Anda di halaman 1dari 14

Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman

“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

PERUMUSAN APLIKASI ALTERNATIF DESAIN PENAMPUNGAN


AIR HUJAN UNTUK MASYARAKAT
Studi Kasus: Provinsi Nusa Tenggara Timur

Made Widiadnyana Wardiha1, Aris Prihandono


1
Surel: made.wardiha@rocketmail.com

ABSTRAK: Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki masalah ketersediaan air bersih dan
perlu dicarikan solusi. Salah satunya adalah dengan penyediaan air melalui penampungan air
hujan (PAH). Di antara kekurangan PAH adalah perubahan kualitas air tampungan, curah
hujan rendah, serta kendala penyediaan material. Oleh karena itu perlu dirumuskan alternatif
desain PAH yang sesuai dengan kondisi masyarakat di NTT. Untuk merumuskan alternatif
desain PAH perlu kajian data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh dari kajian
literatur kecuali data curah hujan yang diperoleh melalui BMKG Provinsi NTT. Data primer
diperoleh dari hasil analisis dan pengambilan sampel serta pengujian kualitas air untuk
selanjutnya dianalisis dengan metode statistik deskriptif. Kajian terhadap data sekunder dan
primer dimaksudkan untuk melihat kecenderungan persebaran curah hujan, analisis kualitas air
hasil tampungan PAH. Penyusunan desain penampungan air hujan yang dianalisis berdasarkan
aspek model, metode pengolahan air, dan manajemen penyediaan air. Alternatif desain PAH
dikemas dalam bentuk rumusan aplikasi menggunakan perangkat lunak dengan input data dari
parameter-parameter yang dinilai berpengaruh. Hasil dari rumusan aplikasi menunjukkan
bahwa dari parameter-parameter yang diinput, dihasilkan alternatif PAH dengan rincian
volume, dimensi, metode penangkapan air hujan, jenis PAH, metode penyaringan, metode
penjernihan, metode netralisasi, penempatan PAH, dan kelengkapan sumur resapan.

Kata kunci: penampungan air hujan, alternatif desain, aplikasi, nusa tenggara timur

1. Pendahuluan
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki satu masalah ketersediaan air bersih. Enam dari 21
kabupaten di NTT saat ini masih mengalami krisis air bersih, yaitu Kabupaten Kupang, Ende,
Sikka, Flores Timur, Belu, dan Sumba Timur [1]. Kurangnya ketersediaan air di NTT antara lain
disebabkan oleh curah hujan yang rendah di bawah 1300 mm/tahun serta budaya masyarakat NTT
yang mendirikan rumah di tempat tinggi sehingga jauh dari sumber air [2]. Berdasarkan data
tersebut, masalah penyediaan air bersih di Provinsi NTT perlu dicarikan solusi sesuai dengan
kondisi permasalahan yang ada di Provinsi NTT. Salah satu solusinya adalah penyediaan air
melalui penampungan air hujan (PAH). Berdasarkan penelitian tahun 2011 oleh Balai
Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar (Balai PTPT Denpasar), masyarakat di
NTT rata-rata menggunakan PAH sebagai alat untuk penyediaan air bersih. Namun, beberapa hal
yang menjadi kendala dalam penyediaan air dengan PAH diantaranya perubahan kualitas air
setelah ditampung beberapa bulan, curah hujan yang rendah sehingga air hujan yang tertampung
jumlahnya sedikit, serta kendala penyediaan material untuk pembangunan PAH di pulau-pulau
kecil. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu disusun konsep desain PAH yang sesuai dengan
kondisi masyarakat di NTT sehingga dapat menjadi alternatif untuk permasalahan penyediaan air di
NTT. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat menjadi alternatif desain yang dapat digunakan
pemerintah daerah maupun masyarakat di NTT yang akan membangun PAH yang secara ekonomi
terjangkau, secara teknis sederhana namun tetap memenuhi standar air bersih atau air minum.

ISBN 978-602-8330-73-2 297


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

2. Kajian Pustaka
Air hujan berasal dari proses pengembunan kelembaban udara yang kemudian terkumpul dalam
bentuk awan di angkasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air hujan sangat miskin kandungan
mineral di antaranya garam Kalsium, Magnesium dan Natrium Karbonat, tetapi masih memenuhi
persyaratan kimia dan fisika untuk air baku air minum [3]. Air hujan hasil panen harus ditampung
dalam penampungan yang terbebas dari kontaminasi yang dapat menurunkan kualitas air. Bak
penampung air hujan adalah sarana untuk menampung air hujan yang dilengkapi dengan bak
penyaring, lubang periksa, pipa masukan, pipa pelimpah, pipa penguras, dan pipa keluaran yang
dapat digunakan sebagai penyediaan air bersih [4]. Dari pengertian tersebut, bagian-bagian utama
dari suatu penampung air hujan yaitu bagian penangkap air hujan, bagian penyaringan, dan bagian
penampungan.
2.1. Penangkapan
Proses penangkapan air hujan dalam perencanaannya perlu memperhitungkan curah hujan, luasan
atap, bahan atap, termasuk kebutuhan pipa atau talang. Bidang tadah air hujan tidak hanya atap,
tapi juga termasuk lapangan terbuka kedap air, dan tempat parkir. Namun untuk permukiman
bidang tadah utama adalah atap seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Bidang Tadah dengan Model Atap yang Berbeda [3]

Kemampuan bidang tadah dalam menangkap air hujan ini sangat tergantung dari besarnya luasan
dan koefisien permeabilitas dari bahan/jenis bidang tadah/ koefisien run off. Koefisien run off
adalah koefisien pengaliran air limpasan, yang besarannya bervariasi tergantung jenis permukaan
dan kemiringan yang ada. Koefisien run off jenis permukaan dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah
ini.
Tabel 1 Angka koefisien run off [3]
No Jenis Permukaan Angka Pengaliran (%)
1 Permukaan atap bangunan 90 – 95
2 Permukaan yang diperkeras 70 – 90
3 Permukaan berupa taman 25 - 40

Berdasarkan besarnya curah hujan yang turun di suatu lokasi dan luasnya bidang tadah, maka dapat
diketahui volume potensial dari air hujan yang dapat ditampung. Secara teoritis, kurang lebih 2,34
liter/m2 dapat dikumpulkan dari 1 inci (25,4 mm) air hujan yang turun. Selebihnya, air hujan akan
hilang akibat pembilasan pertama, penguapan, mengalir sebagai air permukaan (run-off). Tabel 2
menunjukkan keterkaitan antara besarnya luasan bidang tadah dan besarnya curah hujan dengan
volume potensial air hujan yang dapat dimanfaatkan.

298 ISBN 978-602-8330-73-2


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

2.2. Penyaringan
Pada petunjuk teknis Pt-S-04-2000-C mengenai spesifikasi bak penampung air hujan untuk air
bersih dari ferrosemen, sistem penyaringan air hujan digunakan sebelum masuk ke bak
penampungan [5]. Bak penyaring ini menggunakan media saringan pasir dengan ukuran diameter
0,3 – 0,4 mm dan kerikil dengan ukuran diameter 10-40 mm.
2.3. Penampungan
Selama ini telah dikenal dua macam cara perhitungan volume penampungan air hujan yang bisa
dilakukan, yaitu perhitungan praktis (berdasarkan data tahunan dalam periode yang cukup panjang)
dan perhitungan teoritis (berdasarkan data harian untuk periode yang panjang). Sebelumnya
diperkenalkan beberapa istilah dalam perhitungan dimensi penampungan air hujan, diantaranya
adalah perhitungan dengan volume tahunan maksimum, volume tahunan rata-rata, dan volume
optimal tahunan rata-rata [3].

Tabel 2 Besarnya curah hujan, luas atap dan volume potensial air hujan [3]
Curah Luas area atap (m2)
Hujan 100 150 200 250 300 400 500
(mm) Volume potensial air hujan per tahun (dalam kiloliter)
150 10 15 20 25 30 40 50
200 14 21 28 35 42 56 70
250 18 27 36 45 54 72 90
300 22 33 44 55 66 88 110
400 30 45 60 75 90 120 150
500 38 57 76 95 114 152 190
600 46 69 92 115 138 184 230
800 62 93 124 155 186 248 310
1000 78 117 156 195 234 312 390
1200 94 141 188 235 282 376 470

3. Metode
Data yang dikumpulkan dalam kegiatan ini berupa: (1) data sekunder, yaitu alternatif model dan
desain penampungan air hujan berserta fungsi masing-masing komponen; metode penangkapan air
hujan, penyaringan, penampungan, netralisasi, dan desinfeksi yang dapat digunakan termasuk
penggunaan bahan lokal dalam prosesnya; jenis-jenis atap yang digunakan di rumah-rumah di
Provinsi NTT; curah hujan di Provinsi NTT atau di kabupaten-kabupaten yang mengalami
kekeringan (Kupang, Ende, Sikka, Flores Timur, Belu, dan Sumba Timur) selama minimal lima
tahun terakhir; karakteristik lokasi, sumber daya alam atau potensi alam dalam bidang bahan
bangunan, bahan untuk filtrasi, netralisasi dan desinfeksi, serta karakteristik masyarakat di Provinsi
NTT; serta (2) data primer berupa data kondisi fasilitas penampungan air hujan serta kualitas air
tampungan di PAH di salah satu kabupaten di Provinsi NTT yaitu Kabupaten Timor Tengah
Selatan (TTS). Data sekunder diperoleh dari kajian literatur berupa laporan penelitian, jurnal,
maupun artikel, kecuali data curah hujan yang diperoleh melalui Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika (BMKG) Provinsi NTT di Kupang. Sedangkan data primer diperoleh dari hasil
survei dan pengambilan sampel serta pengujian kualitas air.
Pengolahan data dilakukan terhadap data curah hujan untuk melihat kecenderungan bulan kering,
rata-rata curah hujan dalam setahun. Selain itu, data curah hujan juga digunakan untuk menghitung
kebutuhan volume bak penampung air hujan dengan menggunakan metode volume optimal
tahunan rata-rata dan metode perhitungan bulan kering. Data kualitas air dari hasil analisis
dibandingkan dengan baku mutu air minum dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

ISBN 978-602-8330-73-2 299


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

(Permenkes) Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 untuk melihat parameter mana yang belum


memenuhi syarat.
Analisis data dilakukan dengan metode analisis statistik deskriptif. Analisis pertama yang
dilakukan adalah mengenai tingkat curah hujan untuk melihat bagaimana kecenderungan
persebaran curah hujan di kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi NTT. Selanjutnya dilakukan
analisis mengenai kualitas air hasil tampungan di PAH untuk melihat parameter mana yang belum
memenuhi syarat. Parameter yang belum memenuhi syarat menjadi pertimbangan jenis pengolahan
yang direkomendasikan untuk dilakukan. Penyusunan desain penampungan air hujan disusun
dalam beberapa alternatif, dan dianalisis berdasarkan aspek model, metode pengolahan air, dan
manajemen penyediaan air berdasarkan karakteristik permukiman. Alternatif disusun berdasarkan
dari literatur mengenai bangunan penampungan air hujan, sumber daya alam yang ada di NTT yang
dapat digunakan sebagai bahan untuk membangun PAH serta prosesnya, serta kondisi lokasi.
Alternatif desain PAH dikemas dalam bentuk rumusan aplikasi menggunakan perangkat lunak
Microsoft Excel dengan input data dari parameter-parameter yang dinilai berpengaruh setelah
analisis dilakukan. Selanjutnya dilakukan perhitungan dalam program tersebut untuk menghitung
dimensi bak penampung, dan melakukan analisis berdasarkan kondisi lokasi untuk memberikan
rekomendasi mengenai desain atau alternatif pembangunan PAH.

4. Hasil
4.1. Curah Hujan di Beberapa Kabupaten di Provinsi NTT
Data curah hujan di beberapa kabupaten di Provinsi NTT diperoleh melalui data sekunder yang
dikumpulkan dari stasiun BMKG di NTT, yaitu stasiun Lekunik (Kabupaten Rote Ndao), stasiun
Lasiana (Kabupaten Kupang), stasiun Naibonat (Kabupaten Kupang), stasiun Tardamu (Kabupaten
Sabu Raijua), stasiun Ogolidi (Kabupaten Sikka), stasiun Waingapu (Kabupaten Sumba Timur),
dan stasiun Wai Oti (Kabupaten Sikka). Tabel 3 menampilkan rekapitulasi curah hujan dan hari
hujan di stasiun tersebut untuk menghitung rata-rata curah hujan dan hari hujan untuk Provinsi
NTT.
Tabel 3 Rata-rata curah hujan dan hari hujan di Provinsi NTT
Curah Hujan Hari Hujan HH
Stasiun HH (bulan)
(CH) (HH) (minggu)
Rote Ndao – Lekunik 1449,9 99,7 14,243 3,561
Kupang-Naibonat 2690,1 79,3 11,329 2,832
Kupang-Lasiana 1649,32 112,6 16,086 4,021
Sabu-Tardamu 1195,9 93,5 13,357 3,339
Sikka – Ogolidi 2154,75 101 14,429 3,607
Sumba Timur – Waingapu 857,2 91,6 13,086 3,271
Maumere - Wai oti 1015,65 103,1 14,729 3,682
Rata-rata 1573,26 97,257 13,894 3,473

Melihat Tabel 3, terdapat rentang nilai curah hujan yang berkisar antara 850 – 2600 mm/tahun.
Curah hujan tertinggi pada Kabupaten Kupang dan terendah pada Kabupaten Sumba Timur, dan
rata-rata untuk Provinsi NTT adalah 1573,26 mm/tahun dengan hari hujan rata-rata adalah 97 hari
atau sekitar 3,5 bulan. Pulau-pulau kecil di NTT yang diwakili oleh stasiun Rote Ndao dan Sabu
menunjukkan tingkat curah hujan yang lebih dari 1000 mm/tahun dengan hari hujan lebih dari 3
bulan. Sedangkan di Pulau Timor yang diwakili oleh Kabupaten Kupang, curah hujan hingga 2000
mm/tahun dengan hari hujan antara 3-4 bulan. Pulau Flores (Sikka) curah hujan berkisar 1000-2000
mm/tahun dan hari hujan 3,5 bulan, serta paling rendah adalah Pulau Sumba yang kurang dari 900
mm/tahun.

300 ISBN 978-602-8330-73-2


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

4.2. Penyediaan Air dengan Bak PAH di Kabupaten TTS, Provinsi NTT
Survei mengenai kondisi penampungan air hujan dan kualitas air yang tertampung di bak PAH
dilakukan di Desa Nusa, Desa Tetaf, dan Desa Eno Neontes, Kabupaten TTS – NTT, pada bulan
Juli Tahun 2013. Kondisi PAH pada ketiga desa tersebut terlihat pada Gambar 2. Di Desa Nusa ada
dua rumah yang disurvei. Rumah I memiliki satu buah bak PAH dengan diameter 1,85 meter dan
tinggi 1,75 meter (Gambar 2.a). Air yang ditampung pada bak tersebut merupakan air hujan sampai
dengan bulan Mei. Artinya, hingga bulan Juli air telah tertampung selama dua bulan. Sedangkan
Rumah II memiliki bak PAH dengan diameter dan tinggi 2 meter (Gambar 2.b). Air hujan yang
tertampung di PAH ini adalah sampai dengan bulan April, sehingga waktu penampungan airnya
sekitar 3 bulan.
Desa selanjutnya yang disurvei adalah Desa Tetaf. PAH di salah satu rumah yang disurvei sudah
tidak digunakan lagi sehingga PAH sudah kering (Gambar 2.c). Hujan terakhir terjadi di desa ini
adalah sekitar bulan Maret atau sekitar 4 bulan sebelumnya. Namun karena bak dalam kondisi
kosong, kemungkinan penyebabnya adalah bocornya semen alas dari bak tersebut sehingga air
yang tertampung kemudian meresap. Bak PAH di rumah tersebut berdiameter 3 meter dan tinggi
sekitar 2 meter. Desa ketiga yang disurvei adalah Desa Eno Neontes. Di salah satu rumah di desa
tersebut, PAH ditanam di dalam tanah dengan diameter 1,5 meter dan kedalaman 2,5 meter. Air
hujan yang ditampung dalam PAH digunakan untuk kebutuhan minum, cuci, masak, dan lain-lain.
Air yang tertampung sampai dengan saat survei adalah selama 2 bulan. Untuk mengambil air yang
terdapat di dalam PAH, penghuni rumah menggunakan pompa manual di mana air diangkat dengan
prinsip pompa hidrolis (Gambar 2.d). Untuk memasukkan air hujan ke dalam PAH digunakan
talang air berbahan bambu.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 2 (a) Bak PAH di Rumah I Desa Nusa; (b) Bak PAH di Rumah II Desa Nusa; (c) Bak PAH di Desa
Tetaf; (d) Pengambilan air di PAH dengan pompa manual di Desa Eno Neontes

Dari semua PAH yang dianalisis, diambil masing-masing 2 sampel untuk uji kimia dan
bakteriologis. Berdasarkan hasil pengujian dan dibandingkan dengan standar dari Permenkes
Nomor 492/MENKES/PER/IV/2010 terdapat beberapa parameter yang tidak memenuhi syarat
kualitas air yaitu kandungan coliform dan E. Coli dari parameter bakteriologis, serta kandungan
sisa klor dari parameter kimia seperti ditampilkan dalam Tabel 4. Hasil pengujian kualitas air yang

ISBN 978-602-8330-73-2 301


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

dilakukan menunjukkan bahwa kualitas air dalam bak PAH tidak memenuhi syarat baik untuk air
bersih maupun air minum dari parameter bakteriologis. Penyimpanan yang dilakukan selama
berbulan-bulan, di mana pada kasus di TTS ini dilakukan antara 2-4 bulan, dapat menurunkan
kualitas air yang ditampung. Walaupun hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut dengan menguji
kualitas air hujan yang ditampung pertama kali. Namun demikan, terbukti bahwa kualitas air yang
tertampung tidak memenuhi syarat kesehatan.

Tabel 4 Hasil pemeriksaan bakteriologis dan kimia terhadap sampel PAH yang tidak memenuhi standar
Sampel
Parameter Satuan Standar*
Nusa I Nusa II Eno Neontes
E.coli 3,6 3 34 E.coli/100 ml sampel 0
Coliform 42 14 >1100 Coliform/100 ml sampel 0
Sisa Chlor 0 0 0 mg/L 0.2 – 0.5
*Standar hasil pemeriksaan di atas disesuaikan dengan Permenkes No. 492/Menkes/Per/IV/2010 tentang
Persyaratan kualitas air minum.

5. Pembahasan
5.1. Analisis Alternatif Desain PAH untuk Masyarakat di NTT
Penyusunan alternatif desain penampungan air hujan (PAH) dilakukan dengan analisis terhadap
variabel-variabel yang berpengaruh di mana varibel tersebut dibagi menjadi 3 variabel utama yaitu
model, cara/metode pengolahan air, dan manajemen penyediaan air.
5.1.1. Alternatif Model PAH
Yang dimaksud dengan alternatif model adalah bentuk, bahan/material bangunan/bak PAH, tipe
area/dimensi tangkapan air hujan, dan lokasi penempatan PAH. Alternatif dari segi bentuk secara
umum terdiri dari dua bentuk yaitu bulat dan persegi atau persegi panjang. PAH berbentuk bulat
misalnya bangunan PAH dari beton, tangki air dari fiber atau aluminium, dan lainnya, sedangkan
PAH berbentuk persegi panjang misalnya bak air, bangunan PAH dari pasangan bata, atau sekedar
kolam tampungan biasa yang dibuat dengan menggali atau memasang tanggul untuk membentuk
bak air atau kolam. Berdasarkan Petunjuk Teknis Pt S-04-2000-C dan Pt S-05-2000-C, spesifikasi
penampungan air hujan terdiri dari bak PAH ferrosemen yang berbentuk bulat atau silinder dan dari
pasangan bata yang berbentuk persegi panjang atau segi empat [6]. Bentuk tangki yang umum
digunakan adalah tangki berbentuk silinder karena tangki ini memiliki nilai ekonomis dalam
perencanaan. Namun tangki persegi panjang sering disukai untuk tujuan tertentu seperti kemudahan
dalam proses konstruksi walaupun dalam hal pengurasan lumpur tangki berbentuk persegi panjang
yang memiliki titik-titik sudut yang akan menyulitkan dalam proses pembersihan.
Jika berdasarkan pada bahan/material yang digunakan untuk pembangunan bak penampungan air
hujan, ada berbagai macam seperti beton/ferrosemen, pasangan bata, logam (aluminium atau logam
lainnya), fiber, beton dengan tulangan bambu [7], dan lain-lain. Jenis material yang digunakan
berpengaruh terhadap lama pembuatan bak, biaya/harga, ketahanan/masa pakai, dan pemeliharaan.
Berikut merupakan perbandingan beberapa material yang dapat digunakan dalam pembuatan tangki
air. Tabel 5 dapat dijadikan pertimbangan pemilihan bahan/material yang dapat digunakan apabila
akan membuat bak PAH untuk masyarakat di NTT. Berdasarkan lokasi penempatan, bak
penampung atau bisa juga disebut kolam pengumpul air hujan dapat dibangun di atas permukaan
tanah atau di bawah bangunan/teras/rumah yang disesuaikan dengan ketersediaan lahan. Kelebihan
dan kekurangan kolam penampungan air hujan yang diletakkan di atas tanah dan di dalam tanah
dapat dilihat pada Tabel 6.
Analisis model bak PAH selanjutnya adalah berdasarkan area tangkapan air hujan. Metode
pemanenan air hujan pada umumnya dilakukan di daerah perkotaan yang memanfaatkan aliran

302 ISBN 978-602-8330-73-2


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

permukaan perkerasan jalan, atap rumah, dan lain-lain. Jika memperhatikan kondisi di NTT, secara
umum atap rumah di perkotaan berbahan genteng, asbes, seng, ataupun atap datar berbahan beton
sehingga dapat dilakukan penangkapan air hujan dengan atap. Namun di pedesaan, apalagi
perumahan tradisional, selain sebagian besar menggunakan atap seng (karena harga seng murah),
juga menggunakan atap dari bahan organik seperti daun lontar, alang-alang, dan potongan bambu.
Air hujan akan tetap mengalir pada jenis atap ini, namun permasalahannya adalah desain talang
yang tepat untuk jenis atap tersebut.
Untuk rumah dengan atap berbahan organik seperti disebutkan sebelumnya, maka alternatif untuk
PAH adalah membuat bangunan PAH yang terpisah dengan bangunan rumah namun memiliki atap
tersendiri sehingga dapat dimanfaatkan untuk memasang talang air dan mengalirkan air ke bak
penampung. Lokasi penempatan bak penampung juga mempengaruhi desain talang air hujan atau
saluran air hujan. Jika bak penampung diletakkan di atas tanah, maka talang air hujan yang berasal
dari atap dapat langsung menuju ke penampungan air hujan dengan jarak yang tidak terlalu
penjang. Namun jika penampungan air hujan diletakkan di bawah tanah, maka panjang pipa yang
digunakan untuk mengalirkan air dari atap akan lebih panjang, tapi keuntungannya adalah air
tampungan dari jalan raya atau halaman dapat dimanfaatkan dan dialirkan ke dalam PAH. Opsi
yang lain adalah dengan menambah sumur resapan. Jika tanpa sumur resapan, maka kelebihan air
tampungan keluar sebagai bentuk run off sehingga akan membebani saluran drainase. Namun jika
dilengkapi dengan sumur resapan, maka limpasan air dari PAH yang berlebih akan masuk ke dalam
sumur resapan yang membantu penyerapan air hujan ke dalam tanah

Tabel 5 Perbandingan beberapa material untuk pembuatan tangki air


Jenis Material
No Kelebihan Kekurangan
Bangunan
1. Beton Dapat digunakan untuk bak dengan ukuran Biaya pembuatan mahal [10];
beragam [8]; Biaya perawatan lebih untuk asam
Lebih tahan terhadap cuaca (panas dan mandi dan pelaburan setiap 7 – 8
hujan) [8]; tahun [8];
Dapat menjaga suhu air dengan baik [8]; Proses pembangunan lama [8];
Tidak fleksibel terhadap perubahan
kondisi tanah [8];
Memiliki cukup pori sehingga
kemungkinan air merembes [10];
2. Fiberglass Bahan fiberglass menolak alga lebih baik Tersedia dalam berbagai bentuk,
(FRP) karena tidak berpori [8]; tapi tidak semua bentuk [8];
Pembersihan dengan menyikat tidak sering Kurang tahan terhadap cuaca
[8]; (panas dan hujan), mudah
Pemasangan cepat [8]; lapuk/retak terkena panas matahari
Lebih fleksibel terhadap kondisi tanah [8]; [8];
Aksesoris lengkap dan standar [9]; Kurang dapat menjaga suhu air [8];
Tahan korosi [10];
3. Logam Proses galvanis membuat tahan korosi [10]; Jika proses galvanisasi tidak baik,
(galvanis, Daya tahan tangki seng sekitar 10-15 tahun bisa mengalami karat [10];
zincalume, [10]; Harga mahal.
stainless Tangki stainless tahan karat dan tahan
steel) hingga 20 tahun [10];
Tangki stainless tidak berbahaya bagi
kesehatan, mengandung antibacterial
property yang dapat membunuh bakteri
yang hidup pada cairan yang tersimpan di
dalamnya [11].
4. Plastik Ringan [10]; Bahan yang terbuat dari petrokimia
(polyethylene) Biaya murah [10]; dapat mencemari lingkungan
Memiliki daya tahan hingga 15 – 25 tahun apabila dibuang [10];

ISBN 978-602-8330-73-2 303


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

Jenis Material
No Kelebihan Kekurangan
Bangunan
[10] Kebocoran tidak kasat mata, baru
terlihat setelah terjadi kebocoran
[10];
Mudah meleleh dan terbakar [10];
Tidak tahan terhadap perubahan
cuaca (panas dan hujan) [10].

5.1.2. Alternatif Metode Pengolahan Air di PAH


Metode pengolahan air dibagi menjadi tiga tahap yaitu pengolahan air pada saat penangkapan,
penyaringan, dan penampungan. Tujuan dari pengolahan air ini adalah untuk menjaga kualitas air
hujan agar tetap memenuhi persyaratan kimia dan fisika untuk air baku air minum. Seperti
disebutkan sebelumnya bahwa kualitas air PAH setelah tertampung sekitar 2-3 bulan menjadi
menurun dari segi parameter bakteriologis. Oleh karena itu perlu dilakukan pencegahan atau
pengolahan air sebelum masuk maupun setelah tertampung di dalam bak PAH.
Pengolahan air yang pertama adalah pada saat penangkapan air hujan. Pada saat air hujan turun dan
mengalir melalui atap, maka pada kondisi ini penyebab turunnya kualitas air biasanya dari kotoran-
kotoran yang terbawa pada saat hujan ataupun yang sudah ada di atap dan talang seperti debu,
daun-daunan, atau kotoran lain. Oleh karena itu, pengolahan air yang dapat dilakukan adalah
dengan memasang penyaring kotoran di lubang masuk air. Pengolahan air yang kedua adalah pada
bagian penyaringan. Penggunaan PAH di masyarakat jarang menggunakan sistem penyaringan
(filtering). Namun dalam Pt-S-04-2000-C, standar bangunan PAH dilengkapi dengan sistem
penyaring (Gambar 4). Saringan air untuk PAH yang disebutkan di SNI terdiri dari pasir dan kerikil
merupakan tipe saringan sederhana. Material ini pun dapat diperoleh di Provinsi NTT sehingga
tidak perlu alternatif lain untuk mengganti. Modifikasi yang dapat dilakukan salah satunya adalah
mengenai aliran air luapan dari bak penyaring. Dalam hal ini, luapan air dari bak penyaring perlu
diberikan saluran tertentu sehingga dapat terbuang atau masuk ke dalam sumur resapan.

Tabel 6. Kelebihan dan kekurangan bak PAH berdasarkan lokasi penempatan


Lokasi bak/kolam
Kelebihan Kekurangan
penampungan air hujan
Di atas tanah Mudah dalam mengambil/memanfaatkan air; Memerlukan lahan yang luas;
Distribusi dapat dengan metode gravitasi; Suhu air akan terpengaruh oleh paparan
Perawatan mudah. sinar matahari;
Tidak dapat menampung limpasan air
hujan dari jalan/permukaan tanah.
Di bawah tanah Hemat lahan; Konstruksi sulit;
Suhu air dapat terjaga dengan baik karena Kemungkinan terkontaminasi resapan
sinar matahari terhalang; dari tangki septik cukup besar;
Dapat menampung limpasan air hujan dari Perawatan dan pengambilan air sulit.
jalan atau permukaan tanah.

Pengolahan air yang ketiga adalah pengolahan air pada saat penampungan. Pengolahan ini
dilakukan untuk menjaga atau meningkatkan kualitas air apabila setelah proses penyaringan,
kualitas air masih belum memenuhi syarat kesehatan untuk dikonsumsi. Berdasarkan hasil survei di
Kabupaten TTS, kualitas air tidak memenuhi syarat dari segi kandungan E. coli. Oleh karena itu,
pengolahan yang dilakukan pada saat penampungan adalah proses desinfeksi untuk menghilangkan
kandungan E. coli. Selain proses desinfeksi, proses lain yang dapat dilakukan adalah koagulasi
untuk menghilangkan kekeruhan pada air. Hal ini dilakukan apabila proses penyaringan di awal
tidak cukup untuk menjernihkan air.

304 ISBN 978-602-8330-73-2


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

Gambar 4 Desain PAH berdasarkan standar [5]

Dalam hal penggunaan bahan, banyak bahan yang dapat digunakan untuk proses desinfeksi
ataupun koagulasi. Untuk desinfektan, bahan kimia yang biasa digunakan antara lain klorin, UV,
dan ozon. Sedangkan untuk koagulan yang sering digunakan adalah tawas. Namun jika bahan
kimia tersebut tidak mudah diperoleh di lokasi, maka perlu menggunakan bahan alami seperti biji
kelor untuk penjernih air. Namun apabila air tersebut dikonsumsi untuk diminum, aroma kelor
yang khas masih terasa. Oleh sebab itu, pada bak penampungan air harus ditambahkan arang yang
dibungkus sedemikian rupa agar tidak bertebaran saat proses pengadukan. Arang berfungsi untuk
menyerap aroma kelor tersebut. Kelor ini merupakan tanaman yang dapat berkembang baik pada
daerah dengan ketinggian 300 – 500 meter di atas permukaan laut sehingga dapat tumbuh di
wilayah Provinsi NTT, sehingga kelor ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di NTT. Selain
menjernihkan dan menghilangkan kandungan mikroba, pengolahan air di penampungan juga
dilakukan untuk menetralkan pH. Hasil survei di TTS tidak menampilkan nilai pH, sehingga tidak
diketahui apakah pH air di dalam PAH sudah memenuhi baku mutu atau belum. Namun jika belum
memenuhi, maka perlu ditambahkan kapur untuk menetralkan pH. Petunjuk Teknis Pelaksaan
Prasarana Air Minum Sederhana menyebutkan pembubuhan kapur sebanyak 25 – 100 mg untuk 1
liter air [12].
5.1.3. Alternatif Manajemen Penyediaan Air Berdasarkan Karakteristik Permukiman
Karakteristik permukiman yang dimaksud adalah karakteristik permukiman yang mengumpul dan
terpencar. Permukiman di Provinsi NTT bagian perkotaan memiliki karakteristik mengumpul
sedangkan di pedesaan memiliki karakteristik terpencar di mana jarak antar rumah satu dengan
yang lain cukup jauh. PAH yang dapat digunakan untuk permukiman yang mengumpul yaitu PAH
komunal atau disebut juga embung [13], sedangkan PAH yang dapat digunakan untuk permukiman
terpencar adalah PAH individual. Pembangunan PAH yang bersifat individual lebih berupa
pembangunan PAH dengan memanfaatkan atap rumah sebagai penampung/area pengumpulan air
hujan, sedangkan pembangunan PAH komunal memanfaatkan area yang lebih luas untuk
menampung air hujan ke dalam suatu kolam penampung [13]. Air hujan dialirkan ke PAH individu
melalui talang atap, sedangkan PAH komunal/embung menampung air hujan yang dialirkan
melalui saluran atau parit embung sehingga ada kemungkinan terdapat endapan hasil erosi. Namun
PAH individu juga dapat digunakan secara komunal. Dengan memperhitungkan jumlah pengguna,
maka volume PAH individu disesuaikan dengan kebutuhan air pengunanya.
5.2. Perumusan Aplikasi Alternatif Desain PAH
Alternatif PAH ini disusun berdasarkan analisis terhadap tiga aspek yang dilakukan sebelumnya
yaitu penangkapan, penyaringan, dan penampungan untuk merumuskan alternatif desain PAH
berdasarkan kondisi lokasi. Selain pemilihan desain berdasarkan kondisi lokasi, perlu dibuat
matriks atau program perhitungan mengenai volume PAH berdasarkan curah hujan, luasan atap,
jumlah penduduk, dan kebutuhan air bersih. Syarat minimal curah hujan agar dapat dibuat

ISBN 978-602-8330-73-2 305


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

penampungan air hujan adalah 1300 mm/tahun [12]. Berdasarkan Tabel 3 sebelumnya, rata-rata
curah hujan di beberapa tempat di NTT adalah 1537,26 mm/tahun, namun dengan rentang 857,2 –
2690 mm/tahun. Dengan kata lain, berasarkan syarat minimal, daerah yang curah hujannya <1300
mm/tahun tidak dapat dibuatkan PAH. Namun karena beberapa daerah di NTT terutama pulau-
pulau kecil seperti Pulau Pura, Pulau Sabu, Pulau Rote, dan pulau lainnya, air bersih sangat sulit
untuk dimiliki, maka PAH tetap diperlukan sebagai jaminan untuk memperoleh sumber air.
Syaratnya adalah PAH tersebut menggunakan bahan yang murah seperti fiber atau penampung
sederhana dengan menggali tanah dan melapisi dengan lapisan kedap air. Perhitungan volume
memperhitungkan jangka waktu penggunaan air hujan yang ditampung, yaitu pada saat musim
kemarau. Oleh karena itu perlu diperhitungkan bulan-bulan kering pada setiap tahunnya. Tabel 7
memperlihatkan bulan kering sekitar 6 bulan yaitu dari bulan Mei – Oktober, namun bulan yang
paling kering adalah sekitar bulan Juni – September kecuali untuk daerah Sumba Timur. Oleh
karena itu, perhitungan harus memperhitungkan penggunaan selama minimal 4 bulan.

Tabel 7 Curah hujan rata-rata per bulan sampai dengan tahun 2011 pada beberapa stasiun
Meteorologi di Provinsi NTT
Stasiun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Kupang- 629 590 426 116 80 21 3 5 4 57 219 479
Naibonat
Kupang-Lasiana 75 89 69 44 11 6 5 1 3 10 35 69
Sabu-Tardamu 201 159 133 52 14 6 3 0 1 12 56 145
Sikka-Ogolidi 171 181 113 49 27 3 7 2 11 18 62 116
Sumba Timur- 51 55 50 30 6 4 2 0 0 3 18 48
Waingapu
Maumere-Wai 107 128 106 72 17 6 9 3 3 19 51 118
Oti

Pada Tabel 8 di bawah ini diperlihatkan mengenai alternatif desain PAH berdasarkan kondisi lokasi
di Provinsi NTT. Selanjutnya dilakukan perhitungan desain dan alternatif PAH dengan input-input
data dan diolah dengan program sederhana menggunakan aplikasi Microsoft Excel untuk
menghasilkan ouput berupa desain dan alternatif PAH. Program perhitungan dimensi dan alternatif
desain PAH ini kami namakan APD-PAH yaitu Aplikasi Perhitungan Desain Penampungan Air
Hujan. Input data aplikasi ini ditampilkan pada Tabel 9 sedangkan output ditampilkan pada Tabel
10.
Berdasarkan input data pada Tabel 9 maka dihasilkan output mengenai dimensi dan alternatif
desain kelengkapan yang lainnya. Jika input tersebut berubah, maka output juga akan berubah
menyesuaikan dengan input data. Dalam hal perhitungan dimensi bak, digunakan tiga jenis
perhitungan. Perhitungan pertama adalah jika bak PAH merupakan bak dengan bidang alas
berbentuk persegi dan menggunakan pasangan bata sesuai standar Pt 05-2000-C, sedangkan
perhitungan kedua adalah jika bak PAH merupakan bak dengan bidang alas berbentuk lingkaran
dan menggunakan ferrosemen sesuai standar Pt 04-2000-C. Namun kedua standar tersebut hanya
memuat mengenai PAH dengan volume maksimal 10 m3. Hal ini menyebabkan jika volume PAH
hasil perhitungan melebihi 10 m3 maka ketinggian dari bak akan sangat besar sehingga tidak
realistis. Oleh karena itu dibuat perhitungan ketiga dengan menggunakan asumsi bahwa tinggi bak
PAH hanya dibatasi setinggi standar dinding bangunan rumah 1 lantai yaitu 3 meter. Dengan
perhitungan ketiga ini diperoleh hasil yang lebih realistis baik dimensi sisi-sisi (panjang dan lebar)
PAH ataupun diameternya.

306 ISBN 978-602-8330-73-2


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

Tabel 8 Matriks pemilihan alternatif desain PAH berdasarkan kondisi lokasi


MODEL METODE PENGOLAHAN AIR MANAJEMEN
KELENGK
Alternatif BENTUK PENEMPATAN APAN PENANGKAPAN PENYARINGAN PENANGKAPAN

PAH Komunal /
PAH Individu
desain PAH BULAT Persegi

Sumur Resapan

Atap bangunan

Embung
Atap rumah *
Bawah tanah

Netralisasi
Desinfeksi
Atas tanah

Koagulasi
PAH **

Kerikil
Pasir
Pas. Bata

Pas. Bata
Logam

Logam
Plastik

Plastik
Beton

Beton
Fiber

Fiber
Kondisi
lokasi
Bahan asbes/seng √
atap
genteng √
bahan
organik √
Letak mengumpul √ √
antar
rumah terpencar √
Potensi kelor √
daerah
bahan
bangunan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
pasir √
kerikil √
kapur √
Tutupan tanah √ √
halaman
beton √ √
vegetasi
(rumput,
dsb) √ √
Area luas √
Halaman
Rumah sempit √
* (tangkapan dengan talang atap rumah)
** PAH terpisah

ISBN 978-602-8330-73-2 307


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

Aplikasi APD-PAH ini hanya merupakan salah satu metode dalam pemilihan alternatif desain
PAH. Karena aspek-aspek yang dikaji belum melihat kondisi keseluruhan, maka input ataupun
output data pada aplikasi ini masih terbatas. Aspek-aspek yang dapat ditambahkan sebagai output
dari aplikasi ini antara lain dimensi komponen pelengkap PAH (bidang penangkap, talang air,
saringan, pipa peluap, kran), perkiraan kebutuhan material, serta perkiraan biaya. Selain itu juga
bisa ditambahkan dengan visual untuk memperlihatkan contoh beberapa alternatif desain PAH
tersebut.

Tabel 9 Input data

No Parameter input Nilai Satuan


1 Curah hujan rata-rata tahunan : 1200 mm/tahun
2 Jumlah bulan kering dalam 1 tahun * : 120 hari
3 Pemakaian air maksimum : 15 liter/orang/hari*
(umumnya 15 l/o/h untuk PAH)
4 Jumlah orang yang mengkonsumsi air di PAH : 20 orang
5 Bahan atap **: : 3
[1] asbes/seng; [2] genteng; [3] bahan organik
6 Letak antar rumah ** : : 1
[1] mengumpul; [2] terpencar
7 Potensi daerah *** :
[1] kelor : 1
[2] pasir : 1
[3] kerikil : 1
[4] kapur : 0
8 Tutupan lahan ** : : 2
[1] tanah; [2] beton; [3] vegetasi (rumput, lainnya)
9 Area halaman ** : : 2
[1] luas; [2] sempit
* = bulan kering dikonversi menjadi hari
Contoh: bulan kering 4 bulan = 120 hari
** = pilih salah satu pilihan dengan mengetik nomor pilihan. Contoh: pada soal nomor 5, ketik
1 apabila bahan atap dari asbes/seng
*** = isi jawaban pada semua pilihan
Ketik angka 1 apabila jawabannya “Ya”
Ketik angka 0 apabila jawabannya“Tidak”

308 ISBN 978-602-8330-73-2


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

Tabel 10 Output data


No Parameter Desain PAH Alternatif PAH Berdasarkan Input Data
1 Rekomendasi pembangunan PAH : tidak memenuhi syarat minimal namun boleh
(syarat minimal curah hujan 1300 mm/tahun) dibangun
2 Volume bak : 36 m3
3 Dimensi bak
3.1 Apabila menggunakan bak persegi dari pasangan
bata
(berdasarkan Pt-S-05-2000-C)
- tinggi apabila panjang dan lebar (1,30 m) : 21 m
- tinggi apabila panjang dan lebar (1,80 m) : 11 m
- tinggi apabila panjang dan lebar (2,10 m) : 8 m
- tinggi apabila panjang dan lebar (2,25 m) : 7 m
- tinggi apabila panjang dan lebar (2,50 m) : 6 m
3.2 Apabila menggunakan bak tabung dari ferrosemen
(berdasarkan Pt-S-04-2000-C)
- diameter apabila tinggi bak 1,60 m : 3 m
4 Metode Penangkapan Air Hujan : Atap bangunan PAH (PAH terpisah)
5 Jenis PAH : PAH Komunal / Embung
6 Metode Penyaringan : pasir
: kerikil
7 Metode Penjernihan/Koagulasi : biji kelor
8 Metode Netralisasi : tawas/kapur
9 Penempatan PAH berdasarkan tutupan halaman : di bawah tanah
10 Penempatan PAH berdasarkan area halaman : di bawah tanah
11 Kelengkapan sumur resapan : sumur resapan

6. Kesimpulan dan Saran


6.1. Kesimpulan
Rentang curah hujan di beberapa lokasi di Provinsi NTT berkisar antara 850 – 2600 mm/tahun
yang artinya tidak terlalu memenuhi syarat untuk pembangunan PAH. Hasil pengujian kualitas air
tampungan PAH menunjukkan bahwa kualitas air dalam bak PAH tidak memenuhi syarat baik
untuk air bersih maupun air minum dari parameter bakteriologis. Oleh karena itu untuk memenuhi
kebutuhan air masyarakat perlu dibangun PAH dengan desain yang menyesuaikan dengan kondisi
setempat serta dapat menjaga kualitas air tampungan. Alternatif desain PAH diperhitungkan dari
tiga aspek yaitu model, metode pengolahan air, dan manajemen penyediaan air berdasarkan
karakteristik permukiman. Alternatif ini diperhitungkan berdasarkan kondisi lokasi dengan
parameter-parameter curah hujan rata-rata tahunan, jumlah bulan kering, pemakaian air maksimum,
jumlah konsumen, bahan atap, letak antar rumah, potensi daerah, tutupan lahan, serta area
halamam, dan disusun dalam bentuk aplikasi sederhana. Dari parameter-parameter yang
dimasukkan, dihasilkan alternatif PAH dengan rincian volume, dimensi, metode penangkapan air
hujan, jenis PAH, metode penyaringan, metode penjernihan, metode netralisasi, penempatan PAH,
dan kelengkapan sumur resapan.
6.2. Saran
Aplikasi APD-PAH ini perlu disempurnakan dengan melengkapi input parameter-parameter lain
yang lebih lengkap sehingga dapat menghasilkan desain yang lebih detil seperti kelengkapan
komponen lain beserta dimensinya diantaranya (bidang penangkap, talang air, saringan, pipa
peluap, kran pengambil air, kran penguras), perkiraan kebutuhan bahan/material, dan perkiraan
biaya.

ISBN 978-602-8330-73-2 309


Prosiding Kolokium 2013 Puslitbang Permukiman
“Menuju Infrastruktur Permukiman yang Berkelanjutan Melalui Penerapan Hasil Litbang”

Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Puslitbang Permukiman yang telah membiayai
kegiatan penelitian ini melalui kegiatan APBN Tahun Anggaran 2012

7. Referensi
1. Suara Pembaruan. “Enam kabupaten krisis air bersih di NTT”. Internet:
(http://www.suarapembaruan.com /home/enam-kabupaten-krisis-air-bersih-di-ntt/15538 [7
Februari 2012].
2. Balai PTPT Denpasar. Laporan Akhir Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman
Tradisional Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna. Denpasar: Balai PTPT Denpasar,
2010.
3. Pusatlitbang Permukiman. Laporan Akhir: Pengembangan sistem penyediaan air minum
berbasis 3R dan pengembangan teknologi membran, Subkegiatan Pengembangan model
pemanfaatan air hujan. Bandung: Puslitbang Permukiman, 2009
4. Pusatlitbang Permukiman. Petunjuk teknis spesifikasi bak penampung air hujan untuk air
bersih dari ferrosemen. Bandung: Puslitbang Permukiman, 2000
5. Badan Standardisasi Nasional. “Petunju Teknis Spesifikasi bak penampung air hujan untuk air
bersih dari ferrosemen”. Indonesia. Pt S-04-2000-C, 2000.
6. Badan Standardisasi Nasional. “Petunjuk Teknis Spesifikasi bak penampung air hujan untuk
air bersih dari pasangan bata”. Indonesia. Pt S-05-2000-C, 2000.
7. Haryoto. Teknologi Tepat Guna Membuat Bak Bambu Semen. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius,1985.
8. Anonim. “Mana yang lebih baik: Kolam renang beton atau fiberglass?”. Internet:
(http://kutubuku.web.id/233/mana-yang-lebih-baik-kolam-renang-beton-atau-fiberglass-2,
2012 [29 november 2012].
9. Pionir Mandiri Jaya. “Keunggulan tangki/tandon air fiberglass”. Internet:
(http://pionirmandirijaya.com/keunggulan-tangki--tandon-air-fiberglass.html, 2011 [29
November 2012].
10. Khedanta. “Tips pemilihan jenis tangki air untuk rumah”. Internet:
(http://khedanta.wordpress.com/2011/10/24/tips-pemilihan-jenis-tanki-air-untuk-rumah/, 2011
[29 November 2012].
11. Stainless Indonesia. “Tangki stainless steel”. Internet: (http://www.stainlessindonesia.com/
produk-stainless-steel/tangki-stainless, 2009 [29 November 2012].
12. Direktorat Jenderal Cipta Karya. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Prasarana Air Minum
Sederhana. Jakarta: Ditjen Cipta Karya, 2007.
13. T. Hernaningsih dan S. Yudo. ”Alternatif Teknologi Pengolahan Air untuk Memenuhi
Kebutuhan Air Bersih di Daerah Permukiman Nelayan”. Jurnal Air Indonesia, Vol. 3(1), 38-
49, 2007.

310 ISBN 978-602-8330-73-2

Anda mungkin juga menyukai