Anda di halaman 1dari 3

Bertemu Kanjeng Nabi Muhammad SAW Dalam Keadaan Terjaga

(Ciri Guru Mursyid Sejati Bagian 2)


Al Faaqir Abu Ahmed Nawawi

Mursyid kamil mukammil (sejati) adalah seorang mursyid yang sudah sempurna dalam
wushulnya kepada Allah dan dapat menyempurnakan muridnya untuk juga wushul kepada Allah.
Mursyid kamil mukammil pastilah seorang waliyullah, tetapi sebaliknya, seorang waliyullah
belum tentu seorang mursyid. Karena seoarang mursyid mempunyai otoritas mematrikan atau
menghunjamkan dzikir ke dalam qolbu seorang murid untuk mensucikan qolbunya dan sebagai
biji iman yang siap dicangkul, dipupuk, dirawat, disirami sampai tumbuh dan berkembang yang
akhirnya akan berbuah manisnya iman.
Dengan biji iman yang ditanamkan ke dalam qolbu yang telah disucikan oleh mursyid
kamil mukammil dan diiringi dengan ketekunan, keistiqomahan seorang murid dalam
menjalankan petunjuk mursyid, insyaAllah akan terjadi perubahan secara simultan dalam diri
seorang murid menuju kemerdekaan yang hakiki yaitu bebas dari segala belenggu penghambaan
dan perbudakan kepada dan terhadap apapun kecuali hanya kepada Allah SWT. Mursyid akan
senantiasa mendoakan, membimbing, mengingatkan, mengarahkan, menata perjalan murid
menuju Allah yang sungguh sangat banyak tipu dayanya.
Nah, diantara ciri mursyid yang hakiki (kamil mukammil) yang lain selain dari pada yang
telah disebutkan pada edisi sebelumnya ialah sudah pernah berkumpul atau bertemu dengan Nabi
SAW secara langsung dalam keadaan terjaga. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al Ariful
Syomadi Wal Qutuburr Rabbani Sayyid Abdul Wahab As Sya’rani (W. 973 H) di dalam kitabnya
“Al Anwar Al Qudsiyah Fi Ma’rifati Qowa’idi Shufiyah” halaman 20, dimana beliau berkata :

‫و عالمة صدقه في تلك الطريق اجتماعه بالنبي‬


‫ فإن لم يحصل‬،‫صلى هللا عليه و سلم كما ذكرنا‬
‫له به جمعية‬
‫فهو بطال‬
Diantara tanda benarnya guru atau syeikh di dalam ilmu haq ini ialah berkumpulnya ia
dengan Baginda Nabi SAW sebagaimana telah kami sebutkan (di awal, maksudnya bertemu dalam
keadaan terjaga dan saling bertatap muka), jika belum bisa sampai pada derajat berkumupul
(dengan Nabi SAW) ini, maka itu adalah sebuah kesalahan
Lebih lanjut beliau Syeikh as Sya’ani menuturkan bahwa diantara guru mursyid atau syeikh
yang telah mencapai tahapan ini ialah Syeikh Ahmad Az Zawawi Ad Damanhuri, Imam Al
Ghozali, Syeikh Nuruddin As Sanawany, Syeikh Jalauddin as Suyuti, Syeikh Ali Al Khowas dan
masih banyak yang lainnya dari generasi salaf sampai genersai kholaf radhiyallahu anhum ajma’in
sebagaimana beliau kupas di dalam muqoddimah kitab “Al ‘Uhud Al Muhammadiyah”.
Keterangan ini sekaligus membantah kaum yang beranggapan bahwa tidak mugkin
seseorang bisa bertemu nabi dalam keadaan terjaga, sebab Nabi SAW telah meninggal dunia
ratusan bahkan lebih dari seribu tahun yang lalu. Bagaimana yang masih hidup bisa bertemu
dengan yang telah meninggal?
Maka marilah kita simak pendapat Imam Abu Muhammad bin Abi Jumrah dalam menafsiri
hadist rasulullah SAW :

َ‫َال‬ ‫َة‬
‫ِ و‬ ‫َظ‬
‫َق‬ ْ ‫ِى‬
‫الي‬ ‫ِى ف‬‫َان‬
‫َر‬‫َسَي‬ ‫َام‬
‫ِ ف‬ ‫َن‬ ْ ‫ِى‬
‫الم‬ ‫ْ ر‬
‫َآن‬
‫ِى ف‬ ‫من‬َ
‫ِى‬ ُ‫َا‬
‫ن ب‬ ‫ْط‬‫ُ الشَّي‬‫َّل‬
‫َث‬ ‫َم‬
‫يت‬َ
“Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan
terjaga (nyata). Dan setan tidak bisa menyerupaiku” (HR al-Bukhari No 6995 dan Muslim No
6057).
Setelah panjang lebar beliau uraikan penjelasan hadits tersebut kemudian beliau
mempertegas dengan pedapatnya sebagi berikut “Adapun orang yang mengingkari hai ini (meligat
nabi dalam keadaan terjaga) tidaklah terlepas dari; apakah ia membenarkan tentang karomah-
karomah para wali atau mendustakannya. Jika orang tersebut termasuk golongan orang yang
mendustakannya, tentulah tidak ada faedahnya membahas masalah ini bersamanya. Sebab, ia
telah mendustakan hal yang telah ditetapkan oleh sunnah dengan argumen (dalil-dalil) yang jelas.
Dan jika orang tersebut termasuk orang yang membenarkan terhadap karamah para wali, segi
inilah yang dicari. Sebab, para wali adalah orang-orang yang telah mengalami ketersingkapan
tirai kehidupan (kasyaf) dan sanggup melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan (khariqul ‘adah)
dalam segala hal yang bermacam-macam, baik itu alam atas (ulwa) atau alam bawah (sufla). Dia
tidak mengingkari hal tersebut, tapi membenarkannya.” Begitulah pendapat Ibn Abi Jamrah di
dalam kitabnya.
Maka disini tidak akan mengupas perdebatan semacam itu. Lebih jelasnya silahkan buka
dan baca kitab Syeikh Jalaluddin as Suyuti yang berjudul ‘Tanwir al-Halak fi Imkani Ru’yatin
Nabiyyi’ (atau yang juga dimuat dalam kitab beliau al-Haawii lil Fataawii) untuk menjawab semua
keraguhan dan tuduhan atas mereka yang mengingkari perkara ini.
Kembali kepada topik bahasan inti, bahwa seorang guru mursyid yang hakiki (kamil
mukammil) tentulah orang yang telah sampai kepada Allah (Al Wushul Ilallah) dan tidaklah
seorang bisa ma’rifatullah sampai kepada Allah kecuali telah ma’rifat terhadap Rasulullah SAW
(ma’rifatur rasul) dan seseorang belum dikatakan telah ma’rifatur rasul sebelum bisa bertemu dan
berdialog dengan Kanjeng Nabi SAW secara langsung di majelis Rasulullah SAW.
Itulah sebabnya kenapa guru mursyid yang hakiki itu jumlahnya sedikit dan semakin
berkurang, sebab maqom mursyid sejati bukanlah maqom sembarangan, bukan diperoleh dari
sebab keturunan, lantas begitu mewarisi abahnya langsung jadi guru mursyid, bukan pula sebab
kebetulan (karena hakikatnya tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini), bukan pula sekedar
bisa berjumpa dengan Nabi dalam mimpi, melainkan ukurannya ialah tingkat pengabdiannya di
sisi Allah SWT. Itulah makna slogan “Siapa yang dekat dialah yang dapat!”. Wallahu a’lam bis
showab, la’allahu yanfa’. Aamin.

Anda mungkin juga menyukai