Anda di halaman 1dari 15

BAB III

RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT

(Nayla Kamilia Fithri, SKM., MPH)

I. Definisi Riwayat Alamiah Penyakit.

Penyakit adalah kegagalan dari mekanisme adaptasi suatu organisme untuk


bereaksi secara tepat terhadap tekanan sehingga timbulah gangguan pada fungsi atau
struktur dari bagian, organ atau system dari tubuh.Keadaan seseorang yang sehat
kemudian sakit akan mengalami perubahan-perubahan patologik didalamnya. Waktu
perubahan patologik hingga orang tersebut kelihatan sakit bervariasi antara satu
penyakit dengan penyakit yang lainya. Begitu juga dengan akibat yang akan dialami
oleh seseorang setelah menderita sakit berbeda-beda antara penyakit yang satu
dengan penyakit yang lainya. Perbedaan tersebut diantaranya adalah ada yang
komplikasi, ada yang cacat, ada yang meninggal da nada yang sembuh dengan
sendirinya (Murti, 1997).
Riwayat alamiah penyakit (natural history of disease) adalah gambaran
tentang perjalanan waktu dan perkembangan penyakit pada individu, dimulai sejak
terjadinya paparan dengan agen kausal hingga terjadinya akibat penyakit, seperti
kesembuhan atau kematian, tanpa terinterupsi oleh suatu intervensi preventif maupun
terapetik sehingga penyakit terjadi secara natural (CDC, 2010). Pengetahuan tentang
riwayat alamiah penyakit sama pentingnya dengan kausa penyakit untuk upaya
pencegahan dan pengendalian penyakit, dengan mengetahui perilaku dan karakteristik
masing-masing penyakit maka bisa dikembangkan intervensi yang tepat untuk
mengidentifikasi maupun mengatasi problem penyakit tersebut (Gordis, 2000).
Untuk membuat diagnosa, salah satu hal yang perlu diketahui adalah riwayat
alamiah penyakit (natural history of disease). Riwayat alamiah penyakit adalah
perkembangan penyakit itu tanpa campur tangan medis atau bentuk intervensi lainnya
sehingga suatu penyakit berlagsung secara alamiah (Fletcher, 2).
Meskipun setiap penyakit mempunyai riwayat alamiah penyakit yang
berbeda-beda, namun kerangka konsep yang bersifat umum perlu dibuat untuk
mendeskripsikan riwayat perjalanan penyakit pada umumnya. Berdasarkan riwayat
alamiah penyakit, kita dapat membagi lingkup riset epidemiologi ke dalam tiga
kategori yaitu (Murti, 1997):
a. Riset etiologik bertujuan untuk menemukan faktor-faktor penyebab penyakit,
hubungan satu dengan lainya, dan besarnya pengaruh terhadap penyakit.
b. Riset prognositik bertujuan untuk mempelajari faktor-faktor yang berperan dalam
mengubah terminal penyakit.
c. Riset intervensi yang bertujuan untuk mengevaluasi efikasi atau efektifitas
intervensi, baik yang sifatnya pencegahan primer, pencegahan sekunder atau
pencegahan tersier.
Berdasarkan riwayat alamiah penyakit diperoleh beberapa informasi penting
diantaranya adalah:

a. Masa inkubasi atau masa latent, masa atau waktu yang diperlukan selama
perjalanan suatu penyakit untuk menyebabkan seseorang jatuh sakit.
b. Kelengkapan keluhan (symptom) yang menjadi bahan informasi dalam
menegakkan diagnosis.
c. Lamanya dan beratnya keluhan dialami oleh penderita.
d. Kejadian penyakit menurut musim (season) kapan penyakit itu lebih frekuen
kejadiannya.
e. Kecenderungan lokasi geografis serangan penyakit sehingga dapat dengan mudah
dideteksi lokasi kejadian penyakit.
f. Sifat-sifat biologis kuman patogen sehingga, menjadi bahan informasi untuk
pencegahan penyakit, khususnya untuk pembunuhan kuman penyebab.

Pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit merupakan langkah awal yang


perlu dilakukan untuk mengetahui apek-aspek lain yang terkait dengan penyakit.
Dengan mengetahui riwayat alamiah dapat ditarik beberapa manfaat seperti:
1. Untuk diagnostik: masa inkubasi dapat dipakai sebagai pedoman penentuan jenis
penyakit, misalnya jika terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa).
2. Untuk pencegahan: dengan mengetahui kuman patogen penyebab dan rantai
perjalanan penyakit dapat dengan mudah dicari titik potong yang penting dalam
upaya pecegahan penyakit. Dengan mengetahui riwayat penyakit dapat terlihat
apakah penyakit itu perlangsungannya akut ataukah kronik Tentu berbeda upaya
pencegahan yang diperlukan untuk penyakit yang akut dibanding dengan kronik.
3. Untuk terapi: intervensi atau terapi hendaknya biasanya diarahkan ke fase paling
awal. Pada tahap perjalanan awal penyakit itu terapi tepat sudah perlu diberikan.
lebih awal terapi akan lebih baik hasil yang dihasilkan. Keterlambatan diagnosis
akan berkaitan dengan keterlambatan terapi.
II. Tahapan dalam Riwayah Alamiah Penyakit.

Gambaran pola riwayat alamiah penyakit dapat kita lihat melalui Gambar 31. Dibawah ini :

Gambar 3.1 Riwayat Alamiah


Penyakit
Berdasarkan gambar 3.1 riwayat alamiah penyakit dibagi kedalam empat fase
yaitu Fase rentan, Fase Subklinis, fase klinis dan fase terminal. Penjelasannya tentang
emapt fase tersebut adalah sebagai berikut :

1. Fase Rentan (Suseptibel).


Fase rentan adalah tahap berlangsungnya proses etiologic dimana faktor
penyebab pertama untuk pertamakilinya bertemu dengan penjamu. Disini faktor
penyebab pertama belum menimbulkan penyakit, tetapi telah mulai meletakkan
dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit nantinya. Dalam masa ini penyakit
belum ditemukan dan daya tahan tubuh host masih kuat tetapi sudah terancam
dengan adanya interkasi tersebut (pada tahap ini kondisi host masih sehat).
Contohnya adalah kolesterol LDL (Low density lipoprotein) yang tinggi dapat
meningkatkan kemungkinan kejadian penyakit jantung coroner (PJK); kebiasaan
merokok meningkatkan probabilitas kejadian kanker Paru, gizi yang buruk
meningkatkan probabilitas kejadian tuberculosis klinik, paparan radiasi sinar-X
meningkatkan kemungkinan kejadian leukemia.Faktor penyebab pertama diatas
termasuk faktor risiko.Faktor risiko adalah faktor yang kehadiranya
meningkatkan probabilitas kejadian penyakit, sebelum penyakit tersebut
mencapai fase ireversibilitas.Suatu faktor yang yang mempunyai hubungan kausal
dapat dikatakan faktor resiki, meski hubungan itu tidak langsung atau belum
diketahui mekanismenya.Karena hasil-hasil riset kita tentang penyabab penyakit
pada umumnya masih bersifat mungkin, maka pada umumnya para epidemologi
menyukai menggunakan kata faktor resiko ketimbang faktor penyebab (kausa)
untuk menerangkan suatu variable yang meningkatkan probabilitas individu untuk
mengalami penyakit (Murti, 1997).Contoh dari pada fase rentan adalah seseorang
(host) yang sangat lelah disertai dengan konsumsi alcohol yang berlebihan
(agent), maka akan memudahkan menderita (risk factor) penyakit infeksi saluran
nafas (pneumonia); Seseorang yang berbadan gemuk dengan kadar kolesterol dan
tekanan darah yang tinggi disertai perokok berat, maka orang tersebut akan
mempunyai risiko mendapat serangan penyakit jantung coroner.
Penyakit dimulai ketika pathogen berinvasi atau berinokulasidalam tubuh
pejamu. Pathogen akan memperbanyak diri di dalam tubuh pejamu selama masa
innkubasi. Selama masa itu, penyakit pernapasandapat atau bias juga tidak
ditularkan. Ada beberapa penyakit yang dapatditularkan pada 2 atau 3 hari
terakhir masa inkubasi, misalnya campak danchickenpox (Timmreck, 2005).
Masa inkubasi ini juga berbeda pada setiap orang yangmemiliki kekebalan
lebih aktif sehingga dapat menahan pertumbuhkembangan pathogen di dalam
tubuh, yang akhirnyamemperpanjang masa inkubasi.Dari hasil pengamatan
diketahui bahwa penyakit yang masa inkubasinya pendek biasanya
menyebabkankesakitan yang lebih akut dan parah, sedangkan penyakit yang
masainkubasinya panjang menyebabkan kesakitan yang tidak terlalu parah.Pada
kebanyakan penyakit pernapasan, hal itu biasanya berlangsungdalam satu
hari.Penularan penyakit paling banyak terjadi pada masa prodromal karena
tingginya daya tular penyakit di tahap ini dan gejalatidak tampak dengan
jelas(Timmreck, 2005).
2. Fase Subklinis (Asimtomatis).
Pada tahap ini penyakit belum tampak. Adanya faktor-faktor kepekaan dan
interaksi antara host, agen dan lingkungan akan timbul dan mulai tampak adanya
perubahan-perubahan secara patologis. Walaupun demikian perubahan-perubahan
tersebut masih tetap berada dibawah garis yang disebut clinical horizon, yaitu
garis perbatasan antara keadaan penyakit yang sudah jelas tanda-tandanya (secara
klinis) dan terjadinya perubahan secara patologis (Mukeno, 2000). Tahap
pragejala ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
• Perubahan akibat infeksi atau pemaparan oleh agen penyebab penyakit masih
belum tampak
• Pada penyakit infeksi terjadi perkembangbiakan mikroorganisme patogen.
• Pada penyakit non-infeksi merupakan periode terjadinya perubahan anatomi
dan histologi, misalnya, terjadinya aterosklerotik pada pembuluh darah
koroner yang mengakibatkan penyempitan pembuluh darah.
Pada tahap ini sulit untuk diagnosa secara klinis. Tahap ini sudah mulai menjadi
masalah kesehatan karena sudah ada gangguan patologis (pathologic changes),
walaupun penyakit masih dalam masa subklinik (stage of subclinical disease).
Seandainya memungkinkan, pada tahap ini sudah diharapkan diagnosis dapat
ditegakkan secara dini.

3. Fase Klinis
Merupakan tahap di mana penyakit bertambah jelas dan mungkin tambah berat
dengan segala kelainan patologis dan gejalanya (stage of clinical disease). Pada
tahap ini penyakit sudah menunjukkan gejala dan perubahan fungsi organ yang
terkena yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah ditegakkan. Saatnya
pula setelah diagnosis ditegakkan, diperlukan pengobatan yang tepat untuk
menghindari akibat lanjut yang kurang baik. Kesulitan utama untuk mendiagnosis
penyakit pada tahap ini adalah karena tidak semua penyakit menimbulkan gejala
yang jelas, bahkan setiap penyakit tidak selalu menimubulkan gejala.

4. Fase Terminal
Fase terminal adalah tahap dimana mulai terlihat akibat dari penyakit. akibat
penyakit mungkin sembuh spontan, sembuh dengan terapi, remisi (kambuh),
perubahan berat penyakit kecacatan atau kematian. Contoh : poliomylitis tipe
paralitik membawa akibat paralisis, tipe bulber membawa akibat kematian dan
sebagainya ( Murti, 2000). Untuk lebih jelasnya berikut pembagian dari fase
terminal:
a. Sembuh sempurna : penyakit berakhir karena pejamu sembuh secara
sempurna, artinya bentuk dan fungsi tubuh kembali kepada keadaan sebelum
menderita penyakit.
b. Sembuh tetapi cacat : penyakit yang diderita berakhir dan penderita sembuh.
Sayangnya kesembuhan tersebut tidak sempurna, karena ditemukan cacat
pada pejamu. Adapun yang dimaksudkan dengan cacat, tidak hanya berupa
cacat fisik yang dapat dilihat oleh mata, tetapi juga cacat mikroskopik, cacat
fungsional, cacat mental dan cacat sosial.
c. Karier : pada karier, perjalanan penyakit seolah-olah terhenti, karena gejala
penyakit memang tidak tampak lagi. Padahal dalam diri pejamu masih
ditemukan bibit penyakit yang pada suatu saat, misalnya jika daya tahan tubuh
berkurang, penyakit akan timbul kembali. Keadaan karier ini tidak hanya
membahayakan diri pejamu sendiri, tetapi juga masyarakat sekitarnya, karena
dapat menjadi sumber penularan
d. Kronis : perjalanan penyakit tampak terhenti karena gejala penyakit tidak
berubah, dalam arti tidak bertambah berat dan ataupun tidak bertambah
ringan. Keadaan yang seperti tentu saja tidak menggembirakan, karena pada
dasarnya pejamu tetap berada dalam keadaan sakit.
e. Meninggal dunia : terhentinya perjalanan penyakit disini, bukan karena
sembuh, tetapi karena pejamu meninggal dunia. Keadaan seperti ini bukanlah
tujuan dari setiap tindakan kedokteran dan keperawatan.

Namun, ada beberapa penyakit yang tidak sesuai dengan bagan diatas, sehingga
dikenal dengan istilah atau kejadian seperti dibawah ini (Rajab, 2009):

a. Self limiting desease: proses penyakit berhenti sendiri dan semua fungsi tubuh
normal kembali.
b. Penyakit inapparent: penyakit yang berlangsung tanpa gejala klinis, penderita
penyakit tertentu sudah mulai menularkan penyakitnya sebelum masa inkubasi
selesai (misal campak, polio, rubella, cacar air), atau penderita penyakit tertentu
menularkan penyakitnya setelah gejala klinis muncul (misal filariasis, batuk rejan,
malaria).
c. Masa latent: masa antara masuknya agent sampai penderita dapat menularkan
penyakitnya.
d. Periode menular: penderita mampu menularkan penyakit ketika keadaan penderita
pulih (konvalesens) dan pulih sesudah penyakit tidak menunjukkan gejala klinis
(penderita menjadi karrier).
e. Periode akut: penyakit berlangsung dalam waktu singkat (beberapa hari atau
minggu saja). Misalnya, influenza, rabies, cacar, atau campak.
f. Periode kronis: penyakit ini berlangsung beberapa tahun (misal TBC, leprae,
AIDS).

III. Karakteristik Agent Penyakit.

Agent penyakit adalah suatu substansi atau elemen-elemen tertentu yang


keberadaannya bisa menimbulkan atau mempengaruhi perjalanan suatu penyakit.
Substansi atau elemen yang dimaksud banyak macamnya yang secara sederhana
dibagi dalam 2 bagian yaitu (Mukeno,2000):

a. Agent primer
Agen primer adalah sebagai berikut:
1) biologis: virus, bakteri, fungi, ricketsia, protozoa, mikroba.
2) butrient: protein, lemak, karbohidrat.
3) kimiawi: dapat bersifat endogenous seperti asidosis, hiperglikemia,
uremia dan eksogenous seperti zat kimia, allergen, gas, debu, dan lain-
lain.
4) fisika : panas, dingin, kelembaban, radiasi, tekanan
5) mekanis : Gesekan, benturan, pukulan, dan lain-lain.
6) psikis : faktor kehidupan sosial yang bersifat nonkausal dalam
hubungannya dengan proses kejadian penyakit maupun gangguan
kejiwaan.
b. Agent sekunder
Ini merupakan unsur pembantu / penambah dalam proses terjadinya penyakit
dan ikut dalam hubungan sebab akibat terjadinya penyakit. Dengan demikian,
studi epidemiologi penyakit tidak bisa hanya berpusat pada penyebab primer
saja tapi harus dilihat apakah agent sekunder berpengaruh atau tidak terhadap
terjadinya penyakit. Yang dipelajari dari agent sekunder ini diantara sebagai
berikut:
1) Infektivitas: kesanggupan agent untuk beradaptasi sendiri terhadap
lingkungan Host untuk mampu tinggal, hidup dan berkembang biak dalam
jaringan Host
2) Patogenesitas: kesanggupan agent untuk menimbulkan reaksi patologis
(penyakit) pada Host setelah infeksi
3) Virulensi: kesanggupan agent untuk menghasilkan reaksi patologis berat
yang menyebabkan kematian
4) Toksisitas: kesanggupan agent untuk memproduksi toksin yang merusak
jaringan Host
5) Invasivitas: kesanggupan agent untuk penetrasi dan menyebar kedalam
jaringan Host
6) Antigenisitas: kesanggupan agent merangsang reaksi imunologis Host
(membentuk antibodi).

IV. Pola Penyebaran Penyaki

Suatu penyakit (menular) tidak hanya selesai setelah membuat seseorang


sakit, tetapi cenderung untuk menyebar. Setelah menyelesaikan riwayatnya pada
suatu rangkaian kejadian sehingga seseorang jatuh sakit, pada saat yang sama
penyakit bersama dengan kumannya dapat berpindah dan menyebar kepada orang
lain/ masyarakat.
Dalam proses perjalanan penyakit, kuman memulai aksinya dengan memasuki
pintu masuk tertentu (portal of entry) calon penderita baru dan kemudian jika ingin
berpindah ke penderita baru lagi akan ke luar melalui pintu tertentu (portal of exit).
Kuman penyakit tidak masuk dan ke luar begitu saja tetapi harus rnelalui
"pintu" tubuh tertentu sesuai dengan jenis masing-masing penyakit misalnya melalui:
kulit, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran kemih. Dalam memilih
pintu masuk-keluar ini setiap jenis kuman mempunyai jalan masuk dan ke luar
tersendiri dari tubuh manusia. Ada yang masuk melalui mulut (oral) dan keluar
melalui dubur (sistem pencernaan), seperti yang dilakukan oleh kebanyakan cacing.
Namun ada pula yang masuk melalui kulit tetapi keluar melalui dubur, misalnya
cacing Ankylostoma.
Agen meninggalkan reservoir melalui pintu ke luar (portal of exit), yaitu jalan
agen meninggalkan pejamu sumber, biasanya berhubungan dengan agen yang
terlokalisasi, contohnya:
1) Sistem respirasi: TB paru, influenza
2) Urin: Leptospira
3) Feses: Vibrio cholera
4) Lesi kulit: Sarcoptes scabiei
5) Jalur kulit (perkutaneus): isapan darah artropoda (malaria, DBD)
Lalu agen ditransmisikan dengan model tertentu agar dapat masuk ke pejamu
melalui pintu masuk (portal of entry), sehingga menginfeksi pejamu yang rentan.
Mode transmisi dapat berupa:
1) Transmisi langsung yaitu transfer agen segera dari reservoir ke pejamu
yang rentan dengan cara:
a. Kontak langsung, contoh: gonore
b. Penyebaran droplet, contoh: bersin, batuk, bicara
2) Transmisi tidak langsung
a. Airborne (udara): debu, droplet nuclei (droplet yang dikeringkan), cont:
TB paru
b. Vechicleborne: melaui agen yang masuk ke dalam makanan, air, darah
c. Vectorborne: agen yang mengalami atau tidak mengalami perubahan
fisiologik dalam tubuh vektor
Pintu masuk kuman sama dengan pintu keluar, seperti kulit, sistem respirasi,
membran mukosa, darah, dsb. Lalu melalui pintu masuk itu kuman menyerang
pejamu yang suseptibel. Suseptibilitas bergantung pada faktor genetik, imunitas yang
didapat, kemampuan bertahan terhadap infeksi, membran mukosa, dll.

Pengetahuan tentang jalan masuk ini penting untuk epidemiologi karena


dengan pengetahuan itu dapat dilakukan 'penghadangan' perjalanan kuman masuk ke
dalam tubuh manusia. Cacing yang ingin masuk melalui mulut dicegah dengan upaya
cuci tangan sebelum makan. Sedangkan pengetahuan tentang jalan keluar bermanfaat
untuk menemukan kuman itu untuk tujuan identifikasi atau diagnosis. Misalnya
kuman TBC keluar melalui batuk, maka penemuan kuman TBC dilakukan dengan
penangkapan kumannya di batuk/dahak.

V. Tingkat Pencegahan Penyakit.

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan akan sesuai dengan perkembangan


patologis penyakit itu dari waktu ke waktu, sehingga upaya pencegahan itu dibagi
atas berbagai tingkat sesuai dengan perjalanan penyakit. Dikenal ada empat tingkat
utama pencegahan penyakit, yaitu (Bustan, 2016):
a. Pencegahan tingkat awal (Primordial Prevention)

Pencegahan tingkat awal diperkenalkan oleh WHO (Beaglehole, WHO 1993)


sebagai salah satu bentuk upaya pencegahan yang didapatkan berdasarkan
pengalaman epidemiologis dalam menangani masalah penyakit
kardiovaskuler.Ditemukan bahwa terjadinya penyakit jantung pada masyarakat
luas hanya jika terdapat kausal dasar (basic underlying cause) yang berupa
makanan tinggi lemak jenuh binatang.Jika bentuk penyebab dasar ini tidak ada,
seperti halnya di China dan Jepang, penyakit jantung jarang ditemukan meskipun
ditemukan banyak faktor resiko lainnya seperti merokok dan tekanan darah
tinggi.
Tujuan primordial prevention ini adalah untuk menghindari
terbentuknya pola hidup sosial – ekonomi dan cultural yang mendorong
peningkatan resiko penyakit.Upaya ini terutama sesuai untuk ditujukan kepada
masalah penyakit tidak menular yang dewasa ini cenderung menunjukkan
peningkatannya.
Upaya primordial juga diperlukan dalam hal pengendalian peningkatan polusi
udara (green house effect, hujan asam, ozone – layer depletion) dan pengaruh
asap di daerah perkotaan dalam pencegahan penyakit jantung dan paru. Perhatian
dapat ditujukan pada pengendalian peningkatan konsentrasi sulfur diokside di
atmosfer pada beberapa kota besar metropolitan seperti di Paris, London,
Newyork dan Tokyo yang melebihi nilai ambang maksimum yang
direkomendasikan oleh WHO.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pencegahan awal ini diarahkan
kepada mempertahankan kondisi dasar atau status kesehatan masyarakat yang
bersifat positif yang dapat mengurangi kemungkinan suatu penyakit atau faktor
resiko dapat berkembang atau memberikan efek patologis. Faktor-faktor itu
tampaknya banyak bersifat sosial atau berhubungan dengan gaya hidup dan pola
makan. Upaya awal terhadap tingkat pencegahan primordial ini merupakan upaya
mempertahankan kondisi kesehatan yang positif yang dapat melindungi
masyarakat dari gangguan kondisi kesehatan.

b. Pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention)

Pencegahan tingkat pertama dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) menjauhkan
agen untuk dapat kontak atau memapar pejamu, dan (2) menurunkan kepekaan
pejamu (host susceptibility). Intervensi ini dilakukan sebelum perubahan
patologis terjadi (fase prepatogenesis).Jika suatu penyakit lolos dari pencegahan
primordial, maka saatnya pencegahan tingkat pertama ini digalakkan terhadap
penyakit. Apabila lolos dari upaya maka penyakit itu akan segera dapat timbul
secara epidemiologis, tercipta sebagai suatu penyakit yang endemis atau yang
lebih berbahaya apabila timbul dalam bentuk KLB (Bustan, 2006: 53).

Adapun dalam pencegahan primer dilakukan upaya-upaya antara


lain:a.Promosi kesehatan/health promotion yang ditujukan untuk meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap masalah kesehatan. b.Perlindungan khusus (specific
protection): upaya spesifik untuk mencegah terjadinya penularan penyakit
tertentu, misalnya melakukan imunisasi, peningkatan ketrampilan remaja untuk
mencegah ajakan menggunakan narkotik dan untuk menanggulangi stress dan
lain-lain (Rivai, 2005).

Tabel 3.1 Penyakit dan Pencegahan Primer

c. Pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention)

Pencegahan tingkat keua ini dilakukan dalam fase patologis dengan cara
mengetahui perubahan klinik atau fisiologis yang terjadi dalam awal penyakit
(early symptoms) atau semasa masih dalam presymtomatic, masa sangat awal
kelainan klinik. Pencegahan ini ditunjukkan untuk meneteksi penyakit sedini
mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.Dengan demikian,
pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat
progresifitas penyakit, mencegah komplikasi penyakit, dan membatasi
kemungkinan kecacatan.
Bentuk utama pencegahan tingkat kedua adalah penyaringan
(skrening).Adapun dengan skrening diharapkan dapat dideteksi indikator fisiologi
awal yang ada sebelum orang menunjukkan keluhan. Contoh skrening adalah
hapusan Pap (pap smear) untuk kanker serviks, tes pendengaran untuk kerusakan
ketulian, skin test untuk tuberkulin, VDRL untuk sifilis, dan Phenylalanine test
untuk phenylketonuria (PKU) untuk retardasi mental bayi. Deteksi penyakit
secara dini dapat dilakukan dengan cara:

1) penyaringan,
2) pengamatan epidemiologis,
3) survei epidemiologis, dan
4) memberi pelayanan kesehatan sebaik-baiknya pada sarana pelayanan
umum ataU praktek dokter swasta.
5) Pendidikan kesehatan
6) Imunisasi
7) Konsul genetika
8) Sterilisasi alat
9) Memakai sarung tangan
10) Memakai masker

Mengadakan pengobatan penyakit menular yang terdapat di masyarakat


seperti penyakit akibat hubungan selsual dapat melindungi orang lain terkena
penyakit tersebut. Dengan cara demikian, kita rnengadakan pencegahan sekunder
bagi penderita.
Tabel 3.2 Penyakit dan Pencegahan Sekunder
d. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary Prevention)

Pencegahan tingkat ketiga atau upaya rehabilitasi ditujukan untuk


membatasi kecacatan sehingga tidak menjadi tambah cacat dan melakukan
rehabilitasi dari mereka yang punya cacat atau kelainan akibat penyakit. Keadaan
ini, kerusakan patologis sudah bersifat irreversible, tidak bias diperbaiki lagi.
Oleh karena itu, upaya-upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan misalnya, terapi
latihan untuk mempertahankan kondisi otot, pergerakan, mencegah kontraktur
bagi penderita paralise akibat stroke.

Pencegahan tersier dibedakan dengan pengobatan (cure), meskipun batas


perbedaan itu tidak selalu jelas. Jenis intervensi yang dilakukan sebagai
pencegahan tersier bisa saja merupakan pengobatan. tetapi dalam pencegahan
tersier target yang ingin dicapai adalah lebih kepada mengurangi atau mencegah
terjadinya kerusakan jaringan dan organ, mengurangi sekulae, disfungsi, dam
keparahan akibat penyakit dan memperpanjang hidup. sedangkan target
pengobatan adalah menyembuhkan pasien dari gejala dan tanda klinis yang telah
terjadi. sebagai contoh, menurut CDC perbaikan yang sedang-sedang saja dalam
pengendalian glukosa darah dapat membantu mencegah retinopati, neuropati, dan
penyakit ginjal pada orang dengan diabetes. Menurunkan tekanan darah bisa
mengurangi komplikasi kardiovaskuler (penyakit jantung dan stroke) sebesar
50%, dan mengurangi resiko retinopati, neuropati dan penyakit ginjal (Murti,
2000).

Tabel 3.3 Penyakit dan Pencegahan Tersier


Tabel 3.4 Tingkat Pencegahan dan Kelompok Targetnya Menurut Fase
Penyakit

Tingkat pencegahan Fase penyakit Kelompok target


Primordial Kondisi normal Populasi total dan
kesehatan kelompok terpilih
Primary Keterpaparan faktor Populasi total dan
penyebab khusus kelompok terpilih dan
idividu sehat
Secondary Fase patogenesitas Pasien
awal
Tertiary Fase lanjut penyakit Pasien
(pengobatan dan
rehabilitasi)

Sumber: Beoglehole, WHO 1993

Tabel 3.5 Hubungan Kedudukan Riwayat Perjalan Penyakit, Tingkatan


Pencegahan dan Upaya Pencegahan

Riwayat Penyakit Tingkat Pencegahan Upaya Pencegahan


Pre-patogenesis Primordial Prevention Underlying Condition Health
Promotion
Primary Prevention
Specific Protection
Secondary Prevention Early diagnosis and Prompt
Treatment
Patogenesis
Disability Limitation
Tertiary Prevention Rehabilitation

Sumber: Beoglehole, WHO 1993

VII. Mekanisme Transmisi


Telah diuraikan bahwa terjadinya suatu penyakit karena adanya agen
penyebab penyakit yang masuk ke dalam tubuh manusia sebagai pejamu. Bagaimana
mikroorganisme patogen dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan mengadakan
interaksi serta berkembang biak memiliki suatu meKanisme yang dikenal dengan
mekanisme transmisi. Mekanisme transmisi terdiri dari keluarnya mikroorganisme
dari reservoir dan mencapai serta masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh manusia
sebagai pejamu yang rentan.
Setelah mikroorganisme masuk ke dalam tubuh manusia, terjadi berbagai
rangkaian interaksi sampai menimbulkan gejala klinis. Rangkaian interaksi tersebut
adalah:
1. kolonisasi, tempat mikroorganisme berkembang biak tanpa menimbulkan
reaksi pada pejamu. Misalnya, staphylococcus aureus yang terdapat di
mukosa hidung;
2. infeksi subklinis, tampat mikroorganisme selain berkembang biak juga
menimbulkan reaksi, tetapi belum menimbulkan gejala hingga secara klinis
belum tampak;
3. infeksi klinis, hal ini terjadi bila mikroorganisme berkembang biak,
menimbulkan reaksi, dan menimbulkan gejala.

LEMBAR TUGAS

1. Jelaskan bagaimana riwayat alamiah penyakit dibawah ini:

a. Penyakit Diare
b. Penyaki Tuberkulosis
c. Penyakit Demam Berdarah Dengue
d. Penyakit Malaria
e. Penyakit Difteri

2. Jelaskan bagaimana menurut anda pencegahan dari penyakit-penyakit tersebut!


DAFTAR PUSTAKA

Achmasi, Umar Fahmi. 2013. Kesehatan Masyarakat Teori dan Aplikasi. Depok:
Raja Grafindo

Murti Bisma. 1997. Prinsip Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
university Press.

Sumantri, Arif. 2015. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kencana Pernada Media Grup

Chandra, Budiman. 2012. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC

Mudiatun dan Daryanto. 2015. Pengelolaan Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta:


Penerbit Gava Media

Mukeno H.J, 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Air Langga
UniversityPress.

Timmreck, Thomas. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi 2. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai