Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang selalu

mencurahkan rahmat dan karunia-Nya. Alhamdulillahi Robbil’alamin atas izin dan

pertolongan-Nya, serta melalui usaha yang sungguh-sungguh disertai dengan bantuan

berbagai pihak baik moril maupun materil penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.

Karya tulis ini berjudul “Gambaran Tingkat Konsumsi Zat Gizi Makro Pada

Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Paru Jawa Barat ” karya tulis ini disusun dalam

rangka memenuhi Tugas Mata Kuliah metodologi penelitian. Selain itu, penulis juga

bertujuan menambah wawasan selama penulisan karya tulis ini.

Melalui karya tulis ini penulis berharap meningkatkan pengetahuan dalam

mengenal Gambaran Tingkat Konsumsi Zat Gizi Makro Pada Tuberkulosis Paru di

Rumah Sakit Paru Jawa Barat. Dalam penyusunan karya tulis ini penulis menyajikan

dengan sebaik-baiknya, namun mengingat kemampuan dan pengetahuan penulis yang

cukup terbatas maka tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan dan kekurangan

dalam karya tulis ini. Oleh karena itu kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan

penulis.

Harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun

penulis sendiri.

Cirebon, Maret 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................Halaman i
DAFTAR ISI...........................................................................................Halaman ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... Halaman 1

A. Latar Belakang...............................................................................Halaman 1
B. Rumusan Masalah............................................................................Halaman 3
C. Tujuan Penelitian..............................................................................Halaman 3
D. Manfaat Penelitian...........................................................................Halaman 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................Halaman 5
A. Pengertian......................................................................................Halaman 5
B. Etiologi..........................................................................................Halaman 5
C. Patogenesa.....................................................................................Halaman 7
D. Faktor Resiko.................................................................................Halaman 7
E. Klasifikasi....................................................................................Halaman 11
F. Gejala Klinis................................................................................Halaman 13
G. Diagnose......................................................................................Halaman 15
H. Pengobatan...................................................................................Halaman 17
I. Status Gizi....................................................................................Halaman 18
J. Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)......................................Halaman 23
Kerangka Teori.....................................................................................Halaman 32
Kerangka Konsep.................................................................................Halaman 33
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................Halaman iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan
oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru-paru. Penyakit ini apabila tidak diobati atau pengobatannya tidak
tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. Namun
kemajuan dalam penemuan dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua
abad terakhir (Depkes,2016).

Tingginya prevalensi Tuberculosis (TB) di dunia menjadi penyebab


tinggiya angka kematian akibat TB. Hampir Sepertiga dari populasi dunia tertular
dengan TB dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55
tahun).

Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB
pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien dengan
HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika, pada ahun
2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita Tuberkulosis Multi
Drug Resistant (TB MDR) dan 170.000 diantaranya meningggal dunia. Pada
tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB secara
global mencapai 6% atau 530.000 pasien TB anak pertahun, atau sekitar 8% dari
total kematian yang disebabkan oleh TB.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2013


terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO, 2014). Pada
tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman TB (WHO, 2015).
Pada tahun 2014, jumlah kasus TB paru terbanyak berada pada wilayah Afrika
(37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur (17%)
(WHO, 2015).

Dalam Global Report 2009 WHO melaporkanbaha pada tahun 2008


Indonesia berada pada peringkat 5 dunia penderita TB terbanyak setelah India,
China, Afrika Selatan dan Nigeria. Peringkat ini turun dibandingkan tahun 2007

1
yang menempatkan Indonesia pada posisi ke-3 kasus TB terbanyak setelah India
dan China.

Berasarkan data Case Notification Rate (CNR) di pulau Jawa, Jawa Barat
(141/100.000 penduduk) menempati posisi kedua setelah DKI Jakarta
(254/100.000 penduduk) yang menderita penyakit tuberculosis. Tinggi rendahnya
CNR di suatu wilayah selain dipengaruhi oleh upaya penemuan penemuan kasus
(case finding) juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti kinerja system
pencatatan dan pelaporan wilayah tersebut, jumlah fasyankes yang terlibat dalam
layanan Directly Observed Treatment Shot-course (DOTS), dan banyaknya pasien
TB yang dilaporkan oleh fasyankes.

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan


bahwa TB Paru merupakan penyakit kematian nomor tiga setelah penyakit
Kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan.

Dari permasalahan tersebut, perlu adanya upaya untuk menurunkan


prevalensi TB, namun dalam praktiknya banyak hambatan-hambatan yang
memperlambat proses penurunan prevalensi TB,diantaranya adalaah proses
pengobatan yang terhambat oleh status ekonomi yang rendah sehingga proses
pegobatan penderita TB menjadi terhambat.

Status ekonomi sangat erat kaitannya dengan tingkat konsumsi. Tingkat


konsumsi dan asupan makanan akan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.
Status gizi yang kurang akan memiliki resiko yang tinggi terhadap kejadian
infeksi. Status gizi penderita tuberculosis akan mengalami penurunan karena
adanya perubahan metabolisme pada tubuh penderita yang disebabkan oleh
adanya bakteri Mycrobacterium tuberculosis. Bakteri ini akan menurunkan system
imun pada penderita tuberculosis.

Daya tahan tubuh yang rendah akan mempermudah masuknya suatu


penyakit kedalam tubuh, sehingga meningkatkan angka morbiditas (kesakitan).
Salah satunya adalah kejadian infeksi pada penderita tuberculosis. Infeksi yang
terjadi pada penderita penyakit tuberculosis ini disebabkan oleh bakteri yang

2
masuk ke dalam tubuh sebagai akibat dari keterpaparan penyakit dari penderita
TB.

Kondisi diatas diperlu adanya pemantauan mengenai asupan zat gizi pada
penderita tuberculosis. Asupan zat gizi pada penderita tuberculosis akan
berpengaruh terhadap status gizi penderita tuberculosis. Adanya peran penting
asupan zat gizi dengan status gizi, karena erat kaitannya dengan faktor
kesembuhan penderita tuberculosis.

Pemberian asupan pada penderita TB harus sesuai dengan tingkat


kebutuhannya. Perlu adanya pemilihan makanan yang disesuaikan dengan
kuantitas dan kualitas yang dibutuhkan. Asupan yang sesusai dengan
kebutuhannya akan menunjang terhadap proses penyembuhan penyakit
tuberculosis terutama pada penderita yang menderita malnutrisi. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk meneliti gambaran asupan zat gizi mikro dan status gizi
pada penderita Tuborkulosis.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran asuapan zat gizi makro dan status gizi pada penderita
Tubercolosis rawat inap di rumah sakit Paru Jawa Barat?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:

Mengetahui Gambaran Tingkat Konsumsi Zat Gizi Makro Pada Tuberkulosis Paru
di Rumah Sakit Paru Jawa Barat

Tujuan Khusus:

 Mengetahui karakteristik penderita penyakit Tuberkulosis Paru


 Mengetahui asupan energi penderita Tuberkulosis Paru
 Mengetahui asupan protein penderita Tuberkulosis Paru
 Mengetahui asupan lemak penderita Tuberkulosis Paru
 Mengetahui asupan karbohidrat penderita Tuberkulosis Paru
 Mengetahui asupan status gizi penderita Tuberkulosis Paru

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti

3
Untuk memberikan pengetahuan atau wawasan kepada peneliti mengenai
tingkat konsumsi zat gizi makro pada Tuberkulosis di Rumah sakit Paru
Jawa Barat

2. Bagi Institusi Pendidikan


Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan literatul pembelajaran
untuk kedepannya.
3. Bagi pasien

Untuk memberikan pengetahuan atau wawasan kepada pasien


Tuberkulosis di Rumah sakit Paru Jawa Barat mengenai tingkat konsumsi
zat gizi makro

4. Bagi rumah sakit


Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tingkat konsumsi zat gizi
makro pada paien TB di Rumah Sakit Paru jawa Barat sehingga dapat
memberikan masukan dalam tatalakasana pemberian asupan zat gizi
makro pada pasien TB.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi status gizi


Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan anatara status gizi buruk, kurang, baik,

dan lebih. (Sunita Almatsier, 2005).


Pedoman umum gizi seimbang (PUGS) adalah pedomn dasar tentang gizi

seimbang yang disususn sebagai penuntun pada perilaku konsumsi

makanan di masyarakat secara baik dan benar (Sunita Almatsier, 2005).


Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) atau Recommended

Dietary Allowances (RDA) adalah tingkat konsumsi zat-zat gizi esensial

yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi hampir semua orang

sehta disuatu negara. AKG untuk Indonesia didasarkan atas patokan berat

badan untuk masing-masing kelompok meneurut umur, gender, dan

aktifitas fisik yang di tetapkan secara berkala melalui survei penduduk.

AKG digunakan sebagai standar untuk mencapai status gizi optimal bagi

penduduk dalam hal penyedaiaan pangan secara nasional dan regional

serta penilaian kecukupan gizi penduduk golongan masyarakat tertentu

yang diperoleh dari konsumsi makanannya (Sunita Almatsier, 2005)


Cara menetukan kebutuhan Faal sebisa mungkin, AKG ditetapkan terlebih

dahulu menetapkan kebutuhan faal rata-rata tubuh terdapat zat gizi yang

sudah diserap / absorpsi. Nilai ini disesuaikan dengan faktor kehilangan

karena penyerapan tidak sempurna dan untuk menampung variasi antar

individu dan ketersediaan faal zat gizi antar sumber makanan dengan

demikian, AKG sudah dimasukan faktor kemanaan untuk setiap zat gizi,

yang berkaitan dengan pengetahuan gizi yang bersangkutan, ketersedaiaan

5
faalinya, dan variasi antar penduduk. Kebutuhan untuk bayi dan anak

merupakan kebutuhan zat gizi yang memungkinkan pertumbuhan dan

perkembangan yang memuaskan; sedangkan untuk orang dewasa

merupakan jumlah kebutuhan untuk memelihara berat badan normal dan

mencegah deplesi zat gizi dari tubuh yang diperkirakan melalui penelitiaan

keseimbangan, seerta pemeliharaan konsentrasi normal zat gizi di dalam

darah dan jaringan tubuh. Untuk zat-zat gizi tertentu kebutuhan mungkin

pula didasarkan atas jumlah yang diperlukan baik untuk mencegah

ketidakmampuan tubuh melakukan fungsi khusus, maupun untuk

mencegah timbulnya tanda-tanda defisiensi khusu, yaitu jumlah yang

mungkin sangat berbeda dengan kebutuhan guna mempertahankan

simpanan tubuh. Dengan demikian penetapatan kebutuhan untuk setiap zat

gizi berbeda sesuai kriteria yang dipilih (Sunita Almatsier, 2005).


Dari hal tersebut perlu dipertimbangkan setiap faktor yang berpengaruh

terhadap absorpsi zat-zat gizi atau efisiensi pengguanannya didalam tubuh.

Untuk sebagian zat gizi, sebagian dari kebutuhan mungkin dapat

dipengaruhi dengan mengkonsusmsi suatu zat yang didalam tubuh

kemudian dapat diubah menajdi zat gizi esensial, oleh karena itu AKG

dapat dijadikan sebagai pedoman, agar menu yang dikonsumsi bervariasi

guna memenuhi AKG untuk zat-zat gizi yang memenuhi kebutuhan.

Diperlukan adanya sautu anjuran agar menu sehari-hari terdiri dari

berbagai golongan bahan pangan (bukn dari suplementasi atau fortifikasi),

dan upaya diperhitungkan pula kemungkinan kehilangan zat-zat gizi

selama pengolahan makanan. DiIndonesia pola enu seimbang tergambar

dalam PGS (Pedoman Gizi Seimbang) (Depkes, 2014) yang terdiri dari :

6
1. Syukuri dan nikmati aneka ragam makanan.
2. Banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan.
3. Biasakan menkonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi.
4. Biasakan menkonsumsi beranekaragam makanan pokok.
5. Batasi konsumsi pangan manis, asin, dan berlemak.
6. Biasakan sarapan.
7. Biasakan minum air putih yang cukup dan aman.
8. Biasakna membaca label pada kemasan pangan.
9. Cuci tangan pakai sabun dengan air bersih dan mengalir.
10. Lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan

normal.

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk

variabel tersebut (Supariasa, 2002). Penilaian status gizi dapat

dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan biofisik, biokimia dan

antropometri, karena relatif lebih mudah, murah dan tidak memerlukan

tenaga yang ahli (Djiteng, 1989). Indikator yang digunakan dalam

penilaian status gizi adalah Index Masa Tubuh dihitung dengan pembagian

Berat Badan (dalam kilogram) dan Tinggi Badan (dalam meter) pangkat

dua (Supariasa, 2002) dengan rumus:

IMT :

Tabel 5. Katagori IMT menurut (Almatsir,2005) sebagai berikut:

Kriteria Klasifikasi
< 17,0 Status gizi sangat kurus
17,0 -18,4 Status gizi kurus
18,5-25 Status gizi normal
25,1-27 Status gizi gemuk
>27 Status gizi obesitas

7
Asupan makan adalah jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang untuk

memperoleh energi guna melakukan kegiatan fisik sehari-hari. Makanan

memasok energi yang menjadi kebutuhan kita melalui tiga jenis unsur gizi

dasar penghasilan energi yaitu karbohidrat, protein, lemak. Ketiga zat gizi

tersebut sering disebut dengan zat gizi makro (Suhardjo, 1992)

1. Faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi penderita faktor

tersebut antara lain:

a) Keadaan Sosial Ekonomi

Keadaan sosial ekonomi berkaitan dengan pendidikan, keadaan sanitasi

lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan

pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli

dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpergaruh

terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan

kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi

Tuberkulosis Paru (Fatimah, 2002).

b) Faktor Psikologi Penderita

Orang yang sakit harus mengatur kehidupan yang berbeda dengan apa

yang dialami setiap harinya. Terutama jumlah makanan dan variasi menu

untuk menimbulkan nafsu makan.

c) Keadaan Jasmani Orang Sakit

Keadaan jasmani orang sakit merupakan faktor yang perlu diperhatikan

karena menentukan bentuk atau kronis diit yang akan diberikan, orang

sakit yang dalam keadaan lemah dan kesadaran menurun, memerlukan

waktu yang khusus (Moehyi, 1999).

8
d) Riwayat Terapi

Terapi diit memegang peran penting dalam proses penyembuhan

penyakit, jenis diit, penampilan dan rasa makanan yang disajikan akan

berdampak pada asupan makan. Variasi makanan yang disajikan

merupakan salah satu upaya untuk menghilangkan rasa bosan. Orang

sakit akan merasa bosan apabila menu yang dihidangkan tidak menarik

sehingga mengurangi nafsu makan. Akibatnya makanan yang

dikonsumsi sedikit atau asupan zat gizi berkurang (Lisdiana, 1998).

2. Proses Asuhan Gizi Terstandar (PAGT)


Sebelum melakukan asuhan gizi terstandar terlebih dahulu dilakukan

skrining gizi. Skrining gizi pada pasien tuberculosis pada umumnya sama

dengan penyakit infeksi lainnya dimana dilakukan untuk menapis masalah

gizi yang ada atau resiko yang dapat menimbulkan malnutrisi.


a. Pengkajian gizi
1) Antropometri
a) Dewasa
Pengukuran status gizi pada dewasa dengan menggunakan

indeks masa tubuh (IMT), atau apabila pasien tidak dapat di

ukur BB dan tuberculosis dapat menggunakan lingkar lengan

atas (LiLA). Penilaian IMT menggunkan batas ambang:


Tabel 3. Penilaian IMT menggunkan Batas Ambang

IMT Kategori
< 17,0 Kurus (kekurangan berat badan

tingkat berat)
17,0 -18,4 Kurus (kekurangan berat badan

tingkat ringan)
18,5 -25,0 Normal
25,1 -27,0 Gemuk (kelebihan brat badan

tingkat ringan)

9
>27,0 Obes (kelebihan berat badan

tingkat berat)
Sumber: Depkes, Keluarga Sadar Gizi, 2009.

Tabel 4. Klasifikasi pasien dewasa menggunkan LiLA

Jenis kelamin LiLA Klasifikasi


Laki-laki ≥23 cm Normal
18,5-23 cm Malnutrisis ringan
16-18,5 cm Malnutrisi sedang
<16 cm Malnutrisi berat
Perempuan ≥22 cm Normal
18,5-22 cm Malnutrisi ringan
16-18,5 cm Malnutrisi sedang
<16 cm Malnutrisi berat
Sumber: Nutrition Asessment, Counselling and Suport for

PLHIP Operatonal Guidelines Food and nutrtion Technical

Resiztance, 2005.
(1) Biokimia Hasil pemeriksaan biokimia terkait gizi yang penting

untuk dikaji pada pasien tuberkulosis adalah:


(a) Pemeriksaan Hemoglobin, kaitannya dengan anemia
(a)Albumin, kaitannya dengan transport protein darah
(b) Pemeriksaan Elektrolit darah (Na, K Cl) pada

pasien Tuberkulosis yang mengalami dehidrasi (misalnya

karena diare, muntah, dll) sehingga rentan kehilangan elektrolit

darah
(2) Klinis Pemeriksaan klinis terkait gizi yang penting untuk dikaji

pada pasien tuberkulosis antara lain:


(a)Demam mengakibatkan peningkatan kebutuhan gizi
(a)Penurunan Nafsu Makan mempengaruhi jumlah asupan

makanan yang dikonsumsi


(b) Mual merupakan efek samping obat dan gejala

komorbid dapat mempengaruhi asupan makan


(c)Sesak Nafas mempengaruhi asupan dan konsistensi

makanan

10
(d) Keringat berlebih mempengaruhi pemenuhan

kebutuhan cairan
(e) Batuk mempengaruhi jumlah asupan makan
(f) Penurunan berat badan mempengaruhi peningkatan

kebutuhan gizi Penurunan BB lebih dari 5% harus

mendapatkan perhatian khusus dalam pemberian makanannya

agar dapat meningkatkan atau mencegah penurunan BB lebih

lanjut. Cara menghitung penurunan berat badan adalah:

[(BBW – BB aktual)/BBW] x 100% = % Penurunan BB

BBW = Berat badan pertama kali tercatat di rekam medik BB

aktual = Berat badan saat ini Pedoman Pelayanan Gizi Pada

Pasien Tuberkulosi.
(3) Riwayat Gizi Gambaran riwayat gizi diperlukan untuk

mengetahui tingkat kecukupan asupan energi dan zat

gizi, kebiasaan makan serta ketersediaan makanan

pasien. Metode yang digunakan adalah food recall dan

formulirn food frequency.


Asupan Gizi Food Recall 24 jam mengetahui

tingkat kecukupan asupan gizi. Pola Makan Formulir

Food Frequency mengetahui variasi makanan, akses

makanan

(4) Riwayat Personal


Riwayat personal yang berkaitan dengan masalah gizi pada

pasien tuberkulosis antara lain kondisi sosial dan ekonomi,

kesehatan lingkungan, akses terhadap makanan, riwayat penyakit

pasien dan keluarga.


b. Diagnosis gizi

11
Diagnosis gizi merupakan masalah yang berkaitan dengan risiko

kekurangan gizi yang dapat dikelompokkan menjadi tiga domain,

yaitu:
1) Domain Asupan Masalah gizi yang umum pada pasien tuberkulosis

dilihat dari domain asupan adalah:


a) Asupan gizi tidak adekuat
b) Pola makan tidak seimbang Intervensi: Pemenuhan kebutuhan

energi dan zat gizi.


2) Domain Klinis Masalah gizi yang umum pada pasien tuberkulosis

dilihat dari domain klinis adalah


a) Penurunan BB yang tidak diharapkan, bisa terjadi karena

asupan tidak adekuat akibat peningkatan kebutuhan karena

adanya infeksi dan gangguan makan. Intervensi:

Pemenuhan kebutuhan gizi dengan memperhatikan kondisi

tersebut yang bertujuan agar terjadi peningkatan berat

badan.
3) Domain perilaku
Masalah gizi yang umum pada pasien Tuberkulosis dilihat dari

domain perilaku adalah:


a) Kebiasaan makan dan minum yang tidak tepat
b) Akses terhadap makanan
c) Kurangnya pengetahuan
d) Ketidaksiapan untuk melakukan perubahan perilaku terkait

gizi
c. Intervensi: Edukasi dan konseling gizi
1) Syarat Diiit

Syarat-syarat diit tinggi energi tinggi protein adalah:

a) Energi tinggi, yaitu 40-45 Kkal/Kg BB


b) Protein tinggi yitu 20-25gr/KgBB
c) Lemak cukup, yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total
d) Karbohidrat cukup, yaitu sisah dari kebutuhan total
e) Vitamin dan mineral cukup, sesuai dengan keutuhan normal.
f) Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna.

12
2) Prinsip Diet
(1) Makanan yang diberikan mengandung energi dan protein

tinggi (Tinggi Energi Tinggi Protein).


(2) Bentuk makanan disesuaikan dengan kemampuan makan

pasien, misalnya saat mengalami batuk yang terus menerus

dianjurkan diberi makanan dalam bentuk makanan lunak.


(3) Apabila asupan kurang dari 50% kebutuhan, perlu

kombinasi pemberian makanan, misalnya bentuk makanan

lunak dan makanan cair (enteral).


(4) Frekuensi makan dapat sampai 6 kali makanan utama

dengan porsi kecil yang padat gizi. Makanan padat gizi

dapat dibuat dengan menambahkan susu, telur, tepung,

minyak, santan, dll dalam makanan.


(5) Makanan berkuah atau banyak cairan.
(6) Utamakan sumber karbohidrat kompleks misalnya nasi,

kentang, mi, bihun, roti.


(7) Hidangan makanan menarik dan mengundang selera

makan.
(8) Bila memungkinkan konsumsi susu 2 – 3 gelas/hari.
(9) Konsumsi sayur dan buah sebanyak 5 – 6 porsi/hari.
(10) Hindari pengolahan makanan dengan digoreng,

terlalu manis (gula dan sirup), terlalu asam, es dan pedas

atau merangsang lainnya seperti teh dan kopi karena akan

merangsang batuk.
(11) Hindari alcohol.

B. Definisi Tuberculosis
Tuberculosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan

oleh bakteri Mycrobacterium tuberculosis, yang dapat menerang berbagai

organ, terutama paru-paru. Penyakit ini pula tidak diobati atau

pengobatannya tidak tuntas dapat menimbulkan komplikasi berbahaya

13
hingga kematian. TB diperkirakan sudah ada di dunia sejak 5.000 tahun

sebelum Masehi, namun kemajuan dalam penemuan dan pengendalian

penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir (Depkes, 2016).

1. Etiologi
Penyebab penyakit Tuberculosis adalah kuman Mycrobacterium

Tuberculosis, dimana sebagia besar menyerang paru yang di sebut

tuberculosis paru, selain itu dapat menyerang organ tubuh lainnya di luar

paru atau disebut Tuberculosis ekstraparu, yang dapat menunar pada

siapaun. Adapun cara penularannya adalah ketika terdapat penderita TB

dengan BTA positif, saat penderita bersin atau batuk maka pada saat itu

pula bakteri dapat meyebar ke udara yang berasal dari batuk atau bersin

penderita dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali bauk dapat

meghasilkan sekitar 3.000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi

dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.

Ventilasi dapat mengurangi jumlah perikan, sementara sinar matahari

langsung dapat membunuh bakteri tersebut.


Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap

dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya

bakteri yang dikeluarkan dari parunya. Semakin tinggi derajat kepositfan

hasil pemeriksaan dahak, maka semakin tinggi pula resiko penuranya.

Faktor yang memungkinkan seseorang terkena kuman TB ditentukan oleh

konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut

(Depkes,2014).

14
Penyakit yang sudah cukup lama ini merupakan masalah global di dunia

dan di perkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh

Mycrobacterium tuberculosis. Yang memiliki karakteristik sebagai berikut:


1. Berbentuk panjang dan batang 1-10 mikron, lebar 0,2-0,6 mikron.
2. Bersifa tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl

Neelsen.
3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Laweinstein

Jensen, Ogawa.
4. Bakteri Nampak berbentuk batang berwarna merah dalam

pemeriksaan dibawah mikroskop.


5. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam

angka waktu yang lama pada suhu anta 4o C sampai minus 70 o C.


6. Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar

ultraviolet.
7. Paparan langsung terhadap sinar ultraviolet, sebagian besar bakteri

tersebut akan mati dalam beberapa menit.


8. Pada dahak dengan suhu antara 30-70 o C akan mati dalam kurun

waktu kurang lebih satu minggu.


9. Kuman bisa bersifat dormant (tidur/tidak berkembang).

2. Patogenesa
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan

kuman TBC. Dropet yang terhirup sangat kecil ukuranya, sehingga dapat

melewati sistem pertahanan mukulosilir bronkus, dan terus berjalan

sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat

kuman TBC berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru

yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan

membawa kuman TBC kekelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini

disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai

15
pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi

menjadi positif (Depkes RI, 2002).

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang

masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada

umumnya reaksi daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan

kuman TB. Meskipun demikian beberapa kuman akan menetap sebagai

kuman persisten atau dorman (tidur). Kadang daya tahan tubuh tidak

mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa

bulan yang bersangkutan akan menjadi sakit TB.

3. Faktor Resiko
Faktor Karakteristik Individu Beberapa faktor karakteristik individu

yang menjadi faktor risiko terhadap kejadian TB paru adalah:


a. Faktor usia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Haryanto dkk.(2004), kasus

kematian penderita TB paru hampir tersebar pada semua kelompok

usia dan paling banyak pada kelompok usia produktif yaitu usia 20-49

tahun sekitar 58%. Di Indonesia sendiri diperkirakan 75% penderita

TB paru adalah usia produktif yaitu usia 15-50 tahun (Depkes RI,

2007; Herryanto dkk., 2004)


b. Faktor jenis kelamin
Jenis kelamin juga mempengaruhi kejadian TB paru karena

berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Aditama (2005) bahwa

prevalensi TB paru terbanyak diderita oleh laki-laki 17 karena

sebagian besar laki-laki kebiasaan merokok sehingga mudah terkena

TB paru. Selain dari kebiasaan merokok laki-laki lebih beresiko

terkena TB paru dibandingkan dengan perempuan hal ini berkaitan erat

16
dengan interaksi sosial yang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan

perempuan (Aditama, 2005; Illu dkk., 2012).

Pada asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya bagi kesehatan.

Sehingga, merokok dapat mengganggu dapat mengganggu kejernihan

mukosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama

dalam melawan infeksi. Hal ini juga dapat memperbaiki menempelnya

bakteri dan infeksi. Merokok dimungkinkkan menghasilkan

penurunan fungsi sel T yang dimanifestasikan oleh penurunan

perkembangbiakan mitogen sel T. Polarisasi fungsi sel T dari respon

TH-1 ke TH-2 mungkin juga mengganggu dampak negatif pada fungsi

limfosit B untuk menurunkan produksi imunoglobulin (Eisner, 2008).


Perempuan cenderung lebih banyak mengalami konversi BTA hal ini

dipengaruhi faktor hormon. Pada perempuan terdapat estrogen yang

dapat meningkatkan sekresi INF-γ dan mengaktifkan makrofag

sehingga respon imun meningkat dan terjadi konversi BTA sedangkan

pada laki-laki terdapat testosteron yang menghambat respon imun

(Utami dkk, 2012).


c. Status gizi

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi,

dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang

sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB paru. Keadaan ini

merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik

pada orang dewasa maupun anak-anak (Hiswani, 2009).

17
3. Klasifikasi
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,

tidak termasuk pleura (selaput paru).


1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi dalam:
a. Tuberkulosis Paru BTA Positif (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil

BTA positif Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan

BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran

tuberkulosis aktif • Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak

menunjukkan BTA positif dan biakan positif


b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,

gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis

aktif serta tidak respons dengan pemberian antibiotik spektrum luas

dan hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan

biakan M.tuberculosis positif . Jika belum ada hasil pemeriksaan

dahak, tulis BTA belum diperiksa.


2. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu:


a. Kasus baru Adalah penderita yang belum pernah mendapat

pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang

dari satu bulan (30 dosis harian)


b. Kasus kambuh (relaps) Adalah penderita tuberkulosis yang

sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah

dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali

lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau

biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada gambaran

18
radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan

beberapa kemungkinan:

• Infeksi sekunder

• Infeksi jamur

• TB paru kambuh

c. Kasus pindahan (Transfer In) Adalah penderita yang sedang

mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah

berobat ke kabupaten lain. Penderita pindahan tersebut harus

membawa surat rujukan/pindah


d. Kasus lalai berobat Adalah penderita yang sudah berobat paling

kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang

kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan

hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

e. Kasus Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan)
f. Kasus Kronik
Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik

positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan

atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan f. Kasus

kronik Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA

masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan

pengawasan yang baik


g. Kasus bekas TB

19
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas)

negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,

terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang

menetap. Dan Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih

mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan

lesi TB aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2

bulan ternyata tidak ada perubahan radiologi.

4. Gejala Klinis
Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulosis dapat bermacam-macam

atau malah banyak penderita ditemukan Tuberkulosis Paru tanpa keluhan

sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan (Bahar Asril, 1996).


Keluhan yang banyak terdapat pada penderita Tuberkulosis Paru yaitu:
1. Demam

Biasanya menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang panas

badan dapat mencapai 40-41°C. keadaan ini sangat dipengaruhi oleh

daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman

tuberculosis

yang masuk.
2. Batuk

Gejala ini banyak ditemukan, batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus. Sifat bentuk dimulai dari batuk kering (non-produktif)

kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan

spuntum)
3. Sesak nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas

akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya

sudah meliputisetengah bagian paru-paru.

20
4. Nyeri Dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan

napasnya.
5. Malaise

Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise

sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan

makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,

keringat malam.

5. Diagnose
Diagnosis tuberculosis paru pada penderita dewasa ditegakan dengan

penemuan Basil Tahan Asam (BTA). Pada Program Nasional Pengendalian

Tuberculsis (PNPT), penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak secara

mikroskopik merupaan cara penegakan diagnosis yang utama.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks dan bakan digunkan sebagai

penunjang diagnosis atas indikasi.


Diagnosis Tuberculosis ekstraparu dewasa perlu dicurgai apabila

diemukan gejala-gejala : nyeri dada (Tuberculosis Pleural/pleuritis),

pembesaran kelenjar getah bening superfisial (limfadenitis Tuberculosis

dewasa) serta hasil pemeriksaan penunjang, misalnya : uji tuberculin,

radiologi serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.

Berdasarkan hal tesebut maka diagnosis tuberculosis pada anak mengikut

alur khusus yaitu Sistim Skoring yang direkomendasikan oleh ikatan

dokter anak Indonesia.

21
Diagnosis tuberculosis pada pasien HIV berbeda dengan diagnosis

tuberculosis pada umunya. Pada pasien koinfeksi TB-HIV gejala klinis

tidak spedifik, yang dominan adalah penurunan BB yang drstis dan

demam yang berkepanjangan, sementara batuk lama tida thoraks tidak

spesifik terutaa pada pasien HIV lanjut dan pemeriksaan sputum BTA

lebih sering nrgatif (Depkes,2014). Adapun untuk diagnose penunjang, ada

beberapa pemeriksaan untuk mendiagnosa seseorang menderita TBC

antara lain:
1. Pemeriksaan Mikroskopis
Hasil pemeriksaan dahak tersebut adalah:
a. Hasil pemeriksaan di nyatakan positif apabila sedikitnya dua dari

tiga spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS), maka terdapat

BTA positif dan dinyatakan sebagai penderita tuberkulosis paru.


b. Bila hanya terdapat 1 spesimen yang positif perlu dilakukan

pemeriksaan dahak SPS diulang, apabila hasilnya masih tetap sama

maka dilakukan pemeriksaan foto ronsen dada.


c. Bila ketiga spesimen hasilnya negatif, diberikan antibiotik

spektrum luas (misalnya; Kontrimoksasol atau amoksilin) selama

1-2 minggu.Unit pelayanan kesehatan yang tidak memiliki fasilitas

rontgen,

penderita dapat dirujuk untuk foto rontgen.


2. Pemeriksaan foto rontgen dada
Suspek dengan BTA negatif, pemeriksaan foto rontgen dada

merupakan pemeriksaan lanjutan, apabila setelah pemberian antibiotik

spekrum luas tanpa ada perubahan dan pemeriksaan ulang dahak SPS

hasilnya tetap negatif. Untuk penderita dengan BTA positif hanya

sebagian kecil dari penderita dengan hasil pemeriksaan BTA positif.

Yang perlu dilakukan foto rontgen dada yaitu:

22
a. Penderita tersebut diduga mengalami komplikasi, misalnya: sesak

nafas berat yang memerlukan penanganan khusus.


b. Penderita yang sering hemoptisis berat, untuk menyingkirkan

kemungkinan (pelebaran bronkus setempat).


c. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA positif dan

pemeriksaan rontgen diperlukan untuk mendukung diagnosis TBC

paru BTA positif.


3. Uji Tuberkulin (mantoux)
Dilakukan dengan cara mantoux, semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor

26. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Uji

tuberkulin positif bila durasi > 10 mm (pada gizi baik), atau 5 mm

pada gizi buruk. Uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi

TBC. Apabila uji tuberkulin meragukan, maka dilakukan uji ulang

(Depkes RI, 2002).

6. Pengobatan
Pengobatan Tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien,

mencegah kematian, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi kuman Mycobacterium Tuberculosis terhadap Obat

Anti Tuberkulosis (OAT). Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi

dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan,

supaya semua kuman (termasuk kuman persiten) dapat dibunuh. Dosis

tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal,

sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila panduan obat yang digunakan

tidak adekuat (jenis, dosis, dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC

akan berkembang menjadi kuman resisten (Depkes RI, 2002)

23
Adapun jenis dan dosis obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan

untuk pengobatan tuberkulosis, antara lain

a. Isoniazid (H)
Obat ini bersifat bakterisid, dapat membunuh 90 % populasi kuman

dalam beberapa hari pertama pengobatan. Dosis harian yang

dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitien 3

kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.


b. Rifampisin (R) Obat ini bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman

semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isonoid. Dosis 10 mg/kg

BB diberikan sama untuk pengobatan harian maupun intermitten 3 kali

seminggu.
c. Pirazinamid (P) Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang

berada dalam sel dengan suasana asam. Dosis yang dianjurkan 25

mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu

diberikan dengan dosis 35 mg/kg BB.


d. Sterptomisin (S) Bersifat bakterisid, dosis harian yang dianjurkan 15

mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu

digunakan untuk dosis yang sama. Penderita yang berumur sampai

dengan 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk yang berumur

>60 tahun atau lebih diberikan 0,50 g/hari.

C. Kerangka Teori

Penyakit TBC Terapi Diit

Asupan Energi Faktor sosial ekonomi


Terapi Obat
Asupan Protein Faktor psikologi Pasien

24
Asupan Lemak Keadaan jasmani

Asupan Karbohidrat Riwayat penyakit


Status Gizi

Gambar 1. Kerangka Teori

25
D. Kerangka Konsep

Penyakit TBC Terapi Diit

Asupan Energi

Asupan Protein

Asupan Lemak

Asupan Karbohidrat

Status Gizi

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

26
DAFTAR PUSTAKA

InfoDatin-2016-TB.pdf.

Pedoman-tbnasional2014.pdf.

Paru TB, Kota DI. 19621231 199103 0011. 2012:1-81.

Lingkungan DANP, Penyusun TIM. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.; 2011.

Kesehatan K, Indonesia R. Pedoman Pelayanangizi Pada Passien Tuberkulosis.; 2014.

K.kesehatan RI. Infodatin_tb.pdf.; 2015.

Almatsier, sunita.Penuntun DIet Edisi Baru.Jakarta:Gramedia;2006

Almatsier, sunita.Perinsip Dasar Ilmu Gizi.JAkrta:Gramdeia;2013

iii

Anda mungkin juga menyukai