
menelan makanan. (Lyndon Saputra, 2014:41)
Fungsi struktur sistem pernapasan bagian atas sebagai berikut : (Stromberg,
2013:252)
a. Udara melewati hidung, faring, laring, trakea lalu ke paru-paru
b. Rongga hidung dilapisi dengan selaput lendir, yang menghangatkan dan
moinstens udara saat melewati
c. Selaput lendir mengeluarkan lendir yang menjebak partikel debu dan bakteri
d. Silia (proyeksi kecil, seperti rambut) mendorong atau mengusirnya (batuk
dan muntah)
e. Sinus paranasal (maksilaris, frontal, sphenoid, dan ethmoid) adalah rongga
penuh udara yang dilapisi membran mukosa dan terletak di antara tulang
wajah di sekitar rongga hidung.
f. Sinus mengurangi berat tengkorak, menghasilkan lendir, dan mempengaruhi
kualitas suara
g. Faring yang terdiri dari nasofaring pada faring, dan laryngopharynx
panjangnya sekitar 5 inci dan memanjang dari mulut ke mulut sampai ke
esofagus
h. Amandel, yang merupakan bagian dari sistem limfatik, terletak di orofaring,
adenoid terletak di nasofaring. Jika mereka menjadi meradang dan
membesar, bisa mengganggu pernapasan. epiglotis dari hined "door" di
pintu masuk larynx.
i. Laring berada di antara faring dan trakea. pita suara berada di laring
j. Trakea terdiri dari tulang rawan, otot polos dan jaringan ikat dan berbaris
dengan lendir

3
Lubang hidung dan jalur hidung dilalui dengan udara memasuki tubuh melalui
lubang hidung (nares), dimana rambut-rambut kecil yang disebut vibrissae menyaring
keluar debu dan partikel asing yang besar. Udara kemudian melewati dua saluran
hidung, yang dipisahkan oleh septum. Tulang rawan membentuk dinding anterior
saluran hidung. Struktur tulang (konka atau turbin) membentuk dinding posterior.
Konka menghangatkan dan melembabkan udara sebelum melewati nasofaring. Lapisan
mukus mereka juga merangkap partikel asing yang lebih halus, yang dibawa silia ke
faring untuk ditelan. (Lyndon Saputra, 2014:41)
Sinus dan nasofaring terdiri dari empat pasang sinus paranasal bermuara ke
hidung bagian dalam. Sinus menyebabkan resonansi perkataan dan menghasilkan
mukus. (Lyndon Saputra, 2014:41).

Orofaring merupakan dinding posterior mulut, menghubungkan nasofaring dan


laringosfaring. Laringosfaring memanjang ke esofagus dan laring. Laring mengandung
pita suara dan menghubungkan faring dengan trakea. Laring berperan sebagai titik
transisi antara saluran napas atas dan bawah. Otot dan tulang rawan membentuk dinding
laring, termasuk tulang rawan tiroid yang besar dan berbentuk perisai yang terletak tepat
di bawah garis rahang. Epiglotis merupakan suatu jaringan penutup yang menutup

4
bagian atas laring ketika pasien menelan,
melindungi pasien dari aspirasi makanan atau cairan
ke dalam saluran napas bawah. (Lyndon Saputra,
2014:42)

2.1.2 Saluran Pernapasan Bawah


Saluran pernapasan bawah terdiri dari trakea,
bronkus, dan paru-paru. Secara fungsional dibagi
menjadi jalan napas penghantar dan asinus (tempat
terjadi pertukaran gas). Trakea memanjang dari
tulang rawan krikoid sampai karina atau disebut bifurkasio trakea. Cincin kartilago
berbentuk C melindungi trakea agar tidak kolaps. (Lyndon Saputra, 2014:43)
Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih lebar dan lebih vertikal daripada yang
kiri, memasok udara ke paru-paru kanan. Bronkus utama kiri menghantarkan udara ke
paru-paru kiri. Kemudian bronkus utama dibagi menjadi bronkus lobaris (sekunder).
Setiap bronkus lobaris bercabang menjadi bronkus segmental (tersier) hingga
bercabang lagi menjadi bronkiolus. Setiap bronkiolus meliputi bronkiolus terminalis
dan asinus unit pernapasan utama untuk pertukaran gas. Di dalam asinus, bronkiolus
terminalis bercabang menjadi bronkiolus respiratorius yang lebih kecil, kemudian
menuju ke alveolus secara langsung di sepanjang dinding. (Lyndon Saputra, 2014:44)
Alveolus membentuk kumpulan yang
dibungkus kapiler yang disebut sakus alveolus.
Pertukaran gas terjadi di alveolus. Dinding
alveolus mengandung dua jenis sel epitel dasar
yaitu sel tipe I (paling banyak yang merupakan
sel selapis gepeng dan datar ditembus pada saat
pertukaran gas) dan sel tipe II (mensekresikan
surfaktan yang menyelubungi alveolus dan
berperan dalam pertukaran gas dengan
menurunkan tegangan permukaan). (Lyndon
Saputra, 2014:44)
Paru-paru tergantung didalam rongga pleura kanan dan kiri, mengelilingi
jantung, dan dipertahankan posisinya oleh ligamen pangkal dan pulmonal. Paru kanan
lebih pendek, lebih lebar, dan lebih besar dari paru kiri, mempunyai tiga lobus dan

5
menangani 55% pertukaran gas. Paru kiri
mempunyai dua lobus. Dasar konkaf paru-paru
terletak diatas diafragma, apeksnya memanjang
sekitar 1,5 cm di atas iga pertama. (Lyndon
Saputra, 2014:45)
Pleura terdiri dari lapisan viseral dan
parietal. Pleura vuserak memeluk keseluruhan
permukaan paru, termasuk area diantara lobus.
Pleura parietal melapisi permukaan dalam dinding
dada dan permukaan atas diafragma. Cairan yang melumasi permukaan pleura
memungkinkan untuk slaing bergesekan dengan mulus ketika paru-paru mengembang
dan berkontraksi. (Lyndon Saputra, 2014:45)
2.1.3 Rongga Dada

Rongga dada menyatukan area yang


dikelilingi oleh diafragma otot skalenus dan fasia
leher serta iga, otot interkostalis, vetebra,
sternum, dan ligamen-ligamen. (Lyndon
Saputra, 2014: 46)

a. Mediastinum
 Terdiri dari ruang diantara kedua
paru-paru
 Berisi : jantung dan perikardium,
aorta torasikus, arteri dan vena
pulmonalis, vena kava dan vena
azigos, timus, kelenjer getah bening, dan pembuluh dara, trakea,
esofasus, dan duktus torasikus, saraf vagus, kardia dan frenikus.
b. Sangkar Dada
 Terdiri dari tulang dan tulang rawan menyokong dan melindungi paru-
paru
 Kolumna vetebralis dan 12 pasang iga membentuk bagian posterior
 Manubrium, sternum, prosesus xifodeus dan iga membentuk bagian
anterior, yang melindungi organ-organ mediastinum yang terletak di
antara rongga pleura kanan dan kiri.

6
2.1.4 Prinsip Dasar Sistem Pernapasan
Mempertahankan pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru dan
jaringan. Sistem pernapasan membantu mengatur keseimbangan asam-basa tubuh.
Tersusun atas zona penghantar dan zona pernapasan. (Lyndon Saputra, 2014:40)
Zona penghantar terdiri dari jalur bersambung yang menyangkut udara ke dalam
dan keluar paru-paru (hidung, faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus). Zona
pernapasan (tersusun atas bronkiolus, duktus alveolus, dan alveolus) melakukan
pertukaran gas. (Lyndon Saputra, 2014:40)
Bernapas melibatkan inspirasi (proses aktif) dan ekspirasi (proses relatif pasif).
Kedua aksi tersebut bergantung pada fungsi otot pernapasan dan efek perbedaan
tekanan pada paru-paru. Selama pernapasan normal, otot interkostalis eksternal
membantu diafragma, otot pernapasan utama. Diafragma menurun untuk
memperpanjang rongga dada, sedangkan otot interkostalis eksternal berkontraksi untuk
memperluas diameter anterioposterior, aksi yang terkoordinasi ini menyebabkan
penurunan tekanan interpleura, dan terjadilah inspirasi. Naiknya diafrgama dan
relaksasinya otot interkostalis menyebabkan kenaikan tekanan interpleura dan terjadila
ekspirasi. (Lyndon Saputra, 2014:47)
a. Pernapasan Internal dan Eksternal
Pernapasan internal (pertukaran gas dijaringan) terjadi hanya melalui difusi.
Pernapasan eksternal (pertukaran gas di paru-paru) terjadi melalui ventilasi,
perfusi, dan difusi pulmonal.
b. Ventilasi
Melibatkan pergerakan gas ke dalam dan keluar saluran pernapasan. Terjadi
sebagai akibat dari perbedaan tekanan atmosfer dan intrapulmonal. Terdiri
dari proses yang pertama sebelum inspirasi (tekanan intrapulmonal sama
dengan tekanan atmosfer), gradien tekanan atmosfer intrapulmonal
(menarik udara ke dalam paru-paru sampai kedua tekanan menjadi sama),
selama inspirasi (diafragma dan otot interkostalis eksternal berkontraksi,
memperbesar dada, tekanan intrapleura menurun dan paru-paru
mengembang untuk mngisi rongga dada), selama ekspirasi normal
(diafragma perlahan berelaksasi dan paru-paru serta dada secara pasif
kembali ke ukuran dan posisi saat istirahat), dan selama ekspirasi dalam
(tekanan intrapulmonal meningkat di atas tekanan atmosfer).

7
c. Perfusi Pulmonal
Menunjukkan pada aliran darah dari sisi kanan jantung, melewati sirkulasi
pulmonal, dan ke dalam sisi kiri jantung, perfusi membantu pertukaran gas
eksternal. Aliran darah pulmonal normal memungkinkan pertukaran gas di
alveolus. Faktor yang dapat menggaggu transpor gas ke alveolus meliputi:
 Curah jantung kurang dari rata-rata 5L/menit
 Peningkatan resistensi pulmonal dan sistemik
 Hemoglobin abnormal atau tidak mencukupi
d. Ketidakcocokan Ventilasi-Perfusi
 Penurunan ventilasi menyebabkan darah yang tidak teroksigenasi
bergerak dari sisi kanan jantung ke sisi kiri jantung dan ke dalam sistem
sirkulasi, dapat terjadi akibat defek fisik atau obstruksi jalan napas.
 Penurunan perfusi terjadi ketika alveoli tidak emmpunyai pasokan
darah yang adekuat untuk terjadinya pertukaran gas.
 Gabungan pirau dan ventilasi rugi terjadi ketika sedikit atau tidak ada
ventilasi serta perfusi yang terjadi, seperti pada kasus pneumotoraks dan
sindroma distress pernapasan akut
e. Difusi
Molekul oksigen dan karbon dioksida bergerak diantara alveolus dan
kapiler, selalu dari area konsentrasi yang lebih tinggi ke area dengan
konsentrasi yang lebih rendah. Baik epitel alveolus maupun endotel kapiler
tersusun atas satu lapis sel. Diantara lapisan ini terdapat ruang intestisial
sempit yang terisi oleh elastin dan kolagen. Oksigen berpindah dari alveolus
ke dalam aliran darah, tempat akan diangkut oleh hemoglobin. Ketika
oksigen tiba dalam aliran darah, ia menggantikan karbon dioksida yang
berdifusi ke dalam aliran dan kemudian ke alveolus. Sebagian besar oksigen
yang diangkat berikatan dengan hemoglobin untuk membentuk
oksihemoglobin. Sebagian kecil oksigen larut dalam plasma dan dapat
diukur sebgai tekanan parsial oksigen pada darah arteri atau PaO2. Setelah
oksigen berikatan dengan hemoglobin mengalirkan ke jaringan. Melalui
difusi seluler, terjadilah pernapasan internal ketika melepaskan oksigen dan
menyerap karbon dioksida kemudian mengangkut karbon dioksida ke paru-
paru untuk dikeluarkan selama ekspirasi.

8
2.2 Pengertian Gagal Nafas

Gagal napas timbul ketika pertukaran gas antara oksigen dengan karbon dioksida di
paru tidak dapat mengimbangu laju konsumsi oksigen dan produksi karbon dioksida pada
sel tubuh. Kondisi ini mengakibatkan tekanan oksigen arterial kurang dari 50 mmHg
(hipoksemia) dan tekanan karbon dioksida arterial meningkat lebih dari 45 mmHg
(hiperkapneu). Definisi berdasarkan analisa gas darah tersebut tidak bersifat absolut
bergantung padada riwayat penyakit sebelumnya. (Irman Somantri, 2009:89)

Gagal napas merupakan diagnosis klinis yang luas dan tidak spesifik, menandakan
sistem pernapasan tidak mampu mensuplai kebutuhan oksigen untuk menjaga metabolisme
atau tidak dapat mengeluarkan jumlah karbon dioksida yang cukup. Gagal napas akut
didefiniskan sebagai tekanan parsial oksigen arteri kurang dari 50 mmHg pada ruangan
atau tekanan parsial karbon dioksida kurang dari 50 mmHg dengan pH kurang dari 7,25
dengan gejala klinis yang sesuai. (Joyce&Jane, 2009:359)

Karbon dioksida adalah stimulan pernafasan, oleh karena itu tubuh merespon tingkat
CO2 yang berlebihan dengan meningkatkan tingkat dan kedalaman reposisi. Namun, jika
pusat pernapasan di otak terkena tingkat CO2 lebih tinggi dari biasanya selama jangka
waktu lama, mereka berhenti bereaksi dan tidak menyesuaikan respirasinya sebagai
respons terhadap tingkat karbon dioksida yang sedikit meningkat. lembur akumulasi CO2
dapat menyebabkan tingkat kesadaran yang menurun hingga dan termasuk koma.
(Stromberg, 2013:269)

Kegagalan pernafasan didefinisikan oleh gas darah arteial, oksigen arteri (PaO2) di
bawah 50 mmHg dan tekanan parsial karbon dioksida (PaCO2) sama dengan atau parutan
dari 50 mmHG. Serangan jantung bisa terjadi akibat gagal napas akibat hipoksia dan
perubahan asam basa. (Stromberg, 2013:269)

Gagal napas dapat terjadi pada klien dengan hard hearth failure merupakan suatu
proses sistematis yang biasanya merupakan peristiwa yang panjang dan berakhir dengan
kegagalan fungsi jantung yang memicu terjadinya bendungan pada paru sehingga terjadi
dead space yang berakibat kegagalan ventilasi alveolar.(Padila, 2012:73)

Gagal napas diakibatkan oleh ketidakseimbangan paru untuk menyuplai oksigen pada
darah secara adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Gangguan pertukaran

9
gas mengakibatkan hipoksemia dengan atau tanpa hipoventilasi. Penyebab utama gagal
napas melibatkan empat mekanisme. (Susan B. Stillwell, 2010:109)

Hal yang membedakan antara gagal napas akut dengan akut eksasebasion dari gagal
napas kronik adalah sebagai berikut :

a. Gagal napas akut adalah kegagalan pernapasan yang ditunjukkan pada klien dengan
struktur dan fungsi paru yang dalam keadaan normal sebelum timbulnya penyakit.
b. Gagal nafas kronik adalah kegagalan pernapasan yang terlihat pada klien dengan
penyakit paru kronis seperti bronkitis kronis, emfisema, dan black lung diseases.
2.3 Etiologi Gagal Nafas

Penyakit dan kondisi yang dapat menyebabkan gagal napas (respiratory failure) yaitu
sebagai berikut : (Irman Somantri, 2009:89)

a. Kelainan yang merusak otot respiratori termasuk neuromuskular disorder (seperti


multiple sklerosis, miastenia gravis, sindrom gullain-barre atau poliomielitis) dan
cedera tulang belakang atau spinal cord injury (memperngaruhi persarafan pada
otot interkosta).
b. Lesi sitem saraf pusat atau infeksi yang dapat merusak pusat mekanisme respirasi
di otak, seperti stoke / Cerebral Vaskular Accident (CVA), serebral edema,
peningkatan tekanan intrakranial, dan meningitis.
c. Overdosis obat seperti analgesik opioid dan sedatif, yang dapat menimbulkan
hiperventilasi
d. Obesitas berat
e. Sleep apnea
f. Obstruksi jalan napas atas (termasuk endotracheal tube)

Penyakit dan kelainan paru yang dapat menyebabkan oxygenation failure yaitu sebagai
berikut : (Irman Somantri, 2009:89)

a. Hambatan aliran darah, area paru sedang melakukan perfusi tetapi pertukaran gas
tidak dapat terjadi (akan menimbulkan hipoksemia), seperti pneumonia, atelektasis,
dan tumor paru.
b. Klien tinggal pada ketinggian atau yang menginhalasi bahan toksis, gas atau rokok,
karbon monoksida. Pada kondisi klien dapat bernapas tetapi dengan kadar oksigen
yang rendah.

10
c. Klien dengan ARDS, aspirasi dari bahan liquid.
2.4 Patofisiologi Gagal Nafas

Gagal napas akut diklasifikasi dalam tiga kategori berikut :

a. Gagal napas hipoksemi atau normokapnea (hiposemia dengan PaCO2 normal atau
rendah) atau oxygenation failure
b. Gagal napas hiperkapnea atau ventilatorik (hipoksemia dan hiperkapnea) atau
ventilatory failure
c. Kombinasi keduanya

Pada saat respirasi normal, oksigen berdifusi ke dalam kapiler dan sebaliknya dengan
karbon dioksida. Hipoventilasi timbul ketika klien tidak dapat mengeluarkan karbon
dioksida di alveoli. Retensi karbon diosida juga timbul pada saat hipoksemia. Oksigen
mencapai alveoli tetapi tidak dapat diabsorbsi dan dipergunakan. Ventilatiry failure timbul
akibat dari satu atau lebih dari tiga mekanisme dibawah ini: (Irman Somantri, 2009:90)

a. Abnormalitas mekanisme dari paru-paru atau dinding dada


b. Defek pada pusat kontrol respirasi di otak
c. Kerusakan fungsi dari otot respirasi

Ventilatory failure biasanya didefinisikan sebagai dengan nilai PaCO2 di atas 45 mmHg
pada klien yang mempunyai paru-paru yang sehat. Penyebab tersering dari ventilatory
failure adalah masalah pada paru-paru itu sendiri, terutama karena chronic airflow
limitation. Pada saat oxygenation failure, paru-paru dapat menggerakkan udara dengan
cukup tinggi tetapi tidak cukup adekuat untuk mengoksigenasikan darah pulmonal.
Penyebabnya terdiri dari: (Irman Somantri, 2009:90)

a. Kerusakan difusi oksigen pada tingkat alveolar


b. Hambatan aliran darah paru
c. Ventilasi-perfusi mismatch
d. Kadar oksigen terlalu rendah
e. Hemoglobin abnormal
2.5 WOC Gagal Nafas
Terlampir

11
2.6 Manifestasi Klinis Gagal Nafas

Manifestasi tanda dan gejala dari gagal nafas sebagai berikut: (Susan B. Stillwell,
2010:109)

a. Hipoksemia
b. Hipoksia
c. Mengalami peningkatan frekuensi pernapasan
d. Pernapasan dangkal
e. Penggunaan otot bantu napas
f. Perubahan tingkat kesadaran
g. Peningkatan batuk dan dispnea
h. Kegelisahan
i. Disritmia, angina, infark miokardium, dan gagal jantung kanan
j. Tidak ada pernapasan spontan, tidak ada denyut nadi yang teraba
2.7 Klasifikasi Gagal Nafas
2.7.1 Gagal Ventilasi Akut
2.7.1.1 Definisi
Gagal ventilasi akut adalah ketidakmampuan tubuh mengontrol dorongan
bernapas atau ketidakmampuan dinding dada dan otot dada untuk memasukkan dan
mengeluarkan udara dari dan ke paru secara mekanis. Ciri khas gagal ventilasi
adalah naiknya kadar CO2.
2.7.1.2 Etiologi dan Faktor Resiko
Pada gagal napas akut, beban pernapasan pada paru untuk pertukaran
oksigen dan karbon dioksida terganggu oleh:
a. Masalah resistensi dalam pergerakan udara masuk dan keluar paru
b. Kemampuan paru untuk mengembang dan berkontraksi
c. Kondisi yang meningkatkan produksi karbon dioksida atau menurunnya
permukaan untuk pertukaran gas. Kemampuan koordinasi saraf dan otot
untuk pergerakan dada juga terganggu karena hilangnya kontrol
terhadao pernapasan, penurunan transmisi sinyal terhadap dada dan
diafragma dan kelelahan otot
2.7.1.3 Patofisiologi
Ventilasi alveolus dijaga oleh SSP melalui saraf dan otot pernapasan untuk
mengontrol pernapasan. Kegagalan ventilasi alveolus menyebabkan

12
ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang mengakibatkan hiperkapnue dan
akhirnya terjadi asidosis. Kapasitas residu fungsional adalah volume udara yang
tertinggal di paru setelah ekspirasi normal. Pada gagal ventilasi akibat obtruksi,
tekanan residu di paru mengganggu proses melalui dan meningkatkan beban kerja
pernapasan. Penurunan FRC menyebabkan perfusi tanpa oksigenasi dan penurunan
daya kembang paru. Bila kolaps alveolus telah terjadi, reinflasi membutuhkan
tekanan yang sangat tinggi untuk membukanya.hipoksemia yang mengakibatkan
kolaps dan peningkatan konsumsi oksigen karena peningkatan kerja pernapasan
dapat sangat mengganggu klien. (Joyce&Jane, 2009:363)
2.7.1.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari gagal ventilasi akut sebagai berikut: (Joyce&Jane,
2009:363)
a. Apnea dan dispnea
b. Perubahan kecepatan dan kedalaman pernapasan, status mental, dan
pola pernapasan
c. Nyeri kepala
d. Kecepatan napas 50-60 kali/menit
e. Napas pendek dengan spasme jalan napas
f. Klien bingung dan tidak dapat mengobrol
g. Abnormalitas pH akibat turunnya menyebabkan disritmia jantung
h. Terjadi pulsus paradoksus dimana tekanan darah sistol turun lebih dari
10 mmHg selama inspirasi.
2.7.2 Gagal Napas Hipoksemia
2.7.2.1 Definisi
Edema paru merupakan penumpukan cairan abnormal di kantong alveolus
dan ruang intertisial disekitar alveolus. Edema paru dibagi berdasarkan
penyebabnya, kadiogenik (gagal jantung kiri, stenosis katup mitral, syok
kardiogenik, hipertensi, dan kardiomiopati) dan nonkardiogenik. Edema paru juga
dapat terjadi setelah cedera SSP berat seperti cedera kepala, edema paru jenis ini
disebut edema paru neurogenik. (Joyce&Jane, 2009:359)
2.7.2.2 Etiologi
Normalnya cairan bergerak dari ruang interstisial pada ujung arteri kapiler
sebagai hasil dari tekanan hidrostatik di pembuluh darah., dan kembali ke ujung
vena kapiler karena adanya tekanan onkotik dan peningkatan tekanan hidrostatik

13
intertisial. Pergerakan cairan dalam parupun tidak berbeda, sering ditemukan
cairan diruang intertisial paru. Normalnya cairan tersebut keluar dari sirkulasi
mikro dan masuk ke intertisial untuk menyediakan nutrisi pada sel-sel paru. Cairan
sisa akan kembali melalui sistem limfatik. Peningkatan volume cairan di arteri paru
karena obstruksi dari aliran darah di depannya adalah penyebab utama dari edema
paru, gagal jantung adalah contoh tersering dari obstruksi aliran tersebut.
(Joyce&Jane, 2009:360)
2.7.2.3 Patofisiologi

Peningkatan tekanan hidrostatik dipembuluh darah paru menyebabkan


ketidakseimbangan gaya starling, menyebabkan peningkatan filtrasi cairan ke ruang
intertisial paru sehingga melebihi kemampuan kapasitas jaringan limfatik untuk
menyalurkan cairan tersebut. Meningkatkan volume kebocoran ke alveolus. Sistem
limfatik mencoba mengkompensasi hal tersebut dengan mengeluarkan cairan
intertisial yang berlebih ke kelenjar getah bening hilus dan kembali ke sistem
vaskular. Bila jalur tersebut terganggu, cairan bergerak dari intestisial pleura ke
dinding alveolus. Jika epitel elveolus rusak, cairan mulai terkumpul di alveolus.
Hipoksemia terjadi ketika membran alveolus menebal oleh cairan, menghambat
pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Dengan penumpukan cairan di intertisial
dan ruang alveolus, menurunkan daya kembang paru dan difusi oksigen terganggu.
Kenaikan menimgkatkan afterload ventrikel kanan menyebabkan meningkatnya
beban kerja jantung dan manifestasi gagal jantung kanan. (Joyce&Jane, 2009:360)

2.7.2.4 Manifestasi Klinis

Manifestasi dari edema paru disebabkan oleh :

a. Gagalnya faktor regulasi terhadap pergerakan cairan.


b. Dispneu, takipnea
c. Nadi cepat dan lemah
d. Ortopnea pada derajat kurang dari 90 derajat
e. Sputum encer dan berbusa
f. Auskultasi dada crackles dan mengi
g. AGD PaO2 kurang dari 50 mmHg
h. Rontgen dada menunjukan area putih

14
2.8 Komplikasi
Komplikasi dari gagal nafas yaitu sebagai berikut :
a. Pneumonia, akibat ventilasi mekanis yang terjadi infeksi nosokomial yang dapat
dihindari yang terjadi lebih dari 48 jam setelah ventilasi mekanis. Penyebab utama
akibat kolonisasi dan aspirasi dari sekret orofaring. (Joyce&Jane, 2009:371)
b. Terkena VAP berada pada peningkatan resiko kematian
c. Hipoksia jaringan
d. Henti kardiopulmoner
2.9 Pemeriksaan Fisik
2.9.1 Palpasi

Tangan digunakan untuk menilai kelainan seperti pembengkakan atau nyeri


tekan. Palpasi juga digunakan untuk mengetahui luas dan pola ekspansi toraks dan
untuk mengetahui posisi trakea. Palpasi dapat mendeteksi getaran dinding dada
abnormal yang ditularkan melalui jaringan paru-paru yang meradang atau cairan.
Fremitus (getaran gerakan udara melalui dinding yang jernih) paling baik dirasakan
dengan meletakkan bola telapak tangan pada punggung pasien saat dia mengatakan
"99". Ruang intrascapular adalah daerah yang baik untuk merasakan fremitus taktil
karena berkurang saat anda bergerak keluar di bidang paru-paru. Peningkatan fremitus
taktil dapat terjadi dengan efusi pleura, edema paru, emfisema, atau obstruksi bronkial.
(Sharon Jensen, 2013: 744)

2.9.2 Perkusi

Perkusi digunakan untuk mendeteksi cairan paru yang mengandung cairan atau
konsolidasi. Telinga yang tajam dan pengalaman dengan pemeriksaan paru diperlukan
untuk menafsirkan dengan benar berbagai perubahan dalam nada, intensitas, durasi, dan
kualitas nada perkusi. (Sharon Jensen, 2013: 744)

2.9.3 Auskultasi

Mendengarkan suara nafas dengan stetoskop memberikan informasi penting


untuk mengevaluasi status pernafasan pasien. Mendeklarasikan suara nafas normal
yang dikelompokkan secara chial, bronchovesicular, dan vesikular. Alasan terpenting
untuk mendengarkan dada adalah menentukan apakah udara bergerak melalui semua
area paru-paru. Saat auskultasi dengan stetoskop sensitif, seharusnya begitu. (Sharon
Jensen, 2013: 744)

15
2.9.4 Inspeksi

Amati tingkat dan pola pernafasan. Pernapasan yang sangat lambat bisa
menyebabkan hipoksemia (kadar oksigen rendah dalam darah). Sebaliknya, bernapas
terlalu cepat menyebabkan penghapusan karbon dioksida yang berlebihan, yang
menyebabkannya. Pusing dan mungkin alkalosis pernapasan. Pernapasan cepat oleh
pasien yang sangat lemah dapat menyebabkan kelelahan. Pernapasan normal harus
lancar dan teratur. Diharapkan pada pernapasan yang baru lahir, tidak rata atau tidak
teratur bisa mengindikasikan penyumbatan jalan nafas atau sinyal masalah otot
neurologis. (Sharon Jensen, 2013: 745)

Amati upaya bernafas pasien dengan memperhatikan penggunaan otot bahu atau
leher dengan jelas. Orang sehat menggunakan otot leher dan dada bagian atas untuk
membantu mereka bernafas dalam selama berolahraga. Pasien dengan masalah
pernapasan secara konsisten dapat menggunakan otot akses untuk meredakan dyspnea
dan memperbaiki pernapasan. (Sharon Jensen, 2013: 745)

Sistem Gangguan Contoh


Sistem saraf pusat Overdosis Opioid, sedatif, anastetik, babiturat
Trauma kepala Cedera batang otak
Infeksi Meingitis, ensefalitis
Neuromuskular Infeksi Polio
Trauma Cedera meduka spinalis
Kondisi neurologis Miastenia gravis, sindrom Guillain-Barre
Pernapasan Obstruksi jalan napas Epiglostik, fraktur trakea, edema laring,
spasme laring, asma
Paru-paru Flail chest, pneumotoraks, hemotoraks,
eksaserbasi PPOK, pneumonia, edema
paru, ARDS

Tanda- tanda vital (TTV): (Susan B. Stillwell, 2012:109-110)

a. TD : meningkat yang disebabkan oleh hiposekmia atau menurun ketika syok


b. FJ : takikardi
c. P > 30 kali/ml

16
d. Suhu : normal atay meningkat dengan adanya proses infeksi
e. Kulit : dingin dan kering sampai diaforesis
f. Neurologis : kegelisahan, deteriorasi status mental
g. Pulmoner : pernapasan dangkal, penggunaan otot bantu napas, dan gerakan
paradoksal pada abdomen, crackels, ronki, atau mengi pada saat diauskultasi,
takipnea yang meningka sampai henti napas.
2.10 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada penyakit gagal napas yaitu GDA suhu kamar, penurunan
PaO2 (< 60 mmHg), biasanya disertai dengan peningkatan PaCO2 (> 50 mmHg) dan
penurunan pH (<7,35). Ketika gagal napas akut terjadi, pada klien, kadar pH rendah sampai
normal, kadar bikarbonat meningkat, kadar klorida serum menurun, terjadi eksaserbasi
dispnea yang mendadak, dan gangguan status mental. (Susan B. Stillwell, 2012:109-110)

Tinjau kadar Hb dan Ht karena hemoglobin yang tidak adekuat berpengaruh buruk
pada kapasitas pembawa oksigen. (Susan B. Stillwell, 2012:109-112)

2.11 Penatalaksanaan Gagal Nafas

Adapun penatalaksanaa yang dapat dilakukan pada pasien gagal nafas yaitu:

a. Terapi Oksigen
Oksigen adalah obat dengan sifat terapeutik penting dan secara potensial
mempunyai efek samping toksik, klien tanpa sadar penyakit paru tampak toleran
dengan oksigen 100% selama 24-72 jam tanpa abnormalitas fisiologis penting.
(Kathleen, 2014:96)
b. Terapi Gagal Napas Akut
Diperlukan dua proses yang harus dilakukan secara bersamaa pada penanganan
klien dengan gagal napas yaitu yang pertama mempertahankan tingkat oksigenasi
dan ventilasi yang dapat diterima, dan yang kedua terapi infesi pembuangan sekret
serta perbaiki jalan napas yang kontriksi, jika ada. (Irman Somantri, 2009:91)
c. Intubasi Endotrakeal
Selang ET dimasukan ke trakea melalui mulut atau hidung. Selain bisa sebagai alat
penyambung dengan ventilator, selang ET menyediakan jalan napas yang stabil dan
memfasilitasi pengeluaran sekret. Klien diposisikan terlentang, singkirkan semua
gigi palsu dan gigi yang lepas, kepala klien dalam posisi hiperekstensi, bagian
bawah leher ditekuk, dan mulut terbuka. Posisi memungkinkan mulut, faring, dan

17
laring dalam satu garis lurus. Laringoskop digunakan untuk membuka jalan napas,
memperlihatkan pita suara, dan berfungsi sebagai pemandu pemasangan selang
trakea. (Joyce&Jane, 2009:364-367)
d. Adapun penatalaksanaan umum yang dapat dilakukan yaitu: (Susan B.Stillwell,
2012:2012)
 Berikan terapi oksigen sesuai instruksibisanya dengan nasal atau masker
venturi
 Bantu pasien untuk mengatur posisi yang meningkatkan ekskursi dada
 Antisipasi ventilasi tekanan positif noninvasif untuk gagal napas hipoksemia
akut, edema oaru kardiogenik akut, atau gagal napas akut-kronis
 Inhalasi beta-agonis (albuterol) dapat diberikan untuk mengurangi
bronkokontriksi
 Agen antikolinergik (ipratropium bromida) dapat diberikan melalui inhalasi
untuk mengurangi bronkokontriksi
 Kortisteroid dapat diberikan untuk mengurangi respon inflamasi pada pasien
dengan penyakit paru
 Lakukan tindakan dengan tenang dan kurangi kecemasan pasien,
menjadwalkan waktu istirahat, kurangi nyeri, ansietas, dan demam serta
berikan sedatif kepada pasien jika perlu
 Lakukan higiene paru, fisioterapi dada, drainase postural, serta napas dalam
dan batuk. Lakukan pengisapan sekresi jika batuk pasien tidak efektif
e. Pada gagal ventilasi akut dilakukan penatalaksanaan medis sebagai berikut:
(Joyce&Jane, 2009:363)
 Menghilangkan spasme bronkus, bronkodilator digunakan untuk mengatasi
obstruksi aliran udara pada klien. Obat tersebut termasuk obat hirup beta agonis
selektif (albuterol), ipratoprium, kortikosteroid, dan kadang teofilin. Jika
penyebabnya infeksi, antibiotik spektrum luas juga diberikan.
 Menajaga oksigenasi, oksigen dengan masker daoat mendukung oksigenasi
dengan baik. Penggunaan NPPV seperti CPAP menurunkan beban kerja
pernapasan dengan menurunkan usaha yang dibutuhkan untuk melewati
tekanan dalam dada.
 Menjaga ventilasi, awalnya NPPV dapat digunakan jika klien sadar dan dapat
menjaga masker menutupi mulut dan hidung tanpa menjadi klaustrofobia.

18
NPPV menjaga jalan napas kecil tetap terbuka dan memperbaikipertukaran gas
dengan tujuan menjaga saturasi oksigen > 90%. AGD perlu dilakukan secara
berkala untuk memastikan oksigenasi adekuat dapat tercapai.
 Inflasi manset, membuat selang ETT membuat tutup antara selang dan dinding
trakea untuk memungkinkan PPV dan mencegah aspirasi benda asing ke dalam
saluran napas. Metode manset (teknik volume oklusi minimal) bertujuan untuk
memberikan penutupan yang cukup pada trakea dengan tekanan manset paling
rendah yang memungkinkan.
 Deflasi manset, secara umum manset ET tetap berkembang sepanjang waktu,
jika deflasi manset dibutuhkan untuk suatu alasan, isap dulu trakea dan
hiperoksigen sebelum dan selama prosedur dan bersihkan area atas manset dari
sekret dengan menghisap dengan lembut ke dalam orofaring.
 Kebocoran manset, kebocoran dapat menjadi masalah besar yang disebabkan
oleh robekan, pecahnya manset atau sistem plot, dan perubahan posisi selang
ET di trakea. Peningkatan volume tidal mungkin akan membantu menjaga
ventilasi dengan mengompensasi udara yang lolos.
 Ventilasi mekanis berkelanjutan, menggunakan ventilator dengan tekanan
positif untuk memaksa udara masuk ke dalam paru. Tujuan dari ventilasi
mekanis berkelanjutan (continuous mechanical ventilation) atau CMV adalah
o Menjaga kecukupan ventilasi
o Menghantarkan konsentrasi FiO tertentu
o Untuk menghantarkan volume tidal yang mencukui untuk mendapatkan
ventilasi semenit dan oksigenasi yang cukup
o Untuk mengurangi kerja pernapasan pada klien yang tidak dapat
menjaga ventilasi yang cukuo dengan usahanya sendiri
o Untuk mencegah komplikasi dari masalah-masalah yang ada
f. Pada Gagal napas hipoksemia dilakukan penatalaksanaan medis sebagai berikut:
(Joyce&Jane, 2009:361)
 Koreksi hipoksemia, oksigen yang adekuat harus dijaga, biasanya
membutuhkan FiO2 tinggi dan tekanan ventilasi positif, dengan NPPV
(Noninvasive Positive Pressure Ventilation) yang merukan bantuan napas yang
tidak membutuhkan intubasi selang endotrakea (ETT).

19
 Menurunkan preload, diposisikan tubuh tegak, diuretik diberikan untuk
mendorong pengeluaran cairan nitrat, seperti nitrogliserin yang digunakan
sebagai efek vasodilatasi, menurunkan beban kerja otot jantung.
 Menurunkan afterload, untuk mengurangi beban kerja ventrikel kiri, obat
antihipertensi seperti nitroprusid dapat diberikan. Obat penghambat
Angiotensin Converting Enzim (ACE) dinilai penting dalam terapi edema paru
akibat gagal napas.
 Membantu perfusi, kerja ventrikel kiri dapat dibantu menggunakan inotropik
seperti dobutamin, dopamin, dan norepinefrin. Nesiritid digunakan untuk
menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal.
2.12 Asuhan Keperawatan Gagal Nafas
2.12.1 Pengkajian
1. Identitas
2. Keluhan utama : Jantung berdebar-debar dan nafas sesak
3. Riwayat keperawatan : Klien merasakan jantungnya sering berdebar-debar
dan nafas menjadi sesak dan terasa lelah jika beraktivitas.
4. Riwayat kesehatan sebelumnya : Hipertensi, DM, Asma, MRS
5. Pengkajian pada pasien : (Susan B. Stillwell, 2012:111)
 Kaji tingkat kesadaran. Catat jika pasien menjadi gelisah, agitasi, atau
mengeluh sakit kepala. Tanda-tanda tersebut dapat menandakan
penurunan oksigenasi serebral
 Kaji tanda-tanda gawat napas, yang menandakan kebutuhan untuk
intubasi dan ventilasi mekanis. Retraksi interkosta, frekuensi
pernapasan > 30 kali/mnt dan pernapasan paradoksal
 Kaji suara paru-paru tambahan
 Kaji pasien untuk mengetahui tanda-tanda gagal jantung, distensi vena
jugularis (DVJ0, edema perifer, batuk, krekels, dan takikardi
 Kaji pasien untuk mengetahui perkembangan sekuele klinis
6. Pengkajian Primer
a. Airway
 Peningkatan sekresi pernapasan
 Bunyi nafas krekels, ronki dan mengi
b. Breathing

20
 Distress pernapasan, pernapasan cuping hidung, takipneu /
bradipneu, retraksi
 Menggunakan otot aksesori pernapasan
 Kesulitan bernafas : diaforesis, sianosis
c. Circulation
 Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
 Sakit kepala
 Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
 Papil edema
 Penurunan haluaran urine
 Kapiler refill
 Sianosis
d. Disability
 GCS
 Pendarahan atau luka
7. Pengkajian Sekunder
a. Pemeriksaan fisik head to toe
b. Pemeriksaankeadaanumum dan kesadaran
c. Eliminasi : Kaji haluaran urin, diare/konstipasi
d. Makanan/cair: Penambahan BB yang signifikan, pembengkakan
ekstrimitas oedema pada bagian tubuh
e. Nyeri/kenyamanan : Nyeri pada satu sisi, ekspresi meringis
f. Neurosensori : Kelemahan perubahan kesadaran.
2.12.2 Pemeriksaan Fisik dan Diagnostik
a. Hb : dibawah 12 gr %
b. Analisa gas darah :
1. pH dibawah 7,35 atau di atas 7,45
2. paO2 Hipoksemia ringan : PaO2 < 80 mmHg
3. Hipoksemia sedang : PaO2 < 60 mmHg
4. Hipoksemia berat : PaO2 < 40 mmHg
5. pCO2 di bawah 35 atau di atas 45 mmHg
6. BE di bawah -2 atau di atas +2

21
c. Saturasi O2 kurang dari 90 %
d. Ro” : terdapat gambaran akumulasi udara/cairan , dapat terlihat perpindahan
letak mediastinum
e. EKG mungkin memperhatikan bukti- bukti regangan jantung di sisi kanan
distritmia.
f. Radiografi dada
g. Pemeriksaan sputum
h. Pemeriksaan fungsi paru
i. Angiografi
j. Pemindaian ventilasi perfusi
k. CT
l. Skrinning toksikologi
m. Hitung darah lengkap
n. Elektrolit serum
o. Sitology
p. Urinalisis
q. Bronkogram
r. Bronkoskopii
s. Ekokardiografi
t. Torasentesis
2.12.3 Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola napas b.d penumpukan sekret
b. Kerusakan pertukaran gas b.d kurangnya suplai oksigen kesemua jaringan
tubuh
c. Bersihan jalan napas tak efektif b.d akumulasi sekret/ retensi
sputum di jalan napas dan hilangnya reflek batuk sekunder terhadap
pemasangan ventilator
d. Gangguan perfusi perifer
2.12.4 Intervensi Keperawatan
A. Dx : Ketidakefektifan pola napas b.d penumpukan sekret.
DO :
- Suara napas abnormal yaitu wheezing dan ronkhi
- Perkusi : bunyi hipersonor
- Batuk
22
- Sesak napas
DS :
- Mengeluhkan sesak napas
- Nyeri dada sebelah kiri
- Mengeluhkan sesak napas
- Nyeri dada sebelah kiri
NOC :
1. Status respirasi: Kepatenan jalan napas
a. Tidak ada demam
b. Tidak ada cemas
c. RR dalam batas normal
d. Irama napas dalam batas normal
e. Pergerakan sputum keluar dari jalan napas
f. Bebas dari suara napas tambahan
NIC :
1. Manajemen jalan napas
Aktivitas :
a. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi yang potensial
c. Identifikasi masukan jalan nafas baik yang aktual ataupun potensial
d. Masukkan jalan nafas/ nasofaringeal sesuai kebutuhan
e. Lakukan fisioterapi dada, bila perlu
f. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction/pengisapan
g. Dorong nafas dalam, pelan dan batuk
h. Ajarkan bagaimana cara batuk efektif
i. Kaji keinsetifan spirometer
j. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya ventilasi yang turun atau yang
hilang dan catat adanya bunyi tambahan
k. Lakukan pengisapan endotrakeal atau nasotrakeal
l. Beri bronkodilator jika diperlukan
m. Ajarkan pasien tentang cara penggunaan inhaler
n. Beri aerosol, pelembab/oksigen, ultrasonic humidifier jika diperlukan
o. Atur intake cairan untuk mengoptimalkan keseimbangan cairan

23
p. Posisikan pasien untuk mengurangi dispnue
q. Monitor pernafasan dan status oksigen.

2. Monitoring respirasi
Aktivitas :
a. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
b. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot supraclavicular dan intercostal
c. Monitor suara nafas, seperti dengkur
d. Monitor polanafas : bradipena, takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
e. Palpasiuntukperluasanparu
f. Perkusi dada anterior dan posterior dariApekske basis bilateral
g. Catatlokasitrakea
h. Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan paradoksis)
i. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan / tidak adanya ventilasi
dan suara tambahan
j. Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan
ronkhi pada jalan napas utama
k. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
l. Pantau pembacaan ventilator mekanik, catat peningkatan tekanan
inspirasi dan penurunan volume tidal bila perlu
m. Pantau peningkatan kegelisahan, kecemasan dan kekurangan udara
n. Pantau kemampuan batu kefektif pasien
o. Catat permulaan, cirri-ciri dan durasi dari batuk
p. Pantau secret pernapasanpasien
q. Pantau dyspnea dan peristiwa yang meningkatkan dan memperburuk
r. Pantau repitasi
B. Dx : Kerusakan pertukaran gas b.d kurangnya suplai oksigen kesemua
jaringan tubuh
DO :
- Dispnea

DS :

24
- Klien mengeluhkan sesak napas dan merasa letih

NOC :

1. Status Respirasi: Pertukaran gas


- status mental dalam batas normal
- bernapas dengan mudah
- tidak ada sianosis
- PO2 dan PCO2 dalam batas normal
- saturasi O2 dalam rentang normal
NIC :

1. Manajemen asam dan basa


Aktivitas :
a. Jaga kepatenan akses IV
b. Jaga kepatenan jalan napas
c. Pantau ABG dan level elektrolit
d. Monitor status hemodinamik termasuk CVP (tekanan vena sentral),
MAP (tekanan arteri rata-rata), PAP (tekanan arteri paru)
e. Pantau kehilangan asam (muntah, diare, diuresis, melalui
nasogastrik) dan bikarbonat (drainase fistula dan diare)
f. Posisikan untuk memfasilitasi ventilasi yang adekuat seperti
membuka jalan napas dan menaikkan kepala tempat tidur
g. Pantau gejala gagal pernapasan seperti PaO2 yang rendah,
peningkatan PaCO2, dan kelemahan otot napas
h. Pantau pola napas
i. Pantau factor penentupengangkutanoksigenjaringanseperti PaO2,
SaO2, kadarHbdan cardiac output
j. Sediakan terapi oksigen
k. Berikan dukungan ventilasi mekanik
l. Pantau factor penentu konsumsi oksigen seperti SvO2, avDO2
(perbedaan oksigen arterivena)
m. Dapatkan hasil labor untuk menganalisa keseimbangna asam basa
seperti ABG, urin dan level serum

25
n. Pantau ketidakseimbangan elektrolit yang semakin buruk dengan
mengoreksi ketidakseimbangan asam basa
o. Kurangi konsumsi oksigen seperti tingkatkan kenyamanan, control
demam dan kurangi kecemasan
p. Pantau status neurology
q. Berikan obat alkali seperti sodium bicarbonat, berdasarkan hasil
ABG
r. Berikan oral hygiene dengansering
s. Dorong pasien dan keluarga untuk aktif dalam pengobatan
ketidakseimbangan asam basa
2. Terapi oksigen
Aktivitas :
a. Bersihkan secret mulut, hidungdanrakeabilaperlu
b. Batasimerokok
c. Pertahankanpatensijalannapas
d. Siapkan peralatan oksigen dan atur kelembaban dan pemanasan
system
e. Kelola oksigen tambahan seperti yang diperintahkan
f. Pantau aliran oksigen
g. Pantau posisi alat penyaluran oksigen
h. Pantau efektivitas oksigen, bila perlu
i. Pantau kemampuan pasien untuk menghembuskan oksigen ketika
makan
j. Amati tanda oksigen yang disebabkan hipoventilasi
k. Pantau kecemasan pasien terkait dengan kebutuhan untuk terapi
oksigen
l. Pantau kerusakan kulit dari gesekan perangkat oksigen
m. Ajarkan pasien dan keluarga tentang penggunaan oksigen dalam
rumah
3. Monitor tanda-tanda vital
Aktivitas:
a. Mengukur tekanan darah, denyut nadi, temperature, dan status
pernafasan, jika diperlukan
b. Mencatat gejala dan turun naiknya tekanan darah

26
c. Mebgukur tekanan darah ketika pasien berbaring, duduk, dan
berdiri, jika diperlukan
d. Pantau tekanan darah setelah pasien diberi obat, jika perlu
e. Auskultasi tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan, jika
diperlukan
f. Mengukur tekanan darah, nadi, dan pernafasan sebelum, selama,
dan setelah beraktivitas, jika diperlukan
g. Mempertahankan suhu alat pengukur, jika diperlukan
h. Memantau dan mencatat tnda-tanda dan syimptom hypothermia
dan hyperthermia
i. Memantau timbulnya dan mutu nadi
j. Dapatkan nadi apical dan radial scara stimultan dan catat
perbedaannya, jika diperlukan
k. Mengukur pulsus paradoxus
l. Mengukur pulsus alternans
m. Memantau naik turunnya tekanan nadi
n. Memnatau tingkatan irama cardiac
o. Memantau suara jantung
p. Memantau tingkat dan irama pernafasan (e.g. kedalaman dan
kesimetrisan)
q. Memantau suara paru
r. Mengukur oximetry nadi
s. Memantau pola pernafasan yang abnormal (e.g. Cheyne-Stokes,
Kussmaul, Biot, apnea, ataxic, dan bernafas panjang)
t. Mengukur warna kulit, temperature, dan kelembaban
u. Memantau sianosis pusat dan perifer
v. Memantau sisi kuku
w. Memantau timbulnya Cushing triad (e.g. naik turunnya tekanan
darah, bradicadya, dan peningkatan tekanan darah systole)
x. Meneliti kemungkinan penyebab perubahan tanda-tanda vital
y. Memeriksa keakuratan alat yang digunakan untuk mendapatkan
data pasien secara periodic

27
C. Dx : Bersihan jalan napas tak efektif b.d akumulasi sekret/ retensi
sputum di jalan napas dan hilangnya reflek batuk sekunder terhadap
pemasangan ventilator

DO :
- Adanya bunyi nafas ronki, mengi, crackles
- Adanya sumbatan jalan nafas
DS :
- Klien merasa sesak dan sulit bernapas
NOC :
1. Status Tanda-Tanda Vital
a. Suhu tubuh normal dan frekuensi jantung normal
b. Irama apical jantung normal dan frekuensi nadi normal
c. Kecepatan pernafasan normal
d. Irama pernafasan normal
e. Tekanan sistolik normal dan diastolic normal
f. Tekanan nadi normal dan kedalaman inspirasi normal
NIC :

1. Monitoring pernapasan
Aktivitas :
a. Lakukan suctioning sesuai indikasi dengan prinsip 3A (atraumatic,
asianotic, aseptic).
b. Ubah posisi pasien secara periodik
c. Observasi penurunan ekspansi dinding dada dan adanya peningkatan
fremitus.
d. Catat karakteristik bunyi napas
e. Catat karakteristik dan produksi sputum.
f. Pertahankan posisi tubuh/kepala dengan tepat.
g. Observasi status respirasi : frekuensi, kedalaman nafas, reguralitas,
adanya dipsneu
2. Manajemen jalan nafas
Aktivitas :

28
a. Membuka jalan napas dengan menaikkan dagu
b. Posisikan pasien untuk ventilasi maksimal
c. Mengidentifikasi potensial keluar masuknya udara
d. Melakukan terapi fisik dada
e. Menghilangkan secret dengan batuk atau penyedotan (suctioning)
f. Instruksikan pasien untuk batuk efektif
g. Auskultasi bunyi napas
h. Monitor status pernapasan dan oksigenasi
2.12.5 Implementasi
1. Melaksanakan hasil dari intervensi keperawatan untuk selanjutnya di
evaluasi untuk mengetahui kondisi kesehatan pasien dalam periode yang
singkat
2. Implementasi tindakan keperawatan gagal nafas didasarkan pada rencana
yang telah ditentukandengan prinsip : ABC (airway, breathing, circulation)
3. Mempertahankan daya tahan tubuh
4. Mencegah komplikasi
5. Menemukan perubahan system tubuh
6. Memberikan lingkungan yang nyaman bagi klien
7. Implementasi pesan dokter
2.12.6 Evaluasi Keperawatan
1. Meneliti pernyataan tujuan untuk mengidentifikasi perilaku atau repon klien
yang benar benar diinginkan
2. Kaji klien terhadap adanya perilaku atau respon tersebut
3. Bandingkan kriteria hasil yang telah ditetapkan dengan perilaku atau respon
yang ditemukan
4. Nilai tingkat kesamaan antara kriteria hasil dan perilaku atau respon
5. Jika terdapat ketidaksamaan antara kriteria hasil dan perilaku atau respon,
ulangi anamnesa kembali
2.12.7 Dokumentasi Keperawatan
1. Mencatat waktu dan tanggal pelaksanaan intervensi
2. Mencatat diagnosa keperawatan nomor berapa yang dilakukan intervensi
tersebut
3. Mencatat semua jenis intervensi keperawatan dilakukan

29
4. Berikan tanda tangan dan nama jelas perawat satu tim kesehatan yang telah
melakukan intervensi

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gagal napas merupakan diagnosis klinis yang luas dan tidak spesifik, menandakan
sistem pernapasan tidak mampu mensuplai kebutuhan oksigen untuk menjaga
metabolisme atau tidak dapat mengeluarkan jumlah karbon dioksida yang cukup. Gagal
napas akut didefiniskan sebagai tekanan parsial oksigen arteri kurang dari 50 mmHg pada
ruangan atau tekanan parsial karbon dioksida kurang dari 50 mmHg dengan pH kurang
dari 7,25 dengan gejala klinis yang sesuai. (Joyce&Jane, 2009:359)

Karbon dioksida adalah stimulan pernafasan, oleh karena itu tubuh merespon tingkat
CO2 yang berlebihan dengan meningkatkan tingkat dan kedalaman reposisi. Namun, jika
pusat pernapasan di otak terkena tingkat CO2 lebih tinggi dari biasanya selama jangka
waktu lama, mereka berhenti bereaksi dan tidak menyesuaikan respirasinya sebagai
respons terhadap tingkat karbon dioksida yang sedikit meningkat. lembur akumulasi CO2
dapat menyebabkan tingkat kesadaran yang menurun hingga dan termasuk koma.
(Stromberg, 2013:269)

30

Anda mungkin juga menyukai