Diagnosis penyakit ginjal kronis didasarkan pada kriteria Kidney Disease: Improving Global
Outcomes (KDIGO) berdasarkan penanda kerusakan ginjal dan penurunan laju filtrasi
glomerulus < 60 mL/min/1.73m2 selama setidaknya 3 bulan.
Anamnesis
Penyakit ginjal kronis kategori G1 sampai G3b sering kali asimtomatik. Gejala baru mulai
timbul pada penyakit ginjal kronis kategori G4 dan G5. Pasien dengan penyakit penyerta
lain seperti contohnya gangguan tubulointerstisial, penyakit kistik dan nefrotik sindrom
dapat menunjukkan gejala lebih awal. Gejala yang timbul dapat dibedakan menjadi
manifestasi uremik, asidosis metabolik, gangguan transpor air dan garam, anemia, dan
manifestasi pada urin.[2,4]
Manifestasi Uremik
Kadar ureum yang tinggi pada pasien dapat menimbulkan manifestasi pada berbagai
sistem organ.
Gastrointestinal: anoreksia, mual, muntah dan diare
Kulit: xerosis kutis, pruritus, ekimosis
Kardiologi: perikarditis
Neurologi: ensefalopati, neuropati perifer, restless leg syndrome
Hematologi: gangguan platelet
Reproduksi: disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorrhea
Manifestasi umum: kelelahan, malnutrisi, gangguan pertumbuhan
Manifestasi Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik akibat penyakit ginjal kronis dapat menimbulkan manifestasi berupa:
Malnutrisi energi protein
Penurunan massa otot
Kelemahan otot
Gangguan Transpor Air dan Garam
Gangguan transpor air dan garam ini akan bermanifestasi sebagai:
Edema perifer
Edema paru
Hipertensi
Anemia
Pada penyakit ginjal kronis, gejala anemia harus diwaspadai, berupa lemas dan mudah
lelah
Manifestasi pada Urin
Penyakit ginjal kronis juga dapat menyebabkan kencing berbusa atau berwarna seperti teh.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menemukan diagnosis penyebab penyakit ginjal kronis
seperti diabetes mellitus dan hipertensi dan juga komplikasinya[2,4].
Periksa tekanan darah pasien untuk melihat adanya hipertensi atau tidak. Pada mata, dapat
ditemukan edema periorbita, dan pada funduskopi dapat ditemukan tanda retinopati
diabetik atau hipertensi.
Pada auskultasi paru, bisa terdapat ronki yang mengarah ke edema paru. Pada abdomen,
dapat ditemukan asites. Pada kulit juga dapat ditemukan adanya xerosis kutis atau ruam.
Kemungkinan penyebab lain yang perlu digali adalah adanya pembesaran prostat yang
dapat dilihat dari pemeriksaan digital rektal (digital rectal examination).
Diagnosis Banding
Referensi
2. Emedicine. Chronic Kidney Disease. Updated: . Cited: 30-October 2017. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/238798-overview
Konsep penatalaksanaan pada penyakit ginjal kronis adalah menunda atau menghentikan
proses perburukan penyakit, diagnosis dan tata laksana manifestasi serta penyebab
penyakit ginjal kronis, serta merencanakan terapi pengganti ginjal (hemodialisis) untuk
jangka panjang.[1,2]
Menunda atau Menghentikan Proses Perburukan Penyakit
Aspek utama untuk menunda atau menghentikan proses perburukan penyakit adalah
dengan melakukan kontrol tekanan darah sesuai usia. Menurut kidney disease: improving
global outcomes (KDIGO), aturan kontrol tekanan darah untuk penyakit ginjal kronis
adalah:
Bila ekskresi albumin urin < 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan darah >
140/90 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 140 mmHg pada
sistolik dan ≤ 90 mmHg pada diastolik
Bila ekskresi albumin urin ≥ 30 mg/24 jam (atau ekuivalen) dengan tekanan darah >
130/80 mmHg, target tekanan darah dengan obat anti-hipertensi yaitu ≤ 130 mmHg pada
sistolik dan ≤ 80 mmHg pada diastolik
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) atau Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
direkomendasikan digunakan untuk pasien penyakit ginjal kronis dengan diabetes dan
ekskresi albumin urin 30 – 300 mg/24 jam (atau ekuivalen)
ARB atau ACEI direkomendasikan pada pasien penyakit ginjal kronis dengan atau tanpa
diabetes dengan ekskresi albumin urin > 300 mg/24 jam (atau ekuivalen)
Pada pasien anak-anak dengan penyakit ginjal kronis, obat antihipertensi diberikan bila
tekanan darah secara konsisten berada di atas persentil 90 sesuai usia, jenis kelamin dan
tinggi badan dan disarankan untuk menggunakan ARB dan ACEI untuk mencapai persentil
50, kecuali timbul tanda dan gejala hipotensi
Perlu diperhatikan hipotensi postural pada pasien penyakit ginjal kronis dengan obat
antihipertensi
Pasien juga harus dibatasi asupan proteinnya sebanyak < 0.8 gr/kg/hari pada LFG < 30
ml/min/1.73 m2. Pasien yang dibatasi asupan proteinnya harus mendapat pengawasan
status nutrisi secara teratur untuk mencegah terjadinya malnutrisi. Pengaturan gizi pada
pasien hendaknya berkonsultasi dengan ahli gizi atau dokter spesialis gizi.[18,19]
Dokter juga harus melakukan kontrol gula darah dengan target HbA1c 7.0%, kecuali bila
timbul hipoglikemia saat menurunkan gula darah, serta membatasi asupan garam <2 gram
per hari. Pasien juga harus dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik sekitar 30 menit
selama 5x seminggu untuk mencapai berat badan ideal, kecuali pada pasien dengan
gangguan kardiovaskular, dan berhenti merokok.
Diagnosis dan Tata Laksana Manifestasi serta Penyebab Penyakit Ginjal Kronis
Dokter menentukan dan menangani penyebab penyakit ginjal kronis, misalnya batu ginjal,
untuk mencegah perburukan penyakit ginjal kronis pasien. Pada penyebab yang tidak jelas,
biopsi ginjal dapat dipertimbangkan. Pada penyakit ginjal kronis
dengan diabetes, metformin lebih disarankan dibandingkan sulfonilurea.
Selain itu, dokter juga harus menangani manifestasi yang disebabkan oleh penyakit ginjal
kronis, yaitu anemia, gangguan mineral tulang, edema/asites, asidosis metabolik,
manifestasi uremia, komplikasi kardiovaskular, serta pada anak-anak dapat terjadi
gangguan pertumbuhan.
Anemia
Pengecekan Hb pada penyakit ginjal kronis tidak perlu dilakukan secara rutin pada pasien
dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) ≥ 60 mL/min/1.73 m2. Pada pasien dengan LFG 30 –
59 mL/min/1.73 m2, pemeriksaan dilakukan minimal 1 kali/tahun, dan pada LFG <30
mL/min/1.73 m2, pemeriksaan dilakukan minimal 2 kali/tahun.
Pemberian eritropoietin disarankan dimulai bila Hb < 10 mg/dL dengan target Hb 10 – 12
mg/dL. Sebelum memulai terapi, sebaiknya dilakukan studi kadar besi di dalam darah.
Target saturasi besi adalah 30 – 50% dan feritin 200 – 500 ng/mL.
Gangguan Mineral Tulang
Pengukuran kadar kalsium, fosfat, hormon paratiroid dan alkalin fosfatase dilakukan
setidaknya satu kali pada pasien dengan LFG < 45 mL/min/1.73 m2. Bila diperlukan
pemberian vitamin D, pemeriksaan ulang dilakukan setidaknya 3 bulan sekali. Bone
mineral density tidak disarankan dilakukan pada pasien dengan LFG < 45 mL/min/1.73 m2.
Rekomendasi pemberian vitamin D diberikan hingga kadar kalsium di atas 10.2 mg/dL.
Bila kadar fosfat di atas 4.6 mg/dL, berikan pengikat fosfat, seperti kalsium asetat,
sevelamer karbonat, atau lanthanum karbonat. Bila tetap tinggi setelah pemberian
pengikat fosfat, hentkan terapi vitamin D.[20,21]
Kelebihan Cairan
Kelebihan cairan pada pasien yang terlihat dari adanya edema atau asites dapat
ditatalaksana dengan loop diuretik atau ultrafiltrasi.
Asidosis Metabolik
Untuk penanganan asidosis metabolik, berikan suplemen bikarbonat per oral pada
konsentrasi bikarbonat serum < 22 mmol/L hingga mencapai nilai normal, kecuali
dikontraindikasikan.
Manifestasi Uremik
Pada manifestasi uremik yang berat, misalnya perikarditis, pertimbangkan untuk terapi
pengganti ginjal seperti hemodialisis.
Komplikasi Kardiovaskular
Semua pasien penyakit ginjal kronis disarankan dipertimbangkan berada dalam risiko
tinggi penyakit kardiovaskular. Terapi kejadian kardiovaskular pasien penyakit ginjal
kronis disamakan dengan pasien yang tidak menderita penyakit ginjal kronis, tetapi pada
pasien dengan gagal jantung, sebaiknya lakukan pengawasan laju filtrasi glomerulus dan
kadar kalium darah.
Gangguan Pertumbuhan pada Anak-anak
Pada pasien anak dengan penyakit ginjal kronis yang mengalami gangguan pertumbuhan,
pertimbangkan untuk memberikan terapi hormon.
Persiapan Rujukan ke Spesialis
Penyakit ginjal kronis yang ditangani oleh dokter umum harus dirujuk ke spesialis bila
ditemukan salah satu kondisi berikut:
Gagal ginjal akut atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) secara drastis
LFG < 30 mL/menit/1.73 m2
Ditemukan albuminuria terus menerus (albumin to creatinine ratio / ACR ≥ 30 mg/g [≥ 30
mg/mmol] atau albumin excretion rate / AER ≥ 300 mg/24 jam)
Perburukan kondisi
Terdapat tanda perdarahan dari saluran kemih (sel darah merah > 20 pada lapang pandang
besar, dengan penyebab lain telah disingkirkan)
Penyakit ginjal kronis dan hipertensi yang tidak membaik dengan 4 atau lebih obat-obatan
antihipertensi
Kelainan kalium darah yang terus menerus
Batu saluran kemih yang berulang atau besar
Gangguan ginjal bawaan[1]
Kategori dan Rentang Albuminuria Persisten
A1 A2 A3
Normal –
kenaikan ringan Kenaikan sedang Kenaikan berat
Kategori dan Rentang Laju < 30 mg/g atau 30 – 300 mg/g atau 3 > 300 mg/g atau >
Filtrasi Glomerulus < 3 mg/mmol – 30 mg/mmol 39 mg/mmol
Normal atau
G1 tinggi > 90 Pengawasan Rujuk*
60 –
G2 Turun ringan 89 Pengawasan Rujuk*
Turun ringan – 45 –
G3a sedang 59 Pengawasan Pengawasan Rujuk
Turun sedang – 30 –
G3b berat 44 Pengawasan Pengawasan Rujuk
15 –
G4 Turun berat 29 Rujuk* Rujuk* Rujuk
G5 Gagal ginjal < 15 Rujuk Rujuk Rujuk
*dokter yang merujuk dapat berdiskusi terlebih dahulu dengan ahli nefrologi
Tabel 4. Alat pembantu pembuat keputusan rujukan berdasarkan LFG dan albuminuria.
Indikasi Memulai Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)
Indikasi memulai cuci darah (hemodialisis) bila terdapat satu atau lebih hal berikut:
Tanda dan gejala dari gagal ginjal seperti serositis, pruritus, gangguan asam-basa dan
elektrolit darah
Status volume dan tekanan darah yang tidak terkontrol
Perburukan status nutrisi yang tidak membaik dengan intervensi diet
Gangguan kognitif[1]
Terapi cuci darah perlu dilakukan pengkajian dan pertimbangan keuntungan dan risiko
yang terjadi, terutama pada pasien usia tua dan memiliki penyakit ginjal kronis kategori 5
(kategori paling berat, atau end-stage renal disease / ESRD) dengan berbagai komorbid.
Pada pasien-pasien ini, hemodialisis justru berisiko mengurangi kualitas hidup dan status
fungsional. Dalam beberapa studi yang melibatkan lebih dari 5200 pasien dalam terapi cuci
darah, ditemukan 58% pasien mengalami nyeri kronik dan 49% pasien mengeluhkan nyeri
yang bersifat sedang sampai berat [20,21]. Berikan suplementasi oral pada pasien yang
menjalani hemodialisis untuk mencegah malnutrisi kurang energi protein (KEP).
Transplantasi ginjal dipertimbangkan bila laju filtrasi glomerulus < 20 ml/menit/1.73 m2
atau terjadi perburukan dari kondisi yang telah terbukti adanya penyakit ginjal kronis
lebih dari 6 – 12 bulan.[1,2]
Perawatan Paliatif
Pada pasien penyakit ginjal kronis yang tidak memilih untuk dilakukan hemodialisis atau
transplantasi, diperlukan terapi komprehensif, meliputi tata laksana simtomatik dan
manajemen nyeri, perawatan psikologis, spiritual dan kultural untuk pasien dan
keluarganya. Pada pasien yang menerima terapi penggantian ginjal juga disarankan untuk
mendapatkan pelayanan menjelang kematian (end-of-life care). Perawatan paliatif ini
diperlukan terutama karena pada pasien geriatri karena gejala nyeri, dispnea, insomnia,
cemas dan depresi sering terjadi[22,23].
Referensi
1. KDIGO. KDIGO 2012 Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kidney International Supplements, 2013; 3(1)
2. Emedicine. Chronic Kidney Disease. Updated: . Cited: 30-October 2017. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/238798-overview
18. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Initiative. Chronic kidney
disease: evaluation, classification and stratifiction. Available at:
http://www2.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/toc.htm
19. National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Initiative. KDOQI Clinical
Practice Guidelines for Bone Metabolism and Disease in Chronic Kidney Disease. Available
at: http://www2.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_bone/guide7.htm
20. Combs SA, Davison SN. Palliative and end-of-life care issues in chronic kidney disease.
Curr Opin Support Palliat Care, 2015; 9(1):14-19
21. Davison SN, Koncicki H, Brennan F. Pain in chronic kidney disease: a scoping review.
Seminars in dialysis, 2014; 27(2):188 – 204