Anda di halaman 1dari 14

ALAT BUKTI ELEKTRONIK DAN PEMBUKTIAN

DALAM PERSPEKTIF PENGADILAN AGAMA

Fattah Hilalluddin1

A. Latar Belakang Masalah

Peradilan Agama adalah peradilan yang khusus menangani masalah-masalah orang Islam
yang terkait dengan ekonomi syariah, ahwalus syaksiyah dan sengketa-sengketa yang terkait
dengan perdata. Dalam memahami peradilan di Indonesia, hal pertama yang muncul dipengadilan
secara umum adalah adanya hakim dan undang-undang yang menjadi panduan memutus suatu
perkara dan akan menyelesaikan persengketaan ataukah penetapan. Oleh karena itu system hukum
di Indonesia menganut system hukum civil law yang diadopsi dari hukum Belanda, karena dalam
pelaksanaannya hakim menganut undang-undang, sedangkan common law hanya berpedoman
pada putusan hakim. Jika dilihat dari sudut pandang keadilan, system hukum common law lebih
tegas dalam putusan keadilan karena tidak ada intervensi dari berbagai kitab, khususnya undang-
undang. Sedangkan untuk civil law lebih sistematis dalam penerapannya karena disitu dituliskan
dalam undang-undang, tetapi unsur keadilannya hilang karena undang-undang belum tentu
mengatur dan mencapai sebuah keadilan karena hanya bersifat putusan hakim terikat oleh undang-
undang.

Persidangan adalah suatu ketentuan yang harus diikuti oleh seseorang yang disitu akan
diadakan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Hal yang paling penting dalam
persidangan adalah pembuktian, yang dimana pembuktian itu adalah hal yang menjadi sah atau
tidaknya suatu gugatan. Keadilan akan tercapai jika pembuktian yang dibuktikan adalah abash ,
begitu juga sebaliknya. Karena dalam hukum yang menjadi dasar putusan adalah pembuktian,
karena hal yang yang tidak bisa dibuktikan berarti bohong, oleh karena itu putusan hakim harus
didasarkan pada pembuktian. Seiring perkembangan zaman yang dimana era ini mengalami
digitalisasi , maka suatu pembuktian yang dilakukan seseorang dengan pembuktian berbentuk
elektronik. Karena memang pembuktian elektronik ini penting, maka diperlukan kacamata hakim

1
Mahasiswa Kelas HES 5H Jurusan Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah IAIN Surakarta, NIM. 162111340.

1
untuk mengabsahkan suatu pembuktian tersebut dan peran undang-undang dalam memenuhi
kebutuhan digitalisasi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi alat bukti elektronik dalam perkara di Peradilan Agama?


2. Apa saja macam-macam alat bukti di Peradilan Agama ?
3. Apa saja macam-macam alat bukti elektronik dalam perkara perdata ?
4. Bagaimana implikasi perkembangan bukti elektronik terhadap system pembuktian dalam
penyelesaian sengketa pengadilan di Indonesia ?

C. Pembahasan

1. Pengertian Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara di Peradilan Agama

Secara umum, bukti elektronik merupakan bukti yang digunakan oleh seseorang
untuk membuktikan/membenarkan perkaranya dalam bentuk kemajuan teknologi misalnya
ATM, E-Commerce dll. Untuk menguraikan lebih dalam mengenai alat bukti elektronik
maka diperlukan penjelasan dari alat bukti itu sendiri yang esensinya merupakan setengah
dari penjelasan elektronik. Jadi untuk membuktikan/membenarkan perkaranya maka pihak
yang membenarkan harus membawa alat bukti.

Kata membuktikan mengandung beberapa pengertian dan dimaknai oleh Sudikno


Mertokusumo diantaranya: 2

a. Kata membuktikan diartikan dengan arti logis atau ilmiah. Membuktikan disini
berarti memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap
orang dan tidak memungkinkan dengan adanya bukti lawan
b. Membuktikan juga mempunyai arti memberi kepastian, hanya saja disini bukan
kepastian yang mutlak, melainkan keputusan yang bersifat nisbi yang
mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu yang didasarkan atas perasaan belaka
(conviction in time) dan kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal
(conviction rasonnee)

2
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,2010), hlm.142-
143.

2
c. Dalam arti yuridis, tidak dimungkinkan adanya pembuktian yang mutlak yang
berlaku bagi setiap orang serta menutup kemungkinan akan bukti lawan. Akan
tetapi, merupakan pembuktian yang bersifat khusus. Jadi dalam pembuktian
tidak menuju kepada kebenaran mutlak, karena adanya kemungkinan dari pihak
yang memalsukan alat bukti, maka dimungkinkan adanya bukti lawan.

Jadi dalam pembuktian yang dimaksudkan adalah bahwa sesuatu itu dianggap
benar apabila ada fakta ataupun pengamatan yang memperkuat kebenaran tersebut. Ketika
seseorang mengatakan sesuatu yang benar maka dia harus punya sarana yang digunakan
untuk membuktikan kebenarannya itu, sehingga tidak mudah disangkal orang lain dan
dengan bukti tersebut akan menjadikan kebenaran yang mutlak. Sejalan dengan itu
Rohman A. Rasyid dan dikaitkan dengan pembuktian yang diadakan di Peradilan,
pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan
dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang
memeriksanya.3 Pendapat itu mendeskripsikan bahwa kebenaran pihak yang menyatakan
bukti belum tentu kebenarannya karena bisa jadi terdapat kebohongan, maka untuk itu pun
diperlukan penyangkal bukti dari pihak lawan

Sedangkan elektronik disini dimaksudkan dengan informasi atau dokumen-


dokumen elektronik serta keluaran-keluaran computer lainnya. Karena memang maraknya
aktivitas elektronik serta hasil cetak dari media elektronik itu maka dipandang dapat
memudahkan pelaksanaan hukumnya, Bukti elektronik dalam hal ini dapat dikatakan sah
apabila menggunakan system elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu
“System elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan , mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik”.4

Jadi yang merupakan bukti elektronik yang dapat dibawa untuk bukti di
persidangan adalah bukti yang memberikan informasi yaitu informasi elektronik untuk
dijadikan pedoman hakim dalam memtus perkaranya.

3
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh-Contoh Surat Dalam Praktik Hukum
Acara di Peradilan Agama (Solo: Mandar Maju, 2018), hlm.188.
4
Pasal 1 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

3
2. Macam-Macam Alat Bukti di Peradilan Agama

Pasal 164 HIR/284 RGb mengatur secara limitative mengenai alat bukti yang
dipergunakan untuk pembuktian:

a. Alat Bukti Tertulis (Surat)


Menurut Sudikno Mertokusumo alat bukti tertulis ialah segala sesuatu yang
memuat tanda-tanda baca, dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.5
Dengan demukian segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda baca atau meskipun
memuat tanda-tanda baca akan tetapi tidak mengandung buah pikiran, tidaklah
termasuk dalam pengeertian alat bukti tertulis atau surat. Surat juga merupakan alat
bukti yang utama, yang dimana dalam kasus keperdataan, surat (perjanjian) dilakukan
secara tertulis dan merupakan bukti yang utama ketika terjadi perselisihan.
Ada beberapa jenis mengenai macam-macam surat:
1) Surat Biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan
alat bukti. Seandainya surat biasa dijadikan bukti maka hanya suatu
kebetulan saja. Yang termasuk suarat biasa adalah surat cinta, surat-surat
yang berhubungan dengan korespondensi, dll.6
2) Akta Otentik
Menurut Sudikno Mertokusumo akta otentik secara pengertian dibagi
menjadi dua yaitu secara teoritis dan dogmatis. Secara teoritis yang
dimaksud dengan akta otenti adalah surat atau akta yang sejak semula
sengaja secara resmi dibuat (tidak dibawah tangan) dengan tujuan untuk
dijadikan alat bukti dalam pembuktian di kemudian hari kalua terjadi
sengketa. Sedangkan pengertian secara dogmatis yaitu yang menurut
hukum positif yaitu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang
dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum (pejabat umum)

5
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,2010), hlm.157.
6
Soebekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradya Paramita, 1980), hlm.178.

4
yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. 7 Akta otentik
misalnya, Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai dan lain-lain.
3) Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian
oleh para pihak yang berkepentingan tanpa bantuan dari pejaba yang
berwenang. Segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut
akta dibawah tangan, atau dengan kata lain segala jenis akta yang tidak
dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum termasuk rumpun akta dibawah
tangan. Syarat pokok suatu akta dibawah tangan dipandang dari hukum
pembuktian, yaitu8: surat atau tulisan itu ditandatangani, isi yang
diterangkan didalamnya menyangkut perbuatan hukum atau hubungan
hukum, dan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan atau
hubungan hukum yang disebut didalamnya.
b. Alat Bukti Saksi
Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri
suatu peristiwa. Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk
menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja
menyaksikan suatu peristiwa.9 Saksi disini memberikan kepastian akan perkara yang
sedang di periksa di persidangan karena saksi disini memang merupakan informasi
yang telah melihat mendengar, dan mengalami sendiri kejadian tersebut. Sudikno
Mertokusumo juga memberikan definisi mengenai saksi yaitu kepastian yang diberikan
kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam
perkara, yang dipanggil di persidangan.10
Informasi yang diberikan oleh saksi tidak boleh bersifat membuat kesimpuan atau
dugaan dari persitiwa tersebut, saksi hanya mendetailkan informasi dan didukung

7
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,2010), hlm.162.
8
Efa Laila Farikhah, Bukti Elektronik Dalam System Pembuktian Perdata (Bandung: PT Refika Aditama, 2017),
hlm.17.
9
Soebekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradya Paramita, 1980), hlm.178.
10
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,2010), hlm.176.

5
dengan alat bukti yang lain, karena keterang satu saksi saja bukan merupakan alat bukti
(unus testis nullus testis). Satu saksi harus didukung dengan alat bukti lain.11
Tetapi dapat dikecualikan orang-orang yang tidak dapat memberikan kesaksian
atau orang yang tidak dapat dijadikan saksi:12
1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari
salah satu pihak
2) Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai
3) Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah
berumur 15 tahun
4) Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang
c. Alat Bukti Persangkaan-Prsangkaan
Persangkaan-persangkaan pada hakikatnya merupakan alat bukti yang bersifat
tidak langsung, karena alat bukti persangkaan tidak dapat berdiri sendiri melainkan
harus dengan perantara bukti lain. Dengan persangkaan, suatu peristiwa dibuktikan
secara tidak langsung, artinya dengan melalui pembuktian peristiwa lain. Misalnya
untuk membuktikan ketidakhadiran seorang pada suatu waktu sitempat tertentu,
dilakukan dengan cara membuktikan kehadirannya pada waktu yang sama ditempat
yang berbeda.
Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau hakim ditarik dari
suatu peristiwa yang terang dan nyata kearah peristiwa lain yang belum terang
kenyataannya.13 Oleh karena itu jika dilihat dari pengertiannya, alat bukti persangkaan-
persangkaan dapat dibedakan menjadi:14
1) Persangkaan berdasarkan kenyatan (feitelijke atau rechterlijke vermoedens)
Pada persangkaan berdasarkan kenyataan atau persangkaan hakim,
hakimlah yang memutuskan berdasarkan kenyataannya, apakah mungkin
dan sampai berapa jauh kemungkinan untuk membuktikan suatu peristiwa
tertentu dengan peristiwa lain. Hakim bebas dalam menemukan

11
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh-Contoh Surat Dalam Praktik Hukum
Acara di Peradilan Agama (Solo: Mandar Maju, 2018), hlm.190.
12
Pasal 145 ayat (1) HIR
13
Pasal 1915 BW
14
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,2010), hlm.176.

6
persangkaan berdasarkan kenyataan, setiap peristiwa yang telah dibuktikan
dalam persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan
2) Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke vermoedens atau
rechtvermoedens)
Pada persangkaan berdasarkan hukum, undang-undanglah yang
menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan
dengan peristiwa yang tidak diajukan.persangkaan berdasarkan hukum ini
dibagi 2, yaitu:
a) Persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya
pembuktian lawan (praesumptiones juris tantum)
b) Persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan
pembuktian lawan (praesumptiones juris et de jure).
d. Alat Bukti Pengakuan
Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan
hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Oleh karena itu peristiwa atau sengketa
dianggap selesai setelah adanya pengakuan. Pengakuan ada dua macam sebagai
berikut:
1) Pengakuan di depan sidang15
Adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak denga
membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian saja. Pengakuan didepan
siding merupakan pembuktian yang sempurna. Pengakuan didepan siding
tidak dapat ditarik kembali kecuali pengakuan yang diberikan terdapat
kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan dapat berupa
pengakuan lisan dan tertulis, pengakuan dalam jawaban dipersamakan
pengakuan lisan di depan persidangan.
2) Pengakuan diluar sidang16
Pengakuan diluar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan
pembuktiannya bebas tergantung pada penilaian hakim yang memriksa.
Pengakuan diluar sidang secara tertulis tidak perlu pembuktian tentang

15
Pasal 174 HIR
16
Pasal 175 HIR

7
pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan
pembuktian atas pengakuan tersebut.
e. Alat Bukti Sumpah
Sumpah erat kaitannya dengan kebenaran apa yang dilakukan dan berjanjani
kepada Allah bahwa apa yang dibuktikannya adalah benar, karena ini kaitannya dengan
Pengadilan Agama, maka disini subjek hukumnya adalah orang Islam. Sumpah pada
umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat, diberikan atau diucapkan pada waktu
memberikan janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Allah atau
keterangan yang tidak benar dan akan dihukum oleh Allah.17
HIR/RGb menyebutkan ada 3 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu sumoah
pelengkap (sumpah suppletoir), sumpah pemutus (sumpah decisoir), dan sumpah
penaksir ( sumpah aestimoteir) yang diatur dalam pasal 155-158 dan 177 HIR (182-
185 dan 314 RGb).
1) Sumpah suppletoir atau sumpah pelengkap yaitu sumpah yang diperintahkan
oleh hakm karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk
melengkpi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar
putusannya. Untuk dapat diperintahkan bersumpah suppletoir kepada salah satu
pihak, harus ada pembuktan permulaan lebih dahulu, tetapi pembuktian tersebut
belum mencukupi dan tidak ada alat bukti lain yang digunakan, sehingga
apabila ditambah dengan sumpah maka pemeriksaan perkara menjadi selesai
dan hakim dapat menjatuhkan putusannya.
2) Sumpah decisior atau sumpah pemutus yang bersifat menentukan dan
menyelesaikan sengketa (litis decisior), yaitu sumpah yang dibebankan atas
permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Sumpah ini dapat diperintahkan
meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, karenanya sumpah ini dapat
dilakukan pada setiap saat selama pemeriksaan di persidangan. Akibat
mengucapkan sumpah ini adalah bahwa kebenaran peristiwa yang dimintakan
sumpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa
sumpah itu palsu ,sehingga sumpah decisior merupakan bukti yang bersifat
menentukan.

17
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,2010), hlm.197.

8
3) Sumpah aestimatoir atau sumpah penaksir , yaitu sumpah yang diperintahkan
oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan besarnya
uang ganti kerugian yang belum secara jelas dimintakan/disebutkan dalam
gugatannya. Sumpah ini baru dapat dibebankan oleh hakim kepada penggugat
bila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas kerugian tersebut.
3. Macam-Macam Alat Bukti Elektronik dalam Perkara Perdata

Hukum pembuktian perdata di Imdonesia, secara yuridis formal belum


mengkomodasikan dokumen atau informasi elektronik sebagai alat bukti dalam
penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Namun demikian, sebenarmya di Indonesia
telah ada beberapa tindakan yang mengarah pada penggunaan dan pengakuan terhadap
dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, misalnya dengan online trading dan bursa
efek, serta sarana elektronik lainnya sebagai media penyimpan dokumen perusahaan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
Dengan mengakui dokumen perusahaan tersebut berarti Indonesia telah mulai menjangkau
bukti elektronik.

Dalam UU ITE mengatur tentang Bukti Elektronik yaitu:18

1. Informasi dana tau dokumen elektronik dana tau hasil cetaknya merupakan alat bukti
yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah
2. Informasi dana tau dokumen elektronik dana tau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum
acara yang berlaku di Indonesia
3. Informasi dana tau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan system
elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini
4. Ketentuan mengenai informasi dana tau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak berlaku untuk:
a) Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis
b) Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

18
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

9
Disamping itu dalam praktik terjadinya pula pemeriksaan saksi sebagai alat bukti
dengan menggunakan perangkat elektronik yang dinamakan video conferences (atau
pemeriksaan saksi melalui teleconferences). Hal ini dilakukan manakala saksi akan
diperiksa tidak dapat hadir secara fisik di persidangan karena berada diluar negeri,
sementara kesaksiannya sangat diperlukan dalam persidangan yang sedang berlangsung di
pengadilan. Pemeriksaan saksi jarak jauh ini dalam praktik pernah dilakukan pada perkara
pidana, tentunya hal ini dapat saja dilakukan dalam pemeriksaan sengketa perdata di
pengadilan.19

4. Implikasi Perkembangan Bukti Elektronik Terhadap System Pembuktian Dalam


Penyelesaian Sengketa Pengadilan Di Indonesia
Secara khusus, hukum pembuktian di Indonesia belum mengakui dokumen
elektronik/informasi elektronik serta hasil cetaknya sebagai alat bukti, padahal saat ini
media elektronik telah banyak digunakan dalam kehidupan, salah satunya dalam
elektronik banking. Mengingat pembuktian adalah hal penting yang terdapat di
persidangan dan belum terakomodasi di hukum acara di Indonesia. Karena ditakutkan data
elektronik tersebut rentan untuk diubah, dpalsukan, dan dikirim ke penjuru berbagai dunia
dalam kecepatan yang sangat cepat.
Dalam praktik muncul berbagai bentuk data elektronik, sementara itu belum
terakomodasinya alat bukti elektronik secara formal dalam ketentuan acara perdata dan ini
justru menghambat hakim atau menyulitkan hakim dalam memutuskan. Tetapi jika ada
pihak yang mengajukan data elektronik tersebutm hakim dapat menerimanya untuk
memeriksanya karena memang undang-undang belum jelas atau belum ada
pengaturannya.20 Hal ini sesuai dengan asas yang terkandung dalam pasal 16 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa
hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus perkara yang diajukan
kepadanya meskipun hukumnya tidak jelas atau tidak ada.
Jika dianalogikan dengan putusan Mahkamah Agung 14 April Tahun 1976
(yurisprudensi) diatas, maka fax, mikro film, atau microfische dapat dianggap sebagai alat

19
Efa Laila Farikhah, Bukti Elektronik Dalam System Pembuktian Perdata (Bandung: PT Refika Aditama, 2017),
hlm.26.
20
Ibid.,hlm.95.

10
bukti tertulis. Sebagaimana diketahui bahwa kekuatan pembuktian surat sebagai alat bukti
tertulis terletak pada surat aslinya, oleh karena itu baik fax maupun mikro film harus seuai
dengan aslinya. Kalua aslinya hilang harus disertai dengan keterangan atau dengan jalan
apapun secara sah menyatakan bahwa fax atau microfilm tersebut seuai aslinya.
Kemudian hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik merupakan sedikit kemajuan dalam menyikapi dan
menanggulangi maraknya perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik,
terutama dalam proses penegakan hukum/proses beracaranya. Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2008 teantang Informasi dan Transaksi Elektronik telah
memberikan sedikit solusi atas kekosongan hukum acara perdata pada perkara-perkara
perdata yang menggunakan alat bukti elektronik . pada praktiknya masih banyak kendala
yang dihadapi para penegak hukum dalam melakukan proses pembuktian pada perkara
perdata yang menggunakan alat bukti elektronik, karena sulitnya mendapatkan alat bukti
yang dianggap sah secara hukum, keterbatasan sumber daya manusia dari penegak hukum
itu sendiri dalam menggunakan teknologi informs untuk mecari suatu hal yang dapat
diajukan sebagai alat bukti yang sah pada perkara perdata yang menggunakan alat bukt
elektronik.21

D. Kesimpulan

Pembuktian yang diadakan di Peradilan, pembuktian adalah upaya yang dilakukan para
pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat
meyakinkan hakim yang memeriksanya. Dari kata itu mendeskripsikan bahwa kebenaran pihak
yang menyatakan bukti belum tentu kebenarannya karena bisa jadi terdapat kebohongan, maka
untuk itu pun diperlukan penyangkal bukti dari pihak lawan. Sedangkan elektronik disini
dimaksudkan dengan informasi atau dokumen-dokumen elektronik serta keluaran-keluaran
computer lainnya. Karena memang maraknya aktivitas elektronik serta hasil cetak dari media
elektronik itu maka dipandang dapat memudahkan pelaksanaan hukumnya, Bukti elektronik dalam
hal ini dapat dikatakan sah apabila menggunakan system elektronik yang sesuai dengan peraturan
yang berlaku yaitu “System elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang

21
Refli Aditiya Mamitoho, dalam Jurnal Lex et Societatis Vol.II/No.1 Tahun 2014

11
berfungsi mempersiapkan , mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi elektronik”.

Macam-macam alat bukti yang digunakan untuk membuktiakn dalam peradilan adalah
sebagai berikut:

1. Alat bukti tertulis (surat) ialah bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan
tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Sedangkan dalam alat bukti
tertulis tradapat tiga jenis surat yaitu:
a. Surat biasa yaitu surat yang tidak dimaksudkan untuk dijadikan alat bukti, tetapi
jika bisa dijadikan alat bukti itu hanyalah suatu kebetulan
b. Akta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang
c. Akta dibawah tangan adalah yaitu akta yang tidak dibuat dihadapan pejabat
yang berwenang.
2. Alat bukti keterangan saksi ialah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan
mengalami sendiri suatu peristiwa. Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai
saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan
tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa
3. Alat bukti persangkaan-persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang
atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang dan nyata kearah peristiwa lain
yang belum terang kenyataannya
4. Alat bukti sumpah ialah Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan
peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan

Terdapat berbagai macam alat bukti elektronik yang sering dihadapkan dipengadilan ada
yang dalam bentuk dokumen elektronik, misalnya fax, microfilm, email, sms dll. Tetapi juga ada
berbagai keterangan saksi yang dihadapkan pada video teleconference yang dima saksi secara fisik
tidak bisa hadir didalam persidangan dan untuk memberikan kesaksian dia memberika keterang
lewat video.

Kemudian hadirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi


dan Transaksi Elektronik merupakan sedikit kemajuan dalam menyikapi dan
menanggulangi maraknya perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik,

12
terutama dalam proses penegakan hukum/proses beracaranya. Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang
Undang Nomor 11 Tahun 2008 teantang Informasi dan Transaksi Elektronik telah
memberikan sedikit solusi atas kekosongan hukum acara perdata pada perkara-perkara
perdata yang menggunakan alat bukti elektronik . pada praktiknya masih banyak kendala
yang dihadapi para penegak hukum dalam melakukan proses pembuktian pada perkara
perdata yang menggunakan alat bukti elektronik, karena sulitnya mendapatkan alat bukti
yang dianggap sah secara hukum, keterbatasan sumber daya manusia dari penegak hukum
itu sendiri dalam menggunakan teknologi informs untuk mecari suatu hal yang dapat
diajukan sebagai alat bukti yang sah pada perkara perdata yang menggunakan alat bukt
elektronik.

13
DAFTAR PUSTAKA

Farikhah, Efa Laila. 2017. Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perdata. Bandung: PT
Refika Aditama.

Mertokusumo, Sudikno. 2010. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka.

Soebekti. 1980. Hukum Pembuktian. Jakarta: Pradya Paramita.

Tri Wahyudi, Abdullah. 2018. Hukum Acara Peradilan Agama Dilengakpi Surat-Surat Dalam
Praktik Hukum Acara Di Peradilan Agama. Bandung: Mandar Maju Bandung.

Refli Aditiya Mamitoho, dalam Jurnal Lex et Societatis Vol.II/No.1 Tahun 2014.

14

Anda mungkin juga menyukai