Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stunting merupakan satu dari penyebab utama dari angka kematian
(mortalitas) dan angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi diantara anak usia
dibawah lima tahun. Tingginya angka kematian dan kesakitan pada balita, paling
banyak disebabkan oleh diare dan penyakit infeksi saluran pernafasan. Diare
merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita
(25,2%). Sedangkan angka kesakitan diare pada balita mencapai 900 per 1.000
penduduk. Infeksi saluran pernafasan seperti Pneumonia merupakan urutan kedua
penyebab kematian pada balita setelah diare di Indonesia. Di dunia, dari 9 juta
kematian Balita lebih dari 2 juta balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia.1
Stunting merupakan kegagalan untuk mencapai pertumbuhan optimal yang
disebabkan oleh keadaan gizi kurang yang berlangsung dalam waktu yang lama.
Status stunting dihitung dengan menggunakan baku antropometri World Health
Organization (WHO) 2007 untuk anak umur 5-19 tahun yaitu dengan menghitung
nilai Z-score TB/U masing-masing anak.2
Gagal tumbuh pada masa emas ini dapat berakibat buruk pada kehidupan
berikutnya dan akan terlihat jelas pada saat anak mengalami mulai masuk usia
sekolah karena pada usia ini anak akan mengalami pertumbuhan lambat atau
phase growth palte. Akibat lebih lanjut dari tingginya prevalensi kurang gizi pada
masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up
growth) yang sempurna pada masa berikutnya, maka tidak heran apabila pada usia
sekolah banyak ditemukan anak yang kurang gizi kronis yang mengakibatkan
anak usia sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah.
Apabila kekurangan gizi ini terus berlanjut akan mengakibatkan anak kurang
memiliki kemampuan belajar dan kreatifitas sehingga prestasi belajar menjadi
rendah dan dapat mengakibatkan putus sekolah. Selanjutnya dimasa dewasa akan
mempengaruhi produktivitas anak, karena akan sulit bersaing mencari pekerjaan,
peluang gagal tes wawancara tinggi sehingga kemungkinan besar tidak mendapat
pekerjaan yang berakibat penghasilan rendah (economic productivity hypothesis)
dan kelak akan menjadi beban negara.1,2

1
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan disebabkan
kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi yang berulang,
dan meningkatnya kebutuhan metabolik serta mengurangi nafsu makan, sehingga
meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan ini semakin mempersulit
untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang akhirnya berpeluang terjadinya
stunted. Stunting sering dihubungkan dengan kualitas anak tersebut. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kurang gizi pada anak usia dini, salah satunya
tercermin dari keadaan stunting, berdampak pada rendahnya kemampuan kognitif
dan nilai IQ yang diasumsikan dengan rendahnya kemampuan belajar dan
pencapaian prestasi di sekolah. Stunting dapat menyebabkan anak kehilangan IQ
sebesar 5-11 poin.3
Penelitian lain mengungkapkan bahwa anak yang tidak dapat mengejar
pertumbuhan yang optimal sejak dimulai dari 1000 hari pertama kelahiran akan
memiliki resiko yang lebih tinggi terhadap lemahnya perkembangan kognitif.
Kemampuan kognitif yang lemah akan berdampak buruk pada prestasi di sekolah,
sehingga menghasilkan pekerja buruh rendah dan produktifitas rendah di tahap
kehidupan selanjutnya.4
Prevalensi stunting di Indonesia secara nasional tahun 2007 sebesar
36,8%, kemudian terjadi penurunan di tahun 2010 menjadi 35,6% dan meningkat
kembali pada tahun 2013 sebesar 37,2%. Berdasarkan cut off point untuk stunting
secara nasional pada kategori sangat pendek di tahun 2010 sampai tahun 2013
terjadi penurunan sebesar 18,5% menjadi 18,0%, dan untuk kategori pendek
terjadi kenaikan dari 17,1% menjadi 19,2%. Angka tersebut masih dikategorikan
tinggi karena masih berada diatas target MDG’s yaitu 32%.5
Berdasarkan Riskesdas tahun 2010 prevalensi stunting di Sumatera Utara
sebesar 43,2% dengan kategori sangat pendek sebesar 20,6% dan pendek sebesar
22,6%.5 Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi sangat
pendek sebesar 30-39% dan serius bila prevalensi pendek >40%. Terdapat 20
provinsi diatas prevalensi nasional termasuk Sumatera Utara yang berada pada
urutan kedelapan dan termasuk kategori serius.5,6
Masalah kekurangan gizi diawali dengan perlambatan atau retardasi
pertumbuhan janin yang dikenal sebagai IUGR (Intra Uterine Growth

2
Retardation). Di negara berkembang,kurang gizi pada pra-hamil dan ibu hamil
berdampak pada lahirnya anak yang IUGR dan Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR). Kondisi IUGR hampir separuhnya terkait dengan status gizi ibu, yaitu
berat badan (BB) ibu pra-hamil yang tidak sesuai dengan tinggi badan ibu atau
bertubuh pendek, dan pertambahan berat badan selama kehamilannya (PBBH)
kurang dari seharusnya.1,2
Ibu yang pendek waktu usia 2 tahun cenderung bertubuh pendek pada saat
meninjak dewasa. Apabila hamil ibu pendek akan cenderung melahirkan bayi
yang BBLR. Ibu hamil yang pendek membatasi aliran darah rahim dan
pertumbuhan uterus, plasenta dan janin sehingga akan lahir dengan berat badan
rendah. Apabila tidak ada perbaikan, terjadinya IUGR dan BBLR akan terus
berlangsung di generasi selanjutnya sehingga terjadi masalah anak pendek
intergenerasi Gizi ibu dan status kesehatan sangat penting sebagai penentu
stunting. Seorang ibu yang kurang gizi lebih mungkin untuk melahirkan anak
terhambat, mengabadikan lingkaran setan gizi dan kemiskinan.1,2

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian adalah
bagaimana cara mendeteksi dini stunting intrauterine.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui cara mendeteksi dini
stunting intrauterine.

1.4 Manfaat Penelitian

a. Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan peneliti dan memicu


penelitian lainnya, khususnya yang berkaitan dengan stunting.
b. Hasil penelitian ini berguna bagi masyarakat karena dapat dijadikan
sumber informasi pencegahan stunting di lokasi penelitian.

Anda mungkin juga menyukai