Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bali merupakan salah satu provinsi yang berada di Indonesia. Indonesia adalah negara
yang kaya akan suku bangsa, dan budaya. Namun kemajuan teknologi dan modernisasi yang
terjadi membuat masyarakat lebih senang mengikuti kemajuan teknologi tersebut daripada
melestarikan budaya bangsa yang adalah jati diri bangsa. Dampaknya adalah semakin
memudarnya budaya tersebut dalam diri bangsa Indonesia sendiri. Semakin pudarnya
kebudayaan Indonesia ini dapat dilihat dalam berbagai aspek, salah satunya adalah
berkurangnya jati diri bangsa Indonesia dalam bentuk arsitektur di Indonesia. Pada
kenyataannya beberapa daerah, Bali khususnya, memang masih mempertahankan tipe desain
yang mengandung nilai-nilai budaya, namun sebagian besar sudah lebih memilih tipe desain
yang modern minimalis tanpa adanya nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan modernisasi sebagai pertanda kemajuan
zaman, kini perkembangan Arsitektur di Bali semakin dikhawatirkan mengalami degradasi
tata nilai yang dapat berlanjut menjadi “krisis identitas dalam pergaulan global” serta
disharmonis dengan lingkungan alam dan budaya Bali. Terutama pada tipologi bangunan
fasilitas umum (palemahan). Secara intern, hal ini dikarenakan bangunan fasilitas
umum/palemahan, yang meliputi fungsi-fungsi: bangunan fasilitas sosial, bangunan
komersial, bangunan pendidikan, bangunan kantor dan lain-lain yang sejenis, tidak memiliki
acuan pustaka tradisional yang lengkap, pertumbuhan dan perkembangan aktivitas
baru/kontemporer, serta fungsinya tidak terkait dengan aktivitas agama dan adat. Secara
ekstern, Bali dengan industri pariwisatanya yang telah berkembang pesat yang saat ini telah
memunculkan suatu fenomena “keterbatasan lahan” dan “perubahan life style/gaya hidup”
hingga bermuara di kelestarian adat dan budaya Bali.
Kenyataan yang berada di lapangan saat ini adalah keberadaan bangunan di bali yang
tidak berdasarkan unsur-unsur nilai tradisional Bali, melainkan hanya berdasarkan kepada
pemakaian atap limasan dan diberikan ornament-ornamen khas tradisional Bali yang sesuai
dengan peraturan sehingga sudah dianggap sesuai dengan perkembangan bangunan
tradisional yang sesungguhnya.
Selain terpengaruh dari factor dalam, perkembangan arsitektur di Bali terpengaruh factor
dari luar. Salah satunya adalah masuknya gaya atau langgam arsitektur barat. Seperti
pembangunan rumah yang berbentuk box, yang mana sangat tidak sesuai atau compatible

1
apabila dibawa ke daerah tropis. Maka, dengan adanya perubahan-perubahan yang signifikan
tersebut, kami sebagai penulis ingin mencari tahu dan menganalisis bagaimana transformasi
nilai-nilai arsitektur tradisional bali pada bangunan masa kini dan berfungsi untuk aktivitas
masa kini yang lebih abstrak dan modern. Dengan adanya pembelajaran ini, maka sedikit
tidaknya akan memberikan petunjuk terhadap bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah berdasarkan pemaparan latar belakang diatas
1. Bagaimana transformasi nilai ATB pada bangunan Balai Budaya (AMK) ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan ini , untuk mengetahui :
1) Transformasi nilai ATB pada bangunan Balai Budaya (AMK).

1.4 Manfaat
Manfaat yang didapatkan yaitu mendapat strategi dalam menghadapi perkembangan
arsitektur di Bali dengan menggali permasalahan-permasalahan dan menemukan solusi untuk
dapat melestarikan nilai-nilai Arsitektur Tradisional Bali sebagai identitas budaya Bali.

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

Manusia (Bhuana Alit) merupakan bagian dari alam (Bhuana agung), selain memiliki
unsur pembentuk yang sama, juga terdapat perbedaan ukuran dan fungsi dari unsur tersebut.
Manusia sebagai isi dan alam sebagai wadah, senantiasa dalam keadaan harmonis dan selaras
seperti manik (janin) dalam cacupu (Rahim ibu) Sehingga terdapat sebuah istilah yaitu “
Manik Ring Cacupu” , yang bermakna dimana Rahim dianalogikan sebagai alam semesta
yang menjaga, melindungi, tempat berkembang dan hidup si janin yang dianalogikan sebagai
manusia. Terdapat beberapa unsur-unsur dasar pada arsitektur tradisional bali.

2.1 Tri Hita Karana


Konsep Tri Hita Karana memiliki makna tri berarti tiga, hita berarti kemakmuran atau
kebaikan, dan karana berarti sebab. Maka Tri Hita Karana dapat dikatakan sebagai tiga
penyebab kebahagiaan(kehidupan) dimana akan mengatur keseimbangan manusia dengan
alamnya. Yang mana didalamnya terdapat tiga unsur
 Atma (roh/jiwa)
 Prana (Tenaga)
 Angga (Jasad/fisik)
Berbeda halnya pada bhuana agung yang sangat luas, dimana tetap menggunakan
prinsip Tri Hita karana namun dengan anggapan wadah yang berbeda dan terapan unsur yang
berbeda pula. Unsur ini diterapkan pada kehidupan kita sehari-hari
 Parahyangan / Khayangan Tiga sebagai unsur atma
 Pawongan(karma) sebaga unsur prana
 Palemahan / tanah sebagai unsur angga.
Konsepsi ini akan mencakup bagian yang paling terkecil hingga yang paling besar atau
makro. Penerapannya pun sangat flexible. Seperti pada tatanan masyarakat desa, pura desa
merupakan bagian dari parahyangan, prana adalah masyarakatnya dan palemahan adalah
alam lingkungan masyarakatnya.
Konsep Tri Hita Karana melandasi terwujudnya susunan kosmos dari yang paling makro
(bhuana angung/ alam semesta) sampai hal yang paling mikro (bhuana alit/ manusia). Dalam
alam semesta jiwa adalah paramata (Tuhan Yang Maha Esa), tenaga adalah berbagai tenaga
alam dan jasad adalah Panca Maha Bhuta. Dalam perumahan (tingkat desa); jiwa adalah

3
parhyangan (pura desa), tenaga adalah pawongan (masyarakat) dan jasad adalah palemahan
(wilayah desa). Demikian pula halnya dalam banjar: jiwa adalah parhyangan (pura banjar),
tenaga adalah pawongan (warga banjar) dan jasad adalah palemahan (wilayah banjar). Pada
rumah tinggal jiwa adalah sanggah pemerajan (tempat suci), tenaga adalah penghuni dan
jasad adalah pekarangan. Sedangkan pada manusia, jiwa adalah atman, tenaga adalah sabda
bayu idep dan jasad adalah stula sarira/tubuh manusia. Penjabaran konsep Tri Hita Karana
dalam susunan kosmos

2.2 Tri Angga dan Tri Loka


Konsep Tri Angga terdiri dari 2 kata yang berasal dari bahasa sansekerta yakni kata
“Tri” yang berarti tiga dan kata “Angga” yang berarti badan fisik. Jadi, Tri Angga adalah
ungkapan tata nilai yang membagi kehidupan fisik dalam tiga bagian hierarki yang bebeda.
Pengertian Tri Angga juga dapat berarti ungkapan tata nilai pada ruang terbesar jagat raya
yang mengecil sampai elemen-elemen terkecil pada manusia dan arsitektur.
Berbeda dengan Tri Hita Karana, Tri Angga memiliki arti tiga bagian dalam tubuh
manusia yang terdiri dari:
 Utama Angga (kepala) yakni bagian yang diposisikan pada kedudukan yang paling utama.
 Madya Angga (badan) adalah bagian yang terletak di tengah.
 Nista Angga (kaki) adalah bagian yang diposisikan pada bagian yang paling bawah, paling
kotor, atau paling rendah.
Konsep Tri Angga dalam Bhuana Agung disebut dengan Tri Loka atau Tri Mandala.
Konsepsi Tri Angga berlaku dari yang besar (makro) sampai yang terkecil (mikro). Bila
dianggap secara vertikal, maka aplikasi konsep tersebut terdiri dari utama berada pada posisi
teratas atau sakral, madya posisi tengah dan nista pada posisi terendah atau kotor.
A) Konsep Tri Angga dalam Bhuana Alit (Manusia)
Konsep Tri Angga dalam bhuana alit (tubuh manusia) dapat dilihat dari pembagian tubuh
manusia menjadi 3 bagian berdasarkan tingkat kesuciannya atau keutamaannya yaitu bagian
kepala sering disebut utama angga atau bagian yang paling suci yang berada pada bagian atas,
bagian badan yang berada di tengah disebut madya angga, dan bagian kaki yang berada
paling bawah sering disebut nista angga. Pembagaian tubuh pada manusia tersebut yang
nantinya digunakan sebagai konsep pembangunan rumah bagi sang pemilik rumah, agar
nantinya rumah atau bangunan memiliki proporsi yang seimbang dengan sang pemilik
rumah.

4
B) Konsep Tri Angga dalam Rumah atau Bangunan
Konsep Tri angga dalam rumah atau bangunan dapat dilihat dari pembagian bangunan
menjadi 3 bagian secara vertikal yaitu bagain utama angga berupa rap atau atap bangunan
sebagai bagian kepala (paling disucikan), bagian madya angga berupa pengawak atau badan
bangunan yang terletak di bagain tengah, nista angga berupa bebataran yang merupakan kaki
bagi bangunan yang terletak pada bagian bawah. Konsep Tri Angga digunakan pada
bangunan memiliki fungsi untuk menentukan konsep hierarki ruang yang menghubungkan
antara proporsi sang pemilik bangunan dengan proporsi suatu bangunan agar terjadi
keseimbangan antar proporsi pemilik bangunan dengan bangunan. Dengan konsep tri angga
yang digunakan pada bangunan nantinya akan memberikan keharmonisan dan keselarasan
antara pemilik bangunan dengan bangunan (Mugi Raharja, 2010).

C) Konsep Tri Angga pada Pekarangan


Konsep Tri Angga pada pekarangan rumah dapat dilihat dari pembagian secara
horizontal pada pekarangan rumah menjadi 3 bagian yaitu bagian yang paling disucikan atau
bagian Utama Angga berada pada arah utara pekarangan (sanggah atau pelatan merajan),
bagian tengah atau Madya Angga berupa tegak umah atau tempat massa bangunan berdiri,
sedangkan untuk bagian Nista Angga (daerah yang paling kotor) berupa teba (tempat ternak,
pembuangan sampah dan kotoran rumah tangga lainnya ) yang berada pada arah barat dan
selatan. Arah yang jelas di tengah kosmos, kangin-kauh (sumbu ritual) dan kaja-kelod
(sumbu bumi) merupakan pedoman dasar orientasi tradisional pada halaman, bangunan,
pekarangan, dan lingkungan. Nama-nama bangunan pada zona madya: Bale Daja, Bale
Dangin, Bale Delod, Dale Dauh adalah nama-nama yang menunjukan letaknya pada orientasi
tertentu. Sedangkan fungsi-fungsinya: Bale Daja (Meten) letaknya di arah kajauntuk tempat
tidur, Bale Dangin (Semangen) untuk ruang upacara dan serbaguna, Bale Delod sebagai ruang
tidur, Bale Dauh sebagai ruang tidur yang letaknya di sisi kauh. Paon (dapur) dan jineng
(lumbung padi) merupakan bangunan yang berfungsi untuk pelayanan menduduki zona yang
bernilai nistasebagai service earea (Pande Artadi, 2010).

D) Konsep Tri Angga pada Tata Ruang Desa atau Kota


Konsep Tri Angga pada tata ruang kota dapat terlihat dari pembagian desa pakraman
secara horizontal menjadi 3 bagian yaitu bagian Utama Angga (bagian yang dianggap paling
suci di desa) seperti pura-pura desa, bagian Madya Angga (bagian tengah) yaitu desa

5
pakraman berupa daerah permukiman warga, dan bagain Nista Angga yaitu bagian yang
dianggap memiliki posisi paling rendah dan kotor berupa daerah setra atau kuburan.

E) Konsep Tri Angga pada Kawasan


Konsep Tri Angga yang sering ditemui pada kawasan jika dilihat secara vertikal dibagi
menjadi 3 bagian yaitu bagian Utama Angga (bagian yang paling disucikan) berada pada
daerah pegunungan atau dataran yang lebih tinggi yang dianggap sebagai kepala, bagain
Madya Angga berada pada bagian tengah daratan antara gunung dan lautan yang dianggap
sebagai pengawak, bagian Nista Angga berada pada daerah yang dianggap kurang suci
seperti pantai atau laut yang dianggap sebagai kaki. Tetapi pada bidang horisontal,
pembagian zone Utama, Madya, dan Nista didasari bukan oleh sumbu hierarki yang vertikal,
tetapi oleh tata nilai ritual dan orientasi kosmologis, di mana zona yang dianggap bernilai
Utama atau paling suci adalah arah utara (menghadap gunung) dan kangin (timur sebagai arah
terbitnya matahari atau sumber kehidupan), dan zona yang dianggap Nista atau bernilai
rendah adalah arah kelod (menghadap laut) dan kauh (Barat).

Konsep Tri Loka terdiri dari 2 kata yang berasal dari bahasa sansekerta yanitu kata
“Tri” yang memiliki arti tiga dan kata “Loka” yang memiliki arti alam semesta, jadi, Tri Loka
adalah tiga kelompok alam semesta. Tri Loka juga dapat berarti pembagian atau lapisan dari
alam semesta (bhuwana agung).
Dimana Tri Loka dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu Bhur Loka (lapisan-lapisan
dimensi alam negatif), Bvah Loka (lapisan-lapisan dimensi siklus samsara, siklus kehidupan-
kematian) dan Svah Loka (lapisan-lapisan dimensi alam positif). Bhur Loka dalam beberapa
teks-teks Hindu disebut juga Sapta Petala. Bvah Loka dan Svah Loka dalam beberapa teks-
teks Hindu digabung jadi satu dan disebut Sapta Loka. Lapisan-lapisan dimensi alam ini tidak
terletak vertikal (tinggi rendah) satu sama lain, tapi ada sama persis dengan kita sekarang.
Hanya saja sebagian besar berada di dimensi (lapisan) yang halus (bukan alam materi). Halus
disini dimaksudkan diluar kemampuan ndriya-indriya dan pikiran kita untuk melihatnya,
sehingga kita yang masih di alam materi ini tidak bisa melihat, merasakan, atau
mengetahuinya. Kecuali bagi mereka yang memiliki indriya ekstra dan orang-orang yang
sidha. Alam-alam halus ini semakin positif kehalusannya semakin halus, semakin negatif
kehalusannya semakin kasar.Pada dasarnya antara konsep Tri Angga dan Tri Loka memiliki
hubungan yang sangat erat dan saling berhubungan, antara kedua konsep tersebut.

6
A) Bhur Loka (Alam Halus Negatif, Alam Bawah)
Bhur loka atau alam halus negatif ini adalah alam yang dihuni oleh jiwa- jiwa yang
bathinnya gelap, hidupnya tidak benar atau menyalahgunakan kesaktian semasa hidupnya.
Umumnya kita menyebut mereka sebagai para ashura atau mahluk-mahluk bawah (bhuta
kala).
Bhur Loka (disebut juga Sapta Petala atau naraka) adalah alam mental (energi
negatif), bukan seperti alam fisik. Kita disini sangat tersiksa karena proyeksi mental-energi
negatif dari isi pikiran-pikiran kita sendiri (pikiran buruk dan memory buruk). Bisa dikatakan
seperti mengalami mimpi sangat buruk, tapi lebih nyata dari mimpi buruk, karena pikiran-
pikiran buruk kita terproyeksikan menjadi begitu nyata oleh energi-energi negatif di alam ini.
Jiwa- jiwa ini semuanya mengalami siksaan, namun tentu saja tidak ada yang terluka atau apa
dalam artian fisik, karena itu tak ada bedanya seperti orang yang bermimpi sangat buruk
(dalam tidur).

B) Bvah Loka (Alam Siklus Samsara, Kehidupan-Kematian)


Bvah loka seing diistilahkan sebagai alam tengah. Terdiri dari alam material dimana kita
saat ini berada dan alam halus Bvah Loka, tempat para jiwa-jiwa antre untuk reinkarnasi
kembali.
Alam halus Bwah (Alam Halus Bvah Loka, atau disingkat Alam Baka) adalah alam
tempat jiwa-jiwa (atman) antre, untuk menuju alam sorga, Swah Loka ataupun menuju alam
neraka, Bhur Loka, maupun, menunggu untuk reinkarnasi kembali. Alam ini disebutkan
masih merupakan lapisan dari alam Bwah Loka sebagaimana disebutkan dalam kutipan Tri
Loka dimana Alam halus Bvah Loka ini ditemui setelah melewati alam mrtya loka dimana titi
ugal agil itu berada. Dalam artian punya kesempatan besar untuk lahir sebagai manusia,
mengalami evolusi batin dan naik tingkat lagi. Lapisan badan yang dipakai di alam ini adalah
sukshma sarira. Di alam halus Bvah Loka ini keadaannya cukup mirip dengan di bumi.

C) Svah Loka (Alam Halus Positif, Alam Atas, Alam Luhur)


Svah Loka atau alam positif ini adalah alam yang dihuni oleh jiwa-jiwa yang bathinnya
bersih, serta hidupnya penuh welas asih dan kebaikan. Umumnya kita menyebut mereka
sebagai pitara, betara atau dewa. Di lapisan alam ini kita merasakan kebahagiaan dan
kedamaian luar biasa, karena proyeksi mental-energi positif dari isi pikiran-pikiran kita
sendiri (pikiran polos dan memory baik), terproyeksikan menjadi nyata oleh energi-energi
luhur di alam ini.
7
Sebelumnya perlu dijelaskan kembali bahwa beberapa saat setelah kematian ada
beberapa fase kosmik yang kita lalui, yang terpenting adalah ketika muncul cahaya terang
(jyoti), yang merupakan gerbang jalan bagi jiwa menuju alam-alam luhur svah loka atau
bahkan moksha (pembebasan). Akan etapi durasi kemunculan cahaya ini sangat bervariasi
bagi setiap orang. Tergantung kepada vasana (kecenderungan pikiran) kita sendiri di moment-
moment menjelang kematian. Bagi yang di moment kematian pikirannya cenderung buruk,
cahaya terang ini muncul hanya mulai darisetengah detik sampai dengan 30 menit saja. Bagi
yang di moment kematian pikirannya cenderung tenang dan damai, cahaya terang ini
bisa muncul selama sekitar 30 menit sampai dengan beberapa jam. Sang jiwa harus bergerak
menuju cahaya ini untuk dapat memasuki Svah Loka. Jiwa yang bersih akan mudah atau
bahkan ditarik menuju cahaya ini, jiwa yang kotor mungkin akan gagal.

2.3 Orientasi
Orientasi yang dimaksud adalah konsep hulu-teben yang mana akan menurunkan
orientasi-orientasi
 Orientasi dengan konsep sumbu ritual Kangin-kauh
 Orientasi dengan konsep sumbu bumi yaitu Kaja-Kelod
 Orientasi dengan konsep Akasa-Pertiwi, Atas-Bawah

2.4 Sanga Mandala


Konsepsi Sanga Mandala yakni Dalam pandangan konsepsi tradisional Bali, Rwa
Bhineda, dipaparkan mengenai dua karakter oposisi biner sakral dan profan yang membagi
elemen-elemen di alam raya, tubuh manusia, serta tata ruang serta arsitektur atas dua tipe
elemen yang bernilai sakral dan profan. Pandangan sakral-profan tersebut juga melahirkan
konsepsi lain yang berkenaan dengan arah posisi kepala yang disakralkan dan arah posisi kaki
yang bernilai profan. Konsepsi turunan ini dikenal dalam istilah lokal Balinya sebagai
konsepsi Ulu-Teben (‘daerah tinggi-daerah rendah’). Konsepsi lain yang berkenaan tentang
arah sakral dan arah profan dalam tatanan budaya masyarakat Hindu Bali adalah konsepsi
tentang pasangan arah Kaja-Kelod (arah gunung-arah laut) dan Kangin-Kauh (arah matahari
terbit-arah matahari terbenam). Konsepsi ini lebih bersifat sebagai sebuah konsepsi terapan
yang banyak diaplikasikan dalam orientasi kosmis Pulau Bali secara makro, tata ruang
wilayah, dan orientasi bagi berbagai bangunan tradisional Bali.

8
A) Sumbu Kaja-Kelod dan Kangin-Kauh sebagai Landasan Sanga Mandala
Dalam pandangan masyarakat Hindu Bali, arah gunung dan arah laut serta arah matahari
terbit dan arah matahari terbenam masing-masing dimaknai sebagai arah yang bernilai sakral
dan arah yang bernilai profan. Keempat arah ini memiliki sebutan-sebutan tersendiri dalam
istilah lokal Balinya, yaitu kaja untuk arah posisi gunung yang beroposisi dengan kelod untuk
arah posisi laut dan kangin sebagai arah matahari terbit yang berlawanan dengan kauh
sebagai arah matahari terbenam. Pemahaman ini juga melahirkan dua buah sumbu imajiner
yang terbentuk dari dua pasangan arah dalam budaya Hindu Bali itu, yaitu sumbu orientasi
natural kaja-kelod untuk pasangan arah gunung-laut dan sumbu orientasi ritual kangin-kauh
untuk pasangan arah matahari terbit-matahari terbenam (Gelebet, 2002: 11).
Sumbu orientasi ritual kangin-kauh dapat diterjemahkan secara langsung sebagai sumbu
arah timur-barat. Kesetaraan semacam ini adalah berlaku di wilayah mana pun di Bali. Arah
terbitnya matahari sebagai arah kangin akan selalu disamakan sebagai ufuk timur, sedangkan
arah terbenamnya matahari atau arah kauh akan tetap mengacu pada ufuk barat.
Hal yang berbeda berlaku pada sumbu orientasi natural kaja-kelod sebagai pasangan arah
gunung-arah laut. Posisi barisan pegunungan yang berjejer dari timur ke barat di bagian
tengah Pulau Bali, menyebabkan Pulau Bali seolah terdikotomi atas dua wilayah yang
berbeda, yaitu wilayah Bali bagian utara yang berada di utara pegunungan dan wilayah Bali
bagian selatan yang terdapat di selatan barisan pegunungan tersebut. Pemahaman tentang
adanya wilayah Bali bagian utara dan Bali bagian selatan ini selanjutnya menyebabkan
lahirnya perbedaan pandangan berkenaan sumbu kaja-kelod antara masyarakat Hindu Bali di
kedua wilayah tersebut.
Bagi masyarakat Bali bagian utara, seperti penduduk yang bermukim di wilayah
Kabupaten Buleleng dan sekitarnya, arah kaja atau arah gunung adalah disamakan dengan
arah selatan, sedangkan arah kelod sebagai arah laut diposisikan sebagai arah kebalikannya,
yaitu arah utara. Kondisi geografis wilayah Bali bagian utara yang berada di utara barisan
pegunungan dan berada di selatan laut (Laut Bali) menjadi pedoman penetapan arah kaja-
kelod seperti demikian adanya hingga kini.
Hal yang kontras pada umumnya berlaku bagi warga di daerah Bali bagian selatan.
Masyarakat Hindu Bali yang bermukim di daerah ini pada umumnya akan menunjuk arah
utara sebagai arah kaja dan arah selatan sebagai arah kelod. Posisi daerah Bali bagian selatan
yang berada di selatan pegunungan dan di utara laut (Samudera Indonesia) merupakan
landangan konseptual yang dijadikan dasar penetapan arah kaja-kelod semacam ini. Wilayah-
wilayah yang termasuk kelompok Bali bagian selatan adalah Kota Denpasar, Kabupaten

9
Badung,

1
0
Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung, sebagian Kabupaten
Jembrana, Kabupaten Bangli, dan Kabupaten Karangasem. Pemahaman yang berbeda
semacam ini menyebabkan kedua wilayah ini juga memiliki perbedaan pandangan tentang
nilai sakral-profan untuk arah utara dan selatan. Perbedaan lain juga terlihat dalam penataan
massa bangunan suci dan orientasi ritual di kedua wilayah ini. Masyarakat Bali bagian
selatan pada umumnya akan menjadikan arah timur, utara, dan timur laut sebagai orientasi
sakral untuk berbagai ritual dan arah posisi bangunan suci. Adapun masyarakat Bali bagian
utara pada umumnya menjadikan arah timur, selatan, dan tenggara sebagai orientasi- orientasi
yang bernilai sakral.

B) Pengertian Konsepsi Sanga Mandala


Istilah Sanga Mandala adalah berasal dari dua kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu sanga
dan mandala yang masing-masing memiliki tersendiri. Sanga mengadung pengertian sebagai
‘angka sembilan’ atau ‘jumlah sembilan’, sedangkan mandala dapat dimaknai sebagai
‘wilayah’ atau ‘zona’. Gambungan dari kedua kata ini selanjutnya membentuk istilah Sanga
Mandala yang merupakan nama sebuah konsepsi popular yang dikenal dalam tatanan
arsitektur tradisional Bali. Konsepsi ini pada dasarnya membagi suatu lahan atas sembilan
petak wilayah atau sembilan zona yang masing-masing memiliki nilai-nilai kesakralprofanan
tersendiri.
Konsepsi Sanga Mandala pada dasarnya merupakan hasil penggabungan konsepsi Kaja-
kelod dan Kangin-kauh yang dikenal sebagai sumbu natural dan ritual masyarakat Hindu Bali.
Kedua konsepsi tersebut selanjutnya disisipi lagi dengan sebuah pandangan tentang adanya
posisi tengah (Bali: madya) sebagai daerah peralihan atau transisi. Wilayah bersumbu natural
kaja-kelod yang sebelumnya hanya terbagi atas zona sakral dan profan, akhirnya berkembang
menjadi terbagi atas tiga zona, yaitu zona kaja yang bernilai sakral atau utama (Bali: utama),
zona tengah yang bernilai menengah (Bali: madya), dan zona kelod yang bernilai profan
(Bali: nista). Pada wilayah bersumbu ritual kangin-kauh yang sebelumnya yang hanya
dibedakan sebagai zona sakral dan profan, pada akhirnya juga berkembang menjadi tiga
zona, yaitu zona kangin yang sakral (utama), zona tengah yang menengah (madya), dan zona
kauh yang profan (nista).
Penerapan konsepsi kedua sumbu tersebut secara bersamaan secara saling besilangan
dalam tatanan budaya dan arsitektur tradisional Bali, pada akhirnya menghasilkan konsep
pembagian area atas sembilan zona atau Sanga Mandala. Tiga buah zona yang terbentuk dari
sumbu natural disilangkan dengan tiga buah zona yang terjadi dari adanya sumbu ritual

10
melahirkan sembilan buah zona yang memiliki nilai-nilai tersendiri terkait tingkat kesakral.

11
Kesembilan zona tersebut dapat diurutkan searah jarum jam sebagai zona kaja, zona kaja-
kangin, zona kangin, zona kelod-kangin, zona kelod, zona kelod-kauh, zona kauh, zona kaja-
kauh, dan zona tengah. Zona atau area kaja, kaja-kangin, dan kangin dimaknai sebagai zona
bernilai utama atau sakral. Zona atau area kelod-kangin, tengah, dan kaja-kauh dinyatakan
bernilai madya atau menengah. Zona atau area kelod, kelod-kauh, dan kauh diposisikan
sebagai zona bernilai nista atau profan. Apabila dicermati lebih mendalam kesembilan area
tersebut, maka akan dapat dipahami bahwa zona kaja-kangin sebagai zona yang bernilai
paling sakral, zona tengah sebagai zona bernilai paling menengah, dan zona kelod-kauh
sebagai zona yang bernilai paling profan. Secara mendetail nilai kesakralprofanan
kesembilan zona tersebut dapat diurutkan dari yang paling sakral hingga yang paling profan,
sebagai berikut: (1) utama ning utama (UU), (2) utama ning madya (UM), (3) utama ning
nista (UN), (4) madya ning utama (MU), (5) madya ning madya (MM), (6) madya ning nista
(MN), (7) nista ning utama (NU), (8) nista ning madya (NM), dan (9) nista ning nista (NN).
Pemahaman tentang konsepsi Sanga Mandala pada bagian selanjutnya banyak
diaplikasikan sebagai konsep penataan area bangunan-bangunan di Bali, seperti pada area
kompleks pura, area rumah tinggal tradisional Bali, area rumah tinggal masa kini, area bale
banjar, area perkantoran, dan area sekolah. Konsepsi Sangamandala pada umumnya
diterapkan pada wilayah-wilayah permukiman tradisional di Bali yang berkarakter dataran.
Wilayah- wilayah permukiman tradisional yang berada di daerah pegunungan atau pesisir
pantai, pada umumnya menerapkan konsep pola penataan area lainnya, seperti pola ulu teben.
Konsep sanga mandala dijadikan dasar pertimbangan penzoningan tata ruang perumahan
di Bali. Yaitu kita kenal dengan adanya istilah pola natah. Konsep tata ruang yang lebih
bersifat fisik mempunyai berbagai variasi, namun demikian pada dasarnya memiliki
kesamaan
 Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana)
 Hirarti tata nilai (Tri Angga)
 Orientasi Kosmologis (Sanga Mandala)
 Konsep Ruang Terbuka (Natah)
 Proporsi dan Skala
 Kronologis dan prosesi pembangunan
 Kejujuran Struktur
 Kejujuran pemakaian material.

12
2.5 Pola Natah
Natah merupakan istilah atau sebutan yang memiliki konsep yang khas dan unik. Dalam
bahasa Inggris terdapat istilah communal open space. Nata ini mempunyai pengertian hampir
sama dengan natah. Hanya saja nata merupakan lahan kosong dikelilingi oleh unit-unit rumah
tinggal, dan bukan dikelilingi oleh gugus-gugus bangunan. sebagaimana natah pada Umah
Bali.
Adanya tiga natah yaitu natah merajan, natah-bale (natah-umah),dan natah penunggun
karang ini, sesuai dengan konsep Arsitektur Nusantara Bali atau Arsitektur Tradisional Bali,
yang membedakan alam menjadi tiga yaitu alam dewa, alam manusia dan alam bhuta. Jadi
natah merupakan simbol dari ketiga alam tersebut. Oleh karena itu dalam upacara ritual
“mecaru” yang mempunyai makna menyucikan alam, dilakukan pada tiga natah tersebut.
Natah pada hakekatnya adalah ruang kosong. Kalau natah dilihat dari hakekatnya yaitu
“kekosongan”, maka natah mempunyai makna yang sangat dalam, seperti yang diungkapkan
oleh Lou Tzu dalam Klassen (1990), dengan metaforanya tentang kekosongan, yang
mengatakan bahwa hanya di dalam kekosongan terletak kebenaran yang esensial. Ada dua
pendapat tetang makna natah:
 Natah melambangkan suatu yang kosog (luang), karena kekosongan dapat dipahami
makna tentang isi. Natah disimbolkan sebagai pusat dari perputaran dan kalua dianalogikan
dengan tubuh manusia, maka natah adalah tali pusar ( Swanendri: 2000 ).
 Natah merupakam simbol tempat pertemuan antara Purusa dan Pradhana, pertemuan
antara langit dan Pertiwi/tanah,. dengan demikian makna natah yang paling utama adalah
memberi peluang suatu kehidupan, yakni berumah-tangga selama jiwa bertemu dengan raga
atau sepanjang ayat dikandung badan. Purusa merupakan unsur-unsur kejiwaan
(acatana/paramaatma/atma) dan pradhana merupakan unsur kebendaan (catana/panca maha
bhuta) ( Gomudha: 1999 ).
Pernyataan Gomudha, maupun Swanendri, mengandung pengertian yang senada yaitu
alam ini terdiri dari dua unsur yaitu purusa dan pradhana. Pertemuan antara purusa dan
pradhana ini menghasilkan benih-benih kehidupan.
Natah menyatukan atau mepertemukan dua hal yang berlawanan dan berpasangan (binary
oposition) pada arah vertikal dan horizontal. Pada arah vertikal merupakan pertemuan antara
purusa dan pradhana, sedangkan pada arah horizontal kangin-kauh dan kaja-kelod. Peranan
natah ini melandasi timbulnya pola ruang kosong sebagai ruang orientasi dalam rumah tinggal
maupun perumahan.

13
Dimensi natah ditentukan berdasarkan kelipatan atau penggandaan ukuran anggota badan
yaitu telapak kaki (tapak) pemilik rumah (kepala keluarga) atau pendeta. Sehingga terjadi
keselarasan antara penghuni dan natahnya. Disamping itu kelipatan ukuran telapak kaki ini
berdasarkan sloka tertentu, ditambah pengurip dan sesa, sebagai pemaknaan atau indeks
pemberi karakter. Dimensi tersebut mengandung makna keselarasan kosmologi yaitu
keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos. Jadi makna natah juga meresap pada
dimensinya.

14
BAB III
ANALISIS PENDEKATAN PADA OBJEK BENTARA BUDAYA

Arsitek dalam merancang akan memerlukan referensi-referensi yang nantinya akan


dikolaborasikan dengan empiris atau pengalaman yang dimiliki oleh perancang. Dari sekian
banyak referensi atau cara pandang seorang perancang terhadap suatu karya yang akan
dirancang, maka munculah yang dinamakan pendekatan perancangan. Pendekatan adalah cara
pandang atau bagaimana bangunan atau ruangan tersebut dibentuk berdasarkan syarat,
ketentuan, atau karakteristik tertentu dari pendekatan tersebut. Apabila dua perancang
diberikan fungsi bangunan yang sama, namun diberi kebebasan untuk memilih pendekatan
dalam merancangnya, maka desain yang dihasilkan pasti akan berbeda satu sama lain,
walaupun fungsi dari bangunan tersebut sama.

Pada bangunan di area Bentara Budaya ini, sang arsitek menafsirkan atau
mentransformasikan nilai – nilai Arsitektur Tradisional Bali ke dalam bangunan Arsitektur
Masa Kini dengan menggunakan pendekatan Tradisionalisme, Regionalisme dan Tropis.

3.1 Pendekatan Arsitektur Tradisional Modern


Tradisional adalah sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu berpegang pada
norma dan adat yang ada secara turun temurun. Tradisional berasal dari kata “tradisi” artinya
adat ke-biasaan turun temurun yang masih dijalankan oleh kelompok masyarakat.
Tradisionalism adalah suatu paham yang berdasarkan pada tradisi (Poerwadarminto. 1976).
Sedangkan modern merupakan aliran atau pendekatan yang muncul akibat adanya
pertentangan dengan arsitektur masa lampau. Maka Arsitektur Tradisional Modern dapat
dikatakan sebagai arsitektur tradisional yang dihadirkan dalam konsep atau bentuk yang lebih
universal .
Latar belakang penggunaan pendekatan ini dikarenakan ketika memasuki area Bentara
Budaya, maka akan terasa suasana seperti berada di area “umah” pekarangan di Bali, dimana
semua masa bangunan terpusat pada satu area yaitu berada di tengah yang mana merupakan
salah satu dari nilai-nilai arsitektur tradisional bali. Namun yang membedakan adalah pada
kasus ini, masa-masa bangunannya tidak digunakan untuk kegiatan sebagaimana mestinya di
rumah, tetapi digunakan sebagai tempat melakukan aktivitas yang lebih modern dan efisien.
Ciri khas dari Arsitektur Tradisional Modern:
a. Aspek warna dan tekstur merupakan elemen yang paling inti pada desain

15
b. Aspek dekorasi dan ornament arsitektur yang melekat dan bercirikan tradisional
c. Aspek historical yaitu fungsi simbolis dalam bentuk atau area bangunan.

3.2 Pendekatan Regionalisme


Merupakan pendekatan yang muncul dikarenakan ketidaksinambungan antara
arsitektur pada masa lampau dengan arsitektur masa kini, dimana terdapat gap yang begitu
jauh. Maka Pendekatan ini muncul akibat dari adanya peleburan atau penyatuan antara kedua
elemen tersebut. Menurut Rapoport , House From Culture (1969) terdapat beberapa
karakteristik dari regionalism itu sendiri, dan apabila di analisis dengan area Bentara Budaya
maka dari empat karakteristik, terdapat 3 karakteristik yang sesuai dengan pendekatan
Regionalisme .
a. Regionalisme Sebagai Sistem Budaya
Pada bagian ini, sistem budaya merupakan sesuatu yang melekat pada aspek
tradisional, seperti bagaimana sistem tata ruang, social masyarakat (interaksi) sehingga akan
memberikan penjelasan mengenai tata ruang yang diadopsi atau digunakan pada Bentara
Budaya.

b. Regionalisme Sebagai Jiwa Papan


Muncul seiring dengan kita memposisikan diri pada bangunan dan bangunan
diposisikan pada alam, sehingga akan tercipta suatu kesinambungan antara alam dengan
manusianya melalui bangunan tersebut. Lalu bagaimana kita menyimbolkan alam pada
rancangan , dan memposisikan bangunan agar seimbang dengan alam.

c. Regionalisme Sebagai Ungkapan Identitas


Karakteristik ini yaitu bagaimana mengadopsi atau membawa suatu bentuk yang
terlihat jelas secara visual , misalkan atap kampyah diaplikasikan ke bangunan yang baru.
Atau beberapa elemen-elemen lainnya yang diaplikasikan sehingga akan menimbulkan kesan
identitas daerah asal dari pendekatan tersebut .

3.3 Pendekatan Tropis


Tropis merupakan iklim yang berada pada 23’5° LU-23’5° LS, dan dalam hal ini iklim
tropis yang diambil yaitu iklim tropis basah. Yang mana memiliki kelembaban tinggi, tingkat
curah hujan yang tinggi, matahari yang cukup terik sepanjang tahun, tingkat paparan UV
yang tinggi dan edaran angin yang cukup kencang, sehingga akan memberikan dampak

16
terhadap rancangan yaitu adaptasi dari bentuk bangunan. Latar belakang penggunaan
pendekatan ini

17
adalah dikarenakan sebagian besar bangunan tradisional Bali memperhatikan kondisi iklim
baik mikro maupun makro lingkungannya, dan diadopsi pula pada area Bentara Budaya ini
dengan menggunakan konsep open plan pada beberapa bangunannya yaitu pada Bale
Serbaguna, dan yang paling menonjol adalah pada Aula Utama yang sangat memperhatikan
baik penghawaan maupun pencahayaan alami.
Tropis tidak hanya mengenai bagaimana cara mengatasi iklim , tropis juga membahas
bagaimana pemilihan material yang sesuai terhadap kondisi, orientasi bangunan, dan cara-
cara mencegah kerusakan bangunan terhadap lingkungan.
Pendekatan diatas yang digunakan untuk menganalisis perjalanan dari nilai-nilai
Arsitektur Tradisional Bali ke dalam Bangunan Arsitektur Masa Kini, melalui pendekatan ini
akan menimbulkan suatu cara pandang terhadap rancangan. Maka dalam menganalisis
bangunannya akan memiliki sebuah acuan atau pedoman yang mana nantinya dalam
menganalisa akan berangkat dari pendekatan-pendekatan diatas.

18
BAB IV
DATA OBJEK BENTARA BUDAYA BALI

4.1 Deskripsi
Bentara Budaya di Bali merupakan salah satu cabang lembaga kebudayaan dari
Kompas Gramedia. Bentara Budaya tertelak di Jl. Profesor Ida Bagus Mantra No.88A,
Ketewel, Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali 80237. Bentara Budaya diresmikan pada Rabu,
4 November 2009 oleh I Made Mangku Pastika selaku Gubernur Bali, Rikard Bangun selaku
Pemimpin Redaksi Kompas, Agus Adiprasetyo selaku Ceo Kompas, Jakob Oetama selaku
Exsecutive Chairman Kompas Gramedia. Fungsi dari bangunan ini sebagai tempat
mengadakan pameran, pertemuan, pementasan , atau acara lainnya yang sejenis tanpa adanya
suatu unsur penggalian dana.

Gambar 4.1 Batu Peresmian Bentara Budaya Bali


Sumber : Dokumentasi pribadi , 10/3/2019

4.2 Material bangunan


Terdapat empat bangunan yang ada di Bentara Budaya ini yaitu Aula Utama, Office,
Dapur, Bale Serbaguna.

 Bangunan Aula Utama


a. Atap Aula Utama

19
Gambar 4.2 Bentuk Atap Bangunan
Sumber : Dokumentasi pribadi , diakses 10/3/2019

Untuk konstruksi atap menggunakan kuda-kuda dari baja. Material penutup atap yang
digunakan pada bangunan ini adalah atap genteng tanah, bentuk atap bangunan ini merupakan
limasan dengan tambahan atap kampiah.

Gambar 4.3 Celah Untuk Udara Masuk


Sumber : Dokumentasi pribadi , 10/3/2019

Di bagian tampak samping bangunan terdapat celah dibagian atap yang berfungsi
untuk menyaring udara yang masuk ke aula, sehingga keadaan ruangan tetap sejuk. Bahan
yang digunakan yaitu susunan baja ringan yang dibuat celah-celah untuk udara masuk.

Gambar 4.4 Plafond di Ruangan Aula


Sumber : Dokumentasi pribadi ,10/3/2019

Dari bentuk plafond ini, terdapat elevasi yang terlihat dari up level plafond dengan
penurunan plafond. Pada bagian penurunan plafond terdapat celah yang berfungsi untuk
menyaring udara yang akan masuk ke dalam ruangan. Selain itu fungsi plafond tersebut

20
bergunan untuk tempat AC Central dalam ruangan. Hal inilah yang menyebabkan ruangan
terkesan sejuk dan tetap terlihat luas.

Gambar 4.5 Plafond di Atap Kampiah Bangunan


Sumber : Dokumentasi pribadi , 10/3/2019

Bahan material yang digunakan untuk plafond pada atap kampiah adalah bedeg bambu
, bahan material ini sangat terkesan tradisional, selain itu terdapat usuk dari kayu dengan
ukuran 4x6cm untuk konstruksi plafondnya.

Gambar 4.6 Plafond di Atap Kampiah Bangunan


Sumber : Dokumentasi pribadi , 10/3/2019

Untuk bagian penempatan lampu pada plafond terdapat ukiran bun-bunan yang
terlihat mengikuti bentuk-bentuk flora. Ukuran dari bun-bunan tersebut 50x50 cm dengan lis
berukuran 2cm. Pada gambar juga terlihat material dari lisplang atap yaitu lisplang kayu
dengan ukuran 20cm.

21
b. Badan Bangunan

Gambar 4.7 Elemen Samping Dinding


Sumber : Dokumentasi pribadi , diakses 10/3/2019

Bagian elemen samping dari bangunan ini adalah dinding, di bagian dinding
menggunakan dinding bata merah dengan bagian interior di finishing cat warna cream dan
bagian eksterior bangunan difinishing murni dari material kontruksi dindingnya yaitu bata
merah. Selain itu terdapat kolom bangunan dengan diberikan tempelan dari batu alam jenis
batu candi, ukuran tempelan dibuat lebih memanjang dari pada kolom , hal ini berfungsi
untuk menambah estetika dari bangunan tersebut. Di bagian variasi kolom terdapat tambahan
variasi penempatan lampu yang terbuat dari tanah lalu dibentuk menyerupai bun-bunan.

Gambar 4.8 Elemen Pendukung Ruang


Sumber : Dokumentasi pribadi , 10/3/2019

Elemen pendukung samping dinding adalah bukaan, pada bagian bukaan bentuk
jendela dan pintu dari bangunan ini bisa dilihat pada gambar diatas, material pintu dari kayu
bengkirai dengan daun jendela 10cm dan kaca riben hitam tebal 1cm, konsep pintu ini dibuka
dengan cara digeser. Selain itu pada bagian pintu utama ruangan ini merupakan pintu gebyog
bali dengan material kayu kamper dan terdapat pepatran pada bagian ulap-ulap pintu.

22
c. Elemen Bawah

Gambar 4.9 Elemen Bawah


Sumber : Dokumentasi pribadi , 10/3/2019

Elemen bawah dari bangunan ini adalah bagian lantai, material lantai yang digunakan
keramik jenis dove dengan warna abu-abu tua dan sedikit corak serta motif flora,ukuran dari
keramiknya 40x40cm. Untuk bagian interior ruangan menggunakan keramik glossy dengan
ukuran 60x60cm yang berwarna cream tanpa corak.

Gambar 4.10 Elemen Bawah


Sumber : Dokumentasi pribadi , 10/3/2019

Pada gambar diatas merupakan bagian sendi dan kolom dari bangunan aula utama ini,
penerapan material kayu solid pada kolom yang berbentuk lingkaran berasal dari material
kayu dolken . Sedangkan pada bagian sendi mengikuti kolom yaitu berbentuk tabung
dengan material batu alam jenis batu candi. Tinggi kolom dari sendi sampai kincut berkisar
400cm.

23
Gambar 4.11 Variasi bagian atas saka
Sumber : Dokumentasi pribadi ,10/3/2019

Variasi pada bagian atas saka berbentuk seperti bunga tunjung, dengan variasi ini
berbentuk tunjung ini selain berfungsi sebagai struktur juga berfungsi sebagai estetika dari
fasad bangunan.

 Fasad Bangunan Aula Utama

Gambar 4.12 Fasad Bangunan


Sumber : Dokumentasi pribadi ,10/3/2019

Dari fasad bangunan hal yang menarik merupakan dari bagian atap bangunan yaitu
bagian kampiah, bentuk atap dari bangunan ini sangat terkesan tradisional, selain itu pada
bagian saka yang menunjang atap kampiah memiliki keunikan yaitu bentuk sakanya
lingkaran dan bentuk sendi dari saka tersebut mengikuti saka. Untuk bagian elemen
samping yaitu pada pintu , pintu ini sangat terkesan mencirikan bangunan tradisional bali
serta bun-bunan lainnya yang mencirikan bangunan khas bali yang telah
ditranspormasikan.

24
BAB V
PEMBAHASAN

5.1 Pola Natah Bentara Budaya


Pola natah pada Bentara Budaya terpusat ke tengah area , atau radial yang mana setiap
masa bangunannya akan berorientasi ke dalam . Hal ini sesuai dengan sifat natah di Arsitektur
Tradisional Bali yaitu natah yang merupakan area yang menjadi titik perkumpulan energi
dari berbagai penjuru, sehingga pada bagian natah tersebut ada area yang harus kosong dan
tidak boleh dibangun. Natah juga merupakan pusat orientasi daripada masa bangunan ,
sehingga dapat menghasilkan kesan ruang.

Gambar 5.1 Area Natah di Bentara Budaya


Sumber : Dokumentasi Pribadi (10/03/19)

Namun pada area natah di Bentara Budaya ini dimanfaatkan sebagai areal berkumpul
civitas baik untuk mengadakan suatu pertunjukan atau yang lainnya. Sehingga pendekatan
Arsitektur Tradisional Modern berperan dalam hal ini, dimana suatu fungsi dibawa dari masa
yang lampau dan dimunculkan dalam system atau fungsi yang lebih bersifat universal dan
tidak mengikat.

Selain pendekatan diatas, konsepsi arsitektur tradisional bali Sanga Mandala juga
berperan dalam natah di Bentara Budaya ini, dimana pada kaja-kangin terdapat tempat
suci/merajan yang merupakan tempat utama mandala. Diikuti dengan masa masa bangunan
lainnya yang lebih universal terletak pada madya mandala dan pada bagian selatan natah
terdapat fungsi bangunan dapur yang mana sesuai dengan pola natah “umah” pada umumnya.
Toilet atau area saniter juga diletakkan pada bagian pojok kiri-selatan sehingga masih berada

25
pada bagian nista mandala. Sesuai dengan pendekatan arsitektur tradisional modern maka cara
sang arsitek menata masa bangunan di Bentara Budaya berdasarkan fungsi-fungsi yang dibuat
lebih universal dan fleksible yang berangkat dari pola natah “umah” di Bali .
Pendekatan Regionalisme juga dapat diterapkan pada area natah yaitu system budaya
dan ungkapan identitas dimana pada system budaya yaitu mengikuti dari adanya pola tata
ruang dan pada identitas yaitu mencirikan identitas bangunan yang ada di Bali.

52 Bangunan Aula Utama ( Bagian Atap Bngunan)


Pada bangunan Aula Utama di Bentara Budaya memiliki atap utama yang berbentuk
limasan yang cukup panjang yang dikombinasi dengan atap kampiah pada bagian depan
bangunannya. Atap bangunan dibuat cukup tinggi dengan material penutup atapnya
menggunakan material genteng tanah liat dengan konstruksi atap menggunakan kuda-kuda
dari baja. Pemililahan material baja dikarenakan material memiliki kekuatan yang cukup
untuk menopang beban atap bangunannya dan bisa dibilang cukup awet.
Selain itu, bagian atap yang paling tinggi (bagian atap limasnya) disetiap sisi sampingnya
dibuat celah horizontal yang berfungsi untuk penghawaan alami dimana fungsinya untuk
menyaring udara yang masuk ke dalam aula utama sehingga udara yang masuk adalah udara
yang bersih dan segar serta untuk menjaga agar ruangan tetap sejuk. Untuk material yang
digunakan membuat celah atau kisi-kisi tersebut yakni dari baja ringan.
Sehingga menurut tinjauan teori dan metode pendekatan yang digunakan pada bangunan,
dimana dijelasakan ada teori yang menjelasakan tentang konsep tri angga yakni ungkapan tata
nilai yang membagi kehidupan fisik dalam tiga bagian hirarki yang berbeda dimana terbagi
dalam tiga bagian bila diibaratkan dalam tubuh manusia yakni terdiri dari Utama Angga,
Madya Angga, dan Nista Angga. Jadi bagian atap pada bangunan aula utama masuk dalam
bagian Utama Angga (bagian kepala manusia) yang memiliki kedudukan paling utama pada
bangunan. Sehingga kedudukan atap menjadi penting dan tidak dapat dihilangkan. Selain itu
pada teori dijelaskan bahwa penerapan atap kampiah pada bangunan juga mengambil bentuk
tradisional bali yang sedikit dibuat lebih modern yang menyesuaikan dengan arsitektur masa
kini dan teknolodi yang telah berkembang.
Untuk pedekatannya terhadap bangunan yakni ditekankan pada pendekatan tropis dan
regionalime yang terlihat dari bentuk plafond bangunan pada aula dimana terdapat elevasi
yang terdapat up level plafond dan penurunan pada plafond. Pada bagian penurunan plafond
terdapat celah yang berfungsi untuk menyaring udara yang akan masuk ke dalam ruangan.

26
Selain itu fungsi plafond tersebut bergunan untuk tempat AC Central dalam ruangan. Hal
inilah yang menyebabkan ruangan terkesan sejuk dan tetap terlihat luas dengan aliran udara
yang bersih.
Penggunaan material yang digunakan untuk plafond pada atap kampiah adalah bedeg
bambu , bahan material ini sangat terkesan tradisional, selain itu terdapat usuk dari kayu
dengan ukuran 4x6cm untuk konstruksi plafondnya dimana penggambaran ini menunjukan
pendekatan regionalism. Sedangkan u ntuk bagian penempatan lampu pada plafond terdapat
ukiran bun- bunan yang terlihat mengikuti bentuk-bentuk flora. Ukuran dari bun-bunan
tersebut 50x50 cm dengan lis berukuran 2cm. Pada gambar juga terlihat material dari lisplang
atap yaitu lisplang
kayu dengan ukuran 20cm.

Gambar 5.2 Bentuk Atap Bangunan


Sumber : Dokumentasi pribadi , diakses 10/3/2019

Gambar 5.3 Celah Untuk Udara Masuk


Sumber : Dokumentasi pribadi , 10/3/2019

27
Gambar 5.4 Plafond di Ruangan Aula

28
Sumber : Dokumentasi pribadi ,10/3/2019

Gambar 5.5 Plafond di Atap Kampiah Bangunan


Sumber : Dokumentasi pribadi , 10/3/2019

5.3 Bangunan Aula Utama (badan)


Pada aula utama bangunan Bentara Budaya bagian yang dianalogikan sebagai badan
(dalam konsep tri angga) yaitu bagian dinding bangunan. Hampir semua bagian dinding
menggunakan material batu bata merah di bagian eksterior yang dibiarkan ter-expose dan
bagian interior difinishing dengan cat dinding warna cream. Pendekatan bangunan terhadap
arsitektur tradisional bali mengarah pada pendekatan Tradisional Modern, dimana dinding
pada bangunan tradisional dibuat dengan dimensi yang cukup tebal yaitu 1 bata ( 22cm-
25cm), untuk dinding aula Bentara Budaya dibuat cukup tebal berkisar antara 20cm dengan
bantuan teknologi, srtinya tidak murni dinidng dibuat dengan tebal 1 bata, namun dengan
penambahan pengedap suara di bagian interior.

Gambar 5.6 Penggunaan Material Bata Pada Dinding


Sumber : Dokumentasi pribadi , diakses 10/3/2019

Penggunaan ornament pada dinding seperti kekarangan dan pepatraan juga dibuat lebih
modern dan sederhana hanya menggambarkan bentuk global dari seni ornament tersebut
tanpa detail yang terlihat jelas. Hal serupa juga terlihat pada ulap-ulap pada pintu masuk

29
aula yang

30
dibuat sederhana dan terkesan polos. Namun, penggunaan puntu gebyog dengan ukiran khas
bali menggambarkan kesan tradisional yang diangkat. Bukaan pada jendela yang digunakan
juga mengarah pada pendekatan Tropis, karena penempatan dan desain jendela dibuat
dengan memperhatikan kondisi lingkungan, penggunaan jendela krepyak memperjelas
pendekatan yang digunakan.
Selain dinding, kolom pada selasar juga dianalogikan sebagai badan bangunan (dalam
konsep tri angga), pendekatan kolom juga mengarah pada pendekatan tradisional modern.
Hal tersebut terlihat dari bentuk kolom yang berbentuk lingkaran, lebih sederhana dan tetap
terlihat elegan. Penggunaan ornament pada kolom tidak terlalu banyak sesuai degan desain
modern.

Gambar 5.7 Ornamen Pada Kolom


Sumber : Dokumentasi pribadi ,10/3/2019

5.4 Bangunan Aula Utama (Kaki)

Gambar 5.8 Kolom Bangunan


Sumber : Dokumentasi pribadi ,10/3/2019

Yang termasuk bagian kaki dari bangunan Bentara Budaya Bali merupakan lantai, sendi,
kolom, dan pondasi. Dari masing-masing bagian, berdasarkan data objek yang diperoleh
bahwa bagian dari elemen bawah bangunan jika dikaitkan dengan teori arsitektur bali bagian

31
elemen

32
bawah terkait dengan konsep Tri Angga yaitu bagian kaki merupakan bagian nista dari
bangunan. Dengan komposisi yang seimbang antara utama, madya dan nista akan
menghasilkan keseimbangan pada bangunan.
Dari teori dan konsep Tri Angga bagian kaki merupakan bagian yang bisa dikembangkan
yaitu pada bagian sendi yang lebih sederhana bisa dikaitkan dengan pendekatan regional
bahwa bagian sendi bisa dikembangkan menjadi bagian yang lebih berguna, seperti
penerapan sendi yang dikaitkan dengan strutur pondasi. Selain bagian sendi bagian saka yang
menyangga atap kampiah bisa dikembangkan dengan pendekatan regionalism dikaitkan
dengan lingkungan yaitu pohon, saka bisa diartikan sebagai batang pohon, sendi bisa
dikaitkan dengan akar dari pohon tersebut dan bagian atap bisa dikaitkan dengan daun dari
pohon tersebut yang mampu melindungi bagian bawah dari pohon tersebut.
Kembali pada bagian kaki, jika dikaitkan dengan pendekatan tropis maka bagian kaki jika
penerapannya menggunakan lantai keramik akan lebih menarik jika bagian lantai ini diganti
dengan kayu namun diberi koting atau lapisan galvanis agar kesan tropis pada bagian bawah
bangunan terkait dengan konsep tropis.

33
BAB VI
KESIMPULAN

Konsepsi atau nilai Arsitektur Tradisional Bali yang ditransfer atau dijadikan acuan
dalam perancangan masa kini dapat dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu pendekatan
perancangan maupun perkembangan dari teori-teori itu sendiri . pendekatan perancangan
yang dianalisis dari AMK Bentara Budaya ini adalah pendekatan Arsitektur Tradisional
Modern dimana penyampaian fungsi bangunan yang disesuaikan ke fungsi yang lebih
universal. Regionalisme yang muncul dikarenakan dapat menyimboliskan alam dan
disimbolkan sebagai sistem budaya , dan Tropis yaitu perancangan yang didasarkan atas
iklim yang dihadapi di daerah tersebut yang akan berpengaruh ke bentuk,material,fungsi
bangunan. Ketiga pendekatan tersebut berkolaborasi untuk menyampaikan atau
mengkomunikasikan desain pada area Bentara Budaya.

Analisis terhadap area Bentara Budaya yaitu pada Pola Natah dimana dikaitkan
dengan pola natah “umah” di Bali yang dijadikan sebagai pusat dari orientasi seluruh masa
yang ada pada area tersebut dan Pola penempatan masa menyesuaikan dengan konep Sanga
Mandala. Lalu Pada Bagian Aula Utama di sebelah timur yaitu menggunakan konsep Tri
Loka atau Tri angga yaitu pembagian Kepala (atap), Badan (dinding), Kaki (sendi/ pondasi).

Dengan digabungkannya kedua analisis baik dari pendekatan maupun perkembangan


teori, maka akan menghasilkan suatu hubungan secara tidak langsung pada Bangunan di area
Bentara Budaya antara konsepsi atau nilai Arsitektur Tradisional Bali dengan Arsitektur Masa
Kini.

34
DAFTAR PUSTAKA

Gomudha, I Wayan. 1999., Reformasi NilaiNilai Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur
Kontemporer di Bali. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya: Tesis Program
Pascasarjana Program Studi Arsitektur Bidang Keakhlian dan Kritik Arsitektur.

Swanendri, Ni Made. 2000. Eksistensi Rumah Bali sebagai Basis Ekonomi Rumah Tangga,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya: Tesis Program Pasca Sarjana Program Studi
Arsitektur Alur Pemukiman Kota dan Lingkungan.

Gelebet, I Nyoman, dkk. 2002. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Denpasar: Badan
Pengembangan Kebudayaan dan pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan
Budaya Bagian Proyek Pengkajian dan Pemanfaatan Sejarah dan Tradisi Bali.

Artadi, I Made Pande. 2010. Sangamandala. Dalam artilkel PDF: Tidak dibublikasikan.

Raharja, I Gede Mugi. 2010. Konsep Ruang yang Mendasari Desain Interior Rumah Tinggal
Tradisional Bali Madya/Bali Arya II. Dalam artikel DOC: Tidak dipublikasikan.

Soedigdo, Doddy. 2010. Arsitektur Regionalisme (Tradisional Modern ). Vol 5. hal 26-32.
diakses tanggal 11 Marett 2019.

Budhihardjo, Rachmat. 2013. Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya pada Bangunan Puri. Jurnal
NALARs. Volume 12 (No. 1):17-42.

Pramadhyaksa, Widya. 2013. Filosofi Keselarasan antara Bhuwana Agung dan BhuwanaAlt.
Dalam materi perkuliahan Arsitektur Bali 2: Tidak dipublikasikan.

35

Anda mungkin juga menyukai