a. Masa inkubasi atau masa latent, masa atau waktu yang diperlukan selama
perjalanan suatu penyakit untuk menyebabkan seseorang jatuh sakit.
b. Kelengkapan keluhan (symptom) yang menjadi bahan informasi dalam
menegakkan diagnosis.
c. Lamanya dan beratnya keluhan dialami oleh penderita.
d. Kejadian penyakit menurut musim (season) kapan penyakit itu lebih frekuen
kejadiannya.
e. Kecenderungan lokasi geografis serangan penyakit sehingga dapat dengan mudah
dideteksi lokasi kejadian penyakit.
f. Sifat-sifat biologis kuman patogen sehingga, menjadi bahan informasi untuk
pencegahan penyakit, khususnya untuk pembunuhan kuman penyebab.
Gambaran pola riwayat alamiah penyakit dapat kita lihat melalui Gambar 31. Dibawah ini :
3. Fase Klinis
Merupakan tahap di mana penyakit bertambah jelas dan mungkin tambah berat
dengan segala kelainan patologis dan gejalanya (stage of clinical disease). Pada
tahap ini penyakit sudah menunjukkan gejala dan perubahan fungsi organ yang
terkena yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah ditegakkan. Saatnya
pula setelah diagnosis ditegakkan, diperlukan pengobatan yang tepat untuk
menghindari akibat lanjut yang kurang baik. Kesulitan utama untuk mendiagnosis
penyakit pada tahap ini adalah karena tidak semua penyakit menimbulkan gejala
yang jelas, bahkan setiap penyakit tidak selalu menimubulkan gejala.
4. Fase Terminal
Fase terminal adalah tahap dimana mulai terlihat akibat dari penyakit. akibat
penyakit mungkin sembuh spontan, sembuh dengan terapi, remisi (kambuh),
perubahan berat penyakit kecacatan atau kematian. Contoh : poliomylitis tipe
paralitik membawa akibat paralisis, tipe bulber membawa akibat kematian dan
sebagainya ( Murti, 2000). Untuk lebih jelasnya berikut pembagian dari fase
terminal:
a. Sembuh sempurna : penyakit berakhir karena pejamu sembuh secara
sempurna, artinya bentuk dan fungsi tubuh kembali kepada keadaan sebelum
menderita penyakit.
b. Sembuh tetapi cacat : penyakit yang diderita berakhir dan penderita sembuh.
Sayangnya kesembuhan tersebut tidak sempurna, karena ditemukan cacat
pada pejamu. Adapun yang dimaksudkan dengan cacat, tidak hanya berupa
cacat fisik yang dapat dilihat oleh mata, tetapi juga cacat mikroskopik, cacat
fungsional, cacat mental dan cacat sosial.
c. Karier : pada karier, perjalanan penyakit seolah-olah terhenti, karena gejala
penyakit memang tidak tampak lagi. Padahal dalam diri pejamu masih
ditemukan bibit penyakit yang pada suatu saat, misalnya jika daya tahan tubuh
berkurang, penyakit akan timbul kembali. Keadaan karier ini tidak hanya
membahayakan diri pejamu sendiri, tetapi juga masyarakat sekitarnya, karena
dapat menjadi sumber penularan
d. Kronis : perjalanan penyakit tampak terhenti karena gejala penyakit tidak
berubah, dalam arti tidak bertambah berat dan ataupun tidak bertambah
ringan. Keadaan yang seperti tentu saja tidak menggembirakan, karena pada
dasarnya pejamu tetap berada dalam keadaan sakit.
e. Meninggal dunia : terhentinya perjalanan penyakit disini, bukan karena
sembuh, tetapi karena pejamu meninggal dunia. Keadaan seperti ini bukanlah
tujuan dari setiap tindakan kedokteran dan keperawatan.
Namun, ada beberapa penyakit yang tidak sesuai dengan bagan diatas, sehingga
dikenal dengan istilah atau kejadian seperti dibawah ini (Rajab, 2009):
a. Self limiting desease: proses penyakit berhenti sendiri dan semua fungsi tubuh
normal kembali.
b. Penyakit inapparent: penyakit yang berlangsung tanpa gejala klinis, penderita
penyakit tertentu sudah mulai menularkan penyakitnya sebelum masa inkubasi
selesai (misal campak, polio, rubella, cacar air), atau penderita penyakit tertentu
menularkan penyakitnya setelah gejala klinis muncul (misal filariasis, batuk rejan,
malaria).
c. Masa latent: masa antara masuknya agent sampai penderita dapat menularkan
penyakitnya.
d. Periode menular: penderita mampu menularkan penyakit ketika keadaan penderita
pulih (konvalesens) dan pulih sesudah penyakit tidak menunjukkan gejala klinis
(penderita menjadi karrier).
e. Periode akut: penyakit berlangsung dalam waktu singkat (beberapa hari atau
minggu saja). Misalnya, influenza, rabies, cacar, atau campak.
f. Periode kronis: penyakit ini berlangsung beberapa tahun (misal TBC, leprae,
AIDS).
a. Agent primer
Agen primer adalah sebagai berikut:
1) biologis: virus, bakteri, fungi, ricketsia, protozoa, mikroba.
2) butrient: protein, lemak, karbohidrat.
3) kimiawi: dapat bersifat endogenous seperti asidosis, hiperglikemia,
uremia dan eksogenous seperti zat kimia, allergen, gas, debu, dan lain-
lain.
4) fisika : panas, dingin, kelembaban, radiasi, tekanan
5) mekanis : Gesekan, benturan, pukulan, dan lain-lain.
6) psikis : faktor kehidupan sosial yang bersifat nonkausal dalam
hubungannya dengan proses kejadian penyakit maupun gangguan
kejiwaan.
b. Agent sekunder
Ini merupakan unsur pembantu / penambah dalam proses terjadinya penyakit
dan ikut dalam hubungan sebab akibat terjadinya penyakit. Dengan demikian,
studi epidemiologi penyakit tidak bisa hanya berpusat pada penyebab primer
saja tapi harus dilihat apakah agent sekunder berpengaruh atau tidak terhadap
terjadinya penyakit. Yang dipelajari dari agent sekunder ini diantara sebagai
berikut:
1) Infektivitas: kesanggupan agent untuk beradaptasi sendiri terhadap
lingkungan Host untuk mampu tinggal, hidup dan berkembang biak dalam
jaringan Host
2) Patogenesitas: kesanggupan agent untuk menimbulkan reaksi patologis
(penyakit) pada Host setelah infeksi
3) Virulensi: kesanggupan agent untuk menghasilkan reaksi patologis berat
yang menyebabkan kematian
4) Toksisitas: kesanggupan agent untuk memproduksi toksin yang merusak
jaringan Host
5) Invasivitas: kesanggupan agent untuk penetrasi dan menyebar kedalam
jaringan Host
6) Antigenisitas: kesanggupan agent merangsang reaksi imunologis Host
(membentuk antibodi).
Pencegahan tingkat pertama dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) menjauhkan
agen untuk dapat kontak atau memapar pejamu, dan (2) menurunkan kepekaan
pejamu (host susceptibility). Intervensi ini dilakukan sebelum perubahan
patologis terjadi (fase prepatogenesis).Jika suatu penyakit lolos dari pencegahan
primordial, maka saatnya pencegahan tingkat pertama ini digalakkan terhadap
penyakit. Apabila lolos dari upaya maka penyakit itu akan segera dapat timbul
secara epidemiologis, tercipta sebagai suatu penyakit yang endemis atau yang
lebih berbahaya apabila timbul dalam bentuk KLB (Bustan, 2006: 53).
Pencegahan tingkat keua ini dilakukan dalam fase patologis dengan cara
mengetahui perubahan klinik atau fisiologis yang terjadi dalam awal penyakit
(early symptoms) atau semasa masih dalam presymtomatic, masa sangat awal
kelainan klinik. Pencegahan ini ditunjukkan untuk meneteksi penyakit sedini
mungkin untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.Dengan demikian,
pencegahan ini sekurang-kurangnya dapat menghambat atau memperlambat
progresifitas penyakit, mencegah komplikasi penyakit, dan membatasi
kemungkinan kecacatan.
Bentuk utama pencegahan tingkat kedua adalah penyaringan
(skrening).Adapun dengan skrening diharapkan dapat dideteksi indikator fisiologi
awal yang ada sebelum orang menunjukkan keluhan. Contoh skrening adalah
hapusan Pap (pap smear) untuk kanker serviks, tes pendengaran untuk kerusakan
ketulian, skin test untuk tuberkulin, VDRL untuk sifilis, dan Phenylalanine test
untuk phenylketonuria (PKU) untuk retardasi mental bayi. Deteksi penyakit
secara dini dapat dilakukan dengan cara:
1) penyaringan,
2) pengamatan epidemiologis,
3) survei epidemiologis, dan
4) memberi pelayanan kesehatan sebaik-baiknya pada sarana pelayanan
umum ataU praktek dokter swasta.
5) Pendidikan kesehatan
6) Imunisasi
7) Konsul genetika
8) Sterilisasi alat
9) Memakai sarung tangan
10) Memakai masker
LEMBAR TUGAS
a. Penyakit Diare
b. Penyaki Tuberkulosis
c. Penyakit Demam Berdarah Dengue
d. Penyakit Malaria
e. Penyakit Difteri
Achmasi, Umar Fahmi. 2013. Kesehatan Masyarakat Teori dan Aplikasi. Depok:
Raja Grafindo
Murti Bisma. 1997. Prinsip Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada
university Press.
Sumantri, Arif. 2015. Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Kencana Pernada Media Grup
Mukeno H.J, 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Air Langga
UniversityPress.