Masyarakat Tionghoa juga memberikan peran dalam perkembangan kota. Pada tahun 1930,
berdasarkan sensus yang dilakukan oleh Belanda, masyarakat Tionghoa mendominasi Bagan
Siapiapi, mereka berjumlah 11.993 jiwa. Jumlah ini naik sangat pesat dibandingan pada tahun
1900, saat kontroleur Belanda dipindahkan ke Bagan Siapiapi dari Tanah Putih. Untuk
memudahkan mengontrol dan memonopoli masyarakat Tionghoa, Belanda menunjuk seorang
Kapitan. Kapitan bermarga Ang bersama dengan patcher/pengepul dan tauke membuat sebuah
perjanjian saling menguntungkan dalam membangun industri perikanan di kota Bagan Siapiapi.
bagian bawah dari pintu yang ada di rumah Kapitan, Bagan Siapiapi.
meja altar
dan sepeda roda tiga yang berada di dalam rumah Kapitan Tionghoa, Bagan Siapiapi.
Pagi itu, pintu setinggi 3 meter yang sudah miring di rumah Kapitan dibuka, biasanya pintu ini
tertutup, saya cukup beruntung pagi ini. Bau tajam dari kotoran burung walet tercium saat saya
masuk ke dalam rumah. Lantai kayu berderit terinjak kaki saat saya berada di ruang tamu rumah.
Di bagian depan rumah tepatnya di ruang tamu, saya melihat sebuah pemandangan yang
mengejutkan. Terdapat piano tua pada sudut ruangan, piano ini dibuat di tahun 1920 bermerek
Zeitter and Winkelmann dari kota Braunschweig, Jerman. Pabrik piano ini sudah hancur saat
perang dunia ke dua di bom oleh Sekutu. Saat saya menyentuh salah satu tut yang terbuat dari
gading terdengar nada “ ting” yang lirih dan sumbang. Menurut cicit ahli waris rumah, Piano ini
dibawa langsung oleh sang Kapitan dalam perjalanan pulang dari Singapura.
Piano tua
yang berada dipojok ruangan dari Rumah Kapitan
piano tua
dari Jerman yang dibawa dari Singapura oleh Kapitan Tionghoa
Saat pelabuhan ikan di kota Bagan Siapiapi ramai maju, kapal-kapal dagang seminggu sekali
singgah ke Bagan Siapiapi. Salah seorang patcher/pengepul ikan di Bagan, menjadi agen kapal
KPM/ Koninklijke Paketvaart Maatschappij, KPM merupakan perusahaan pelayaran yang
berasal dari Belanda. Seminggu sekali, kapal KPM berangkat menuju Singapura, membawa hasil
olahan ikan dan manusia. Di Singapura, para Tionghoa kaya ini menikmati kehidupan kota
Singapura. Saat kembali, mereka membawa cerita kemajuan Singapura ke Bagan Siapiapi.
Akibatnya, pada tahun 1930-an, Bagan Siapiapi sudah memiliki pub, bioskop, dan hiburan
malam lainnya. Menurut catatan kontroler Belanda, pada tahun 1930-an Bagan Siapiapi
mendapat julukan Via Lumiere, kota Cahaya karena kehidupan malamnya yang semarak. Musik-
musik Barat diperdengarkan di pub dan film-film diputar di Bioskop.
detail dari piano Zeitter & Winkelmann, Brauschweig. Jerman yang ada di rumah
Kapitan Tionghoa, Bagan
Siapiapi.
detail dari piano Zeitter & Winkelmann, Brauschweig. Jerman yang ada di rumah
Kapitan Tionghoa, Bagan
Siapiapi.
detail dari piano Zeitter & Winkelmann, Brauschweig. Jerman yang ada di rumah
Kapitan Tionghoa, Bagan Siapiapi.
Dari ruang tamu, saya dibawa ke bagian tengah rumah, terlebih dahulu saya melewati pintu
penghubung setinggi 3 meter. Frame foto berukuran 60 x 40 cm kosong yang berada di atas pintu
mejadi saksi bisu bahwa dahulu ada foto Kapitan Tionghoa disini. Di bagian tengah rumah, saya
bisa melihat detail menarik dari plafon rumah, plafon rumah ini dipahat dengan detail sulur
bunga. Menurut cucu ahli waris rumah yang juga seorang pemain barongsai. Tukang kayu untuk
memahat rumah ini didatangkan dari Tionghoa. Secara tidak langsung, dirumah ini, kita bisa
lihat masuknya musik barat di pesisir timur Sumatra.
detail plafon dari rumah Kapitan Tionghoa, Bagan Siapiapi.
Rumah tua Kapitan Tionghoa, menjadi saksi bisu cerita Bagan Siapiapi tempo dulu.
https://bayuwinata.wordpress.com/