Anda di halaman 1dari 59

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rambut merupakan mahkota seseorang dan menjadi salah satu unsur yang

tidak bisa diabaikan karena rambut mencerminkan kepribadian, umur, dan

kesehatan. Pada dasarnya merawat rambut sangatlah mudah, diawali dengan

membersihkan rambut minimal 2 hari sekali serta merawat dengan intensif bila

mempunyai masalah pada rambut dan kulit kepala (Anisa, 2017). Masalah yang

masih merupakan penyebab kepercayaan diri seseorang berkurang dalam

beraktivitas ialah rambut berketombe (Sitompul, 2016).

Ketombe adalah gangguan pada kulit kepala yang mengakibatkan

berkurangnya kenyamanan dalam beraktivitas karena menimbulkan rasa gatal pada

kepala serta dapat mengurangi rasa percaya diri akibat adanya bintik putih pada

rambut. Ketombe diakibatkan oleh adanya infeksi jamur dengan skuama berwarna

putih abu-abu dalam jumlah banyak dan mudah rontok, disertai dengan rasa gatal

yang sangat luar biasa pada kulit kepala, berbau dan dengan atau tanpa peradangan

(Budiman, 2015). Salah satu mikroorganisme yang diduga sebagai penyebab

ketombe adalah Malassezia sp. Jamur ini sebenarnya merupakan flora normal di

kulit kepala, namun pada kondisi rambut dengan kelenjar minyak berlebih, jamur

ini dapat tumbuh dengan subur (Nitihapsari 2010). Pada penderita ketombe, jumlah

Malassezia sp. meningkat sehingga menstimulasi pembentukan lipase yang

kemudian dirombak menjadi asam-asam lemak. Asam-asam lemak ini merangsang

kulit dan mengakibatkan hiperproliferasi sel-sel dermis, akibatnya keratosit

1
dilepaskan lebih pesat melebihi normal. Kondisi yang menyebabkan Malassezia sp.

menjadi patogen sehingga dapat menimbulkan ketombe antara lain keadaan sistem

imun yang lemah, peningkatan derajat asam dan kadar lemak dari kulit, susunan

lemak, serta adanya stress (Aprilia 2010).

Mencuci rambut menggunakan shampo anti ketombe merupakan salah satu

cara mencegah ketombe. Saat mencuci rambut harus diperhatikan zat aktif yang

terdapat di dalamnya. Shampo antiketombe biasanya mengandung desinfektan

untuk mencegah tumbuhnya ketombe tetapi tidak boleh merusak kulit kepala dan

rambut. Shampo antiketombe banyak yang mengandung senyawa-senyawa

antibakteri seperti zink, yang mempunyai efek dapat merusak kulit dan

menimbulkan kerontokan rambut. Oleh karena itu, perlu ada alternatif lain

khususnya bahan alam yang dapat digunakan sebagai antiketombe (Budiman,

2015).

Serangkaian pencarian dan penggalian untuk obat antijamur telah banyak

dilakukan. Salah satu perhatian terhadap obat tradisional yang mungkin dapat

dikembangkan sebagai antijamur adalah beluntas (Pluchea indica L). Tanaman

yang biasa digunakan sebagai pagar hidup ini mempunyai sifat khas berbau

langu/baunya khas (sengir) dan berasa getir. Daun dan bunga P. Indica L.

mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoid dan polivenol, selain itu bunganya

juga mengandung alkaloid yang bertindak sebagai antiseptik. Pada penelitian yang

telah dilakukan oleh Hardayanti pada tahun (2005) ditemukan beberapa senyawa

kimia yang terdapat dalam ekstrak etanol daun beluntas antara lain saponin,

flavonoid dan minyak atsiri. Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Harliyani

2
(2006), yang menunjukkan bahwa pada ekstrak etanol daun beluntas terdapat

senyawa saponin dan flavonoid (Putri, 2007).

Sehubungan dengan adanya indikasi bahwa daun beluntas (P. indica L)

memiliki daya antijamur, maka perlu dilakukan penelitian tentang daya antimikotik

daun beluntas (P. iIndica L) untuk mengetahui adanya daya antifungi ekstrak etanol

daun beluntas terhadap Malassezia sp. kemudian dilakukan perbandingan daya

antifungi ekstrak daun beluntas dan setelah diformulasikan dalam bentuk sediaan

gel shampo terhadap pertumbuhan jamur Malassezia sp.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana efektivitas ekstrak etanol daun beluntas terhadap pertumbuhan jamur

Malassezia sp. penyebab ketombe?

2. Bagaimana efektivitas ekstrak daun beluntas dalam sediaan gel shampo terhadap

jamur Malassezia sp. penyebab ketombe?

3. Bagaimana perbandingan efektivitas ekstrak daun beluntas dengan sediaan gel

shampo yang mengandung ekstrak daun beluntas terhadap pertumbuhan jamur

Malassezia sp ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui efektivitas ekstrak etanol daun beluntas terhadap pertumbuhan

jamur Malassezia sp. penyebab ketombe.

2. Mengatuhui efektivitas ekstrak daun beluntas dalam sediaan gel shampo

terhadap pertumbuhan jamur Malassezia sp. penyebab ketombe.

3
3. Untuk mengetahui bagaimana perbandingan efektivitas antara ekstrak dan

sediaan gel shampo ekstrak daun beluntas terhadap pertumbuhan jamur Malassezia

sp ?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai beikut :

1. Manfaat bagi peneliti

Menambah wawasan keilmuwan peneliti terutama dalam bidang formulasi sediaan

gel shampo dari ekstrak daun beluntas sebagai antifungi Massezia sp. penyebab

ketombe.

2. Manfaat bagi institusi

Sebagai salah satu sumber informasi mengenai formulasi gel shampo ekstrak daun

beluntas sebagai antifungi Malassezia sp. penyebab ketombe yang dapat dijadikan

rujukan untuk penelitian selanjutnya.

3. Manfaat bagi masyarakat

Dapat memberikan informasi mengenai khasiat dan manfaat serta penggunaan daun

beluntas secara empiris.

4. Manfaat bagi ilmu pengetahuan

Memberikan kontribusi berupa hasil penelitian, sehingga dapat digunakan sebagai

acuan untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Beluntas (P. indica L.)

1. Nama Umum

Nama umum beluntas (Melayu), baruntas (Sunda), luntas (Jawa), baluntas

(Madura) lamutasa (Makasar), lenabou (Timor) (Susila,2012). Nama asing tanaman

beluntas yaitu Marsh fleabene, indian pluchea (Inggris), Luan Yi, Kuo bao ju

(Cina), beluntas, beluntas paya (Malaysia), kalapini (Tagalog), banig-banig (Sulu,

Filipina), khlu (Central), nuat ngua, naat wua (North-estern, Thailand), cuctan,

phat pha (Vietnam), munjhu rukha (Bengali) (BPOM, 2011; Suriyapan, 2014).

2. Klasifikasi tumbuhan

Menurut (Irfan, 2018) tanaman beluntas diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dycotyledonae

Bangsa : Compositales

Suku : Compositae

Marga : Pluchea

Spesies : Pluchea indica (L.)

Beluntas merupakan salah satu tanaman obat tradisional yang cukup

tersebar luas di Indonesia. Tanaman ini termasuk jenis semak atau setengah semak.

Tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 2 meter. Tanaman ini tumbuh secara liar

5
dan terdapat di tanah yang tandus. Sebagian orang memanfaatkan tanaman ini

sebagai pagar pekarangan (Rahmi, 2015).

Tanaman beluntas merupakan tanaman perdu tegak yang sering bercabang

banyak dan memiliki ketinggian 0,5- 2 m. Daun tanaman beluntas berambut, dan

berwarna hijau muda. Helaian daun beluntas berbentuk oval elips atau bulat telur

terbalik dengan pangkal daun runcing dan tepi daunnya bergigi. Letak daun

beluntas berseling dan bertangkai pendek dengan panjang daun sebesar 2,5- 9 cm

dan lebar 1-2 cm. Bunga tanaman beluntas merupakan bunga majemuk dengan

bentuk bongkol kecil, terminal. Bunga beluntas memiliki tabung kepala sari

berwarna ungu, dan tangkai putik dengan 2 cabang ungu yang menjulang jauh.

Buah tanaman beluntas berbentuk gangsing, keras dan berwarna cokelat. Ukuran

buah beluntas sangat kecil dengan panjang 1 mm. Buah beluntas memiliki biji kecil

dan berwarna cokelat keputih-putihan (Irfan, 2018).

Gambar 1. Daun Beluntas


(Pluchea indica L.)
(Dokumentasi pribadi)

6
3. Manfaat

Tanaman ini bermanfaat menurunkan suhu tubuh untuk mendinginkan

tubuh sehingga banyak keringat yang keluar dan suhu tubuh menjadi turun. Daun

beluntas menurut hasil penelitian mempunyai fungsi antibakteri dan antioksidan

serta berpotensi untuk dikembangkan sebagai pengawet makanan dan obat (Putri,

2007).

Beluntas juga sering dimanfaatkan sebagai obat tradisional yaitu untuk

menghilangkan bau badan dan mulut, mengatasi kurang nafsu makan, mengatasi

gangguan pencernaan pada anak, menghilangkan nyeri pada rematik, nyeri tulang

dan sakit pinggang, menurunkan demam, mengatasi keputihan dan haid yang tidak

teratur, hal ini disebabkan adanya kandungan senyawa fitokimia dalam daun

beluntas (Irfan, 2018).

4. Kandungan Kimia

Daun dan bunga P. indica L. mengandung minyak atsiri, saponin, flavonoid

dan polivenol, selain itu bunganya juga mengandung alkaloid yang bertindak

sebagai antiseptik. Dalam ilmu farmasi, flavonoid berfungsi sebagai senyawa aktif

antiradang, mengurangi rasa nyeri, antitumor, antivirus HIV, antidiare,

antikeracunan hati, antijamur, antioksidan, mencegah penyempitan pembuluh

darah, merangsang kekebalan dan antiborok/bisul (Putri, 2007).

B. Kelenjar sebasea

Kelenjar sebasea terdapat diseluruh bagian kulit, kecuali pada telapak

tangan dan telapak kaki, dan jumlahnya paling banyak terdapat dibelakang kepala,

muka, telinga, alat kelamin, dan daerah anus. Kebanyakan berkaitan dengan folikel

7
rambut, kelenjar Meibomian (pada kelopak mata), kelenjar Tyson (pada foreskin),

dan kelenjar sebasea disekitar putting susu dan sepanjang bibir atas, dan langsung

pada permukaan kulit (Danby, 2005).

Kelenjar sebasea ini menghasilkan sebum, melalui sekresi yang

mengandung campuran kompleks dari trigliserida, asam lemak, ester lilin (wax

esters), sterol esters, kolesterol (Dawson, 2005).

Shaft (beyond
epidermis)

root
Sebaseous (oil) gland
Arector pilli
Hair folicle
matrix
melanocyte
Hair papilia

Gambar 2. Gambar skematik rambut, memperlihatkan folikel rambut,


termasuk m. arrector pili dan kelenjar sebasea (sony, 2013).

C. Ketombe

Ketombe atau istilah lainnya seborcheic dermatitis adalah pelepasan sel-sel

kulit kepala yang sudah mati secara berlebihan (Apriyani, 2014). Gejala kelainan

yang timbul dapat bervariasi dalam antar individu. Pada umumnya ketombe

8
seringkali menjadi masalah karena dapat mengganggu penampilan seseorang

karena timbulnya sisik putih dan serpihan yang berjatuhan di baju dan

menyebabkan kulit kepala menjadi kotor serta lepek dan berbau. Selain itu ketombe

menyebabkan keresahan karena rasa gatal yang berlebih yang memungkinkan

penderita menggaruk kulit kepala hingga lecet dan berdarah, akibat yang paling

parah dari ketombe adalah kerontokan rambut pada tingkat yang meresahkan

ditambah dengan kondisi rambut yang menjadi berbau kurang sedap (Maesaroh,

2016).

Ketombe umumnya terjadi pada lingkungan yang memiliki kelembaban

yang tinggi dan panas. Hasil penelitian yang dilakukan Ro dan Dawson, terdapat

tiga faktor utama penyebab timbulnya ketombe, yaitu aktifitas kelenjar sebasea,

peranan Malassezia sp. dan kerentanan individu. Faktor yang juga dapat

berpengaruh adalah faktor genetik, faktor abnormalitas neurotransmiter, suhu dan

kelembapan cuaca dan musim, makanan berlemak, faktor nutrisi, faktor

imunologis,iritasi mekanis dan kimiawi, faktor stress (Rizky, 2018)

Pembesaran, pembentukan sebum, dan aktifitas kelenjar sebasea

dipengaruhi oleh hormon androgen. Kadar hormon androgen yang tinggi akan

mengaktifkan kelenjar sebasea untuk memproduksi sebum lebih banyak dan akan

meningkatkan pertumbuhan koloni Malassezia sp. karena tersedianya media untuk

tumbuh dan berproliferasi. Meningkatnya koloni Malassezia sp. akan menyebabkan

hasil metabolisme jamur ini lebih banyak sehingga menimbulkan iritasi dan skuama

pada kulit kepala (Istiqomah, 2016).

9
Ketombe terbagi lagi atas dua bagian yaitu ketombe kering dan ketombe

basah (Apriyani, 2014) yaitu :

1. Ketombe Kering (Pityriasis Capitis Simples)

Ketombe Kering (Pityriasis Capitis Simples), dapat dilihat dengan tanda

yaitu adanya sisik-sisik yang berwarna putih hingga kuning dan kehitam-hitaman,

mengkilap serta kering pada kulit kepala. Akibat dari ketombe kering ini adalah

sangat gatal, rambut rontok karena terganggu pertumbuhannya.

2. Ketombe Basah (Pityriasis Steatoides)

Ketombe Basah (Pityriasis Steatoides), tanda-tanda dari ketombe basah ini

adalah berupa sisik-sisik berwarna seperti juga ketombe kering, tapi bukan kering

melainkan basah, ciri-ciri yang lain sama seperti ketombe kering dan akibat yang

ditimbulkannya tetapi kadang-kadang ketombe basah ini agak berbau dibandingkan

ketombe kering. Disamping itu lebih susah dalam penataan rambut, karena kondisi

rambut terlalu basah.

3. Patofisiologi terjadinya

Patofisiologi terjadinya ketombe antara lain:

a. Infiltrasi Malassezia sp.

Malassezia sp. dapat menginfiltrasi stratum korneum dari epidermis. Malassezia

sp. akan memecah komponen sebum, menimbulkan gejala inflamasi dan sisik.

b. Inisiasi dan perkembangan dari proses inflamasi.

Timbul gejala berupa eritema, gatal, panas, rasa terbakar, terganggunya kualitas

dari rambut.

c. Proses kerusakan, proliferasi, dan diferensiasi pada epidermis.

10
Setelah Malassezia sp. memicu pengeluaran mediator inflamasi, kemudian terjadi

proliferasi dan diferensiasi serta kerusakan yang lebih parah pada kulit kepala.

Hiperproliferasi dari epidermis menyebabkan adanya sisik pada kulit kepala.

d. Kerusakan barrier secara fungsional maupun structural.

Kerusakan barrier pada epidermis dapat menyebabkan Transpidermal water

loss yang dapat menimbulkan rasa kering pada kulit kepala.

D. Jamur Malassezia sp.

Jamur adalah organisme heterotrofik. Jamur dapat berupa khamir yang

tumbuh sebagai uniseluler atau berupa kapang yang tumbuh berupa filamen-

filamen. Komponen penyusun dinding sel berupa kitin, selulosa atau glukan

(Jawetz, dkk., 1995).

Penyebab utama dari ketombe yang sering disebut adalah jamur Malassezia

sp. Jamur ini merupakan flora normal dikulit kepala, namun pada kondisi rambut

dengan kelenjar minyak berlebih jamur ini dapat tumbuh dengan subur. Gejala

klinik penyakit ini diderita didaerah sekitar kulit kepala yang kaya dengan kelenjar

sebasea. Luka yang disebabkan jamur ini berwarna kemerahan dan tertutup oleh

kulit kepala dan berminyak serta terasa sangat gatal (Soraya, 2009).

1. Klasifikasi

Klasifisikasi jamur Malassezia sp. adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Fungi

Devisi : Basidiomycetess

11
Kelas :

Hymenomycetes…………………………………………………………………

………………………………………………………………

Bangsa : Tremellales

Suku : Filobasidiaceae

Merga : Malassezia

Jenis : Malassezia sp (Weiss, 2006).

2. Karakter Biologik Malassezia sp.

Malassezia (dahulu disebut sebagai Pityrosporum) merupakan organisme

lipofilik dihubungkan dengan ragi/yeast, yang secara alamiah terdapat pada kulit

manusia dan hewan, serta menjadi penyebab penyakit kulit tertentu Jamur

Malassezia ditemukan pertama kali pada abad ke-19 pada pasien dermatitis

seboroik (Ashbee, 2007 ; Hay and Midgley, 2010).

Jamur ini merupakan “Lipophilic yeast” berupa kelompok sel-sel bulat,

bertunas, berdinding tebal, hifanya berbatang pendek dan tidak lurus. Malassezia

sp menghasilkan konidia sangat kecil atau mikrokonidia pada hifanya, tetapi

disamping itu juga menghasilkan makrokonidia besar dan berbentuk gelendong

yang jauh lebih besar daripada mikrokonidianya. Pemeriksaan mikroskopi

menunjukkan adanya untaian jamur yang terdiri dari spora dan hifa yang saling

bergabung satu sama lainnya (Siregar, 2004). Permukaan dinding sel malassezia

memiliki tampilan bergelombang, dan tebal. Koloni Malassezia memiliki tekstur

yang halus dan akan berwarna krem seiring bertambahnya usia dari jamur tersebut.

12
Dengan pemeriksaan langsung dengan lampu Wood (UV) menyebabkan

Malassezia ini berwarna kekuningan (

Gambar 3. Gambaran mikroskopik dari khamir Malassezia yang


memperlihatkan adanya bentuk hifa dan khamir (Nuri, 2014).

3. Mekanisme terjadinya ketombe

Pada mekanisme terjadinya ketombe, koloni Malassezia sp. yang meningkat

karena konsumsi sebum akan mengeluarkan enzim lipase yang akan menghidrolisis

trigliserida dari sebum. Asam lemak jenuh hasil hidrolisis akan dikonsumsi oleh

Malassezia sp. untuk tumbuh dan berkembang biak, sedangkan asam lemak tak

jenuh hasil hi drolisis akan dibiarkan begitu saja. Akibatnya, akan terjadi

peradangan/iritasi kulit yang akan menyebabkan sel kulit lebih cepat mati (Dawson,

2007).

13
Gambar 4. Mekanisme terjadinya ketombe
(Dawson, 2007).

E. Ekstraksi

Salah satu metode yang digunakan untuk penemuan obat tradisional adalah

metode ekstraksi. Ekstraksi merupakan proses pemisahan senyawa tertentu yang

terdapat pada suatu bahan dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus

sesuai dengan karakteristik senyawa yang diinginkan (Anam, 2014).

Pemilihan metode ekstraksi tergantung pada sifat bahan dan senyawa yang

akan diisolasi. Sebelum memilih suatu metode, target ekstraksi perlu ditentukan

terlebih dahulu. Ada beberapa target ekstraksi (Mukhriani, 2014) diantaranya:

a. Senyawa bioaktif yang tidak diketahui.

b. Senyawa yang diketahui ada pada suatu organisme

14
c. Sekelompok senyawa dalam suatu organisme yang berhubungan secara

struktural.

Beberapa metode ekstraksi senyawa organik bahan alam yang umum

digunakan antara lain (Hasrianti, 2016) :

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi merupakan proses perendaman sampel pelarut organik yang

digunakan pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam

isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan

terjadi pemecahan dinding sel akibat pebedaan tekanan antara didalam dan diluar

sel sehinggah metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam

pelarut organik dan ekstrak senyawa akan sempurna karena dapat diatur lama

perendaman yang dilakukan. Prinsip dari ekstraksi maserasi adalah penyarian zat

aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk dalam caira penyari yang sesuai

selam sehari atau beberapa pada temperatur kamar terlindungi dari cahaya, cairan

penyari akan masuk ke dalam sel melewati dindig sel. Isi sel akan larut karena

adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di luar sel. Larutan

yang konsetrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari

dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berlangsung sampai

terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama

proses maserasi dilakukan pengaduk dan penggantian cairan penyari setiap hari.

Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan. Keuntungan dari

metode ini ialah peralatannya yang sederhana.

15
b. Perkolasi

Perkolasi merupakan prosesmelewatkan pelarut organik pada

sampelsehingga pelarut akan membawa senyawaorganik bersama-sama pelarut.

Tetapi efektifitas dari proses ini hanya akan lebih besar untuk senyawa organik yang

sangamudah larut dalam pelarut yang digunakan.

2. Cara Panas

a. Sokletasi

Menggunakan soklet dengan pemanasan dan pelarut akan dapat dihemat

karena terjadinya sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel.

b. Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang

lebih tinggi dari temperatur kamar yaitu pada suhu 40-50°C.

c. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya

selama waktu tertentu dan dalam jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

dengan adanya pendingin balik.

d. Infus

Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas

air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 90°C)

selama 1 5 menit.

e. Dekok

Dekok adalah ekstrasi dengan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30

menit.

16
F. Shampo

1. Defenisi Shampo

Shampo merupakan sediaan yang diformulasikan dengan tujuan utama

untuk membersihkan rambut dan kulit kepala. Shampo juga merupakan produk

utama dalam sediaan kosmetik pada rambut (Jusnita, 2017). Shampo pada dasarnya

adalah larutan deterjen mengandung aditif yang sesuai untuk manfaat lain seperti,

pelumasan, obat-obatan dan lain-lain (Badi, 2014).

Sampo mengandung surfaktan (yaitu bahan aktif permukaan) dalam bentuk

yang sesuai berupa cairan, padat atau bubuk yang jika digunakan dalam kondisi

tertentu akan menghilangkan minyak, kotoran dari batang rambut dan kulit kepala

tanpa mempengaruhi penggunanya. Macam-macam shampo yaitu, shampo padat,

shampo losion, shampo krim, shampo gel, shampo aerosol, dan shampo khusus

seperti conditioning shampo, shampo antiketombe, dan shampo bayi (Potluri,

2013). Sediaan gel dipilih karena gel memiliki beberapa keuntungan dibanding

sediaan lain yaitu waktu kontak lama, mudah dicuci serta bentuk yang

menyenangkan (Budiman, 2015).

Shampo antiketombe biasanya mengandung desinfektan untuk mencegah

tumbuhnya ketombe tetapi tidak boleh merusak kulit kepala dan rambut. Shampo

antiketombe banyak yang mengandung senyawa-senyawa antibakteri seperti zink,

yang mempunyai efek dapat merusak kulit dan menimbulkan kerontokan rambut.

Oleh karena itu, perlu ada alternatif lain khususnya bahan alam yang dapat

digunakan sebagai antiketombe (Budiman, 2015).

2. Syarat Shampo

17
Shampo terutaman dirancang untung membersihkan kulit kepala dan

rambut menghilangkan debu dan kotoran lainnya serta membersihkan sel-sel

keratin yang telah terkelupas (Shai, 2009).

Syarat shampo yaitu (Hilda, 2000).

a. Dapat melepas sebum (sekresi kelenjar sebaceous) dan atmosfer polutan dari

rambut dan kulit kepala.

b. Dapat melepaskan residu perawatan rambut yang sebelumnya diterapkan,

misalnya polimer konstituen dari lotion stiling dan semprotan rambut.

c. Dapat memberikan tingkat optimal busa untuk memenuhi harapan pengguna.

d. Dapat membiarkan rambut dalam kondisi lembut setelah pembilasan sehingga

dapat disisir dengan mudah baik dalam kondisi basah atau kondisi kering.

e. Tidak beracun dan tidak menyebabkan iritasi kulit kepala dan kerusakan rambut.

f. Tidak merusak mata jika tidak sengaja terpapar.

G. Bahan Tambahan Dalam Gel Shampoo

1. Sodium Lauril Sulfat

Sodium lauril sulfat adalah surfaktan anionik yang digunakan secara luas

berbagai formulasi farmasi dan kosmetik nonparenteral, sebagai deterjen bahan

pengemulsi, penetran kulit, tablet dan kapsul pelumas, agen pembasah (Rowe,

2009).

Gambar 5. Struktur SLS (Rowe, 2009)

2. Metil paraben

18
Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet antimikroba di

Indonesia digunakan dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasi.

Metil paraben dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan paraben lain

atau dengan agen antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, metal paraben adalah

pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Efektivitas pengawet juga

diperbaiki dengan penambahan propilen glikol (2-5%), atau dengan menggunakan

paraben dalam kombinasi dengan agen antimikroba lainnya (Rowe, 2009).

Gambar 6. Struktur Metil Paraben (Rowe, 2009).

3. Mentol

Menthol banyak digunakan dalam produk farmasi, permen karet, dan

produk perlengkapan mandi sebagai penyedap rasa atau penambah bau. Sebagai

bahan tambahan ciri khas peppermint, menthol juga memberikan sensasi pendingin

atau menyegarkan (Rowe, 2009).

Gambar 7. Struktur Mentol (Rowe, 2009)

19
4. Propilen Glikol

Propilen glikol biasa digunakan sebagai pengawet, antimikroba,

disinfektan, plasticizer, pelarut, dan dan zat penstabil. Sebagai humektan,

konsentrasi propilen glikol yang biasa digunaka adalah 115%. Konsentrasi

penggunaannya berkisar antara 5-80% pada formulasi larutaan topikal sebagai

pelarut (Rowe, 2009).

Gambar 8. Struktur Propilen Glikol (Rowe, 2009).

5. Trietanolamin maleat (TEA)

TEA memiliki penampilan yang jernih, berupa cairan kental yang berwarna

kuning serta sedikit memiliki bau amonia. TEA memiliki pH 10,5 dalam 0,1 N

larutan, sangat higroskopis, berwarna coklat apabila terpapar udara dan cahaya.

TEA digunakan sebagai agen pembasa dan dapat juga digunakan sebagai

emulsifying agentn(Rowe, 2009).

Gambar 9. Struktur TEA

6. Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC)

HPMC atau hipromellosa secara luas digunakan sebagai bahan tambahan

dalam formulasi sediaan farmasi oral, mata, hidung, dan topikal. Selain itu, HPMC

20
digunakan juga secara luas dalam kosmetik. Kegunaan HPMC diantaranya sebagai

peningkat viskositas (Rowe, 2009). Konsentrasi HPMC yang digunakan dalam

pasta gigi adalah 2-4% (Sukmawati dkk., 2014).

RO

O
RO OH

OR

O O

OR OR

H n/2
OR

Gambar 10. Struktur HPMC (Rowe dkk., 2009).

HPMC merupakan gelling agent yang sering digunakan dalam produksi

kosmetik dan obat, karena dapat menghasilkan gel yang bening, mudah larut dalam

air, dan mempunyai ketoksikan yang rendah. Selain itu, HPMC menghasilkan gel

yang tidak berwarna, dan jernih (Ardana, 2015).

H. Evaluasi Sediaan Shampo

1. Pengamatan Organoleptis

Uji organoleptik dilakukan secara visual dan dilihat secara langsung bentuk,

warna, bau, dari gel yang di buat . Gel biasanya jernih dengan konsentrasi setengah

padat (Ansel,1998).

2. Pengukuran pH

Pengukuran pH sediaan shampo gel antiketombe dilakukkan untuk melihat

tingkat keasaman sediaan dan menjamin sediaan tidak menyebabkan iritasi pada

kulit. Sediaan gel shampo diukur pH nya dengan mencelupkan kertas indikator pH

21
ke dalam sediaan shampo, setelah itu sesuaikan warna yang terjadi pada kertas

indikator dengan spektrum warna pada indikator pH. Sediaan gel shampo harus

memenuhi kriteria pH kulit yaitu dalam interval 4,5 -6,5. Pemeriksaan pH

dilakukan sesaat setelah pembuatan sediaan dan selama periode penyimpanan

tertentu.

3. Uji viskositas

Pengujian viskositas dilakukan untuk pengetahui besarnya suatu viskositas

dari sediaan, dimana viskositas tersebut menyatakan besarnya tahanan suatu cairan

untuk mengalir. Makin tinggi viskositas maka makin besar tahanannya (Voigt,

1998: 381).

4. Uji Daya Sebar

Penentuannya dilakukan dengan perlakuan sampel gel dengan beban

tertentu diletakkan dipusat antara lempeng gelas, dimana lempeng sebelah atas

dalam interval waktu tertentu dibebani anak timbangan diatasnya. Permukaan

penyebaran yang dihasilkan dengan meningkatkan beban merupakan karakteristik

daya sebar (Hurria, 2014).

I. Uji Aktivitas Antimikroba

Penentuan aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu

metode difusi dan metode dilusi. Pada metode difusi termasuk didalamnya metode

disk diffusion, E-test, ditch plate, cup plate technique. Sedangkan pada metode

dilusi termasuk didalamnya metode dilusi cair dan dilusi padat (Pratiwi, 2008).

1. Metode difusi

a. Metode disk-diffusion

22
merupakan piringan agen antimikroba, kemudian diletakan pada media agar

yang sebelumnya telah ditanami mikroorganisme sehingga agen antimikroba dapat

berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan

pertumbuhan mikroorganisme oleh agen mikroba dan permukaan media agar.

b. Metode E-test

Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba

dari kadar rendah sampai tertinggi diletakan pada permukaan media agar yang telah

ditanami mikroorganisme sebelumnya. Pengamatan dilakukan diarea jenih yang

ditimbulkan yang menunjukan kadar agen amntimikroba yang menghambat

pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.

c. Ditch plate technique

Pada metode ini, sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakan pada

parit yang dibuat dengan cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian

tengah secara membujur dan mikroba uji digoreskan kearah parit yang berisi agen

antimikroba tersebut.

d. Cup plate

Metode ini serupa dengan disk diffusion, dimana dibuat sumur pada media

agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur terebut diberi

agen antimikroba yang akan diuji.

2. Metode Dilusi

a. Metode dilusi cair

Metode ini digunakan untuk mengukur kadar bunuh minimum (KBM).

Larutan uji agen antimikroba pada kadar terkecil yang telihat jernih tanpa adanya

23
pertumbuhan mikroba uji. Kemudian dilakukan uji penegasan pada metode dilusi

padat untuk mengetahui Kadar Bunuh Minimum (KBM) dengan parameter ada

tidaknya pertumbuhan mikroba pada goresan.

b. Metode dilusi padat (solid dilution test)

Metode ini sserupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan

media padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen

antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji

(Pratiwi, 2008).

24
J. Kerangka Konsep
Mengandung minyak atsiri, saponin,
Daun beluntas (Pluchea
flavanoid dan polivenol (Putri, 2007).
indicaa L) Dalam penelitian (Budiman, 2015)
mengatakan bahwa flavanoid dapat
membantu mencegah serangan dari
patogen termasuk bakteri, jamur dan
virus. Selain itu, kandungan minyak atsiri,
Ekstrak daun beluntas alkaloid, serta sesquiterpen dan senyawa
terpen lain dapat berfungsi sebagai anti
bakteri dan anti jamur.
Formulasi sediaan gel
shampo dengan
konsentkonsentrasi 0%,
1,5%, 3%, 4,5% dan
6%.

Formula sediaan Gel Shampo Uji efektivitas antifungi


ekstrak daun Beluntas (Pluchea
indica L)

Diameter Daerah Hambat

Uji efektivitas antifungi


Karakteristik sediaan

- Organoleptik
- Homogenitas
- Viskositas
- pH
-

Gambar : Kerangka konsep

Keterangan :
= Variabel Terikat

= Variabel bebas
25
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April sampai September 2018

dan bertempat di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Halu Oleo Kendari.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan yaitu penelitian eksperimental,

keseluruhan tahapan dikerjakan di Laboratorium.

C. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun beluntas (Pluchea

indica L). yang diperoleh di daerah kendari, andounohu, lorong Belibis, Etanol 96

% (Merck®), Akuades, NaCl 0,9 % (Otsuka®), dimetil sulfoksida (DMSO) Potato

Dextrose Agar (Merck®), Ketokonazol, Jamur Malassezia sp.

D. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rotary vacuum evaporator

(Buchi®), Laminar air flow (Chuaire®), Autoklaf (Wisecrave®), Inkubator

(Froilabo®), Hot plate (Stuart®), , Timbangan analitik (Precisa®), Blender (philips),

Vortex (Stuart®), Erlenmeyer (Pyrex®), Gelas kimia (Pyrex®), Gelas ukur (Pyrex®),

Tabung reaksi (Pyrex®), Cawan petri (Anumbra®), Pipet mikro (Effendrof®),

Lampu bunsen, Pinset, Jarum ose, Cutter, Mistar (Kenko®), Batang pengaduk,

Pencadang, Labu takar (Pyrex®), Chamber, Pipet tetes, Pipet ukur, Toples kaca, Ph

Meter.

26
E. Variabel

1. Variabel Bebas (independent)

Variabel bebas pada penelitian ini yaitu variasi konsentrasi ekstrak daun

beluntas (P. indica L.) dalam sediaan gel sampo.

2. Variabel terikat (dependent)

Variabel terikat pada penelitian ini yaitu

a. Efektivitas antijamur ekstrak daun beluntas (P. indica L.).

b. Efektivitas antijamur sediaan gel sampo ekstrak daun beluntas (P. indica L).

F. Defenisi Operasional

1. Ekstrak daun beluntas adalah ekstrak yang berasal dari daun beluntas yang

diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan etanol 96%, maserat yang

diperoleh diuapkan pelarutnya dengan alat rotary evaporator sampai menjadi

ekstrak kental.

2. Formula gel shampo ekstrak daun beluntas adalah formula sampo yang berfungsi

sebagai antiketombe dibuat dengan variasi konsentrasi ekstrak.

3. Aktifitas antifungi yaitu kemampuan sediaan gel sampo ekstrak daun beluntas

terhadap jamur malassezia sp penyebab ketombe.

G. Prosedur Penelitian

1. Pengelolaan sampel

Sampel diperoleh di Kota Kendari dimana sampel yang diperoleh

diidentifikasi terlebih dahulu untuk memastikan bahwa tanaman yang diporeleh

merupakan beluntas. Setelah dilakukan identifikasi, kemudian dilakukan sortasi

basah, untuk membersihkan sampel dari pengotor lain. Pencucian dilakukan dengan

27
air yang mengalur. Sampel selanjutnya dirajang menjadi potongan kecil-kecil agar

proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Sampel dikeringkan di bawah sinar

matahari dan ditutup dengan menggunakan kain hitam untuk menghindari

terurainya kandungan kimia.

2. Estraksi daun beluntas

Ekstraksi daun beluntas dilakukan dengan metode maserasi, dengan

langkah-langkah sebagai berikut: Masukan 500 gram serbuk simplisia kedalam

maserator, kemudian ditambahkan pelarut etanol 96% (pembasah) secukupnya

hingga seluruh simplisia terendam, dan dibiarkan selama 10 menit agar proses

pembasahan simplisia berlangsung. Tambahkan kembali etanol 96% sebanyak 2x

volume etanol 96% sebelumnya (pembasah). Diamkan selama 48 jam sambil

diaduk-aduk pada waktu tertentu. Saring ekstrak cair yang diperoleh kedalam

penampung. Lalu filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator

hingga didapatkan ekstrak kental yang kemudian ditimbang (Ulviani, 2016)

3. Skrining fitokimia

a. Pemeriksaan saponin

Larutan ekstrak sebanyak 2 ml ditambahkan akuades, kemudian dikocok

kuat-kuat. Senyawa saponin akan menghasilkan busa setinggi 1 – 10 cm yang stabil

dan tidak kurang dari 10 menit. Pada penambahan 1 tetes HCl 2N, busa tidak hilang

(Pradana, 2005).

b. Pemeriksaan Flavonoid

Untuk senyawa flavonoid maka sampel dengan pelarut etil asetat sebanyak

2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan di tambahkan 2 tetes pereaksi FeCl3

28
1%. Larutan positif mengandung flavonoid apabila terjadi perubahan warna

menjadi warna biru atau hitam kehijauan (Pradana, 2005).

c. Pemeriksaan Alkaloid

Larutan ekstrak sebanyak 2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan

diperiksa adanya senyawa alkaloid dengan cara larutan ekstrak ditambah 2 tetes

pereaksi Dragendorf. Hasil positif jika terbentuk endapan berwarna merah jingga

atau cokelat muda sampai kuning/oranye (Pradana, 2005).

d. Uji kandungan tannin

Sebanyak 1 gram ekstrak daun beluntas dimasukkan ke dalam tabung reaksi

kemudian ditambahkan 3 tetes besi (III) klorida. Keberadaan tanin ditandai dengan

terbentuknya warna hijau kehitaman (Harborne, 1987).

e. Uji kandungan terpenoid

Sebanyak 1 gram ekstrak daun beluntas dimasukkan ke dalam tabung reaksi

kemudian ditambahkan 0,5 mL etanol 96%, setelah itu dikocok, lalu ditambahkan

0,5 mL asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat sebanyak 2 mL. Keberadaan

terpenoid ditandai dengan terbentuknya warna merah atau ungu (Harborne, 1987).

H. Formulasi Sediaan Gel Shampo

Formulasi yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada formula

sediaan gel shampo oleh Budiman (2015), dengan komposisi sebagai berikut :

Minyak atsiri lemon, Natrium lauril sulfat, HPMC, Carbomer, Propilenglikol,

Methyl paraben , Propil paraben , Pewangi lemon dan Akuades.

I. Formulasi

29
HPMC dikembangkan dalam 50 ml aquades yang sudah melalui proses

pemanasan dan didiamkan hingga dingin (1). Air yang dipanaskan pada suhu 60o C

±20 ml dimasukkan kedalam beaker glass Tambahkan Sodium Lauryl Sulfate dan

EDTA aduk sampai larut (2). Larutkan menthol dengan propilen glikol secukupnya,

aduk sampai larut kemudian tambahkan metil paraben (3). Larutan sodyum laurit

sulfat (2) dimasukan sedikit demi sedikit dalam masa gel (1) diaduk hingga

homogen (4) masukan ekstrak beluntas sedikit demi sedikit (5), masukan campuran

(3) kedalam campuran (5) tambahkan mentol aduk perlahan hingga homogen

tambahkan air panas sampai batas kalibrasi botol 100 ml.

Tabel 1. Formula sediaan Gel sampo

Konsentrasi (% b/v) Kegunaan


No Bahan
FI FII FIII FIV
1. Ekstrak daun
1,5 3 4,5 Zat Aktif
beluntas 6
2. Sodium Lauril 10
10 10 10 Surfaktan
Sulfat
3. HPMC 2 2 2 2 Basis Gel
4. Propilen Glikol 15 15 15 15 Humektan
5. EDTA 0,3 0,3 0,3 0,3 Pengkhelat
6. Metil paraben 0,02 0,02 0,02 0,2 Pengawet
7. Mentol qs qs Qs Qs Pengaroma
8. ad ad ad Ad
Akuades Pelarut
100 100 100 100

J. Uji aktivitas antifungi sediaan gel shampo

a. Sterilisasi alat dan bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan harus disterilkan terlebih dahulu. Alat-

alat gelas seperti cawan petri, tabung reaksi ose bulat dicuci bersih kemudian

dikeringkan pada suhu kamar. Setelah kering alat-alat gelas tersebut kemudian

30
dibungkus dengan kertas lalu disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121o C selama

15 menit (Ansel, 2008).

b. Pembuatan media Sabouraud Dextrose Agar (SDA).

Media agar dibuat dengan melarutkan 65 gram SDA ke dalam 1 L akuades

panas. Serbuk SDA dilarutkan sedikit demi sedikit hingga menjadi larutan yang

homogen Kemudian media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 20

menit (Rosyida, 2013). Pada pembuatan media dilakukan secara aseptis dengan

cara bagian ujung alat dipanaskan dan ditutup dengan kapas dan alumunium foil.

Masing-masing media yang disterilkan dalam autoklaf dan diatur pada suhu 121O

C selama 15 menit (Widyasanti, 2016).

c. Media peremajaan jamur

Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) disuspensikan sebanyak 65 g

serbuk Sabouraud Dextrose Agar dalam 1 liter aquades. Masing-masing suspensi

dipanaskan hingga mendidih sambil diaduk rata selama 15 menit kemudian

disterilisasi dengan menggunakan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121°C.

Media kultur untuk mikroba uji berupa sejumlah 5 mL media agar yang telah

disiapkan sebelumnya, dimasukkan dalam tabung reaksi. Tabung reaksi yang telah

berisi media agar tersebut kemudian disumbat dan disterilisasi dengan

menggunakan autoklaf. Kemudian tabung reaksi tersebut diletakkan dalam posisi

miring dan dibiarkan memadat. Kemudian kultur murni bakteri atau jamur yang

telah didapat sebelumnya digores pada agar miring menggunakan ose bundar

(Fisheri, 2017).

a. Media dasar

31
SDA dilarutkan dalam aquadest kemudian dipanaskan di atas hot plate

sampai mendidih dan diperoleh larutan jernih. Media disterilkan dalam autoklaf

pada suhu 1210C selama 15 menit.

b. Pembuatan larutan ekstrak

Ekstrak kental daun beluntas dibuat dalam beberapa seri konsentrasi

menggunakan pelarut dimetil sulfoksida (DMSO). Setiap seri konsentrasi dibuat

dengan menambahkan pelarut DMSO ke dalam beberapa gram ekstrak kental daun

beluntas, sampai volumenya 2 mL (Rosyida, 2013).

c. Uji aktivitas antijamur

Media dasar SDA dituang ke dalam cawan petri dan dibiarkan mengeras.

Pada permukaan lapisan dasar diletakkan 6 pencadang dan diatur sedemikian rupa

sehingga terdapat daerah yang baik untuk mengamati zona hambat yang terjadi.

Suspensi jamur uji dituang ke dalam cawan petri di sekeliling pencadang.

Dikeluarkan pencadang dari cawan petri terbentuk sumur yang akan digunakan

untuk larutan uji, larutan control positif (+) dan larutan kontrol negatif (-).

Diteteskan larutan uji ekstrak sampel dan sediaan gel shampo, larutan kontrol

positif (+) dan larutan kontrol negatif (-). Dilakukan pengulangan secara triplo

dengan cara yang sama. Diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 370C selama 3-

5 hari (Elvira, 2017). Diamati zona hambat yang terjadi di sekitar sumuran

kemudian diukur diameter zona hambat secara horizontal dan vertical dengan

menggunakan penggaris berskala.

Tabel 2. Daerah hambatan aktivitas antimikroba (Greenwood, 1995; Glenn,

1996).

32
Diameter Interpretasi
≥ 21 mm Sangat kuat
11-20 mm Kuat
5-10 mm Sedang
≤ 5 mm Lemah
Parameter yang diukur dalam pengujian antimikroba ialah perubahan visual

dari besarnya diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumuran pada media

pertumbuhan bakteri dan jamur dalam pengujian aktivitas antimikroba. Pengamatan

dilakukan dengan mengukur area bening di luar sumuran menggunakan jangka

sorong. Pengukuran zona bening yang terbentuk dapat dilihat pada gambar dibawah

(Ariyanti, 2014).

Gambar 11. Cara perhitungan diameter diameter daerah hambat


𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎h h𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡 = 2𝑥𝑧 -2𝑦𝑧

Ket :
2xz = diameter zona bening dan sumuran
2yz = diameter sumuran
a,b,c,d = sisi pengukuran zona bening

Diameter zona bening yang diukur seperti pada Gambar. Pengukuran dilakukan

pada empat sisi yaitu pada sisi a, b, c dan sisi d, kemudian dihitung nilai rata-rata

dari hasil pengukuran empat sisi tersebut. Cara menghitung rata-rata diameter zona

bening yaitu :

𝑎 +𝑏 +𝑐 +𝑑
4

33
Pengukuran diameter daerah hambat pada sampel penelitian yang telah

selesai dilakukan, dilanjutkan dengan membandingkannya terhadap kontrol positif.

Hasil perbandingan tersebut dijadikan acuan terhadap seberapa besar aktivitas

antimikroba yang terkandung dalam ekstrak tanaman sehingga jika sampel

penelitian memiliki aktivitas terhadap jamur dan bakteri patogen uji, zona bening

yang terbentuk di sekitar sumuran menandakan bahwa pertumbuhan

mikroorganisme telah dihambat oleh senyawa-senyawa yang terdapat sampel

penelitian.

K. Analisis Data

1. Analisis statistik

Data yang diamati meliputi diameter daya hambat ekstrak etanol daun

beluntas dan sediaan gel shampo ekstrak daun beluntas akan dianalisa dengan

analisis yang sesuai dengan menggunakan ANOVA faktorial 5%.

34
L. Jadwal Penelitian

Tabel 3. Jadwal Penelitian

Tahap Kegiatan April Mei Juni Juli Agustus September

Studi Literatur

Penyiapan Sampel

Pembuatan
Ekstrak

Pembuatan
Sediaan
Penyiapan media
uji

Pengujian
efektivitas anti
jamur

35
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tumbuhan

Determinasi tumbuhan dilakukan dengan tujuan untuk memastikaan

kebenaran bahan tumbuhan yang akan digunakan dalam penelitian. Determinasi

tumbuhan dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan (FKIP) Universitas Halu Oleo, Kendari. Hasil determinasi

menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman

beluntas (Pluchea indica L.) yang berasal dari famili asteraceae yang diperoleh

kunci determinasi 1a-2a-3a-4b-5a-6b-7b-8b-9a sesuai pada (Lampiran 1).

B. Preparasi Sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun beluntas (Pluchea

indica L) yang diperoleh dari daerah Jl. Belibis, Anduonohu, Kota Kendari,

Provinsi Sulawesi Tenggara. Sampel yang diperoleh kemudian disortasi basah

dengan memilih daun yang masih segar. Sampel yang telah disortir selanjutnya

dicuci bersih dengan air mengalir untuk menghilangkan pengotor kemudian

dikeringkan dengan dilapisi kain hitam diatas permukaan sampel. Setelah itu

dilakukan sortasi kering untuk menghilangkan pengotor serta sampel rusak yang

masih tertinggal, kemudian diserbukan dengan mesin mencacah dan diperoleh berat

sampel 500 gram.

C. Ekstrasi

Sampel berupa serbuk daun beluntas diekstraksi menggunakan metode

maserasi dan menggunakan pelarut etanol 96%. Ekstraksi digunakan untuk

memperoleh kandungan senyawa kimia yang larut pada pelarut. Etanol dipilih

36
sebagai pelarut karena etanol merupakan pelarut yang aman oleh BPOM (2006) dan

etanol memiliki kemampuan menyari dengan polaritas yang besar mulai dari

senyawa polar hingga senyawa non polar.

Metode maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif tidak

tahan panas. Metode ini dilakukan hanya dengan merendam sampel dalam suatu

pelarut dalam jangka waktu tertentu. Kelebihan metode ini diantaranya adalah tidak

memerlukan peralatan yang rumit, relatif murah, dapat menghindari penguapan

komponen senyawa karena tidak menggunakan panas (Abadi, 2011). Simplisia yang

akan diekstraksi ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar bersama

larutan penyari yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat kemudian dikocok berulang-

ulang sehingga memungkinkan pelarut masuk ke seluruh permukaan simplisia.

Rendaman tersebut disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang

dikatalisis oleh cahaya atau perubahan warna). Proses maserasi berlangsung selama

3x24 jam, artinya setiap 1x24 jam residu dan filtrat harus dipisahkan dan diganti

dengan pelarut yang baru yang bertujuan memaksimalkan proses ekstraksi senyawa

kimia yang terkandung di dalam sampel. Diharapkan dari waktu maserasi tersebut

pelarut dapat menarik sebanyak-banyaknya senyawa dari sampel (Harborne, 1996).

D. Skrining Fitokimia

Skirining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian

yang bertujuan memberi gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung

dalam tanaman yang diteliti. Metode skrining fitokimia yang dilakukan dengan

melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna

(Susanty, 2014). Dalam penelitian ini, dilakukan identifikasi 5 senyawa metabolit

37
sekunder yang diduga terkandung dalam tumbuhan Pluchea indica L. senyawa-

senyawa tersebut meliputi tannin, flavonoid, alkaloid, terpenoid/ steroid dan

saphonin. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode reaksi warna

dan pengendapan.

Tabel 2. Skrining Fitokimia dengan Metode Reaksi Warna dan Pengendapan

Uji Fitokimia Pereaksi Rujukan Hasil Kesimpulan


Bila
terbentuk warna Positif
biru atau hijau
Warna menjadi
kehitaman
FeCl3 hijau
Tannin mengindikasika
n adanya
senyawa tannin
(Dyah, 2017)
Bila terbentuk
warna kuning,
jingga atau Positif
merah tua Terjadi
Mg+ HCl (magenta) perubahan warna
Flavonoid
(P) menunjukkan menjadi merah.
adanya
senyawa flavonoid
(Dyah, 2017).
Positif

Terbentuknya Terbentuk
Alkaloid Dragendroff endapan jingga endapan jingga
(Minarno, 2015)

Positif
Menghasilkan Terpenoid
Liebermann- warna merah atau Perubahan warna
Terpenoid/
Burchard violet (Illingdkk., menjadi violet
steroid
2017).

38
Negatif
Hasil
positif ditunjukkan
Tidak terbentuk
Saponin Air Panas dengan
buih
terbentuknya buih
putih stabil (Dyah,
2017).

Table 2 menunjukan bahwa ekstrak etanol daun beluntas positif mengandung

tannin, flavonoid, alkaloid, terpenoid/ steroid tapi tidak ditemukan adanya

kandungan saponin. Kandungan metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuhan

masing-masing memiliki aktivitas antimikroba dengan berbagai mekanisme kerja.

Menurut Kusumaningtyas dkk (2008), tannin akan berikatan dengan dinding sel

jamur yang akan menghambat aktivasi protease dan inaktivasi secara langsung.

Dinding sel jamur merupakan bagian pertama yang akan berinteraksi dengan sel

inang, oleh sebab itu ketika dinding sel dirusak oleh senyawa tannin maka proses

infeksi tidak akan terjadi.

Flavonoid mempunyai aktivitas anti kapang dengan mengganggu

pembentukan pseudohifa selama proses pathogenesis, sedangkan untuk saponin

bersifat sebagai surfaktan yang berbentuk polar sehingga akan memecah lapisan

lemak pada membrane sel yang pada akhirnya menyebabkan gangguan

permeabilitas membran sel, hal tersebut mengakibatkan proses difusi bahan atau

zat-zat yang diperlukan oleh jamur dapat terganggu, akhirnya sel membengkak dan

pecah (Sari, 2014).

Steroid dapat menghambat pertumbuhan jamur, baik melalui sitoplasma

maupun mengganggu pertumbuhan dan perkembangan spora jamur (Rieka, 2015) .

menurut Subhisha (2005) menyatakan bahwa steroid dapat berfungsi sebagai

39
antijamur karena sifat lipofilik yang dimiliki oleh steroid dapat menghambat

perkecambahan spora pada jamur.

Golongan senyawa alkaloid dapat menginaktivasi fungsi material genetik,

yaitu dengan cara menganggu pembentukan DNA dan RNA pada sel jamur

(Wahyuni, 2014). Rieska (201) juga menyatakan bahwa senyawa alkaloid dapat

menghambat sintesis asam nukleat, protein, dan membran fosfolipid.

E. Pengujian Aktifitas Anti Jamur

Pengujian aktivitas antijamur daun beluntas (Pluchea indica L) dilakukan

utnuk melihat kemampuan daya hambat yang dihasilkan dari ekstrak etanol daun

beluntas terhadap pertumbuhan jamur Malassezia sp. penyebab ketombe. Daya

hambat atau zona hambat merupakan daerah bening yang terdapat disekitaran

lubang sumuran pada media setelah proses inkubasi. Pengamatan aktivitas

antijamur dilakukan dengan cara mengukur zona bening yang terbentuk disekitar

sumuran menggunakan jangka sorong (Surjowarjodo, 2015). Pengujian dilakukan

dengan metode difusi sumuran agar, metode ini cocok untuk menguji bahan yang

berupa cairan. Metode difusi merupakan metode umum yang praktis, cepat dalam

pembacaan hasil mudah dan murah, sehingga cocok untuk digunakan dalam

penelitian (Fatimah, 2016).

Biakan jamur Malassezia sp. yang digunakan diperoleh dari Laboratorium

Mikrobiologi Fakultas Farmasi Universita Hasanudin. Suspensi jamur ini dibuat

dengan NaCl 0,9% dan dibandingkan kekeruhannya dengan larutan Mc Farland

kemudian dimasukan kedalam media uji Sabourond Dextrose Agar (SDA) dan

diletakkan pencadang agar terbentuk sumuran pada media sebagai tempat dari

40
ekstrak daun beluntas . Setelah itu diinkubasi selama 3 x 24 jam untuk melihat zona

hambat yang terbentuk.

6
4,5
3 6 4,5
4,5 3
6
5

3
3
1,5 1,5
1,5

Rep. 1 Rep. 2 Rep. 3

Tabel 3. Hasil uji aktivitas anti jamur ekstrak etanol daun beluntas (Pluchea
indica L ).
Perlakuan Diameter zona hambat (mm)
Replikasi Replikasi Replikasi Rata- Interpretasi
3 rata
1 2
K (-) 0,00 0,00 0,00 0,00 -

K (+)

1,5 4 3,5 4 3,83 Lemah


3 5 5 6 5,33 Sedang
4,5 7 7 7 7 Sedang
6 6,5 6 7 6,5 Sedang

Keterangan : Kontrol (-) DMSO dengan diameter daya hambat 0 mm

Kontrol (+) ketokonazol murni dengan diameter daya hambat mm

Konsentrasi 1,5% dengan diameter daya hambat 3,88 mm

Konsentrasi 3% dengan diameter daya hambat 5,33 mm

Konsentrasi 4,5% dengan diameter daya hambat 7 mm

Konsentrasi 6% dengan diameter daya hambat 6,5 mm

41
Table 3 menunjukan hasil pemgujian ekstrak etanol daun beluntas terhadap

jamur malassezia sp. Pada konsentrasi 1,5 menunjukan interprestasi lemah sedang

pada konsentrasi 3%, 4,55, dan 6% menunjukan interprestasi sedang. Namun,

diameter zona hambat mengalami penurunan pada konsentrasi ekstrak 6%. Hal ini

mungkin disebabkan oleh daya difusi ekstrak ke dalam media yang berkurang.

Penurunan daya difusi mungkin disebabkan semakin tingginya konsentrasi ekstrak

maka semakin rendah kelarutan. Konsentrasi bahan suatu antifungi merupakan

salah satu faktor penentu besar kecilnya kemampuan antifungi tersebut dalam

menghambat pertumbuhan jamur yang diuji . Zona hambat yang terbentuk

dikarenakan ekstrak uji digunakan mengandung sn enyawa-senyawa aktif yang

berperan sebagai antijamur, sehingga mampu menghambat pertumbuhan jamur uji.

Dimana pada uji tahap fitokimia sebelumnya, ekstrak etanol daun beluntas positif

mengandung senyawa terpenoid, flavonoid, tannin dan alkaloid yang diduga

memiliki sifat sebagai antijamur.

Jawetz et al., (1996) menjelaskan bahwa mekanisme yang menyebabkan

terhambatnya pertumbuhan jamur adalah kerusakan membran sel oleh zat aktif

antijamur. Kerusakan membran sel akan mengganggu integritas komponen-

komponen seluler dan menyebabkan proses respirasi jamur tidak terjadi. Pada

akhirnya mengakibatkan tidak tercukupinya energi untuk transport aktif zat hara

sehingga pertumbuhan jamur terganggu. Tinggi rendahnya aktifitas antijamur

memang dapat dilihat dengan mengetahui besar kecilnya diameter zona hambat

namun kekuatan aktifitas antijamur lebih ditentukan oleh nilai KHM, karena KHM

menunjukkan kemampuan antimikrobial yang dapat menghambat pertumbuhan

42
mikroba dalam konsentrasi minimalnya, sedangkan penilaian berdasarkan zona

hambat hanya menggambarkan kekuatan daya hambat suatu zat antijamur tanpa

menggambarkan konsentrasi minimal suatu zat antijamur untuk memberikan efek

antijamur.

F. Pembuatan Sediaan Gel Shampo Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica


L)
Dalam mencuci rambut kita harus memperhatikan kandungan zat aktif yang

terdapat didalam shampo yang kita pakai, terutama bagi orang yang berketombe.

Shampo anti ketombe adalah sediaan kosmetika yang umumnya mengandung

desinfektan di gunakan untuk membersihkan rambut dan dibuat khusus mengatasi

terjadinya gangguan rambut dan kulit (Aryani, 2009). Pembuatan formula sediaan

gel shampoo dengan ekstrak daun beluntas dengan konsentrasi 1,5%, 3%, 4%, 6%,

dan tanpa ekstrak dilakukan dengan pencampuran semua komponen bahan secara

bertahap.

Formulasi sediaan gel shampoo digunakan bahan tambahan berupa

pembentuk gel, penstabil, humektan, pengkhelat, pengawet dan pengaroma.

a b c d

Gambar 4. Formulasi sediaan gel shampoo

Keterangan :

a. Basis gel tanpa ekstrak daun beluntas

b. Gel shampo ekstrak daun beluntas konsentrasi 1,5%

43
c. Gel shampo ekstrak daun beluntas konsentrasi 3%

d. Gel shampo ekstrak daun beluntas konsentrasi 4,5%

e. Gel shampo ekstrak daun beluntas konsentrasi 6%

Pada formulasi sediaan gel, komponen gelling agent merupakan faktor kritis

yang dapat mempengaruhi sifat fisik gel yang dihasilkan. Salah satu gelling agent

yang dapat digunakan adalah hidroksipropilmetilselulosa (HPMC). Dibandingkan

gelling agent yang lain, HPMC dapat memberikan stabilitas kekentala n yang baik

di suhu ruang walaupun disimpan pada jangka waktu yang lama. Selain itu, HPMC

merupakan bahan yang tidak beracun dan noniritatif (Rowe dkk., 2009). Gelling

agent HPMC memiliki kestabilan fisik paling optimal pada sediaan gel

dibandingkan dengan karbopol. HPMC sebagai basis yang bersifat hidrofilik juga

memiliki kelebihan di antaranya menghasilkan daya sebar pada kulit yang baik,

efeknya mendinginkan, tidak menyumbat pori-pori kulit, mudah dicuci dengan air,

dan pelepasan obatnya baik. Selain itu, HPMC juga mengembang terbatas dalam air

sehingga merupakan bahan pembentuk hidrogel yang baik (Pramuji, 2015).

Bahan tambahan lain yang digunakan dalam formulasi sediaan gel shampo

yaitu sodium laurit sulfat (SLS) dimana, SLS ini berfungi sebagai surfaktan

merupakan garam yang bagus digunakan untuk menghasilkan busa yang mengkilap

dan volume busa yang besar. SLS berupa serbuk berwarna putih, atau sebagai pasta

di berbagai kandungan deterjen. Kelarutannya rendah di air dingin, namun dengan

meningkatnya temperatur air kelarutannya menjadi naik menghasikan larutan SLS

di suhu sekitar 35-400C (Rieger, 2000). Pengawet yang digunakan pada sediaan

yaitu Metil paraben dimana metil paraben merupakan bentuk metil ester dari asam

44
para hidroksi benzoate, bersifat stabil dan tidak mudah menguap. Senyawa ini

efektif pada rentan pH luas dan memiliki spectrum antimikroba yang luas (BPOM

RI, 2010). Penggunaan metil paraben dalam sediaan topikal, dengan konsentrasi

0,02-0,3% (Rowe, 2009). Propilenglikol digunakan sebagai humectant yang akan

mempertahankan kandungan air dalam sediaan sehingga sifat fisik dan stabilitas

sediaan selama penyimpanan dapat dipertahankan (Dwiastuti, 2010). Propilen

glikol memiliki stabilitas yang baik pada pH 3-6 (Allen, 2002). Oleh karena itu

propilen glikol dapat digunakan sebagai humektan dalam sediaan gel shampo.

Sebagai penkelat yang digunakan yaitu EDTA yang berfungsi untuk mengkhelat

logam-logam yang terdapat dalam air atau bahan lain sehimgga dapat mencegah

berkurangnya efektikitas surfaktan (Faizatun, 2008).

45
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Elis Nina Herliyana, dan Eti Artiningsih Octaviani, 2013. Pengaruh pH,
Penggoyangan Media, Dan Penambahan Serbuk Gergaji Terhadap
Pertumbuhan Jamur Xylaria Sp. Jurnal Silvikultur Tropika Vol. 04
(02).

Anam,C., Tri, W.A., Romadhon 2014. Pengaruh Pelarut Yang Berbeda Pada
Ekstraksi Spirulina Platensis Serbuk Sebagai Antioksidan Dengan
Metode Soxhletasi. Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil
Perikanan Vol. 3 (4), Hal. 106-112.

Allen, H.C 2011. Pharmaceutical Dosage From and Drug Delivery Systems. 9th Ed.
Wolters Kluwer.

Anisah, S., Sari P., 2017. Moh.Ikhsanudin Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Daun Teh
(Camelliasinensisl.) Sebagai Pertumbuhan Rambut Pada Kelinci
(Lepusspp.) Dengan Metode Maserasi . Jurnalparapemikir Vol 6(2).

Ansel, H. C., 2008. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta.

Aprilia, F. Subakir 2010. Efektivitas Ekstrak Jahe (Zingiber Officinale Rosc.)


3,13% Dibandingkan Ketokonazol 2% Terhadap Pertumbuhan
Malassezia Sp. Pada Ketombe Program Pendidikan Sarjana Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Apriyani, D., Marwiyah 2014. Pengaruh Nanas (Ananas Comosus) Terhadap


Rambut Berketombe (Dandruff) Pada Mahasiswa Pendidikan Tata
Kecantikan Journal Of Beauty And Beauty Health Education Vol 3 (1).

Ardana, mirhansyah, Vebry Aeyni, Arsyik Ibrahim, 2015. Formulasi Dan Optimasi
Basis Gel Hpmc (Hidroxy Propyl Methyl Cellulose) Dengan Berbagai
Variasi Konsentrasi. J. Trop. Pharm. Chem. 2015. Vol 3 (2).

Ariyanti, R.N., 2014, Uji Aktivitas dan Profil Fitokimia Beberapa Ekstrak Tanaman
Obat di Sulawesi Tenggara Yang Berpotensi Sebagai Antibakteri
Terhadap Salmonella typhi YCTC , Universitas Halu Oleo, Kendari,
Skripsi.

Badi, K.A., Shah A. Khan 2013 Formulation, evaluation and comparison of the
herbal shampoo with the commercial shampoo. Journal of basic and
applied sciences Vol.3 (2).

Budiman, A., Melina F., Anna Y., Anis K 2015. Uji Aktivitas Sediaan Gel Shampo
Minyak Atsiri Buah Lemon (Citrus Limon Burm.). IJPST Vol. 2 (2).

46
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Antiketombe. Jakarta: Naturkos. 2009.

Cronquist, A., 1981, An Integrated System of Classification of Flowering Plants,


19 New York, Columbia University Press, 477.

Dawson Jr, Thomas L ., 2007. Malassezia globosa and restricta: Breakthrough


Understanding of the Etiology and Treatment of Dandruff and
Seborrheic Dermatitis through Whole-Genome Analysis.

Danby, F.W. (2005). Why we have sebaceous glands. Journal of the American
Academy of Dermatology, Vol. 52 (6).

Elvira, P.V., dkk, 2017. Isolasi dan karakterisasi jamur ligninolitik serta
perbandingan kemampuannya dalam biodelignifikasi. Scripta
Biologica Vol. (2).

Ginting, B., 2012, Antifungal Activity of Essential Oils Some Plants in Aceh
Province against Candida Albican,Jurnal Natural Vol. 12(2).

Greenwood, 1995, Antibiotics, Susceptibility (Sensitivity) Test Antimikrobial And


Chemoterapy, Mc. Graw Hill Company, USA.

Hasrianti, Nururrahmah, Nurasia 2016. Pemanfaatan Ekstrak Bawang Merah Dan


Asam Asetat Sebagai Pengawet Alami Bakso. Jurnal Dinamika Vol. 7
(1).

Harborne, J.B., 1987, Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan, ITB, Bandung.

Hidayah Aniatul. 2011. Herbal Kecantikan. Yogyakarta. Perawatan Badan, Kulit


dan Rambut. Jakarta; Rineka Cipta.

Istiqomah MI, Subchan P, S AW. Prevalensi dan faktor risiko terjadinya ketombe
pada polisi lalu lintas kota semarang. Jurnal unimus. Vol. 5(4).

Jawetz E., dkk., 1995, Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Ed 16. Alih Bahasa
oleh Dr. H. Tonang, EGC, Jakarta.

Jusnita Nina, Riska Arguar Syah, 2017. Formulasi Dan Uji Stabilitas Fisik Sediaan
Shampo Dari Ekstrak Etanol Daun Pare (Momordica Charantia Linn.)
Indonesia Natural Research Pharmaceutical Journal Vol. 2 (1).

Maesaroh, I 2016. Formulasi Sediaan Sampo Jelly Anti Ketombe Dari Ekstrak
Kangkung (Ipomoea Aquatica Forssk) Jurnal Ilmiah KORPRI Kopertis
Wilayah IV, Vol. 1 (1).

47
Mukhriani , 2014. Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, Dan Identifikasi Senyawa Aktif.
Jurnal Kesehatan Vol. 7 (2).

Nitahapsari, G.Y.(2010). Efektivitas ekstrak seledri (Apium Graveolens) 50%


dibandingkan ketokonazole 2% terhadap pertumbuhan Malassezia.sp
pada ketombe [Skripsi], Fakultas Kedokteran, Universita Diponegoro.

Nuri, P.A., Eko S, 2014. Malassezia spp. dan Peranannya sebagai Penyebab
Dermatitis pada Hewan Peliharaan. Jurnal Veteriner Vol. 15 (4).

Putri K.R., Inayati, H. 2007. Daya Antifungi Ekstrak Etanol Daun Beluntas
(Pluchea indica, L.) terhadap Malassezia Sp. secara in vitro. Mutiara
Medika Edisi Khusus Vol. 7 (1).

Potluri, A., Dkk, 2013. A Review On Herbs Used In Anti-Dandruff Shampoo And
Its Evaluation Parameters. Indo American Journal of Pharmaceutical
Research Vol. 3 (4).

Pradana, D., Dwi, S. Dan Yunasfi , 2015. Uji Daya Hambat Ekstrak Kulit Batang
Rhizophora Mucronata Erhadap Pertumbuhan Bakteri Aeromonas
Hydrophila, Streptococcus Agalactiae Dan Jamur Saprolegnia Sp.
Secara In Vitro. Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas
Sumatera Utara, Medan, Indonesia.

Pratiwi, S.T., 2008. Mikrobiologi farmasi. Erlangga, Jakarta.

Prawira, M., Sarwiyono dan Surjowardojo, P. 2013. Daya Hambat Dekok Daun
Kersen (Muntingia calabura L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Staphylococcus aureus Penyebab Penyakit Mastitis pada Sapi Perah.
Program Studi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas
Brawijaya. Malang.

Rahmi, A.H., Tri, C., Toni S., Rahayu, I.R, 2015. Uji Aktivitas Anti Bakteri Ekstrak
Daun Beluntas ( Pluchea Indica (L.) Less. ) Terhadap
Propionibacterium Acnes Penyebab Jerawat. ISSN 1979-8911 Vol. 11
(1).

Rowe, R.C., Sheskey P.J. dan Owen S.C., 2009, Handbook of Pharmaceutical
Excipient (6th ed.), American Pharmaceutical Association, London.

Sitompul, Mardinda Belia, Yamlean, Paulina V.Y., dan Kojong, Novel S. 2016.
Formulasi dan Uji Aktivitas Sediaan Sampo Anti Ketombe Ekstrak
Etanol Daun Alamanda (Allamanda cathartica L.) Terhadap
Pertumbuhan Jamur Candida albicans secara Invitro. Jurnal Ilmiah
Farmasi-UNSTRAT. Vol 5(3).

48
Setyaningsih, I., 2008, Ekstraksi SenyawaAntibakteri dari Diatom Chaetoceros
gracilis dengan Berbagai Metode, Jurnal Biologi Indonesia. Vol 5(1).

Septiana, A., Indrawati, Rustin, 2014. Analisis Kadar Alkaloid dan Tanin
Tumbuhan Beluntas (Pluchea indica Less.) pada Lahan Salin di Desa
Asingi Kecamatan Tinanggea dan Non Salin di Desa Lambodijaya
Kecamatan Lalembuu Sulawesi Tenggara. Biowallacea Vol. 1 (2).

Shai, A., H. I. Maibach and R. Baran. 2009. Handbook of Cosmetic Skin Care
Second Edition. USA.

Suriyapan, O., 2014, Nutrition, Health Benefits and Applications of Pluchea indica
(L.) Less Leaves, Mahidol University Journal of Pharmaceutical
Sciences, Vol. 41 (4).

Susila,A.D., Dkk, 2012. Pusat Kajian Hortikultura Tropika. Institut Pertanian


Bogor.

Sudirman,R.S., Usmar, Abdul, R., Dan Muhammad, A.B, 2017. Aktivitas Anti-
Inflamasi Ekstrak Etanol Daun Beluntas (Pluchea Indica L.) Pada
Model Inflamasi Terinduksi Cfa (Complete Freund's Adjuvant). Jurnal
Farmasi Galenika Vol. 3 (2).

Sonny J. R. Kalangi, 2013. Histofisiologi Kulit. Jurnal Biomedik (Jbm), Vol. 5 (3).

Soraya, M. Rusmiati, D. Kusuma, A. (2009). Pengembangan Ekstrak Etanol Kubis


(Brassica oleraceae var. Capitata L) Asal Kabupaten Bandung Barat
dalam Bentuk Sampo Antiketombe Terhadap Jamur Malassezia furfur,
Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran.
Ulviani, F., Yusriadi dan Khildah Khaerati, 2016, Pengaruh Gel Ekstrak Daun Sirih
Merah (Piper Crocatum Ruiz & Pav) terhadap Penyembuhan Luka
Bakar pada Kelinci (Oryctolagus Cuniculus), Galenika Journal of
Pharmacy, Vol. 2 (2).

Voight, R., 1995, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Alih Bahaasa Drs. Soendani
Noerono Soewandhi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Widyasanti, A., Dkk, 2016. Aktivitas Antijamur Ekstrak Teh Putih (Camelia
Sinensis) Terhadap Jamur Candida Albicans (Antifungal Activity Of
White Tea Extract To Candida Albicans) Jurnal Teknotan Vol. 10 (2).

Weiss, R., P. Raabe, and P. Mayser (2000). Yeast of the genus Malassezia :
Taxonomic Classification and Significance in (Veterinary and)Clinical
Medicine [article], Mycoses.43, German.

49
50
LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Alur Penelitian

Daun beluntas
(Pluchea indica L.)
-Menggunakan pelarut
etanol 96%
- dikumpulkan -Dilakukan sebanyak 3x24
Preparasi jam
- disortasi basah
-Hasil filtrat diuapkan
- dicuci pelarutnya menggunakan
- dikeringkan evaporator dan dioven pada
- dibuat serbuk Daun beluntas
Ekstraksi suhu ±50oC
(Pluchea indica l.)

Preparasi
Delipidasi
-Menggunakan pelarut
- dikumpulkan etanol 96%
- disortasi basah -Dilakukan sebanyak 3x24
- dicuci Ekstraksi jam
Delipidasi
Ekstrak daun
- dikeringkan Daun beluntas -Hasil filtrat diuapkan
beluntas (Pluchea indica L.) pelarutnya menggunakan
- dibuat serbuk (Pluchea indica l.)
evaporator dan dioven pada
Preparasi
Delipidasi suhu ±50oC
Skrining fitokimia
Formulasi gel
shampo
- dikumpulkan Ekstraksi
Delipidasi
antiketombe
Ekstrak daun Skrining fitokimia pelarut
-Menggunakan
- disortasi basah beluntasDaun
(Pluchea indica l.) etanol 96%
beluntas
- dicuci -Dilakukan sebanyak 3x24
(Pluchea indica l.)
- dikeringkan Preparasi jam
Skrining fitokimia
-Hasil filtrat diuapkan
- dibuat serbuk Uji efektivitas anti fungi
pelarutnya menggunakan
Formulasi gel evaporator dan dioven pada
shampo
Ekstraksi suhu ±50oC
antiketombe Skrining fitokimia
Ekstrak daun
beluntas (Pluchea indica l.)
- dikumpulkan
- disortasi basah
Uji stabilitas fisik gel -Menggunakan pelarut
- dicuci
etanol 96%
- dikeringkan shampo antiketombe
Formulasi gel -Dilakukan sebanyak 3x24
- dibuat serbuk shampo jam
antiketombe -Hasil filtrat diuapkan
Ekstrak daun pelarutnya menggunakan
beluntas (Pluchea indica l.) evaporator dan dioven pada
suhu ±50oC
51

Uji stabilitas fisik gel


Formulasi gel
shampo antiketombe
shampo
Lampiran 2. Prosedur penelitian
c. Pembuatan ekstrak kental

Daun beluntas (Pluchea Iindica L ).

-Dilakukan sortasi basah


-Dicuci hingga bersih
-Dipisahkan per bagian tanaman
-Dilakukan perajangan
-Dikeringkan
-Dilakukan sortasi kering
-Dihaluskan dengan blender
-Dimaserasi dengan pelarut etanol
selama 3 x 24 jam
-Dievaporasi

Ekstrak kental

52
d. Pembuatan sediaan gel shampo

Carbomer

- Ditimbang
- Dikembangkan dalam akuades
- Diaduk menggunakan stirrer dan ditambahkan
triethanolamin sedikit demi sedikit

Massa gel

- Ditambahkan larutan SLS yang sebelumnya sudah


dilarutkan dalam air dan ditambahkan EDTA.

- Ditambahkan sejumlah ekstrak Beluntas dengan


konsentrasi 3, %, 6%, dan 9%

- Ditambahkan larutan mentol dan propilen glikol

- Ditambahkan pengawet metil paraben yang


sebelumnya telah dilarutkan dalam air panas sampai
homogeny.

Sediaan gel shampo

53
Lampiran 3. Pengujian Antifungi
a. Sterilisasi Alat dan Bahan

Alat Dan Bahan

-Dicuci sampai bersih


-Dikeringkan
-Dibungkus dengan kertas
-Dimasukkan dalam autoklaf pada suhu 121oC dengan
tekanan 1 atm selama 15 – 20 menit

Alat dan Bahan Steril


A. Preparasi
Alat Dan Bahan Steril
a. Sterilisasi Alat dan Bahan

b. Pembuatan Media
c. Pembuatan Media

PDA

-Ditimbang sebanyak 3,9 g


-Dilarutkan sampai 100 mL dengan
akuades dalam erlenmeyer
-Dipanaskan sampai mendidih
-Dimasukkan dalam autoklaf pada suhu
121oC selama 15 – 20 menit

Media Bakteri PDA

54
d. Peremajaan jamur

Kultur Jamur

- Diambil 1-2 ose


- Digoreskan kedalam media agar miring
- Diinkubasi pada suhu 37OC selama.

Media jamur PDA

e. Pembuatan suspensi mikroba

Larutan NaCl Steril

- Ditambahkan kultur mikroba yang akan diujikan


sedikit demi sedikit
- Dikocok dengan vortex
- Dilihat kekeruhannya lalu dibandingkan dengan
larutan standar 0,5 Mc. Farland

Suspensi mikroba

55
f. Pembuatan larutan Mc. Farland

BaCl2

- Ditimbang 1,175 gram


- Dilarutkan dalam 100 mL aquades
- Diambil 0,05 mL
- Diencerkan asam sulfat 9,95 mL

Dilihat kekeruhannya

g. Pengujian efektivitas antifungi


1. Aktifitas antifungi ekstrak

Ekstrak daun beluntas

-Konsentrasi 3%, 6% dan 9%


control positif (ketokonazol) dan
control negative (dimetil
sulfoksida), dimasukan kedalam
lubang sumuran.

Sumuran yang mengandung


ekstrak, kontrol (+) dan kontrol (-)

-Diinkubasi selama 3-5 hari pada suhu 370C

Kultur fungi yang


telah diinkubasi

Diukur diameter daerah


hambat

56
2. Efektivitas antifungi sediaan gel shampo

Formula gel shampo

-Konsentrasi 3%, 6% dan 9% control


positif (sediaan shampo herbal yang
mengandung antifungi) dan control
negative (sediaan tanpa ekstrak),
dimasukan kedalam lubang sumuran.

Sumuran yang mengandung


sediaan gel shampo

-Diinkubasi selama 3-5 hari pada


suhu 370C

Kultur jamur yang telah


diinkubasi

Diukur diameter
daerah hambat

57
Lampiran 4. Perhitungan ekstrak daun beluntas dan bahan formula

a. Perhitungan bahan formula Gel

Formula gel shampo antiketombe dibuat sebanyak 100 mL, berikut adalah

perhitungan bahan formula sediaan gel shampo antiketombe :

1. HPMC
6
6% b/v = 100 mL x 100 mL = 6 g

2. Sodium Lauril Sulfat


10
10%b/v= 100 mL x 100 mL = 10 g

3. Propilen glikol
5
5%b/v= 100 mL x 100 mL = 5 g

𝑚 𝑚 5g
𝜌= => 𝑣 = = = 4,80 mL
𝑣 𝜌 1,04 g/mL

4. Tietanolamin
2
2%b/v = 100 mL x 100 mL = 2 g

5. EDTA
0,3
0,3%b/v = 100 mL x 100 mL = 0,3 g

6. Metil paraben
0,02
0,02% b/v = 100 mL x 100 mL = 0,02 g

7. Mentol q.s

8. Air suling add 100 %

58
b. Perhitungan untuk pembuatan media dasar

1. Media dasar (PDA)


39
x 100 mL = 3,9 g
1000

Jadi, untuk media dasar ditimbang sebanyak 3,9 gram dan dilarutkan dengan

aquades dalam 100 mL

59

Anda mungkin juga menyukai